Share

Bab 7

Penulis: Zizara Geoveldy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-13 10:27:41

"Jadi kamu sengaja?"

Suara Ananta terdengar pelan, namun dingin dan menusuk. Bukan bentakan yang meledak-ledak. Justru karena ketenangannya itulah terasa bagaikan belati yang pelan-pelan ditancapkan ke dada.

Andara cepat-cepat menggelengkan kepala. "Nggak, Mas, aku sama sekali nggak tahu kalau dia alergi seafood."

"Lalu kenapa kamu masak seafood? Di antara sekian banyak bahan yang bisa kamu olah, kenapa harus seafood?" cecar Ananta. Suaranya tetap tenang namun menghukum.

Andara menunduk, napasnya tercekat. Suaranya keluar dalam bisikan. "Itu karena aku tahu seafood adalah makanan kesukaan Mas Nata."

Dulu setiap kali menghadapi Ananta, Andara tidak pernah merasa setakut ini. Dulu Ananta adalah pribadi yang baik dan ramah padanya. Tapi segalanya berubah setelah masalah Calista yang melibatkan Ananta dan Shankara.

Ananta memberinya senyum miring. "Jadi kamu pikir dengan masak makanan favoritku, aku akan apa? Melupakan semuanya? Memaafkanmu? Mencintaimu?"

Andara tidak menjawab. Dulu sikap lelaki ini selalu hangat. Tatapan Ananta pada masakannya selalu penuh kekaguman. Tapi lihatlah apa yang terjadi saat ini. Ananta menganggapnya bagai musuh yang harus diwaspadai.

"Ta, udahlah. Jangan bertengkar karena aku," lerai Marcella yang masih menggaruk-garuk badannya.

Ananta mengembuskan napas. "Kita ke dokter sekarang," putusnya.

Ananta merangkul Marcella meninggalkan ruang makan. Dan juga Andara yang berdiri di antara aroma seafood yang kini begitu menyiksa dan membuatnya mual.

Andara menyapukan mata pada hidangan di atas meja yang baru tersentuh sebagian. Udang dan cumi yang dia masak dengan sepenuh hati kini tampak seperti onggokan sampah yang tidak berguna.

Andara menarik kursi lalu duduk di sana. Setelah kejadian barusan Andara juga kehilangan seleranya. Diteguknya segelas air putih yang ternyata terasa getir. Segetir luka yang menganga di hatinya.

Keheningan menusuk hati Andara. Dan dia masih duduk di tempatnya sampai satu jam kemudian.

Ananta sudah pulang. Ekspresinya masih dingin. Di sebelahnya Marcella melangkah. Perempuan itu terlihat lebih ringan. Bintik merah di tangan dan lehernya sudah berkurang banyak.

"Oh, kamu masih di sini," sapanya pada Andara saat akan mengambil air putih.

Andara mengangguk. "Maaf atas kejadian tadi. Aku nggak tahu kalau kamu alergi seafood," ucapnya merasa bersalah.

"Nggak apa-apa. Untung ada Ananta. Aku sih santai ya, tapi Ananta tuh yang cemasnya bukan main. Aku cuma alergi tapi gayanya seolah aku kena kanker." Marcella tertawa kecil.

Andara memaksakan senyum hadir di bibirnya meningkahi ucapan Marcella.

Setelah meneguk air Marcella menatap tajam namun dibungkus kelembutan. "Lain kali kalau masak hati-hati. Kita nggak akan pernah tahu, bumbu sekecil apa pun bisa membuat orang lain mati pelan-pelan."

Andara menganggukkan kepala. Ia menatap Marcella dalam diam. Ia tahu kata-kata itu bukan sekadar peringatan.

Tapi mungkin... sebuah ancaman.

"Cell, diminum dulu obatnya." Ananta datang dengan membawa obat dari dokter tadi. Ia tidak menatap Andara. Bahkan tidak melirik sekali pun. Seolah Andara tidak ada di sana. Suara lelaki itu begitu lembut dan penuh perhatian.

Andara menundukkan kepala, pura-pura membersihkan meja yang sebenarnya sudah bersih.

"Makasih, Sayang." Marcella menerima butiran obat yang sudah dipisahkan Ananta dari bungkusnya.

