Share

Bab 8

last update Last Updated: 2025-06-13 10:36:11

Dan begitulah. Hampir setiap malam Marcella menginap di rumah Ananta. Tidur di kamarnya dan bersikap bagaikan istri laki-laki itu. Kalaupun tidak ada Marcella, Ananta akan membawa perempuan lain sebagai penggantinya.

Andara tidak pernah bertanya. Tidak juga protes. Ia sudah terlalu lelah.

Setiap kali suara tawa manja atau desahan terdengar setiap kali melewati kamar itu, ia akan mempercepat langkahnya.

Andara baru saja akan membuat sarapan ketika ponsel yang dikantonginya di dalam saku berbunyi.

Senyumnya mengembang begitu melihat nama Shankara di layar. Andara masih tinggal di kota yang sama dengan Shankara. Tapi hidup di rumah Ananta membuatnya merasa jarak yang terbentang lebar dengan kakaknya itu.

"Halo, Bang," sapa Andara setelah memutuskan untuk menerima panggilan tersebut.

"Andara, kamu baik-baik aja?" tanya Shankara di seberang sana.

"Aku baik dan sehat, Bang. Tumben Abang nelepon pagi-pagi begini?"

"Abang lagi kangen sama kamu. Tiba-tiba ingat kamu."

Andara mengukir senyum di balik handphone. Sejak kedua orang tua mereka tiada, kakaknya itu menjaga Andara dengan sepenuh hati. Mereka selalu bersama dalam suka dan duka.

"Aku juga kangen Abang."

"Kandungan kamu gimana, Ra? Kamu juga morning sickness?" Shankara menanyakannya lantaran Calista mengalami hal yang sama.

"Iya, Bang. Tapi Abang nggak usah khawatir. Aku bisa atasi kok."

"Kamu udah ke dokter buat periksa?"

Andara tertegun. Pertanyaan itu menamparnya. Sejak tahu dirinya hamil satu kali pun ia belum pernah mengunjungi dokter kandungan.

"Ra?"

"Eh iya, Bang. Bulan ini aku belum sempat. Mas Nata lagi sibuk." Andara beralasan.

"Saking sibuknya sampai nggak sempat nemenin kamu walau sebentar?" Pertanyaan Shankara terdengar menuntut.

Andara menghela napas panjang. Ia tahu Shankara tidak akan pernah bisa menerima perlakuan Ananta yang dianggapnya tidak pantas. Tapi menjelaskan keadaan sebenarnya pada Shankara sama saja artinya dengan membuka luka yang selama ini ia tutup rapat-rapat.

"Bukannya gitu, Bang. Kalau aku minta pasti Mas Nata mau meluangkan waktunya. Tapi akunya yang nggak enak."

"Astaga, Ra! Ananta itu suami kamu lho. Ngapain juga harus ngerasa nggak enak?"

Andara terdiam. 

Ia tidak harus sejujur itu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Shankara kan?

"Gini deh, Ra, kalau memang Ananta terlalu sibuk, gimana kalau Abang atau Kak Calista yang nemenin kamu ke dokter?"

Andara tahu, Shankara bukan ingin ikut campur dalam rumah tangganya. Kakaknya itu hanya terlalu peduli dan sangat menyayangi Andara.

"Makasih, Bang, tapi nggak usah. Nanti biar aku minta temenin sama Mas Nata aja."

"Ya udah kalau gitu. Tapi nanti kalau kamu butuh bantuan Abang nggak usah sungkan-sungkan ya, Ra. Abang ini masih kakak kamu dan akan jadi kakak kamu selamanya walau kamu udah berumah tangga."

Andara tersenyum pahit.  Merasa getir oleh kenyataan hidupnya ketika ingat bagaimana Ananta melarang keras dirinya berhubungan dengan Shankara. Suaminya itu ingin Andara memutuskan hubungan keluarga dengan kakaknya. Namun, bagi Andara hubungan darah antara dirinya dengan Shankara tidak akan pernah putus selamanya.

