Share

Bab 4

Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan.

“Banyak banget makanannya Tante?” tanya Citra.

“Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.”

Citra tersenyum, dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat.

“Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra.

“Iya Tante?”

“Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?”

Mata Aara melotot. Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.

“Memangnya kenapa Tante?”

“Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.”

Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara.

“Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya, yang jual mahal.”

Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka.

“Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab, yang cocok dengan Aara.”

“Siap, Tante!” jawab Citra, penuh semangat.

Aara menggelengkan kepala dan terdiam. Ibunya meninggalkan meja makan, menuju dapur.

“Kamu kenapa?” ujar Aara, sebal dengan sikap Citra. Citra tertawa. “Kamu yang kenapa?” tanya Citra kembali.

“Kenapa kamu malah bersikap seperti itu, menanggapi ucapan ibu?”

“Ra, kamu kenapa sih, emosi terus?”

“Aku enggak suka Cit, enggak suka!”

Citra menghela napas. “Oke, sebentar kita bahas ini, setelah makan!”

“Oke!” sahut Aara, setuju.

Suasana berlanjut hening.

Tidak lama, Citra dan Aara menyelesaikan makan malam mereka.

“Bu, aku dan Citra ke kamar ya?” pinta Aara. “Iya Nak,” jawab ibundanya.

Aara menarik tangan Citra menuju kamarnya.

“Aara, kamu kenapa sih? Aku curiga, kamu sebenarnya bukan umur dua puluh tujuh tahun. Tetapi, tujuh puluh dua tahun!” ujar Citra, sebal.

“Sudah deh!”

“Aara Malaika, kamu kenapa? Sekarang waktunya ngomong!” lanjut Citra.

Aara mengatur napas. “Kamu tahu kan, aku paling enggak suka, kamu meladeni ucapan ibu masalah itu!”

“Tentang apa? Langsung saja deh!” ujar Citra.

“Kamu enggak usah pura-pura tidak tahu! Paling suka menggoda aku masalah begini!”

“Aara. Enggak semua harus dihadapi dengan emosi, kan? Santai saja! Ibu juga kan, cuma nanya doang?”

“Tapi kalau kamu kasih tanggapan seperti itu, ibu nanti malah semakin berharap!”

Citra tertawa. “Aara, sikap ibu, wajar. Dia kan juga ingin melihat anaknya seperti wanita-wanita di luar sana.”

“Tapi aku berbeda Cit, beda!”

“Oke, oke. Aku enggak mau berdebat! Aku tambah capai, ladeni kamu masalah begini!”

Ekspresi wajah Aara berubah. “Aku sedih saja Cit. Kamu, ibu, lebih-lebih orang di luar sana, tidak ada satu pun yang paham kondisi hatiku.”

Citra terdiam.

“Aku selalu jujur padamu Cit. Aku selalu jujur, tentang apapun. Apa yang aku suka, apa yang aku benci. Jadi ketika aku mengatakan sesuatu tidak aku sukai, berarti hal itu sangat menyakitkan bagiku, Citra! Ataukah hanya aku yang punya perasaan? Hanya aku yang merasakan sedih, berduka, atas semua kejadian yang silih berganti hadir di keluarga kami?”

“Ra—“

“Aku heran saja. Ibu seakan lupa, apa yang selalu kuucapkan padanya, saat dia menyinggung tentang pernikahan. Kamu pun sama!”

“Aara, tidak seperti itu….” Citra kehabisan kata.

“Aku juga tidak tahu, sampai kapan aku seperti ini. Kenyataan yang hadir selama ini, terasa cukup membuatku yakin, memilih sendiri!”

“Ra, kamu meragukan kuasa Allah?”

“Aku hanya meyakini apa yang kini nyata di hadapanku, Cit. Bisa kan, aku fokus ke hal-hal yang pasti?”

“Bukankah Allah selalu sesuai dengan prasangka hamba-Nya? Kita sudah belajar tentang itu kan, Ra?”

“Iya, aku tahu! Tapi untuk hal ini, maaf Cit, aku tidak lagi punya harapan!”

Citra kembali menghela napas. Dia selalu kehabisan cara, menghadapi argumen Aara tentang pernikahan.

“Kamu ingat kan, semua cerita keluarga kami. Kegagalan menjadi satu kata yang tidak ingin lagi kudengar. Dan cara untuk menghindari itu, adalah tidak mencoba!”

“Kalau kamu berpikir seperti itu, apakah itu tidak berarti, kamu menganggap Allah tidak Pengasih dan Penyayang?”

Aara menarik napas.

“Bukan itu maksudku, Citra!” sanggah Aara.

“Bukan bagaimana? Kamu tuh, aku bingung! Jelas-jelas kamu meragukan kasih sayang Allah, jika kamu terus saja berpikir buruk atas kehidupan ini!”

 “Oke, aku akan kembali mengingatkanmu, semua alasan, mengapa aku seperti ini!”

Citra terpaku.

“Pertama, aku, Aara Malaika! Aku lahir dari sebuah hubungan yang terlarang. Orang yang disebut ayah kandungku, menikahi ibuku, saat dia sudah punya istri dan anak! Pertanyaannya, siapa yang berengsek?”