Mendengar sebutan 'sayang' itu, kepala Andara tertunduk semakin dalam. Dari sekian banyak wanita yang dibawa pria itu ke rumah, hanya Marcella yang dipanggilnya sayang.

"Ta, malam ini aku nginap di sini ya. Mami sama papi lagi ke SG. Mau ngapain coba aku di rumah." Marcella mengoceh sambil merotasi bola matanya.

"Oke. Kamu tidur di kamarku. Biar aku bisa jaga kamu. Siapa tahu nanti alergimu kambuh lagi."

Marcella menggigit bibir. Diliriknya Andara yang masih mengelap-ngelap meja. "Tapi gimana dengan Andara?" Perempuan itu tampak ragu.

"Emangnya kenapa dia?"

"Kalau aku tidur di kamar kamu, Andara mau tidur di mana?" Marcella bersikap seolah-olah dia memang mengkhawatirkan Andara.

"Dia bisa tidur di kamar pembantu."

Dengan refleks Andara mengangkat wajah dan menatap Ananta. Namun laki-laki itu tidak satu kali pun sudi memandang padanya.

"Andara, nggak apa-apa kalau aku tidur sama Ananta?" tanya Marcella, masih menunjukkan sikap tidak enak hatinya.

"Nggak apa-apa. Saya bisa tidur di kamar lain," jawab Andara dengan perasaan terluka yang susah payah disembunyikannya.

"Beneran?" Marcella masih terlihat belum yakin.

"Beneran. Aku bisa tidur di kamar lain. Nggak apa-apa kok." Andara sengaja menerbitkan sebuah senyum dari bibirnya walau jauh di dalam diri hatinya tersayat-sayat.

Marcella tersenyum lebar. Ananta merangkulnya, mengajak perempuan itu ke kamarnya.

Andara berdiri mematung memandang punggung keduanya yang perlahan menjauh. Ananta dan Marcella tampak begitu akrab dan intim.

Andara tahu dirinya memang bodoh. Memangnya istri mana yang sudi membiarkan perempuan lain tidur di kamar suaminya?

Tapi Andara tahu, sebutan istri itu hanyalah sekadar status untuknya. Ia tidak berhak atas apa-apa dan tidak boleh menuntut apa pun. Termasuk diperlakukan semena-mena seperti ini.

Ketika Andara hendak ke kamarnya dan melewati kamar Ananta, pintunya sedikit terbuka, cahaya lampu tidur memberikan sinar temaram. Entah sengaja atau tidak. Andara tidak tahu. Yang ia tahu, ia mendengar dengan jelas suara dari dalam sana.

"Ta, udah ah, jangan peluk aku terus." Itu suara manja Marcella. Perempuan itu juga tertawa kecil.

"Biar kamu tenang. Tadi katanya gatal." Ananta menjawab.

"Tapi aku udah nggak gatal. Sekarang aku malah geli. Besok cukur kumis kamu ya, udah mulai panjang nih." Marcella tertawa cekikikan.

Andara tertegun di tempatnya. Ia bisa membayangkan adegan mesra keduanya. Mungkin saat ini Ananta sedang mencumbui wanitanya hingga mendesah manja.

Andara menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia tidak boleh menangis. Tapi kenapa ia tidak bisa menahan diri agar perasaannya tidak sedih?

Tidak tahan lagi mendengar kemesraan itu, Andara berniat meninggalkan depan kamar Ananta. Ia hampir melangkah ketika tiba-tiba Ananta muncul.

Tadi Ananta bermaksud menutup pintu yang sedikit terbuka.

"Mau apa di sini? Mau ngintip?"

Andara tersentak. Suara Ananta yang dingin tapi tajam membuatnya mundur setapak. Ia menunduk, menahan sesak di dada.

"Mau tahu apa yang aku lakukan? Kenapa nggak sekalian masuk?"

Andara menggeleng cepat-cepat. "B-bukan, Mas. Tadi aku kebetulan lewat dan nggak sengaja melihat pintunya terbuka sedikit."

"Lewat? Kebetulan banget ya, pas kamu lewat pintunya juga kebuka."

