“Kemana kamu Alpan..?”
“Jalanlah Kek..! masa Alpan dirumah terus..!” Dengan bersungut Alpan menjawab pertanyaan Tuan Besar Sudarta.“Apa yang kamu dapat dari perjalananmu selama ini.? Kakek tidak melihat adanya perubahan ke arah positif dari dirimu.”“Aah... Itu karena mata Kakek picek.. Kakek hanya melihat sisi burukku saja.!” Alpan semakin kurang ajar menjawab. Ia menghentakkan kakinya ke lantai.Tuan Besar Sudarta hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menghadapi cucunya yang keras kepala itu.“Ada apa nih pagi-pagi udah ribut..?” Astuti mulai membaur dimeja makan untuk sarapan.“Tau nih Kakek, makin tua makin cerewet..! Selalu saja ada yang salah dimatanya.” “Kenapa sih Pa..? kamu seperti tidak suka pada cucumu sendiri..?!” Astuti mengomel kepada suaminya. Sebagai istri dia bukannya melayani suaminya tapi Astuti selalu sibuk memprotes dan memulai perSaat yang dinantikan banyak orang akhir tiba juga.Pagi itu Mohzan pamit kepada Desma dan ibu Aisyah. Ia sudah siap dengan memakai kemeja putih dan stelan bawah berwarna hitam. Sebuah paduan warna yang terlihat sangat formal.“Ma, Nek... Mohzan jalan dulu. Doain acara berjalan lancar.” Demikian Mohzan meminta restu kepada dua wanita yang dijulukinya malaikat tanpa sayap itu.Entah kenapa hati Desma dan ibu Aisyah terasa tidak tenang. Mereka berdua nampak keberatan melepas kepergian Mohzan.“Ada apa Ma..? kenapa Nek..? Kok Mama dan Nenek nampak sedih gitu.” Mohzan mencium pipi ibunya lalu neneknya juga. Memang begitulah kebiasaannya selalu jika ia mau pergi.“Hati-hati Nak..!” Suara Desma parau. Ia sulit mengungkapkan perasaannya saat itu.Sedangkan ibu Aisyah tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Ia hanya memandangi cucu tersayangnya itu dengan rasa berat hati melepas. Tapi ia tidak tahu apa alasannya begitu berat mel
“Bang.. bee..beer taa taa haanlah.. Ba baa..ng..!”Pedro berusaha menginsut tubuhnya mendekati Mohzan yang terlihat mulai lemah. Ia terlalu banyak kehabisan darah. Pedro menggapai tangan Mohzan dan berusaha memberikan kekuatan walau ia sendiri sudah semakin tak berdaya.“Pedrooo..aa..aaba..abaaang.. su dah.. ttaak kuuu..kuuat lagiii..!” Mohzan menjawab terbata-bata. Nafasnya tersengal.“Tii..tidaak Baang.. Aa..abaang h. Haarus..beer ta.ttahan. Aaabang.. saangaat dibuutuhkan uu..untuk.. mmenyaatukaan raa..raasa peersauadaraan diii..didi neegaarra kiikiitaa..yaaang suu..sudaah muu..mulai puu..puudaaar..!Nafas Pedro makin terengah. Ia tahu bahwa ia tidak sanggup lagi untuk bertahan.Oh..Baapa..di syuurgaaa.. bebee..rriikakanlah..nyaawaaku uuntuk..Baang Moohzaan. Tuuhaaan. Yeesus..baa..baawaalaah aakuu peergiiii..!”Mohzan menggenggam tangan Pedro dengan sisa tenaganya. Tangan itu kini tiada bertenaga lagi. Pedro t
Halaman rumah sakit penuh sesak. Mereka menunggu kedatangan para korban penembakan yang terjadi distudio Patriot televisi sekitar satu jam yang lalu.Lautan kendaraan berderak perlahan menuju tujuan yang sama. Wajah resah dan sedih terlihat dimana-mana. Negeri di selimuti awan penuh duka.Adik-adik Mohzan terus berlari menuju studio. Namun dipertengahan jalan mereka berpapasan dengan rombongan ambulan yang membawa Mohzan dan korban lainnya menuju rumah sakit.Tanpa mengenal lelah serta merta mereka memutar arah mengikuti ambulan-ambulan itu. Mereka terus menangis dan memanggil nama Mohzan.Keringat yang bercucuran tidak sedikitpun mereka indahkan.Tak lama kemudian Mohzan dan korban lainnya sudah sampai dirumah sakit. Para dokter dan tenaga medis lainnya sudah dari tadi menunggu.Begitu para korban datang, mereka langsung memberikan pertolongan. Para korban langsung dibawa menuju ruang operasi.Begitu ruang operasi ditutup, bagian humas rumah sakit