"Iya, Bang, makasih." Itu yang akhirnya Andara katakan sebelum Shankara mengakhiri panggilan.

Andara menjauhkan ponsel dari telinganya dengan napas berat. Terpat ketika ia akan memasukkan benda itu ke dalam saku piyamanya, Andara dikejutkan oleh suara Ananta.

"Siapa yang menelepon?"

Suara dingin pria itu membuat Andara berjengit. Ananta mengejutkannya. Benda yang berada di genggamannya hampir saja jatuh ke lantai.

Andara membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Ananta.

"Itu dari teman, Mas," jawab Andara mencoba rileks untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Teman? Teman yang mana?" selidik Ananta. Tatapannya mengunci wajah Andara.

"Namanya Gea. Dia nanya resep kue sama aku." Andara terpaksa mengarang cerita.

Ananta mendengkus pelan. "Aku nggak suka kamu nelepon atau nerima telepon pagi-pagi. Lain kali kalau ada telepon bilang kamu sedang sibuk. Aku nggak suka kamu sibuk sama hal-hal yang nggak penting."

"Baik, Mas." Andara menundukkan kepalanya sampai Ananta menghilang dari ruang pandangnya.

"Andara!"

Gadis dua puluh tahun itu mengangkat wajahnya kala mendengar suara perempuan memanggil namanya. 

Marcella berdiri tegak di hadapannya menggunakan lingerie warna kulit yang dilapisi jubah tidur warna senada. 

"Iya?"

"Tadi aku nggak sengaja dengar, katanya ada yang minta resep kue ke kamu."

"Iya."

"Berarti kamu bisa bikin kue?"

"Sedikit." Pada bagian ini Andara merendah. Baking adalah salah satu keahliannya.

"Hm, kalau gitu bikinin kue untuk Ananta. Hari ini dia ulang tahun."

Andara hampir saja lupa kalau hari ini adalah hari istimewa Ananta saking banyaknya beban pikirannya.

Masih hangat di ingatannya, dulu saat ulang tahun Ananta merayakannya dengan perayaan sederhana. Hanya makan bersama di rumah Andara. Ananta membeli bahan-bahannya sedangkan Andara kebagian tugas untuk mengolahnya.

"Kenapa nggak beli di toko aja?" Andara yakin kue di toko bakery jauh lebih enak daripada buatannya yang sederhana.

Marcella mengukir senyum. Senyum yang tidak sampai ke mata. "Kalau aku mau beli, ya tinggal aku beli. Tapi aku pengen yang lebih personal, yang membuat Ananta merasa spesial. Dan aku pikir... siapa lagi yang bisa dan cocok bikin kue untuk dia selain istrinya sendiri?"

Ucapan itu bagaikan hinaan terselubung. Tapi Andara tidak mampu membalas. Lidahnya kelu.

Marcella menurunkan nada suaranya, nyaris seperti berbisik. "Kamu tahu kan? Kamu tinggal di sini atas kebaikan hati Ananta. Jadi jangan bikin dia kecewa."

Andara menganggukkan kepalanya. "Baik, akan aku buatkan."

Tanpa berkata lagi, Marcella berbalik dan melenggang pergi. Meninggalkan aroma parfum mahal dan aura kemenangan yang menguar di udara.

Andara terpaku di tempatnya berdiri. Dadanya sesak. Persediaan oksigen di sekitarnya seolah menipis. Bukan hanya karena permintaan Marcella yang jelas hanya untuk merendahkannya. Tapi juga karena ironi yang menohok–ia membuat kue ulang tahun untuk pria yang tidak pernah memperlakukannya layaknya istri, dan diminta oleh wanita yang bertindak seolah dialah permaisurinya.

Tangannya gemetar saat membuka lemari dapur. Tapi seperti biasa Andara tidak punya banyak pilihan selain menurut.