"Maaf, Mas." Hanya itu yang bisa disampaikan Andara.

Ananta mendengkus. "Kalau kamu udah selesai nguping silakan pergi."

"B-baik, Mas." Suara Andara nyaris tidak terdengar. Tanpa menunggu lagi ia langsung melangkah. Bahunya merosot. Tubuhnya gemetar.

Tak lama di belakangnya terdengar pintu yang dibanting dengan suara keras.

Andara berhenti di tengah lorong, menyentuh dadanya yang nyeri. Tidak ada luka yang mengucurkan darah, tapi rasa sakitnya jauh lebih dalam.

Sesaat ia berpikir. Andai saja tadi seafood itu benar-benar membunuh Marcella. Mungkin keadaannya tidak begini.

Andara menepis pikiran buruk itu. Dirinya bukan pembunuh. Tapi Andara tahu, jika dirinya terus tinggal di rumah ini, bukan hanya Marcella yang mati pelan-pelan. Tapi dirinya.

**

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 16

    Ananta mendongak. Mata mereka kembali bertemu di titik yang sama. Tapi hanya sesaat.Ananta tidak berkata apa-apa. Wajahnya datar, tidak menunjukkan keterkejutan apalagi perasaan bersalah. Ia juga tidak merasa perlu menjelaskan apa-apa seolah Andara hanyalah orang asing baginya."Mas, siapa dia?" tanya wanita di sebelah Ananta.Ananta mengedikkan bahu tidak tahu."Tapi dia tahu nama kamu, Mas," ujar wanita itu lagi dengan nada heran.Ananta menoleh sebentar ke arah Andara lalu menjawab dengan satu kalimat yang menghancurkan. "Oh, dia bekas office girl di kantorku."Pandangan Andara berubah nanar. Ucapan itu begitu menghantam hatinya. Bukan hanya karena tidak mengakuinya, tapi juga karena menempatkannya pada posisi paling rendah.Tangannya meremas kertas resep dalam genggaman, mencari kekuatan di sana. Tapi ia menahan semuanya. Andara tidak ingin menangis di depan Ananta. Tidak di depan wanita hamil itu. Tidak di tempat umum seperti ini.Ananta kemudian berbisik di telinga wanita di s

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 15

    Ananta memarkir mobilnya di sudut parkiran. Cukup jauh untuk terlihat. Tapi cukup dekat untuk mengamati.Ia tidak turun. Hanya diam, membiarkan matanya mengamati ketiganya yang keluar dari mobil.Shankara membuka pintu untuk Calista lalu pindah membukakan pintu untuk Andara.Saat melihat Calista dan perut buncitnya, Ananta berdecih jijik.Ananta memperhatikan itu semua tanpa kedip. Ia menggenggam lingkar setir dengan satu tangan. Urat-uratnya menegang.Ketiga orang di sana semuanya adalah pengkhianat.Pikirannya menggema dalam diam. Ada kekosongan di wajahnya tapi benaknya tidak benar-benar kosong.**Ruang tunggu poli kandungan saat itu cukup ramai. Andara duduk menunggu di sebelah Calista. Shankara ikut menemani keduanya.Ini adalah pengalaman pertama Andara memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit. Selama ini ia hanya berpegang pada hasil testpack."Deg-degan?" tanya Calista pelan.Andara menoleh dan memaksa seulas senyum. "Sedikit."Calista mengusap punggung tangan Andara, menenan

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 14

    Andara terbangun pagi ini oleh sinar matahari yang menembus melalui sela-sela tirai. Cahaya hangat menari pelan di dinding kamar, seolah sedang membangunkannya secara lembut.Ia membuka matanya perlahan. Mengerjap sekilas untuk beradaptasi dengan cahaya. Tubuhnya terasa berat tapi tidak selemah kemarin. Tangannya turun meraba perutnya. Masih datar dan belum membuncit. Namun demikian ada kehidupan di dalam sana. Dan kehidupan itu, entah bagaimana, menjadi alasan baginya untuk terus bertahan hari demi hari.Beberapa detik kemudian pintu kamar diketuk pelan. Bersama dengan itu terdengar suara."Andara, boleh Kakak masuk?"Itu Calista. Kemarin malam akhirnya Andara tidur sendiri tanpa ditemani kakak iparnya itu. Calista juga sedang hamil. Andara tidak ingin terlalu banyak merepotkannya.Andara duduk di atas kasur, merapikan rambutnya yang berantakan. "Masuk aja, Kak," jawabnya.Pintu kemudian terbuka, memperlihatkan Calista yang membawa nampan. Di atas nampan tersebut ada roti panggang,

