Dan begitulah. Hampir setiap malam Marcella menginap di rumah Ananta. Tidur di kamarnya dan bersikap bagaikan istri laki-laki itu. Kalaupun tidak ada Marcella, Ananta akan membawa perempuan lain sebagai penggantinya.
Andara tidak pernah bertanya. Tidak juga protes. Ia sudah terlalu lelah. Setiap kali suara tawa manja atau desahan terdengar setiap kali melewati kamar itu, ia akan mempercepat langkahnya. Andara baru saja akan membuat sarapan ketika ponsel yang dikantonginya di dalam saku berbunyi. Senyumnya mengembang begitu melihat nama Shankara di layar. Andara masih tinggal di kota yang sama dengan Shankara. Tapi hidup di rumah Ananta membuatnya merasa jarak yang terbentang lebar dengan kakaknya itu. "Halo, Bang," sapa Andara setelah memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. "Andara, kamu baik-baik aja?" tanya Shankara di seberang sana. "Aku baik dan sehat, Bang. Tumben Abang nelepon pagi-pagi begini?" "Abang lagi kangen sama kamu. Tiba-tiba ingat kamu." Andara mengukir senyum di balik handphone. Sejak kedua orang tua mereka tiada, kakaknya itu menjaga Andara dengan sepenuh hati. Mereka selalu bersama dalam suka dan duka. "Aku juga kangen Abang." "Kandungan kamu gimana, Ra? Kamu juga morning sickness?" Shankara menanyakannya lantaran Calista mengalami hal yang sama. "Iya, Bang. Tapi Abang nggak usah khawatir. Aku bisa atasi kok." "Kamu udah ke dokter buat periksa?" Andara tertegun. Pertanyaan itu menamparnya. Sejak tahu dirinya hamil satu kali pun ia belum pernah mengunjungi dokter kandungan. "Ra?" "Eh iya, Bang. Bulan ini aku belum sempat. Mas Nata lagi sibuk." Andara beralasan. "Saking sibuknya sampai nggak sempat nemenin kamu walau sebentar?" Pertanyaan Shankara terdengar menuntut. Andara menghela napas panjang. Ia tahu Shankara tidak akan pernah bisa menerima perlakuan Ananta yang dianggapnya tidak pantas. Tapi menjelaskan keadaan sebenarnya pada Shankara sama saja artinya dengan membuka luka yang selama ini ia tutup rapat-rapat. "Bukannya gitu, Bang. Kalau aku minta pasti Mas Nata mau meluangkan waktunya. Tapi akunya yang nggak enak." "Astaga, Ra! Ananta itu suami kamu lho. Ngapain juga harus ngerasa nggak enak?" Andara terdiam. Ia tidak harus sejujur itu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Shankara kan? "Gini deh, Ra, kalau memang Ananta terlalu sibuk, gimana kalau Abang atau Kak Calista yang nemenin kamu ke dokter?" Andara tahu, Shankara bukan ingin ikut campur dalam rumah tangganya. Kakaknya itu hanya terlalu peduli dan sangat menyayangi Andara. "Makasih, Bang, tapi nggak usah. Nanti biar aku minta temenin sama Mas Nata aja." "Ya udah kalau gitu. Tapi nanti kalau kamu butuh bantuan Abang nggak usah sungkan-sungkan ya, Ra. Abang ini masih kakak kamu dan akan jadi kakak kamu selamanya walau kamu udah berumah tangga." Andara tersenyum pahit. Merasa getir oleh kenyataan hidupnya ketika ingat bagaimana Ananta melarang keras dirinya berhubungan dengan Shankara. Suaminya itu ingin Andara memutuskan hubungan keluarga dengan kakaknya. Namun, bagi Andara hubungan darah antara dirinya dengan Shankara tidak akan pernah putus selamanya. "Iya, Bang, makasih." Itu yang akhirnya Andara katakan sebelum Shankara mengakhiri panggilan. Andara menjauhkan ponsel dari telinganya dengan napas berat. Terpat ketika ia akan memasukkan benda itu ke dalam saku piyamanya, Andara dikejutkan oleh suara Ananta. "Siapa yang menelepon?" Suara dingin pria itu membuat Andara berjengit. Ananta mengejutkannya. Benda yang berada di genggamannya hampir saja jatuh ke lantai. Andara membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Ananta. "Itu dari teman, Mas," jawab Andara mencoba rileks untuk menyembunyikan kegugupannya. "Teman? Teman yang mana?" selidik Ananta. Tatapannya mengunci wajah Andara. "Namanya Gea. Dia nanya resep kue sama aku." Andara terpaksa mengarang cerita. Ananta mendengkus pelan. "Aku nggak suka kamu nelepon atau nerima telepon pagi-pagi. Lain kali kalau ada telepon bilang kamu sedang sibuk. Aku nggak suka kamu sibuk sama hal-hal yang nggak penting." "Baik, Mas." Andara