Ananta mendongak. Mata mereka kembali bertemu di titik yang sama. Tapi hanya sesaat.Ananta tidak berkata apa-apa. Wajahnya datar, tidak menunjukkan keterkejutan apalagi perasaan bersalah. Ia juga tidak merasa perlu menjelaskan apa-apa seolah Andara hanyalah orang asing baginya."Mas, siapa dia?" tanya wanita di sebelah Ananta.Ananta mengedikkan bahu tidak tahu."Tapi dia tahu nama kamu, Mas," ujar wanita itu lagi dengan nada heran.Ananta menoleh sebentar ke arah Andara lalu menjawab dengan satu kalimat yang menghancurkan. "Oh, dia bekas office girl di kantorku."Pandangan Andara berubah nanar. Ucapan itu begitu menghantam hatinya. Bukan hanya karena tidak mengakuinya, tapi juga karena menempatkannya pada posisi paling rendah.Tangannya meremas kertas resep dalam genggaman, mencari kekuatan di sana. Tapi ia menahan semuanya. Andara tidak ingin menangis di depan Ananta. Tidak di depan wanita hamil itu. Tidak di tempat umum seperti ini.Ananta kemudian berbisik di telinga wanita di s
Ananta memarkir mobilnya di sudut parkiran. Cukup jauh untuk terlihat. Tapi cukup dekat untuk mengamati.Ia tidak turun. Hanya diam, membiarkan matanya mengamati ketiganya yang keluar dari mobil.Shankara membuka pintu untuk Calista lalu pindah membukakan pintu untuk Andara.Saat melihat Calista dan perut buncitnya, Ananta berdecih jijik.Ananta memperhatikan itu semua tanpa kedip. Ia menggenggam lingkar setir dengan satu tangan. Urat-uratnya menegang.Ketiga orang di sana semuanya adalah pengkhianat.Pikirannya menggema dalam diam. Ada kekosongan di wajahnya tapi benaknya tidak benar-benar kosong.**Ruang tunggu poli kandungan saat itu cukup ramai. Andara duduk menunggu di sebelah Calista. Shankara ikut menemani keduanya.Ini adalah pengalaman pertama Andara memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit. Selama ini ia hanya berpegang pada hasil testpack."Deg-degan?" tanya Calista pelan.Andara menoleh dan memaksa seulas senyum. "Sedikit."Calista mengusap punggung tangan Andara, menenan
Andara terbangun pagi ini oleh sinar matahari yang menembus melalui sela-sela tirai. Cahaya hangat menari pelan di dinding kamar, seolah sedang membangunkannya secara lembut.Ia membuka matanya perlahan. Mengerjap sekilas untuk beradaptasi dengan cahaya. Tubuhnya terasa berat tapi tidak selemah kemarin. Tangannya turun meraba perutnya. Masih datar dan belum membuncit. Namun demikian ada kehidupan di dalam sana. Dan kehidupan itu, entah bagaimana, menjadi alasan baginya untuk terus bertahan hari demi hari.Beberapa detik kemudian pintu kamar diketuk pelan. Bersama dengan itu terdengar suara."Andara, boleh Kakak masuk?"Itu Calista. Kemarin malam akhirnya Andara tidur sendiri tanpa ditemani kakak iparnya itu. Calista juga sedang hamil. Andara tidak ingin terlalu banyak merepotkannya.Andara duduk di atas kasur, merapikan rambutnya yang berantakan. "Masuk aja, Kak," jawabnya.Pintu kemudian terbuka, memperlihatkan Calista yang membawa nampan. Di atas nampan tersebut ada roti panggang,
Shankara memandangi layar ponselnya. Lima kali panggilan keluar. Dan semuanya tidak dijawab.Shankara menduga, mungkin Ananta sengaja tidak menjawabnya. Ia sangat mengerti alasannya. Masalahnya kali ini bukanlah soal ego lama, melainkan mengenai Andara yang sedang hamil dan pingsan di tempat kerja.Shankara mengirimi iparnya itu pesan.[Ta, Andara pingsan. Sekarang lagi di rumah sakit Sehat Bersama. Lo bisa ke sini?]Shankara menunggu hingga bermenit-menit lamanya, namun jangankan dibalas, dibaca juga tidak.Ia menggertakkan gigi. Satu tarikan napas berat mengisi dadanya."Gimana, Bang?" tanya Andara yang sejak tadi memerhatikan Shankara.Shankara mengesahkan napas. "Nggak dijawab. Abang kirim pesan juga nggak dibaca.""Mungkin Mas Nata lagi sibuk," lirih Andara.Ya, sibuk dengan wanitanya.Shankara memanjang arloji. Sudah lewat jam sebelas malam. Ia tahu Andara seorang CEO dan workaholic. Tapi ini hampir pukul dua belas. Sudah saatnya lelaki itu beristirahat di rumah. "Abang nggak u
Dalam gandengan tangan Marcella, Ananta terpaku melihat pemandangan di hadapannya. Seorang lelaki yang mengenakan pakaian yang Ananta tahu merupakan pakaian seragam petugas bioskop yang sama dengan Andara, membopong tubuh Andara keluar dari lift. Tangan lelaki itu melingkari tubuh istrinya, tubuh yang seharusnya ia jaga.Detik itu dada Ananta berdenyut. Sebuah rasa menyesak di sana. Ia tidak tahu apa namanya. Tapi cukup untuk membuatnya membeku.Seharusnya Ananta menghampiri ketiga orang itu dan menanyakan apa yang terjadi. Nyatanya kaki Ananta melangkah ke arah lain. Untuk apa dia peduli pada Andara? Lagipula sudah ada laki-laki itu.*Setibanya di rumah sakit terdekat Andara langsung ditangani oleh dokter.Tian dan Berlin menanti dengan perasaan harap-harap cemas."Tadi aku udah curiga kalau dia nggak baik-baik aja, tapi dia bilang cuma capek sedikit," kata Berlin menceritakan percakapannya dengan Andara beberapa jam yang lalu."Aku mikirnya juga gitu," balas Tian. "Hari ini Andar
Udara dalam ruang bioskop itu sejuk. Aroma popcorn melekat di udara. Di layar besar di hadapan mereka terpampang adegan romantis yang membuat para penonton larut dalam suasana. Namun, Ananta tidak fokus pada film yang ditayangkan. Dia bahkan tidak peduli bagaimana ceritanya.Marcella bersandar manja di bahu Ananta. Tangannya menggenggam erat jemari lelaki itu. Kemudian saat musik di dalam film mengalun lembut dan kamera di layar menyorot dua pemeran utama yang tengah berciuman, Marcella menengadah menatap Ananta."Happy birthday, Nata," bisiknya.Ananta menoleh. Lalu saat bibir Marcella mendekat, dia tidak dapat menolak.Ciuman itu terjadi begitu saja.Lalu di sela ciuman itu Ananta membuka matanya. Terkejut ketika mendapati Andara sedang berdiri di dekatnya.Di tangan perempuan itu tergenggam dua bungkus popcorn. Tubuhnya kaku. Sepasang matanya memandang pada keduanya.Sorot matanya menusuk. Tidak ada teriakan atau isakan. Hanya luka yang terlihat dari caranya memandang.Ananta menj