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 13

    Shankara memandangi layar ponselnya. Lima kali panggilan keluar. Dan semuanya tidak dijawab.Shankara menduga, mungkin Ananta sengaja tidak menjawabnya. Ia sangat mengerti alasannya. Masalahnya kali ini bukanlah soal ego lama, melainkan mengenai Andara yang sedang hamil dan pingsan di tempat kerja.Shankara mengirimi iparnya itu pesan.[Ta, Andara pingsan. Sekarang lagi di rumah sakit Sehat Bersama. Lo bisa ke sini?]Shankara menunggu hingga bermenit-menit lamanya, namun jangankan dibalas, dibaca juga tidak.Ia menggertakkan gigi. Satu tarikan napas berat mengisi dadanya."Gimana, Bang?" tanya Andara yang sejak tadi memerhatikan Shankara.Shankara mengesahkan napas. "Nggak dijawab. Abang kirim pesan juga nggak dibaca.""Mungkin Mas Nata lagi sibuk," lirih Andara.Ya, sibuk dengan wanitanya.Shankara memanjang arloji. Sudah lewat jam sebelas malam. Ia tahu Andara seorang CEO dan workaholic. Tapi ini hampir pukul dua belas. Sudah saatnya lelaki itu beristirahat di rumah. "Abang nggak u

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 12

    Dalam gandengan tangan Marcella, Ananta terpaku melihat pemandangan di hadapannya. Seorang lelaki yang mengenakan pakaian yang Ananta tahu merupakan pakaian seragam petugas bioskop yang sama dengan Andara, membopong tubuh Andara keluar dari lift. Tangan lelaki itu melingkari tubuh istrinya, tubuh yang seharusnya ia jaga.Detik itu dada Ananta berdenyut. Sebuah rasa menyesak di sana. Ia tidak tahu apa namanya. Tapi cukup untuk membuatnya membeku.Seharusnya Ananta menghampiri ketiga orang itu dan menanyakan apa yang terjadi. Nyatanya kaki Ananta melangkah ke arah lain. Untuk apa dia peduli pada Andara? Lagipula sudah ada laki-laki itu.*Setibanya di rumah sakit terdekat Andara langsung ditangani oleh dokter.Tian dan Berlin menanti dengan perasaan harap-harap cemas."Tadi aku udah curiga kalau dia nggak baik-baik aja, tapi dia bilang cuma capek sedikit," kata Berlin menceritakan percakapannya dengan Andara beberapa jam yang lalu."Aku mikirnya juga gitu," balas Tian. "Hari ini Andar

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 11

    Udara dalam ruang bioskop itu sejuk. Aroma popcorn melekat di udara. Di layar besar di hadapan mereka terpampang adegan romantis yang membuat para penonton larut dalam suasana. Namun, Ananta tidak fokus pada film yang ditayangkan. Dia bahkan tidak peduli bagaimana ceritanya.Marcella bersandar manja di bahu Ananta. Tangannya menggenggam erat jemari lelaki itu. Kemudian saat musik di dalam film mengalun lembut dan kamera di layar menyorot dua pemeran utama yang tengah berciuman, Marcella menengadah menatap Ananta."Happy birthday, Nata," bisiknya.Ananta menoleh. Lalu saat bibir Marcella mendekat, dia tidak dapat menolak.Ciuman itu terjadi begitu saja.Lalu di sela ciuman itu Ananta membuka matanya. Terkejut ketika mendapati Andara sedang berdiri di dekatnya.Di tangan perempuan itu tergenggam dua bungkus popcorn. Tubuhnya kaku. Sepasang matanya memandang pada keduanya.Sorot matanya menusuk. Tidak ada teriakan atau isakan. Hanya luka yang terlihat dari caranya memandang.Ananta menj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status