Pikiran Citra kembali mengalunkan rindu. Rindu pada pertemuan dengan dia, beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang selalu memanggilnya Cantik.
Citra tersenyum. Ada kebahagiaan yang nyata, tergambar di sana.
“Adik namanya siapa?” kalimat pertama yang dia ucapkan, saat itu. “Citra, Kak.”
“Siapa? Cantik?” Citra mengerutkan dahi.
“Citra, Kak!” ujar Citra, memperjelas. “Kalau aku mau panggil kamu Cantik, boleh, kan?”
Citra salah tingkah. Sebagai anak baru, dia merasa kurang nyaman dengan sikap seniornya itu. “Adik Cantik di jurusan Ekonomi, ya?”
“Iya, Kak.”
Sejak awal pertemuan itu, setiap bertemu dengan Citra, pria itu selalu memanggilnya Cantik. Panggilan yang kadang membuat Citra merasa risih dan terganggu. Karena setiap teman-temannya mendengar panggilan itu, dia selalu diejek dan dijodohkan dengan seniornya itu.
“Cit, aku yakin kakak senior itu, suka sama kamu!”
“Kamu enggak usah nambah-nambahin deh, Sal. Cukuplah aku merasa kurang nyaman dengan panggilan itu. Kamu jangan membuat semua tambah ribet. Enggak enak kalau teman-teman yang lain dengar!”
“Aku cuma menyimpulkan saja Cit. Sikap kakak itu beda banget ke kamu.”
“Sal, cukup ya. Kita fokus ke kuliah!”
Saat itu, Citra baru memasuki semester pertama di perguruan tinggi. Saat di mana dia diharuskan segera menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Namun, kehadiran kakak seniornya itu, semakin lama, semakin mengusik hati Citra.
Memasuki semester lima, waktu yang tidak akan pernah dilupakan oleh Citra. Saat itu, seniornya sudah masuk semester akhir.
“Cit, ini dari kakak itu?” tanya Salma, melihat sebuah bunga mawar merah, tergeletak di atas meja.
Citra mengangguk.
Salma tertawa lebar. “Kamu kenapa?” tanya Citra.
“Kayaknya ada yang salah deh.”
“Salah apanya?”
Salma masih saja terkekeh, tanpa menjelaskan kalimatnya. “Sal, serius dong!”
“Begini Cit. Kayaknya kakak itu salah orang.”
Citra mengerutkan dahi.
“Iya. Kamu yang pakaiannya jelas seperti ini, rajin ngaji di masjid, kok di kasih hadiah bunga mawar sih?”
Citra tersenyum. “Aku kira apa.”
“Tapi aku salut lho dengan keberaniannya. Berani menerima penolakan dari kamu!”
“Penolakan?” tanya Citra, kembali.
“Iya, bunga mawar merah itu kan tanda pernyataan cinta, Cit. Dan aku yakin, kamu akan menolak pernyataan cinta kakak itu.”
“Enggak aku tolak!”
“Ha? Kamu yakin? Jadi kamu mau, jadi pacar kakak itu?”
Citra tersenyum.
“Sal, kamu jangan berpikiran terlalu jauh. Aku enggak menolak, karena memang tidak ada pernyataan apa-apa. Kakak itu memberikan bunga, ya diterima saja. Enggak usah terlalu kamu masukkan ke dalam hati.”
“Tapi, kan—“
“Iya, itu menurut teori. Tapi, kenyataannya, ini hanya sekadar hadiah!”
“Ehm. Tapi nanti, kakak itu merasa kamu memberikan harapan!”
“Aku kan, enggak pernah bilang, Sal. Jadi kamu tidak usah khawatir, ya. Kalaupun ini sebuah pertanyaan, tanpa aku jawab pun, pasti beliau sudah tahu jawabannya.”
“Susah benar ya, jadi orang cantik!”
Citra terkekeh tanpa suara melihat sikap Salma.
“Aku jadi ingat kalimat Firdaus tempo hari,” lanjut Salma.
Citra tidak menanggapi.
“Memang benar kalimat Firdaus. Kamu jangan berani datang, di hadapan Citra Humairah, apalagi datang menyatakan cinta. Jika kamu belum yakin, kamu telah memiliki segalanya sebagai seorang pria.”
“Sal, kamu terlalu berlebihan, sudah!”
“Bukan aku yang ngomong lho. Firdaus! Ketua tingkat kita, yang jelas-jelas cerdas, kaya dan saleh. Dia saja tidak percaya diri, berharap sama kamu. Bagaimana yang lain?”
“Apalah gunanya penilaian dari manusia Sal, jika di hadapan Allah, nilai kita minus!”