menundukkan kepalanya sampai Ananta menghilang dari ruang pandangnya. "Andara!" Gadis dua puluh tahun itu mengangkat wajahnya kala mendengar suara perempuan memanggil namanya. Marcella berdiri tegak di hadapannya menggunakan lingerie warna kulit yang dilapisi jubah tidur warna senada. "Iya?" "Tadi aku nggak sengaja dengar, katanya ada yang minta resep kue ke kamu." "Iya." "Berarti kamu bisa bikin kue?" "Sedikit." Pada bagian ini Andara merendah. Baking adalah salah satu keahliannya. "Hm, kalau gitu bikinin kue untuk Ananta. Hari ini dia ulang tahun." Andara hampir saja lupa kalau hari ini adalah hari istimewa Ananta saking banyaknya beban pikirannya. Masih hangat di ingatannya, dulu saat ulang tahun Ananta merayakannya dengan perayaan sederhana. Hanya makan bersama di rumah Andara. Ananta membeli bahan-bahannya sedangkan Andara kebagian tugas untuk mengolahnya. "Kenapa nggak beli di toko aja?" Andara yakin kue di toko bakery jauh lebih enak daripada buatannya yang sederhana. Marcella mengukir senyum. Senyum yang tidak sampai ke mata. "Kalau aku mau beli, ya tinggal aku beli. Tapi aku pengen yang lebih personal, yang membuat Ananta merasa spesial. Dan aku pikir... siapa lagi yang bisa dan cocok bikin kue untuk dia selain istrinya sendiri?" Ucapan itu bagaikan hinaan terselubung. Tapi Andara tidak mampu membalas. Lidahnya kelu. Marcella menurunkan nada suaranya, nyaris seperti berbisik. "Kamu tahu kan? Kamu tinggal di sini atas kebaikan hati Ananta. Jadi jangan bikin dia kecewa." Andara menganggukkan kepalanya. "Baik, akan aku buatkan." Tanpa berkata lagi, Marcella berbalik dan melenggang pergi. Meninggalkan aroma parfum mahal dan aura kemenangan yang menguar di udara. Andara terpaku di tempatnya berdiri. Dadanya sesak. Persediaan oksigen di sekitarnya seolah menipis. Bukan hanya karena permintaan Marcella yang jelas hanya untuk merendahkannya. Tapi juga karena ironi yang menohok–ia membuat kue ulang tahun untuk pria yang tidak pernah memperlakukannya layaknya istri, dan diminta oleh wanita yang bertindak seolah dialah permaisurinya. Tangannya gemetar saat membuka lemari dapur. Tapi seperti biasa Andara tidak punya banyak pilihan selain menurut. **Shankara memandangi layar ponselnya. Lima kali panggilan keluar. Dan semuanya tidak dijawab.Shankara menduga, mungkin Ananta sengaja tidak menjawabnya. Ia sangat mengerti alasannya. Masalahnya kali ini bukanlah soal ego lama, melainkan mengenai Andara yang sedang hamil dan pingsan di tempat kerja.Shankara mengirimi iparnya itu pesan.[Ta, Andara pingsan. Sekarang lagi di rumah sakit Sehat Bersama. Lo bisa ke sini?]Shankara menunggu hingga bermenit-menit lamanya, namun jangankan dibalas, dibaca juga tidak.Ia menggertakkan gigi. Satu tarikan napas berat mengisi dadanya."Gimana, Bang?" tanya Andara yang sejak tadi memerhatikan Shankara.Shankara mengesahkan napas. "Nggak dijawab. Abang kirim pesan juga nggak dibaca.""Mungkin Mas Nata lagi sibuk," lirih Andara.Ya, sibuk dengan wanitanya.Shankara memanjang arloji. Sudah lewat jam sebelas malam. Ia tahu Andara seorang CEO dan workaholic. Tapi ini hampir pukul dua belas. Sudah saatnya lelaki itu beristirahat di rumah. "Abang nggak u
Dalam gandengan tangan Marcella, Ananta terpaku melihat pemandangan di hadapannya. Seorang lelaki yang mengenakan pakaian yang Ananta tahu merupakan pakaian seragam petugas bioskop yang sama dengan Andara, membopong tubuh Andara keluar dari lift. Tangan lelaki itu melingkari tubuh istrinya, tubuh yang seharusnya ia jaga.Detik itu dada Ananta berdenyut. Sebuah rasa menyesak di sana. Ia tidak tahu apa namanya. Tapi cukup untuk membuatnya membeku.Seharusnya Ananta menghampiri ketiga orang itu dan menanyakan apa yang terjadi. Nyatanya kaki Ananta melangkah ke arah lain. Untuk apa dia peduli pada Andara? Lagipula sudah ada laki-laki itu.*Setibanya di rumah sakit terdekat Andara langsung ditangani oleh dokter.Tian dan Berlin menanti dengan perasaan harap-harap cemas."Tadi aku udah curiga kalau dia nggak baik-baik aja, tapi dia bilang cuma capek sedikit," kata Berlin menceritakan percakapannya dengan Andara beberapa jam yang lalu."Aku mikirnya juga gitu," balas Tian. "Hari ini Andar
