“Tangkap!” seru Amisha, melemparkan sesuatu kepada Dede tatkala mereka tiba di pelataran parkir.Dede memperhatikan benda yang dilempar Amisha dan kini berada dalam genggaman tangannya. Sebuah kunci mobil. Ia menatap Amisha dengan sorot mata penuh tanya.“Jangan bilang kamu tidak bisa menyetir mobil!” ujar Amisha, dingin.“Oh! Oke!”Buru-buru Dede menyusul Amisha yang sudah berjalan menuju mobil. Dede membukakan pintu untuk Amisha.Amisha mengenyakkan pantat di jok belakang dan menyandarkan kepala dengan santai. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Ia harus menahan hati, bertemu dengan kolega yang menyebalkan dan haus akan pujian, sebelum akhirnya bersedia menandatangani kontrak kerja sama.
Amisha tak pernah menyangka akan ada hari untuknya bertemu lagi dengan Kenzo. Seseorang yang ingin dihindarinya seumur hidup. Lelaki yang telah memperkenalkannya pada indahnya cinta sekaligus menorehkan jejak luka yang mendalam di relung hatinya.Masih terbayang jelas pengkhianatan Kenzo bertahun-tahun silam. Juga senyum mencemooh yang baru saja dipertontonkan lelaki itu dengan pongah bersama perempuan jalang simpanannya. Perempuan yang tak memiliki rasa empati sedikit pun terhadap sesama wanita.Luka lama Amisha seakan berdarah kembali. Namun, air matanya tak lagi tersisa untuk menangisi semua kepedihan itu. Air matanya telah terkuras habis bersama derasnya hujan di malam itu. Malam ketika terik kehampaan membakar hangus keyakinannya akan adanya cinta suci di hamparan bumi ini.Dede berulang kali melirik Amisha dar
Kacamata hitam di tangan Amisha jatuh ketika tahu-tahu Dede sudah berdiri di depannya, menghidangkan secangkir cappuccino.Amisha mendongak. Pandangan mata kagetnya bersirobok dengan tatapan tajam Dede. Sesaat Amisha membatu kaku.Di usianya yang menjelang kepala tiga, untuk pertama kalinya seorang lelaki yang bukan keluarga dan orang terdekatnya melihatnya tanpa kacamata, mempertontonkan bentuk asli kedua netranya.‘Oh My God! Manik mata itu sungguh indah luar biasa!’ Dede berseru takjub dalam hati.Malam itu ia telah terpesona dengan kecantikan Amisha tanpa kacamata. Kini, dalam jarak yang begitu dekat ia seakan terbius oleh sepasang iris merah jambu keunguan, menatapnya dengan panca
“Apa? Mama diopname karena serangan jantung?” Amisha terlonjak kaget dari tempat duduknya.“Iya, Misha.” Suara berwibawa papanya menyahut lesu dari seberang telepon.“Kenapa bisa begitu, Pa?” tanya Amisha sedih.“Belakangan ini mamamu selalu memikirkan tentang pernikahanmu. Darah tingginya kambuh gara-gara stres.”“Maafkan aku, Pa.” Amisha merasa bersalah.Andai cinta suci dapat ia temukan di pasar loak, mungkin telah lama ia mencarinya di sana. Tak masalah ia bukan yang pertama. Selama ia menjadi pemilik terakhir, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia. Bukankah cinta terakhir hanya akan terpisahkan oleh kematian?“Sayang, papa sangat berharap kamu bisa menjenguk mam
Amisha mengira Dede akan dengan senang hati menyetujui kontrak yang ditawarkannya. Mengingat ia sudah sangat royal memberikan kompensasi sepuluh kali lipat dari gajinya sebagai office boy, ditambah dengan beragam fasilitas mewah lainnya selama ia menjadi tunangan kontrak. Ia benar-benar tak menduga jika lelaki itu akan jual mahal dan mencoba bernegosiasi dengannya.‘Apa dia tidak takut dipecat?’ pikir Amisha, semakin heran dengan sosok Dede.“Terserah Nona kalau memang Nona keberatan. Aku hanya mencoba menciptakan suasana kerja yang nyaman untukku, supaya aku bisa menjalankan peranku dengan baik. Hak Nona untuk menolak persyaratanku, tapi jika mau Nona seperti itu, maaf, aku tidak bisa membantu Nona.”Selesai berkata begitu Dede b
Begitu menginjakkan kaki di Bandar Udara Heathrow, Amisha disambut langit musim semi Kota London yang berwarna biru cerah. Rasa lelah setelah melakukan perjalanan hampir dua puluh empat jam penerbangan ditambah dengan dua kali transit seakan lenyap seketika.Seorang lelaki muda dan sebuah mobil BMW i8 warna silver telah menanti kedatangan Amisha begitu ia keluar dari pintu bandara. Lelaki itu berlari menyongsong Amisha dan mengambil alih koper di tangannya.Amisha masuk ke mobil tanpa menunggu lelaki itu membukakan pintu untuknya. Sementara Dede masih menyimpan kopernya di bagasi bersama sang sopir.“Are you going to visit your mom right away, Miss Harist?” tanya si sopir, melirik Amisha dari kaca spion beberapa menit kemudian.