Citra memegang kepala, tidak ada kalimat yang terucap darinya.

“Setelah aku lahir, dia pergi begitu saja! Pertanyaannya lagi, siapa yang berengsek?”

Citra semakin bingung.

“Kedua, adik ibuku. Tante Serli, cerai dengan dua orang anak. Selama dua puluh tahun, dia berjuang sendiri memberikan nafkah ke kedua anaknya. Mantan suaminya, ke mana? Siapa yang berengsek?”

Astagfirullah, Citra semakin tersudut.

“Ketiga, masih adik ibuku. Tante Yasmin, masih bersama suaminya, tetapi menderita. Heran aku! Kok keluarga kami sama sekali tidak punya takdir yang baik, mendapatkan menantu pria yang sedikit lebih baik!”

“Ra…, cukup! InsyaaAllah akan ada waktunya, semua akan jauh lebih baik.”

Aara kembali tersenyum sinis.

“Aku tidak pernah meragukan kekuasaan Allah, Cit. Tapi, untuk ini, aku benar-benar tidak punya harapan. Aku lelah melihat mereka, yang menjadi bagian diriku, terpuruk, bertanggung jawab atas takdir yang tidak bersahabat. Aku kasihan! Mereka wanita-wanita hebat, baik, tetapi masih saja, ditakdirkan bertemu dengan pria yang, haa… .”

Aara menghela napas.

“Kita kan selalu percaya, Ra, bahwa akan ada kebahagiaan disela takdir yang penuh duka dan air mata?” Citra mencoba bijak.

“Jujur, aku sudah kehilangan harapan itu. Mau bagaimana lagi, sehingga kami pantas mendapatkan takdir yang lebih baik?”

Citra kini benar-benar kehilangan kata. Dia menyerah! Aara pun tak mengucapkan sepatah kata lagi.

Citra melihat jam. “Ra, aku balik ya? Sudah jam delapan.”

“Enggak menginap sekalian?”

“Lain kali saja. Aku belum izin soalnya ke mama. Takutnya nanti beliau khawatir.”

“Iya, siapa yang enggak khawatir? Kalau gadis paling cantiknya, enggak pulang ke rumah.”

“Sudah, cukup gombalnya! Makasih ya. Aku minta maaf, jika hari ini aku banyak membuatmu enggak nyaman, Putri Aara,” ucap Citra, memeluk Aara.

“Siap, Putri Citra. Terima kasih sudah selalu hadir, menerima segala jenis persoalanku.”

Citra diikuti Aara menemui ibunda Aara.

Aara mengantar Citra sampai di halaman.  “Hati-hati ya. Salam buat mama.”

“Siap disampaikan!”

Pelukan Citra, mengakhiri kebersamaan keduanya hari ini. “Assalamu’alaykum,” ucap Citra. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara.

Sepanjang perjalanan, Citra teringat dengan pembicaraannya dengan Aara.

Aku maklum dengan sikapmu Ra. Aku bahkan tidak punya kalimat, yang bisa mewakili, beratnya kehidupan di keluargamu. Jika ada kalimat-kalimat semangat yang aku berikan, itu hanya bagian usahaku, untuk bisa melihatmu tetap tersenyum. Memang berat, namun jika senyumanmu pun hilang, kehidupan akan semakin berat, gumam Citra.

Citra menarik napas panjang. Dia kadang sulit menempatkan diri saat berhadapan dengan Aara. Dia selalu menghadapi tembok kokoh saat membahas tentang pernikahan. Sahabatnya itu, benar-benar menutup pintu untuk cinta.

Setelah melalui beberapa ruas jalanan, yang tampak ramai, Citra sampai di kediamannya. Tampak sang mama, menunggunya di ruang tamu.

“Assalamu’alaykum,” ujar Citra, memasuki kediamannya.

“Wa’alaykumussalam, alhamdulillah anak Mama sudah tiba di rumah,” sambut mama Citra, memeluk sang buah hati.

“Ada tamu ya, Ma?” tanya Citra, setelah melihat beberapa gelas minuman, masih terparkir di meja ruang tamu.

“Iya, tadi Rahmat datang bersama mama-nya.”

Citra menghela napas. Dia sudah sangat paham, jika mendengar nama itu.

“Nak, kamu bisa duduk dulu, Mama mau bicara!” pinta mama. “Kamu sudah pulang Nak?” tanya papa Citra yang keluar dari kamar.

“Iya Pa,” jawab Citra, seraya mencium tangan papa-nya.

“Ini Pa, Mama mau bicara dengan Citra, tentang kedatangan Rahmat dan mama-nya tadi,” sambung mama Citra.

“Iya Ma. Mama yang bicara saja, dengan anak kesayangan mama ini.” Pria itu pun duduk tidak jauh dari Citra.

Citra semakin kurang nyaman. Pembicaraan kedua orang tuanya jelas mengarah pada hal yang tidak diharapkannya.

“Nak, Rahmat itu sudah dua kali datang. Tapi kamu belum juga memberi jawaban.” Mama Citra memulai.