Udara dalam ruang bioskop itu sejuk. Aroma popcorn melekat di udara. Di layar besar di hadapan mereka terpampang adegan romantis yang membuat para penonton larut dalam suasana. Namun, Ananta tidak fokus pada film yang ditayangkan. Dia bahkan tidak peduli bagaimana ceritanya.Marcella bersandar manja di bahu Ananta. Tangannya menggenggam erat jemari lelaki itu. Kemudian saat musik di dalam film mengalun lembut dan kamera di layar menyorot dua pemeran utama yang tengah berciuman, Marcella menengadah menatap Ananta."Happy birthday, Nata," bisiknya.Ananta menoleh. Lalu saat bibir Marcella mendekat, dia tidak dapat menolak.Ciuman itu terjadi begitu saja.Lalu di sela ciuman itu Ananta membuka matanya. Terkejut ketika mendapati Andara sedang berdiri di dekatnya.Di tangan perempuan itu tergenggam dua bungkus popcorn. Tubuhnya kaku. Sepasang matanya memandang pada keduanya.Sorot matanya menusuk. Tidak ada teriakan atau isakan. Hanya luka yang terlihat dari caranya memandang.Ananta menj
Ananta berdiri di sana dengan posisi tubuh tegap. Bodi idealnya terbungkus kemeja navy yang lengannya digulung hingga siku. Ekspresinya sulit ditebak. Sorot matanya menyapu cepat pada dua orang perempuan di hadapannya."Mas Nata," panggil Andara pelan. Setengah lega dan separuh takut.Bukan menjawab panggilan itu Ananta malah bertanya pada sekretarisnya."Ada apa ini?"Masayu buru-buru membenarkan posisi berdirinya. Tangannya yang tadi terlipat di dada kini turun ke bawah dan membentuk gestur yang sangat sopan. "Maaf, Pak. Orang ini ingin bertemu Bapak. Dia mengaku-ngaku sebagai istri Bapak."Andara menoleh pada Ananta. Harapannya membuncah. Berharap Ananta akan membenarkan ucapannya. Bahwa dia memang istrinya. Bahwa dia tidak berbohong. Bahwa dia bukan sekadar pengganggu yang datang tanpa diundang.Tetapi yang keluar dari mulut Ananta justru sesuatu yang membuat jantung Andara nyaris berhenti berdetak."Saya tidak tahu siapa dia. Mungkin dia salah orang," kata Ananta datar. Sikapnya
Dapur rumah itu sunyi. Hanya suara denting peralatan baking yang menemani Andara mencampur adonan. Tangannya lincah. Ia mengaduk telur, gula dan mentega dengan penuh kehati-hatian. Andara membuatnya dengan penuh perasaan. Hanya karena kue ini untuk Ananta.Di tengah-tengah proses, pikirannya terseret pada waktu satu tahun yang lalu. Pada hari ulang tahun Ananta yang ke-24.Saat itu Andara juga membuatkan kue untuk lelaki itu. Tanpa diminta oleh siapa-siapa. Kala itu mereka belum menikah. Ananta hanya sebatas sahabat kakaknya. Namun entah mengapa Andara tetap membuatkan kue untuk Ananta. Bukan karena permintaan dari siapa pun. Tapi karena keinginannya sendiri yang saat itu belum bisa ia pahami.Andara tidak akan lupa hari itu. Pagi-pagi sekali dirinya sudah bangun. Sedangkan Shankara dan Ananta masih tidur karena malam sebelumya mereka baru pulang dari luar kota.Tangannya sibuk di dapur, tapi jantungnya berdetak cepat. Bahkan saat itu ia belum mengerti kenapa sebersemangat itu membua
Dan begitulah. Hampir setiap malam Marcella menginap di rumah Ananta. Tidur di kamarnya dan bersikap bagaikan istri laki-laki itu. Kalaupun tidak ada Marcella, Ananta akan membawa perempuan lain sebagai penggantinya.Andara tidak pernah bertanya. Tidak juga protes. Ia sudah terlalu lelah.Setiap kali suara tawa manja atau desahan terdengar setiap kali melewati kamar itu, ia akan mempercepat langkahnya.Andara baru saja akan membuat sarapan ketika ponsel yang dikantonginya di dalam saku berbunyi.Senyumnya mengembang begitu melihat nama Shankara di layar. Andara masih tinggal di kota yang sama dengan Shankara. Tapi hidup di rumah Ananta membuatnya merasa jarak yang terbentang lebar dengan kakaknya itu."Halo, Bang," sapa Andara setelah memutuskan untuk menerima panggilan tersebut."Andara, kamu baik-baik aja?" tanya Shankara di seberang sana."Aku baik dan sehat, Bang. Tumben Abang nelepon pagi-pagi begini?""Abang lagi kangen sama kamu. Tiba-tiba ingat kamu."Andara mengukir senyum di