Lelaki Pilihan Surga

Lelaki Pilihan Surga

By:  Jane Lestari   Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
36Chapters
829views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

#ceritapositif Bercerita tentang seorang Keenan Ramadhan (30 tahun) yang masih membangun karier dan tidak percaya pada cinta. Pertemuannya dengan Aara Malaika (28 tahun) seorang dosen muda nan memesona, ternyata mampu membuat Keenan berpikir lagi, pandangannya soal cinta. Jatuh hati pada Aara yang sangat menjaga diri, karier yang cemerlang, namun trauma pada pernikahan, menjadi ujian berat dalam perjuangan seorang Keenan. Aara memberikan 2 syarat berat untuk menerima proposal taaruf seorang Keenan. Syarat yang sangat jelas bukan diri seorang Keenan Ramadhan. Namun, memang benar cinta bisa mengalahkan badai sebesar apa pun.

View More
Lelaki Pilihan Surga Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
36 Chapters
Bab 1
Dia masih menyajikan wajah sinis tak setuju. Tidak ada yang pernah bisa menentang ucapannya, pendapatnya. “Jujur Cit. Kadang aku berpikir, kok banyak orang yang begitu menyederhanakan pernikahan? Begitu menyederhanakan proses pengenalan, taaruf katanya. Sampai banyak yang larut, banyak yang tiba-tiba pengen nikah. Sesederhana itukah pernikahan? Aku juga seorang yang mendukung pernikahan tanpa pacaran! Tapi pernikahan dengan perkenalan yang sangat singkat, juga tidak bisa aku terima. Tidak mudah, bagi kami yang sudah kenyang dengan kegagalan!” ucapnya penuh emosi. “Ya, semua bisa terjadi! Karena kata mereka, banyak yang berbahagia hanya dengan taaruf singkat! Ya, bagi mereka yang punya takdir baik!” lanjutnya, masih dengan wajah sinis. Dia mengambil jeda, dan melanjutkan, “Kami, yang sudah berkali-kali jatuh, terluka parah, apakah tetap akan terus berlari kencang? Jelas, tidak bisa lagi! Kami sudah pincang! Jelas, kini kami hanya bisa jalan pelahan, merawat luka, dan berharap kemat
Read more
Bab 2
Fiki kembali menghela napas dan mengubah posisi duduk. Pertanyaan Hendri seperti soal ujian yang membutuhkan kesiapan untuk menjawabnya. “Kamu masih lebih beruntung dibanding aku, Hen. Kamu masih dapat kalimat lembut dari Ibu Citra. Sedang aku, oh my god. Aku bahkan begitu trauma menatap mata Ibu Aara.” Giliran Hendri, tertawa. “Ya, salah kamu sendiri. Kok sukanya pada wanita bertipe Ibu Aara. Di dalam kelas saja, dia begitu dingin dan menyeramkan. Kamu malah bawa perasaan. Gila kamu!” Fiki tersenyum. “Hen, hati tidak pernah bisa memilih, dia akan terpaut kepada siapa. Memang Ibu Aara sangat berbeda dengan Ibu Citra. Tapi, aku merasa, justru disitulah pesonanya. Aku penasaran, pria seperti apa, yang bisa menaklukkan hati beliau,” tutur Fiki, lembut. Topik tentang Aara, seketika menghipnotis dirinya. Hendri menggelengkan kepala. “Kamu itu cari masalah sendiri. Ada Firda yang selama ini ngejar-ngejar kamu, dicuekin. Malah mau mengejar singa, yang siap menerkam kapan saja.” “Iya
Read more
Bab 3
“Abang Kei itu, jangan ditanya tentang cinta. Dia mana tahu, artinya jatuh cinta,” lanjut Fajar, dengan sorot mata masih ke arah Kei. “Jadi abang Kei, belum pernah jatuh cinta?” tanya Fiki. “Bisa dibilang seperti itu!” jawab Fajar. “Aku enggak percaya saja Bang. Abang itu kece parah, pintar, tetapi enggak pernah jatuh cinta? Hidupnya sepi amat dong!” tutur Hendri. Ketiganya kembali tertawa, mengejek Kei. “Kalian tuh, kayak enggak punya kerjaan lain ya? Ha, membahas sesuatu yang enggak penting sama sekali,” sahut Kei, kesal. “Dulu waktu kuliah, sebenarnya dia pernah dekat dengan seseorang. Tapi hanya bertahan satu bulan,” ujar Fajar. “Ha? Satu bulan? Memang ada apa Bang?” sahut Fiki. “Abang kalian itu kan, orangnya cuek banget. Dingin banget sama cewek. Mana ada cewek yang mau bertahan lama sama dia?” Fajar menjelaskan. Fiki dan Hendri saling bertatapan. “Apa yang kamu pikirkan, pasti sama dengan yang aku pikirkan!” tebak Fiki. “Kalian berdua kenapa? Kok malah saling lihat-l
Read more
Bab 4
Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan. “Banyak banget makanannya Tante?” tanya Citra. “Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.” Citra tersenyum, dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat. “Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra. “Iya Tante?” “Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?” Mata Aara melotot. Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. “Memangnya kenapa Tante?” “Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.” Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara. “Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya, yang jual mahal.” Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka. “Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab, yang cocok dengan Aara.” “Siap,