“Ma, Citra kan sudah pernah kasih jawaban?”

“Tapi jawaban kamu itu, tidak bisa Mama dan Papa terima.”

“Ma, saat ini Citra belum siap berumah tangga. Citra masih mau menemani Mama dan Papa!”

“Nak, kamu sudah dua puluh tujuh tahun bulan depan. Mama dan Papa anggap, ini sudah waktunya, kamu fokus ke masa depan kamu sendiri.”

“Ma, masa depan Citra bukan hanya menikah, kan?”

Mama dan Papa-nya saling berpandangan. Mereka tersenyum. Citra selalu saja memberikan jawaban, yang sangat sulit direspons kedua orang tuanya.

“Citra, Citra. Kamu selalu saja punya jawaban, kalau Mama membahas masalah Rahmat.”

“Mama dan Papa kan sudah paham, pernikahan harus dipersiapkan dengan sempurna. Karena Citra hanya ingin menikah sekali seumur hidup, dengan seseorang yang Citra cintai.”

“Tapi jangan terlalu lama ya, Nak. Mama dan Papa berharap, kamu bisa segera membawa seseorang yang kamu cintai, ke rumah ini,” pinta Mama.

“InsyaaAllah, Ma. Citra hanya butuh doa Mama dan Papa. Itu sudah cukup.”

“Pasti Nak. Mama dan Papa selalu mendoakan kamu, setiap saat.”

“Ma, Pa, Citra ke kamar ya?”

Citra berlalu, meninggalkan kedua orang tuanya, yang masih duduk di ruang tamu.

“Pa, itu anak kita. Sampai kapan dia membuat kita menunggu seperti ini?”

“Sabar, Ma. Papa merasa, Citra itu mencintai seseorang. Tapi, dia masih memendamnya. Dan itu bukan Rahmat.”

“Kasihan Rahmat, Pa. Dia sudah menunggu Citra, tiga tahun. Sudah datang ke sini dua kali. Tapi, Citra masih saja, menutup hati.”

“Ma, cinta tidak bisa dipaksakan. Kita hanya ingin anak kita bahagia. Jadi, biarlah semua keputusan, kembali pada Citra.”

“Baik Pa. Seperti Papa, Mama hanya berharap, Citra memilih seseorang yang terbaik, untuk masa depannya.”

“Amin.”

Papa dan mama Citra mengakhiri percakapan di ruang tamu. Mbak Siti, membersihkan gelas, beserta makanan dan minuman yang tersisa di ruang tamu.

***

Di dalam kamar, Citra masih termenung di teras, kamarnya. Kegigihan Rahmat sedikit mengganggu pikirannya.

“Cit, aku benar-benar ingin, kamu jadi wanita di masa depanku,” kalimat Rahmat, yang selalu dia ucapkan, berulang kali.

“Kak Rahmat, saat ini, baiknya fokus dulu menyelesaikan kuliah, sedikit lagi kan, Kak?”

“Iya, satu semester lagi. Tapi, aku takut, kamu akan diambil orang lain.”

“Memangnya Citra ini, barang?”

“Maaf, bukan itu maksud Kak Rahmat.”

“Jadi?”

“Kak Rahmat enggak mau, didahului orang lain.”

“Kak, perihal jodoh, hanya Allah yang punya Kuasa.”

“Tapi, ikhtiar, tugas manusia!”

“Iya, tetapi enggak bisa dipaksakan, Kak!”

“Kamu mencari pria seperti apa sih?”

Citra terpaku.

“Kak Rahmat paham agama, rajin ngaji. Orang tua Kak Rahmat, punya segalanya. Kamu minta mahar apapun, Kak Rahmat pasti sediakan. Orang tua kamu dan orang tua Kak Rahmat, sudah kenal dekat.”

“Untuk saat ini, kita fokus menyelesaikan kuliah dulu ya, Kak?”

“Kamu enggak suka sama Kak Rahmat?”

“Bukan itu Kak. Saat ini, Citra hanya ingin fokus menyelesaikan kuliah.”

“Oke. Kalau begitu, setelah wisuda, Kak Rahmat akan langsung menemui orang tua kamu!”

Dialog, yang benar-benar dibuktikan Rahmat.

Dia membuktikan ucapannya, datang menemui orang tua Citra, setelah wisuda sarjana beberapa tahun yang lalu.

Namun, Citra belum menerima, dengan alasan ingin melanjutkan kuliah. Setelah itu, Rahmat lagi-lagi datang, tidak lama setelah Citra wisuda pendidikan magisternya. Tapi, Citra belum memberikan jawaban.

Andaikan saja, aku tidak bertemu dengannya saat itu. Aku sudah menerimamu, Kak Rahmat. Lima tahun berlalu, perasaan ini sungguh tidak mampu kuajak kompromi. Hati ini masih bersama dengan dia. Dia yang entah ke mana.

Citra menatap gelang yang tergantung di laci meja kerjanya.

Kamu ke mana Kak? Mengapa memberiku harapan, jika akhirnya kamu juga akan pergi? Mengapa memberiku rindu, jika harus meninggalkan kepahitan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status