“Ya, aku memang semakin merasa tidak ada apa-apanya dibanding kamu Citra. Kamu sempurna, perfecto!”
“Astagfirullah. Ya Allah, ampuni aku!”
“Kok, minta ampun?” tanya Salma, terkesiap dengan kalimat Citra.
“Aku memohon ampun, karena setiap pujian-mu bisa menjadi bibit kesombongan dalam diriku Sal. Dan sifat sombong, salah satu sifat yang paling di benci oleh Allah.”
“Astagfirullah. Kamu sempurna!” lanjut Salma.
Citra menghela napas.
“Astagfirullah, aku melamun terlalu jauh. Ya Allah ampuni aku. Izinkan aku melepas semuanya, jika semua hanya menjadi masa lalu.” Citra terbangun dari lamunan panjangnya, setelah Mbak Siti mengetuk pintu kamar.Dia membawa dokumen Citra yang tertinggal di ruang tamu.
“Terima kasih, Mbak.”
Mbak Siti berlalu, meninggalkan kamar Citra.
***
Pagi ini, Aara dan Citra masuk di jam pertama.
“Cit, aku balik duluan ya?” ucap Aara setelah bertemu Citra di ruangan dosen. “Kamu mau ke mana?”
“Ibu mau diantar ke rumah tante Dewi.”
“Oh iya. Kamu enggak punya jadwal lagi?”
“Hari ini cuma jam pertama saja. Jadwal siang nanti, dipindahkan besok.”
“Oke, hati-hati ya.”
“Oke. Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” jawab Citra.
Citra melirik jam dinding yang terpajang tepat di depan meja kerjanya, pukul sepuluh pagi.
“Astagfirullah.” Citra terkesiap, ponselnya tiba-tiba berdering. “Assalamu’alaykum,” ucapnya menerima panggilan.
“Wa’alaykumussalam, Cit?”
“Iya, Kak.”
“Kamu di mana?”
“Di kampus!”
“Aku ada di kantin kampus. Bisa bertemu sekarang?”
Kembali, Citra kaget. Ada Rahmat yang ingin menemuinya.
“Baik Kak!”
Ponsel dimatikan. Citra menghela napas. Dia sudah tahu, maksud kedatangan Rahmat pagi ini menemuinya.
Dia bergegas menuju kantin, dengan sebagian dari dirinya. Dia tidak sepenuh hati, menemui Rahmat. Dia tidak ingin memberi harapan, dan tidak ingin menyakiti hati pria itu.
“Hen, ibu Citra!” ujar Fiki, melihat Citra melintas di hadapannya.“Iya. Kok beliau buru-buru banget? Ini kan arah ke kantin!”
“Mau cari tahu?”
“Ayo!” ajak Hendri.
Mereka berdua menuju kantin, mengikuti langkah Citra.
“Assalamu’alaykum, Kak,” sapa Citra. “Wa’alaykumussalam,” sahut Rahmat, ramah.
“Sudah lama, Kak?”
“Belum sih. Sekitar dua jam!”
“Ha? Dua jam? Itu lama banget Kak!”
“Mana lebih lama, menunggu kamu tiga tahun?”
Citra salah tingkah. “Tunggu Cit!”
“Ada apa Kak?”
“Kok, ada yang beda sama kamu?”
“Beda apa Kak?”
“Kamu tambah cantik hari ini!” senyuman Rahmat merekah.
Citra tertunduk.
***
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Fiki dan Hendri tampak memerhatikan keakraban Citra dan Rahmat.
“Ibu Citra dengan siapa tuh?” tanya Fiki.
“Enggak tahu, Fik. Aku juga baru melihat pria itu,” jawab Hendri.
“Ehm. Tambah terjal perjalanan kamu Hen!”
“Maksud kamu?”
“Kamu lihat saja. Kamu belum bisa bersaing dengan Pak Restu. Kini ada pria lain yang mendekati Ibu Citra. Tampak dari penampilannya, pasti pria mapan. Jangan-jangan dia calon suami Ibu Citra!”
Hendri tidak menjawab.
Fiki tertawa melihat perubahan sikap Hendri. “Hen, kita realistis saja, ya?”
Hendri mengatur napas.
“Iya Fik. Aku jadi lebih sadar, aku harus fokus ke masa depanku dulu. Memantaskan diriku, dengan wanita sesempurna Ibu Citra.”
“Begitu dong. Aku sangat mendukung, Hen. InsyaaAllah, yang terbaik akan bersanding dengan yang terbaik.”
“Amin. Ayo kembali ke kelas!” ajak Hendri.
“Yakin?”
“Iya, ayo!” Keduanya berlalu, kembali ke kelas.