Bab 51.Desma dan Junara mendapat kesempatan untuk masuk ke ruangan isolasi Mohzan. Desma memegang tangan Mohzan yang lemah.“Bangunlah Naak...! Katanya terdengar lirih dan setengah berbisik.Tuan Junara memperhatikan Layar monitor pendeteksi detak jantung atau yang disebut dengan Elektrokardiograf. Grafiknya terus bergerak dilevel yang sangat rendah.“Bertahanlah Mohzan... Bertahanlah demi kami.. berikan Papa waktu untuk bisa hidup bersamamu. Selama ini sudah banyak waktu yang telah terbuang..!” Tuan Junara meratap sedih.Desma mengangkat wajahnya mendengar ratapan Tuan Junara.“Apakah Mas Junara sudah tahu kalau Mohzan adalah anaknya..?” Desma bertanya di dalam hatinya.Selama ini Desma menyembunyikan kenyataan itu dari Tuan Junara agar Naira tidak mencelakai Mohzan. Tapi kini Mohzan telah dicelakai walaupun Desma telah menutup rapat-rapat rahasia itu.“Pasti ini perbuatan Kak Naira, aku harus member
“Mari Pak..!” Sopir pribadi Tuan Junara mempersilahkan Tuannya itu untuk menaiki mobil. Hari itu mereka akan melayat kerumah Pedro dan Mahesa.Tuan Junara segera memasuki kendaraannya dan duduk di jok belakang. Tak banyak yang ia ucapkan dari mulutnya. Hanya kebisuan yang menemani perjalanan mereka menuju kediaman Pedro.Sesampai dikediaman Pedro, Tuan Junara disambut oleh keluarga Pedro. Ramai sekali orang berkumpul disana. Wajah duka terlihat dimana-mana.Dengan langkah tenang namun berat di perasaan, Tuan Junara mendekati peti mati Pedro. Disana Pedro terlihat berbaring dengan tenang dan seulas senyum menghiasi bibirnya. Warna kulitnya yang hitam terlihat manis karena ia memang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur. Pedro memakai jas hitam dengan setangkai bunga putih tersemat didada.Tuan Junara memandangi Pedro, dalam hati ia mengakui betapa manisnya wajah Pedro. Senyumnya yang damai dan ikhlas mengisyaratkan betapa lembut hati yang ia mili
Detak jantung Mohzan semakin lemah. Bahkan nyaris tiada bergerak. Skala di monitor alat pengukur detak jantung membentuk garis semakin lurus. Hanya sedikit saja gelombang yang sekali-kali terlihat.Arya dan Jery serta Dika nampak termenung. Jelas hati mereka sedang dilanda kerisauan.Tiba-tiba..“Arya...!”Ibu Aisyah datang dengan tergopoh-gopoh. Kakinya yang pincang membuat bahunya naik turun.Arya yang tadi sedang duduk segera berdiri dan bergegas mendekati ibu Aisyah dan menyalaminya.“Ada apa Nek..??” Tanya Arya yang juga risau melihat raut wajah ibu Aisyah yang sangat kacau.“Desma menghilang Arya... Nenek sudah mencarinya kemana-mana..!” Ujar ibu Aisyah dengan suara sedikit terbata-bata.“Apa Nek..? Ibu menghilang...?” Arya dan Dika berujar bersamaan.Mereka berdua sudah berdiri didepan ibu Aisyah. Sementara Jery ikut bergabung kemudian.“Nenek takut... Ada orang yang mencelakainya.” Sahut ibu Aisyah lirih.“Siapa Nek..? Siapa yang
“Aryaaa....??” Mata Desma melotot melihat kehadiran Arya yang tiba-tiba. Arya ternyata telah berhasil mengalahkan empat orang anak buah Tuan Satya yang bertugas diluar untuk berjaga-jaga.Arya segera mendekati Desma dan melindunginya dengan menggeser tubuh Desma kebelakang tubuhnya.“Ahhahahahahaaa....”“Tanpa diundang kamu datang anak muda...!! Bukannya kamu yang telah membawa Ramona pergi..?? Hahahhaa... Nyalimu boleh juga..! Tuan Satya memandang sinis kepada Arya.“Baguuus...! Kamu datang kesini dengan suka rela menjemput takdirmu. Hahahaa...!”Tuan Satya terus tertawa senang. Arya memandangnya dengan emosi yang meluap.“Bukan kami yang akan mati Tuan sombong..! Tapi Kauuu...!!” Arya langsung melompat dan menerjang Tuan Satya setelah sebelumnya mendorong tubuh Desma kepinggir.Tendangan keras Arya tepat mengenai dada Tuan Satya. Ia terjengkang ke belakang sampai 3 meter.4 orang an
Naira dan Alpan nampak mengendap-endap memasuki kamar Tuan Besar Sudarta. Naira menarik tangan Alpan agar lebih cepat lagi.Laki-laki tua itu nampak tertidur pulas. Sejenak mereka memperhatikan Tuan Besar Sudarta, lalu Naira memberi kode kepada Alpan untuk memulai aksi mereka.“Kek... Bangun Keek..!!” Alpan membangunkan Tuan Besar Sudarta.Alangkah kagetnya lelaki itu melihat Alpan dan Naira begitu lancang memasuki kamarnya.“Mau apa kalian masuk kesini..?!” Agak tergagap Tuan Besar Sudarta tersentak bangun.Ia berdiri dan memandang marah kepada Alpan yang berdiri dengan sikap tidak sopan.“Mau apa kamu Alpan..?!” Tuan Besar Sudarta membentak cucunya itu.“Mau tanda tangan Kek..!” Seru Alpan tidak kalah keras lalu menghempaskan satu bendel dokumen di meja yang terletak disudut kamar itu.Naira hanya memandangi dengan wajah sinis. Ia memang tidak menyukai ayah mertuanya itu.“Apa ini..?