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dian Damayanti
andara kenapa juga mau nurutin kemauan yg bukan siapa2 nya...jd wanita jangan bodoh2 amat gitu keles,harus punya prinsip yg jitu juga keles... andara udah ga bisa bedain antara menjadi pembantu dan nyonya rumah walau ga dianggap sih....
goodnovel comment avatar
Kemala Wardah
benci bacanya menderita Mulu Andara,...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 242

    Anak kecil itu memandangi pria dewasa di sebelahnya dengan benak dipenuhi pertanyaan. Ia berusaha menyerap informasi yang tidak sanggup ia cerna."Papa? Papa Kai, kan, lagi di Bandung, Om," ujarnya bingung.Shankara sempat terdiam sepersekian detik, lalu tersenyum kaku. "Oh iya, Om lupa. Om salah bicara. Bukan papa Kai maksudnya, tapi teman Om."Kaivan memiringkan kepalanya. “Teman Om?"“Iya, dia teman Om. Orangnya baik. Nanti Kai bisa kenalan,” jawab Shankara, mengusap kepala mungil itu.Bocah itu tampak belum sepenuhnya puas dengan jawaban sang paman, tapi akhirnya mengangguk kecil. “Kalau baik, Kai mau. Tapi Om ikut ya?”“Ikut dong. Om nggak bakal ninggalin Kai.”Shankara menggandeng tangan Kaivan menuju rumah. Setiap langkah kecil bocah itu terdengar jelas, seakan menambah degup jantung yang berkejaran di dada Shankara sendiri. Ia tahu cepat atau lambat kebenaran akan terungkap, tapi untuk saat ini ia memilih menjaga agar hati anak itu tidak kaget terlalu cepat. Dan tentu saja aga

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 241

    Andara menata pakaian Kaivan ke dalam koper kecil berwarna biru. Kaivan duduk di tepi ranjang. Kakinya yang mungil berayun-ayun. Sesekali ia mencoba memasukkan mainan dinosaurus kesayangannya ke dalam koper.“Kai, cuma boleh bawa satu mainan, sayang. Itu koper isinya baju, bukan kebun binatang,” ucap Andara sambil melipat kaus bergambar lumba-lumba.“Tapi Kai mau bawa T-Rex sama Triceratops juga,” rengek bocah itu dengan wajah penuh strategi.Andara menghela napas, lalu menatap matanya yang bundar. “Dua mainan, nggak lebih. Mama titip T-Rex, Kai boleh pilih satu lagi buat dibawa. Deal?”“Deal!” seru Kaivan ceria, lalu menyelipkan Triceratops kecil ke sudut koper.Shankara yang dari tadi bersandar di pintu setelah Kaivan memaksa melihat kamarnya yang estetik, hanya tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. “Ra, jangan terlalu keras, namanya juga anak-anak. Kalau bawa mainan segambreng juga nggak masalah.”Andara spontan memandang. “Abang gampang ngomongnya. Nanti kalau barangnya ke

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 240

    Sudah empat tahun Andara menetap di Paris. Tapi kota yang terkenal dengan julukan La Ville Lumiere itu bagaikan persinggahan sementara karena Andara sering bolak-balik ke negara-negara lain.Sejak usia Kaivan dua tahun, Andara memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan Lumiere Models. Ia berdiri sendiri karena sudah punya modal selain skill dan pengalaman, yaitu nama besar. Kini, ia mengelola karirnya secara mandiri, memilih klien sesuai visi kreatifnya, dan menetapkan tarif sendiri.Perjalanan profesional Andara membuatnya sering bolak-balik Indonesia. Bahkan belakangan ini ia lebih sering tinggal di Indonesia. Namanya sudah dikenal di tanah air. Banyak yang mengajaknya berkolaborasi dan menyewa jasanya secara pribadi. Ia juga semakin sering berkeliling dunia, karena setiap kali ada event yang mengundang klien yang ia tangani ke luar negeri, Andara juga wajib ikut.Dengan ritme hidup seperti itu, Andara belajar menyeimbangkan antara karir internasional dan kehidupan keluarg