Read more
Bab 5
Pikiran Citra kembali mengalunkan rindu. Rindu pada pertemuan dengan dia, beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang selalu memanggilnya Cantik. Citra tersenyum. Ada kebahagiaan yang nyata, tergambar di sana. “Adik namanya siapa?” kalimat pertama yang dia ucapkan, saat itu. “Citra, Kak.” “Siapa? Cantik?” Citra mengerutkan dahi. “Citra, Kak!” ujar Citra, memperjelas. “Kalau aku mau panggil kamu Cantik, boleh, kan?” Citra salah tingkah. Sebagai anak baru, dia merasa kurang nyaman dengan sikap seniornya itu. “Adik Cantik di jurusan Ekonomi, ya?” “Iya, Kak.” Sejak awal pertemuan itu, setiap bertemu dengan Citra, pria itu selalu memanggilnya Cantik. Panggilan yang kadang membuat Citra merasa risih dan terganggu. Karena setiap teman-temannya mendengar panggilan itu, dia selalu diejek dan dijodohkan dengan seniornya itu. “Cit, aku yakin kakak senior itu, suka sama kamu!” “Kamu enggak usah nambah-nambahin deh, Sal. Cukuplah aku merasa kurang nyaman dengan panggilan itu. Kamu jangan mem
Read more
Bab 6
Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat. Cokelat? Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya. Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat. “Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!” Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!” “Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya. “Serius?” “Iya!” Salma dengan penuh semangat, membuka kotak bersampul merah muda itu. “Cokelat!” ujar Salma, tercengang. “Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?” “Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?” Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa Sal?”
Read more
Bab 7
“Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?” “Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!” “Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?” “Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!” “Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!” “Iya, aku tahu!” “Jadi, setelah setahun?” “InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!” “Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?” “Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik. “Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!” “Sal, jangan buat aku malah semakin meragu!” “Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang y
Read more
Bab 8
Meninggalkan Warung Soto, mereka langsung ke rumah Citra. Tidak lama, mereka meneruskan perjalanan ke rumah Aara. “Ira, ibu enggak pulang malam ini. Kamu boleh langsung istirahat!” ucap Aara pada Ira, sesaat tiba di dalam rumah. “Baik, Mbak.” Ira kembali ke kamar. Aara dan Citra, menuju kamar. “Ra, kita salat isya berjamaah?” tanya Citra. “Iya Cit. Tapi kamu mau menunggu sekitar sepuluh menit?” “Memangnya kamu mau ke mana?” “Enggak. Aku mau menyeterika mukena dulu!” “Harus di setrika?” tanya Citra, heran. “Nanti aku jelaskan!” Aara berlalu, membawa dua mukena di tangannya. Citra masih diam dan berpikir tentang maksud ucapan Aara. Dia membuka almari mencari handuk, yang sudah ditunjukkan oleh Aara. Citra kembali terkejut, melihat isi almari Aara, hanya berisi beberapa pakaian yang di lipat. Beberapa pakaian di gantung. Sangat jauh berbeda dengan almari pakaiannya, yang penuh sesak. Malam i
Read more
Bab 9
Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban. “Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.” “Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!” “Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.” “Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!” Aara tersenyum. “Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?” “Ra, kita kan juga h
Read more
Bab 10
Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen. “Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini!” ucap Aara, kecewa. “Memangnya ada apa?” “Alasannya, tugasnya terlalu sulit! Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!” Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu!” “Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” . “Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.” “Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya
Read more
DMCA.com Protection Status