Cengkeraman Andara di tali tasnya semakin kuat begitu menyadari tidak ada orang lain di tempat terbatas itu selain mereka berdua. Ia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba Ananta menyusul lalu masuk ke tempat yang sama dengannya. Padahal jika lelaki itu ingin turun bisa menggunakan lift khusus dirinya.
Andara membuang muka, mengalihkan pandangan dari Ananta yang menatapnya. "Kenapa kamu balikin card yang aku kasih?" Suara Ananta akhirnya terdengar. Andara tidak menjawab pertanyaan itu, bersikap seolah-olah tidak mendengarnya. Ananta memutar tubuh. Ia menekan tombol merah di panel kontrol yang membuat lift seketika terhenti. Andara pun kaget. Matanya mengedar ke sekitar. Ia menatap dinding lift, pindah ke langit-langit lalu berhenti di panel. "Kamu tekan apa? Kenapa lift-nya berhenti?" tanya Andara. Ia terpaksa mempertemukan matanya dengan lelaki semena-mena itu. "Aku mau bicara sama kaAndara yang terkejut memundurkan tubuhnya ke belakang. Gerakannya yang cepat membuatnya terjengkang ke lantai. Namun, Andara segera berdiri dan menatap Ananta dengan tatapan waspada. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya ketus. Andara tentu terkejut. Setelah peristiwa besar yang pernah terjadi di antara mereka, tidak ada satu pun alasan yang masuk akal yang membuat Ananta berada di rumahnya. Sebelum Ananta menjawab, Shankara keluar dari kamar dengan wajah mengantuk dan menengahi keduanya. "Kamu dari mana? Dari kemarin Abang tunggu tapi kamu nggak pulang, nggak kasih kabar. Abang nggak bisa tidur dari kemarin." "Maaf, Bang, aku ketiduran," jawab Andara dengan suara pelan. Takut Shankara akan memarahinya. "Ketiduran di mana?" Shankara menaikkan intonasi suaranya. Biasanya pria itu tidak pernah bicara dengan nada tinggi pada Andara. "Di apartemen Ello." Suara Andara semak
Shankara terlihat sedang duduk gelisah di kursi beranda ketika Ananta tiba di sana. Ia langsung berdiri melihat kedatangan Ananta."Mobil lo mana?" tanyanya lantaran tidak melihat kendaraan Ananta."Gue parkir di sebelah."Ada lahan kosong di sebelah rumah Shankara. Di sanalah Ananta meletakkan mobilnya."Barusan gue telepon lagi masih nggak dijawab," lapor Shankara panik."Tenang dulu, Ka, lo nggak perlu sampe sepanik ini.""Gimana gue bisa tenang?!" Suara Shankara langsung meninggi. "Andara adek kandung gue, Ta. Satu-satunya keluarga gue yang tersisa. Dan dia juga masih istri lo.""Mantan," koreksi Ananta."Belum," sangkal Shankara. "Kita sama-sama tahu lo nggak pernah ngucapin kata cerai. Dan apa yang lo lakuin ke dia nggak otomatis bikin kalian bercerai karena kita juga sama-sama tahu."Shankara terdiam setelahnya, merasa tadi sudah terlalu banyak bicara mengungkapkan hal yang tidak perlu diungkit-ungkit."Andara lagi sama pacarnya," ujar Ananta, tidak sedikit pun mau membahas per
Sepuluh menit sudah berlalu dari pukul dua belas malam. Namun, hingga detik ini Andara belum juga pulang. Berulang kali Shankara menelepon dan mengiriminya pesan. Tidak ada respons apa pun dari Andara. Pria itu mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah tegang. Ponsel di tangannya tak henti-henti ia lirik, berharap ada balasan masuk. Namun, yang muncul hanya layar kosong. “Dia ke mana lagi?” gumamnya frustrasi. Shankara berhenti sejenak, menatap pintu rumah yang tertutup rapat. Jantungnya berdebar tidak karuan. Pikiran buruk mulai berdatangan, terutama karena ia tahu Andara bukan tipe yang suka pulang larut tanpa memberi kabar. Ia kembali menekan tombol panggilan. Suara nada sambung terdengar, tapi tetap berakhir tanpa jawaban. Hanya ada dua kemungkinan di kepalanya. Andara benar-benar sibuk hingga tidak sempat mengangkat telepon atau sesuatu benar-benar terjadi padanya. Dan kedua kemu