Pertanyaan tak terduga yang meluncur begitu saja dari bibir Claudya membuat Amisha terbatuk. Ia menoleh kepada Dede.Dede langsung tanggap dengan maksud tatapan Amisha. Dede menghampiri Amisha, lantas berdiri di sampingnya.“Tentu saja, Tante. Aku sangat mencintai putri Anda.” Dede tersenyum meyakinkan Claudya.Selama beberapa detik Claudya menantang bola mata Dede, seolah mencari setitik kejujuran di sana. Ia pun tersenyum senang saat menyadari Dede tidak berbohong. Melihat kehangatan yang membias dari tatapan Dede setiap kali lelaki itu memandang Amisha, Claudya yakin Dede sungguh-sungguh mencintai putrinya.“Tante harap kau bisa bersabar menghadapi Misha,” lirih Claudya, sedikit resah.Ia dapat melihat kekosongan rasa pada manik mata putrinya. Namun, ia percaya ketulusan cinta Dede, suatu hari nanti, akan mampu mencairkan kebekuan hati Amisha.“Jangan khawatir, Tante. Mohon doa restu Tante dan Om,” pinta Dede tulus seraya memandang Claudya dan Harist bergantian.Claudya mengangguk.
Makan malam keluarga Harist berakhir dengan perasaan lega. Senyum bahagia menghiasi wajah Harist dan istrinya. Keputusan Amisha untuk menyetujui pernikahannya dengan Dede laksana sebongkah berlian yang berhasil ditemukan Harist dan Claudya, setelah bermandi peluh dan kehabisan tenaga, menggali di kedalaman kerak bumi yang nyaris merenggut nyawa.Amisha berbaring gelisah pada sebuah sofa panjang, yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tidur santai. Sofa berwarna cokelat gelap dengan corak kuning emas itu terletak di pojok Barat Laut kamarnya.“Apa yang telah aku lakukan?” Amisha seakan menyesali keputusannya menuruti kehendak kedua orang tuanya.Nasi sudah menjadi bubur. Pantang bagi Amisha untuk menjilat ludahnya kembali. Jika manusia tak mampu memegang teguh ucapannya sendiri, maka tak ada lagi yang bisa dipercaya dan tersisa dari dirinya.Tak peduli apa pun yang akan dihadapinya di masa depan, saat ini Amisha tak boleh melangkah mundur. Genderang perang untuk mengalahkan egonya tela
“Pak, Tunggu!” teriak seseorang, menghentikan langkah Zain yang hendak memasuki lobi kantornya.Ia memang selalu melewati lobi untuk menuju ruang kerjanya jika tidak sedang dalam kondisi terburu-buru atau sedang ingin menghindari sesuatu.Ia sengaja membudayakan kebiasaan itu agar bisa menyapa para karyawan yang ditemuinya, sebagai bentuk apresiasi atas kedisiplinan mereka untuk selalu hadir tepat waktu.Kebiasaan sepele itu cukup ampuh untuk meningkatkan hubungan baik antara atasan dan bawahan. Mengendurkan kekakuan hubungan yang sudah sangat lazim di kalangan pekerja dan bosnya. Selain itu, keramahan seorang atasan juga mampu menyuntikkan semangat kerja pada karyawannya. Ya, hal positif juga akan memberikan dampak positif. Kebaikan itu menyebar lebih cepat dari yang dapat diperkirakan.Zain menoleh ke belakang. Sepasang netra gelapnya langsung mengenali sosok lelaki yang berjalan terburu-buru menyusulnya. Wajah lelaki itu tampak pucat dengan ker
“Pelan-pelan dong … sakit!” rungut Amisha, sedikit menjauh dari Zain sambil meringis.“Iya. Maaf! Ini sudah pelan,” sahut Zain, memperlambat gerakannya. Bagaimanapun, ia tak pernah berniat untuk menyakiti Amisha.Ia seorang pria tulen. Tentu saja setiap gerakan tangan ataupun langkah kakinya tak segemulai wanita.“Bagaimana? Kau suka?” tanya Zain, menatap mata Amisha yang memantul dari cermin.Ia baru saja membantu Amisha menyisir rambut panjangnya usai mandi dan mengenakan pakaian. Ia menjalinnya dengan mencontoh gaya rambut yang belakangan ini sering dipelajarinya dari tutorial tata cara menata rambut panjang di channel y*u*u*e.Hampir satu jam ia menghabiskan waktu berkutat dengan perjuangannya. Untung Amisha sedang ingin bermanja-manja dengannya. Kalau tidak, mungkin ia tidak akan mau menjadi kelinci percobaan Zain.“Lumayan rapi. Suka kok, tapi tadi kamu menariknya terlalu kuat. Rasanya sakit sekali,” aku Amisha jujur, terus
