Andara berdiri di beranda melepas mobil yang membawa Ananta meluncur pelan keluar dari gerbang. Beberapa detik setelah mobil menghilang dari pandangan, Andara masih berdiri diam di tempat. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi lebih dingin lagi adalah perasaan di dalam dadanya. Ada ruang kosong yang tiba-tiba menganga begitu saja.Ia menghela napas, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Menutup pintu pelan-pelan, seolah takut membangunkan kesunyian.Hari pertama tanpa Ananta terasa kosong. Andara melalui sarapan berteman sepi, meski ia menyalakan televisi dengan volume tinggi, pura-pura sibuk menikmati berita pagi. Tapi mata dan telinganya tidak benar-benar menyimak.Ia berjalan menyusuri rumah, melihat-lihat sudut yang biasanya tidak diperhatikan. Ranjang tempat mereka bergumul kini tampak sangat rapi. Ia juga melihat baju-baju Ananta yang tersusun di lemari seolah itu bisa menggantikannya. Bahkan bau sabun yang biasa dipakai Ananta masih menempel di hidung Andara.Tiba-tiba ia
Berpergian untuk urusan bisnis entah itu ke luar negeri atau masih di dalam negeri atau disebut juga dengan business trip itulah yang akan Ananta lakukan. Bukan hal baru sebenarnya. Tapi selama mereka menikah ini adalah kepergian pertama laki-laki itu yang diketahui Andara."Aku pergi tiga hari," ucap Ananta tanpa menoleh. Ia sibuk melipat baju dan memasukkannya ke koper dengan tangan cekatan. "Mas pergi sama siapa?" tanya Andara. Tadi saat ia ingin membantu mengemas pakaian yang akan dibawanya, Ananta menolak."Sendiri.""Masayu nggak ikut?""Nggak.""Kalau aku ikut boleh nggak, Mas?"Ananta menghentikan gerakannya. Hanya sebentar. Lalu kembali sibuk menggulung dasinya."Ada meeting pagi dan malam. Waktunya padat. Nggak enak kalau kamu ikut tapi cuma ditinggal sendirian di hotel.""Aku nggak keberatan kok sendirian."Kali ini Ananta menoleh, menatap pada Andara. "Kenapa ngotot mau ikut? Kamu takut sendiri di rumah?""Nggak. Aku cuma pengen nemenin Mas Nata." Andara bangkit dari dudu
Ananta membantu membaringkan tubuh Andara di ranjang ketika tiba di kamar pribadi mereka. Ia juga membantu melepas sepatu perempuan itu dari kedua kakinya."Nyaman?" tanyanya pelan.Andara mengangguk. Matanya mulai terasa berat. Rasa lelah menumpuk akibat kurang istirahat dan juga tensi emosi yang tidak bisa ia bagi dengan siapa pun."Aku ambilin air minum." Ananta berdiri dari sisi ranjang. Namun sebelum ia benar-benar pergi, tangan Andara menarik ujung bajunya."Di sini aja dulu."Ananta menatap wajah perempuan itu. Ia pun kembali duduk di tepi ranjang dan mengusap pelan punggung tangan Andara."Perut kamu sakit lagi?" tanyanya."Sedikit sih, Mas."Ananta menyingkap baju Andara lalu meletakkan tangannya di atas perut besar itu selama beberapa saat. Kendati hanya diam tapi Andara tidak melepaskan tatapan dari suaminya. Dengan tangan Ananta yang berada di atas perutnya ada rasa nyaman yang melingkupi hati Andara."Dia lagi gerak." Ananta menggumam pelan. "Iya, Mas."Ananta menunduk,
Andara tidak tahu entah berapa lama dirinya berbaring di sofa. Yang ia tahu saat ini Shankara sudah berada di dekatnya, menanyakan keadaannya karena melihat kondisinya yang tampak begitu lemah."Dek, kamu sakit?"Andara menggeleng cepat dan menyunggingkan senyum tipis. Ia memang tidak pernah mengizinkan dirinya membuat kakaknya khawatir. "Abang lihat muka kamu pucat."Andara menaikkan tangan mengusap wajahnya, seolah dengan begitu ia bisa merasakannya sendiri. "Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak, Bang," ucapnya dan berharap kakaknya itu akan percaya.Tatapan Shankara masih belum lepas dari wajah adiknya. "Oh, gitu ya?""Iya, Bang. Lagian selama hamil wajahku ya kayak gini.""Iya deh, Abang percaya. Tapi Abang minta kalau ada apa-apa, ada yang sakit, walau sakitnya cuma dikit jangan ditahan sendiri. Bilang sama Abang, dan terutama sama Nata.""Iya, Bang. Tenang aja. Mas Nata udah sering aku repotin kok. Kalau ada apa-apa aku nggak pernah simpan sendiri. Mas Nata pasti jadi orang
Andara membawa daging ayam yang telah dibumbui dan menyerahkan pada Ananta yang sibuk mengipas bara."Ini ayamnya, Mas."Lelaki itu menerimanya kemudian melanjutkan kegiatannya.Tidak jauh dari mereka Shankara sedang memotong-motong timun. Dan Calista, bukannya menemani suaminya malah ikut duduk di sebelah Ananta. Sedangkan Andara berada di hadapan mereka berdua."Aku berasa deja vu sekarang," ujar Calista sembari menjepit rambutnya tinggi-tinggi dengan jepitan bunga kamboja berwarna kuning hingga menampakkan lehernya.Dan Andara, ia tidak bisa menghentikan pikiran buruknya. Apa saat melihat leher perempuan itu Ananta akan berfantasi macam-macam? Dan apakah Calista sengaja melakukannya untuk menarik perhatian Ananta?'Astaga. Gimana mungkin aku bisa mikir gitu sama suami dan kakak iparku sendiri.' Andara buru-buru mengusir pikiran itu sebelum tumbuh semakin liar di benaknya. Andara kembali mendengar Calista berceloteh.“Masih ingat nggak, Ta? Waktu malam tahun baru dua tahun yang l
Andara membuka kulkas, melihat apa saja yang ada di sana. Tidak banyak yang tersedia. Tapi ada beberapa daging ayam yang sudah dipotong-potong dan siap diolah. Sebelum mengeluarkannya Andara bertanya ke depan."Bang, jadi nggak ayamnya dibakar?""Jadi, Ra," jawab Shankara. "Tapi di rumah ini nggak ada alat buat bakar-bakaran," sela Calista yang terlihat keberatan. "Mas Nata kayaknya bisa bikin alatnya kayak dulu. Iya kan, Mas?" Andara melirik ke arah Ananta yang duduk santai di kursi ruang tamu sambil memainkan ponselnya.Lelaki itu mendongak. Belum sempat ia mengatakan apa pun, Calista dengan cepat mendahului."Masa Pak CEO disuruh ngurus beginian sih, Ra?"Andara tersenyum tipis. "Aku cuma ingat aja sih, Kak, dulu kita juga sering barbeque-an Mas Nata yang nyiapin alat-alatnya."Andara tidak menyadari bahwa ucapannya itu akan memantik kembali kenangan masa lalu."Iya, aku juga ingat. Tapi statusnya beda. Waktu itu aku dan Nata masih pacaran dan lagi mesra-mesranya." Calista menjaw