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 239

    Butuh waktu enam minggu bagi Andara untuk mempersiapkan segalanya. Dimulai dari mengurus dokumen-dokumen pribadi hingga surat keterangan medis.Ia teringat pada masa ketika mengikuti summer course di Paris dulu. Waktu itu ia hanya perlu menyiapkan visa Schengen jangka pendek. Prosesnya lebih sederhana, hanya butuh bukti kursus, tiket pulang, dan akomodasi. Dalam waktu yang singkat semua sudah beres, dan ia bisa terbang ke Paris tanpa banyak prosedur tambahan.Sekarang, jalannya jauh lebih panjang. Karena Lumiere mengajukan visa kerja khusus untuknya, ada otorisasi dari pemerintah Prancis yang harus terbit terlebih dahulu sebelum kedutaan bisa menempelkan stiker visa di paspornya.Hari-hari Andara pun kembali dipenuhi penantian. Ia sering membuka portal imigrasi online, membaca ulang prosedur, mencari tahu kisah-kisah orang lain di forum. Ternyata ada yang menunggu sampai tiga bulan, ada juga yang hanya enam minggu. Semua tergantung pada keberuntungan dan kecepatan administrasi.Kadang

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 238

    Andara terpaku sepersekian detik begitu menyaksikan nama yang tertera di layar. Selama sesaat ia berpikir untuk menolak atau mengabaikan panggilan tersebut.Akhirnya ia putuskan untuk menjawab."Halo, El.""Aku dengar dari Mas Kemal kamu udah resign. Itu betul, Ra?" Ello langsung menyerbunya dengan pertanyaan tanpa basa-basi atau salam pembuka."Iya, yang dibilang Mas Kemal nggak salah," jawab Andara berterus terang."Kenapa mendadak? Ada masalah apa?" Sama seperti Kemal pada awalnya, Ello juga mengira Andara berhenti karena memiliki masalah."Nggak ada masalah apa-apa, El. Aku cuma pengen bersolo karir."Ello menghela napas panjang di ujung telepon. “Solo karir ya… Aku paham, Ra. Maksudmu kamu mau fokus sama studio sendiri dan brand kamu sendiri, kan?”Andara mengangguk meski Ello tidak bisa melihatnya. “Iya, El. Aku pengen membangun semuanya dari nol. Aku mau orang ngeliat hasil kerjaku sendiri.”“Aku ngerti, dan jujur, aku bangga sama kamu. Berani banget ambil risiko gini. Nggak se

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 237

    Andara menatap pria yang sedang duduk di hadapannya. Dengan sabar ia menunggu pria yang sedang menelepon itu meskipun kata-kata yang tersusun di benaknya sudah tidak bisa menunggu untuk dilontarkan."Sorry, Ra, jadi nunggu," kata pria itu setelah meletakkan ponselnya begitu selesai menelepon."Nggak apa-apa, Mas, kalau masih ada yang mau ditelepon lanjutin aja," jawab Andara pada Kemal. "Nggak ada."Andara diam.Kemal menatapnya, seolah menunggu Andara membuka pembicaraan. Akhirnya, Andara menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian.“Mas, aku mau bicarain sesuatu,” katanya pelan."Apa itu, Ra?"“Aku mau resign dari Etoile Beauty.”Kedua alis Kemal naik sekaligus, matanya menatap Andara penuh tanya. "Resign? Kenapa, Ra? Ada masalah?"Andara menggeleng. “Nggak ada masalah apa pun, Mas. Aku senang kerja di sini. Cuma... aku ngerasa waktunya sudah tepat. Aku ingin fokus membangun studio makeup sendiri, mengembangkan brand aku sendiri. Dan aku berterima kasih sudah dikasih kesempatan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status