“Jadi, yang meninggal itu si penjaga makam?” tanya Yoshi dengan nada prihatin begitu Zain selesai menjabarkan kronologis kejadian yang berhubungan dengan dirinya.Zain menggeleng lemah dengan kepala tertunduk lesu. Membuat semua yang mendengar ceritanya saling lempar pandang dengan tatapan heran.“Terus siapa?” Gianna ikut penasaran.Lagi-lagi Zain menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang, seolah-olah ia ingin melonggarkan impitan beban dari dadanya.“Aku juga tidak mengenalnya, tapi menurut pihak kepolisian dia adik ipar si penjaga makam,” sahut Zain lirih.Ketiga orang yang menanti jawabannya kembali ternganga. Mereka ikut merasakan kesedihan si penjaga makam.“Kasihan sekali lelaki itu,” gumam Gianna tanpa sadar.“Ajal memang tak bisa ditebak. Semua nyawa makhluk di muka bumi ini milik Allah semata. Dan Dia berhak mengambilnya kapan saja tanpa bisa ditunda barang sedetikpun,” jelas Zain.Amis
Amisha masih mengulurkan tangannya untuk meraih kain putih di hadapannya. Getaran jari-jarinya makin kentara. Sejenak ia memejamkan mata, sekuat hati memberanikan diri untuk menyibak kain penutup sosok yang sedang terbujur kaku.Perlahan helai demi helai rambut hitam menyembul dari ujung kain yang mulai tersibak. Menambah berat beban emosi yang mengimpit dada Amisha. Rasa sedih, rasa kehilangan dan ketakutan menyatu dalam kalbu. Namun, semua rasa itu terkalahkan oleh rasa penasaran yang menggelayuti hatinya.Detak jantung Amisha makin berpacu kala puncak kening yang berlumuran darah mulai mengintip dari ujung Kain. Gianna dan Yoshi bahkan ikut menarik napas dalam saking deg-degannya mereka menanti apa yang akan terpampang di depan mata mereka.“Amisha!” teriak seseorang, berseru lantang menghentikan gerakan tangan Amisha.“Suara itu ….” Sesaat Amisha tercekat mendengar suara yang menyerukan namanya. Ia merasa sangat mengenal suara itu.Ta
“Amisha ada di ruangannya sekarang?” tanya Yoshi, tanpa tedeng aling-aling dari seberang telepon begitu Gianna mengangkat panggilannya.Pandangan mata Gianna segera bergerak menembus dinding kaca yang memisahkan ruangannya dan ruang kerja Amisha. Tampak Amisha sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.“Ada. Kenapa?” Gianna balik bertanya dengan dada yang tiba-tiba berdebar tidak enak.“Baguslah. Jauhkan dia dari semua akses berita,” perintah Yoshi, tanpa menjawab pertanyaan Gianna.“Beritahu aku alasannya!” Nada bicara Gianna sedikit meninggi, merasa agak kesal lantaran Yoshi mengabaikan pertanyaannya.“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang. Lakukan saja perintahku! Aku harus segera pergi,” sergah Yoshi, dengan nada tegas. Terdengar jelas bahwa ia sedang terburu-buru. Terlebih lagi setelah ia memutuskan sambungan telepon tanpa menanti respons dari Gianna.Gianna mengernyit memandangi ponsel di tangannya.“Ada