"Ngelamun mulu dari tadi?" Suara Ello yang terdengar begitu jelas di telinganya membuat Andara sontak tersadar dari lamunannya yang panjang. Ia bahkan sampai lupa kapan mobil berhenti. Pandangannya bergeser ke arah kaca jendela, menyadari kalau mereka sudah berada di parkiran basement apartemen Ello."Udah nyampe ya?"Lelaki di sebelahnya itu mengangguk sambil tersenyum kecil. “Iya, cantik. Dari tadi aku perhatiin kamu diam aja. Capek?”Andara buru-buru menghela napas, seolah dengan begitu ia bisa mengusir bayangan yang masih mengendap di kepalanya. Bayangan tatapan Ananta, cardigan yang sengaja diikatkan ke tubuhnya, dan lirikan-lirikan singkat di studio tadi. Semua itu masih segar di ingatannya."Nggak, cuma lagi mikir aja."“Mikir apa? Tentang aku, kan?”Bibir Andara melengkung. “Iya, tentang kamu.”Ello membalas senyuman itu. Ia meraih tangan Andara dan menggenggamnya erat. “Aku kira kamu mikirin yang lain. Jangan bikin aku cemburu.”Andara tidak menjawab. Rongga dadanya terasa s
Andara yang terkejut mendengar pertanyaan itu menatap Ananta dengan lebih intens. Mencari tahu apakah pria itu sedang bercanda atau serius. Tatapan Ananta tidak bisa dibaca. Tenang, datar, tidak menyiratkan gejolak emosi sekecil apa pun. Andara heran, bagaimana bisa ada orang yang menyimpan begitu banyak hal tapi tidak pernah sedikit pun menunjukkannya keluar?Apa Ananta lupa semua yang telah dilakukannya? Apa dia tidak ingat malam itu? Malam yang sampai detik ini masih membekas begitu dalam di hati Andara? Luka itu belum kering, bahkan rasanya masih basah, perih setiap kali tersentuh.Konyol sekali hidup ini.“Berteman? Setelah semua yang terjadi? Setelah semua yang kamu lakukan padaku?” lirih suara Andara, antara marah dan tidak percaya.“Aku bilang ‘berteman’, bukan karena aku ingin kembali, tapi karena aku menghargai apa yang pernah ada."Andara mengerjap, menahan perih yang menyeruak di dadanya. “Menghargai? Kamu
Ananta tetap anteng di tempatnya. Ia menangkap dengan jelas Andara sedang melampiaskan emosi padanya. Saking emosinya Andara sampai lupa mengenai satu hal.Mereka tidak pernah menikah secara resmi. Jadi silakan kalau Andara mau menggugat sampai ke ujung dunia sekalipun."Pacarmu tahu kamu pernah menikah?"Andara terdiam. Pertanyaan itu menohok langsung ke ulu hatinya. "Aku sarankan sebaiknya berterus terang agar hubungan kalian ke depannya tetap lancar. Walau bagaimanapun kejujuran itu sangat penting. Kalau dia memang cinta sama kamu, dia pasti akan menerima kamu apa adanya. Dan satu lagi, carilah laki-laki yang jauh lebih matang. Jangan yang seumuran. Karena apa, Andara? Karena kamu masih sama. Masih senaif dulu. Yang berubah cuma dandanan kamu. Tapi pikiran kamu masih kayak anak-anak. Sorry to say.""Aku nggak butuh saran apalagi nasihat dari kamu, Ananta," sahut Andara cepat. "Kamu juga nggak berhak untuk menilaiku." Andara jelas tersinggung oleh Ananta yang menyebutnya sebagai