***
“Semalam aku ke rumah, bertemu mama dan papa,” lanjut Rahmat.
“Iya, Kak. Mama sudah cerita.”
“Jadi, bagaimana?”
Citra kembali salah tingkah. “Apanya Kak?”
“Jawaban kamu!”
“Untuk saat ini, masih sama Kak!”
“Aku menunggu dua jam saja, kamu sudah kasihan. Ini, aku sudah menunggu tiga tahun, kok kamu tidak kasihan?”
Citra kehilangan kata.
“Apa memang, kamu tidak menyukai Kak Rahmat?” sambung Rahmat.
“Tidak seperti itu Kak!”
“Jadi, kamu sebenarnya juga menyukai Kak Rahmat?”
Ya Allah, aku serba salah! Batin Citra.
“Kalau begitu, mau tunggu apa lagi?”
“Citra belum siap saja, Kak!”
“Belum siap apanya sih Cit? Kamu bilang, setelah sarjana. Aku menunggu! Kamu bilang lagi setelah wisuda master, aku juga menunggu! Apa kamu tidak kasihan pada Kak Rahmat? Oke. Kalau kamu bilang, belum siap, jadi siapnya kapan? Kak Rahmat siap menunggu, sampai saat itu tiba!”
Ya Rabb, berikanlah aku petunjuk-Mu. Jika dia adalah jodoh yang Engkau pilihkan untuk hamba, tolong berikan petanda itu. Aku tidak ingin memberikan harapan, jika akhirnya dia bukan menjadi takdir hamba.
“Kak, Citra baru setahun mengabdi. Citra merasa, masih ingin mengabdi dulu di kampus, sebelum sepenuhnya mengabdi kepada suami.”
“Kalau itu, kamu tidak perlu khawatir. Kak Rahmat tidak masalah dengan semua kesibukan kamu. Kak Rahmat sudah memilih kamu. Berarti Kak Rahmat sudah menerima semua hal tentang kamu, Cit. Kesibukan di kampus, bukan masalah untuk Kak Rahmat. Kak Rahmat hanya butuh teman sehidup dan sesurga. Bukan seseorang yang mengurus rumah!”
Kamu terlalu baik Kak. Tapi, aku belum bisa membuka hatiku. Aku masih butuh waktu! Aku telanjur mengucap satu nama di hadapan-Nya.
“Iya Kak. Citra sangat menghargai perasaan dan perjuangan Kak Rahmat selama ini. Tapi akan lebih baik kan, Kak, jika sebuah pernikahan di mulai, dengan kesiapan yang sama baik-nya?”
“Iya, Kak Rahmat setuju. Oke kalau begitu, kita kembali ke pertanyaan Kak Rahmat tadi, Citra siapnya kapan?”
Citra kembali tersudut. Dia semakin terjebak dan tidak lagi bisa mencari alasan.
“Citra butuh waktu setahun lagi, Kak!”
“Oke. Kak Rahmat siap menunggu satu tahun lagi!”
Ya Allah. Kamu mengapa seperti ini Kak?
“Cit, Kak Rahmat pamit ya. Mau balik ke kantor!”
“Iya, Kak.”
“Tapi sebelum itu, Kak Rahmat mau kasih ini.”
Rahmat mengambil sebuah kado kecil, terbungkus kertas bergambar love, dari dalam paper bag, yang sedari tadi tersimpan di kursi, di sampingnya.
Citra tersenyum.
“Ini apa Kak?”
“Nanti kamu buka saja. Semoga kamu suka ya?
“Kak Rahmat pamit! Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” jawab Citra. Rahmat berlalu dari hadapan Citra.
Ya Allah, semoga aku tidak melukai harapan, yang Kak Rahmat telah jaga selama ini. Dia pria yang baik dan sangat setia Ya Allah. Aku mohon berikanlah petunjuk-Mu.
Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat.
Cokelat?
Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya.
Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat.
Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat. Cokelat? Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya. Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat. “Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!” Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!” “Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya. “Serius?” “Iya!” Salma dengan penuh semangat, membuka kotak bersampul merah muda itu. “Cokelat!” ujar Salma, tercengang. “Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?” “Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?” Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa Sal?”
“Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?” “Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!” “Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?” “Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!” “Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!” “Iya, aku tahu!” “Jadi, setelah setahun?” “InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!” “Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?” “Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik. “Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!” “Sal, jangan buat aku malah semakin meragu!” “Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang y
Meninggalkan Warung Soto, mereka langsung ke rumah Citra. Tidak lama, mereka meneruskan perjalanan ke rumah Aara. “Ira, ibu enggak pulang malam ini. Kamu boleh langsung istirahat!” ucap Aara pada Ira, sesaat tiba di dalam rumah. “Baik, Mbak.” Ira kembali ke kamar. Aara dan Citra, menuju kamar. “Ra, kita salat isya berjamaah?” tanya Citra. “Iya Cit. Tapi kamu mau menunggu sekitar sepuluh menit?” “Memangnya kamu mau ke mana?” “Enggak. Aku mau menyeterika mukena dulu!” “Harus di setrika?” tanya Citra, heran. “Nanti aku jelaskan!” Aara berlalu, membawa dua mukena di tangannya. Citra masih diam dan berpikir tentang maksud ucapan Aara. Dia membuka almari mencari handuk, yang sudah ditunjukkan oleh Aara. Citra kembali terkejut, melihat isi almari Aara, hanya berisi beberapa pakaian yang di lipat. Beberapa pakaian di gantung. Sangat jauh berbeda dengan almari pakaiannya, yang penuh sesak. Malam i
Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban. “Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.” “Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!” “Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.” “Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!” Aara tersenyum. “Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?” “Ra, kita kan juga h
Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen. “Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini!” ucap Aara, kecewa. “Memangnya ada apa?” “Alasannya, tugasnya terlalu sulit! Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!” Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu!” “Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” . “Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.” “Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya
Dalam perjalanan pulang, Aara dan Citra mencipta hening. Aara sekali-kali menoleh ke arah Citra, namun dilihatnya, sahabatnya itu masih terlihat sangat sedih. “Cit….” “Iya,” jawab Citra, pelan. “Aku mau bertanya, aku masih bingung!” “Iya.” “Kamu dulu pernah cerita tentang kakak senior kamu, yang kamu sebut kak Man. Tapi, tadi Hendri sebut abangnya itu Fajar?” “Kak Man itu, Fajar Bimantara!” “Oh gitu.” Aara mengangguk. “Dulu, saat kuliah, kak Man itu sedikit nakal, jarang masuk kuliah. Makanya teman-temannya memanggil kak Man. Kata mereka, nama Fajar, enggak cocok dengan perilakunya saat itu. Jadi kami, juniornya, ikut mengenal beliau sebagai kak Man,” jawab Citra, yang terlihat sudah lebih baik. “Kita singgah di soto Mas Tomo? Kamu mau?” pinta Aara. “Boleh.” Suasana kembali senyap. Citra terus menatap lurus ke depan. Dia tampak terus berpikir, matanya bahkan tak berkedip. Melamun. “Cit, k
Hendri begitu tersentuh dengan ucapan Kei. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka, abangnya, begitu sangat menyayanginya. “Abang Fajar sadar, dibanding dengan kehidupan Citra, mereka ibarat langit dan bumi. Yang tidak akan pernah bisa menyatu.” “Jadi, tadi kedatangan ibu Citra, ada keperluan apa Bang?” tanya Fiki, kembali. “Hari ini pertama kalinya, sejak lima tahun yang lalu, setelah abang Fajar pergi tanpa pesan. Mereka baru bertemu kembali.” “Apakah karena alasan abang Fajar, ibu Citra masih menutup diri dengan semua pria yang mendekatinya, Bang? Demikian pula dengan abang Fajar?” “Ehm, mungkin seperti itu!” jawab Kei, tanpa kepastian. “Tangisan ibu Citra itu jelas menyimpan banyak makna Bang. Mata sendu abang Fajar pun sama. Fiki merasa, masih ada cinta di antara keduanya.” Kei menghela napas dan mengembuskannya. “Kalau itu, Abang Kei, tidak bisa memberi kesimpulan!” Senyap. Fiki menghadap
Hari ini, seperti biasa, Aara dan Citra, sama-sama memiliki kelas di jam pertama. Sejak pukul tujuh, mereka sudah kelihatan berada di kampus. “Ra?” sapa Citra. “Iya Neng, ada apa?” “Gimana semalam?” Aara terkekeh, tiba-tiba. “Kok malah tertawa?” tanya Citra, heran. “Cit, ini masih pagi. Bisa enggak, kita bahas yang lain, yang lebih segar?” Citra cemberut. “Oke, oke. Ehm, luar biasa, cinta bisa mengalahkan segalanya!” ujar Aara, terus mengusik sahabatnya itu. Citra masih terdiam. “Aku sudah bertemu Kak Fajar semalam.” “Serius?” tanya Citra, dengan ekspresi wajah, berubah cerah, sumringah. Aara tercengang, dia menggelangkan kepala. “Sabar, sabar. Kamu kok jadi begini sih Cit? Bukan banget, Citra Humairah!” “Ra,” tutur Citra, memelas. “Oke, aku paham. Aku janji enggak akan membahas ini lagi.” Citra tersenyum, bahagia. “Tunggu ya, aku ingat kembali percakapanku d