“Yaaah … hujannya makin deras,” keluh Amisha, mengintip dari balik tirai jendela kamar.“Kenapa memangnya? ‘Kan malah bagus! Jadi lebih adem,” sahut Zain, berjalan menghampiri Amisha dan berdiri tepat di belakangnya. Ia ikut mengintip keluar melewati pundak Amisha. Tangan kanannya bertengger manis di pinggul istrinya.“Tapi, aku pengin menyaksikan bintang-bintang,” rengek Amisha, bersandar manja di dada Zain.Tangan kanannya bergelayut pada tengkuk sang suami. Sementara pandangan matanya berusaha menembus kaca jendela yang berembun.“Hem … bintang ya?” tanya Zain, berbisik lirih di telinga Amisha. Amisha mengangguk.“Kita bisa menghadirkan ribuan, bahkan jutaan bintang dengan cara kita,” bisik Zain lagi dengan nada menggoda, menggigit pelan daun telinga Amisha.“Ish! Geli tahu!” protes Amisha seraya mendorong mundur wajah Zain dari telinganya. Zain terkekeh pelan.“Sengaja!” sahutnya, mendekatkan kembali wajahnya ke teli
Gianna melangkah gontai memasuki lift apartemennya. Menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung seharian penuh di kantor benar-benar menguras tenaga. Ia merasa sangat lelah. Satu-satunya keinginannya saat ini hanyalah menikmati berendam diri dalam air hangat sembari menghirup wanginya aroma terapi.“Tunggu!” Pintu lift yang akan segera menutup tiba-tiba ditahan oleh sepasang tangan.HAH!Gianna terperangah ketika mengenali wajah sang penahan pintu lift.“Sonny? Kok kamu ke sini?” tanya Gianna, tanpa membalas senyuman manis Sonny.Ia menggeser posisi berdirinya sedikit ke kanan agar tercipta cukup jarak antara dirinya dan Sonny yang berdiri di sebelah kirinya.Sonny tak merespons pertanyaan heran Gianna. Ia hanya tersenyum misterius sembari membungkuk hendak memencet tombol lift. Di saat bersamaan, Gianna juga bergerak ingin menekan tombol dengan angka yang sama. Tanpa sengaja jari mereka menyatu.Baik Sonny maupun Giann
Belakangan ini cuaca Jakarta sangat tak menentu. Terkadang panas, lalu mendadak hujan dalam sekejap. Tak ingin terjebak pergantian cuaca yang sulit diprediksi, Amisha dan Gianna memutuskan untuk menikmati makan siang di kantin kantor daripada pergi ke kafe terdekat.Mereka memilih duduk di meja pojok agar tidak terlalu mencolok dan menarik perhatian karyawan lainnya yang juga bersantap siang di kantin itu.“Kamu kencan sama Yosh, Gi?” tanya Amisha, menyesap jus naga merah dengan pipet yang terselip di antara jari-jari lentiknya.UHUK!Gianna yang tengah menyeruput jus jeruknya terbatuk kecil mendengar pertanyaan Amisha yang tak terduga. Ia menatap Amisha dengan mata membulat sempurna lantaran kaget.“Aiyyaaa … siapa bilang? Jangan suka asal menyimpulkan deh!” rungut Gianna, sedikit kesal.Ia tak habis pikir mengapa Amisha sampai menafsirkan hubungannya dengan Yoshi sejauh itu. Mukanya mengeras ketika kemungkinan Yoshi yang mengak
Waktu bergulir bagai mata air yang terus mengalir. Dua minggu paska Gianna dirawat di rumah sakit, hubungan Sonny dan Gianna tampak semakin akrab. Melihat itu, Yoshi seperti kebakaran jenggot karena merasa kalah start. Ia pun makin mempergencar serangan pendekatannya pada Gianna.“Hai!” sapa Yoshi begitu tiba di hadapan meja kerja Gianna. Ia masuk tanpa mengetuk pintu.Gianna mendongak dengan sorot mata dingin, menunjukkan ketidaksenangannya akan kebiasaan Yoshi yang masuk tanpa permisi.“Kebiasaan jelek dipelihara. Ketuk pintu dulu kenapa!” ketus Gianna, bersungut-sungut.“Sengaja. Surprise!” kilah Yoshi, dengan nada berkelakar.“Maksud kamu, kamu sengaja ingin membuatku terkena serangan jantung?” semprot Gianna, dengan nada sewot. Baginya kelakar Yoshi tidak lucu sama sekali. Malah ia sangat membenci itu.“Ya ampun, Gianna! Mana mungkin aku berniat begitu. Tuduhanmu terasa sangat menyakitkan di hatiku,” bantah Yoshi, sedikit le