"Jadi kamu sengaja?"
Suara Ananta terdengar pelan, namun dingin dan menusuk. Bukan bentakan yang meledak-ledak. Justru karena ketenangannya itulah terasa bagaikan belati yang pelan-pelan ditancapkan ke dada. Andara cepat-cepat menggelengkan kepala. "Nggak, Mas, aku sama sekali nggak tahu kalau dia alergi seafood." "Lalu kenapa kamu masak seafood? Di antara sekian banyak bahan yang bisa kamu olah, kenapa harus seafood?" cecar Ananta. Suaranya tetap tenang namun menghukum. Andara menunduk, napasnya tercekat. Suaranya keluar dalam bisikan. "Itu karena aku tahu seafood adalah makanan kesukaan Mas Nata." Dulu setiap kali menghadapi Ananta, Andara tidak pernah merasa setakut ini. Dulu Ananta adalah pribadi yang baik dan ramah padanya. Tapi segalanya berubah setelah masalah Calista yang melibatkan Ananta dan Shankara. Ananta memberinya senyum miring. "Jadi kamu pikir dengan masak makanan favoritku, aku akan apa? Melupakan semuanya? Memaafkanmu? Mencintaimu?" Andara tidak menjawab. Dulu sikap lelaki ini selalu hangat. Tatapan Ananta pada masakannya selalu penuh kekaguman. Tapi lihatlah apa yang terjadi saat ini. Ananta menganggapnya bagai musuh yang harus diwaspadai. "Ta, udahlah. Jangan bertengkar karena aku," lerai Marcella yang masih menggaruk-garuk badannya. Ananta mengembuskan napas. "Kita ke dokter sekarang," putusnya. Ananta merangkul Marcella meninggalkan ruang makan. Dan juga Andara yang berdiri di antara aroma seafood yang kini begitu menyiksa dan membuatnya mual. Andara menyapukan mata pada hidangan di atas meja yang baru tersentuh sebagian. Udang dan cumi yang dia masak dengan sepenuh hati kini tampak seperti onggokan sampah yang tidak berguna. Andara menarik kursi lalu duduk di sana. Setelah kejadian barusan Andara juga kehilangan seleranya. Diteguknya segelas air putih yang ternyata terasa getir. Segetir luka yang menganga di hatinya. Keheningan menusuk hati Andara. Dan dia masih duduk di tempatnya sampai satu jam kemudian. Ananta sudah pulang. Ekspresinya masih dingin. Di sebelahnya Marcella melangkah. Perempuan itu terlihat lebih ringan. Bintik merah di tangan dan lehernya sudah berkurang banyak. "Oh, kamu masih di sini," sapanya pada Andara saat akan mengambil air putih. Andara mengangguk. "Maaf atas kejadian tadi. Aku nggak tahu kalau kamu alergi seafood," ucapnya merasa bersalah. "Nggak apa-apa. Untung ada Ananta. Aku sih santai ya, tapi Ananta tuh yang cemasnya bukan main. Aku cuma alergi tapi gayanya seolah aku kena kanker." Marcella tertawa kecil. Andara memaksakan senyum hadir di bibirnya meningkahi ucapan Marcella. Setelah meneguk air Marcella menatap tajam namun dibungkus kelembutan. "Lain kali kalau masak hati-hati. Kita nggak akan pernah tahu, bumbu sekecil apa pun bisa membuat orang lain mati pelan-pelan." Andara menganggukkan kepala. Ia menatap Marcella dalam diam. Ia tahu kata-kata itu bukan sekadar peringatan. Tapi mungkin... sebuah ancaman. "Cell, diminum dulu obatnya." Ananta datang dengan membawa obat dari dokter tadi. Ia tidak menatap Andara. Bahkan tidak melirik sekali pun. Seolah Andara tidak ada di sana. Suara lelaki itu begitu lembut dan penuh perhatian. Andara menundukkan kepala, pura-pura membersihkan meja yang sebenarnya sudah bersih. "Makasih, Sayang." Marcella menerima butiran obat yang sudah dipisahkan Ananta dari bungkusnya. Mendengar sebutan 'sayang' itu, kepala Andara tertunduk semakin dalam. Dari sekian banyak wanita yang dibawa pria itu ke rumah, hanya Marcella yang dipanggilnya sayang. "Ta, malam ini aku nginap di sini ya. Mami sama papi lagi ke SG. Mau ngapain coba aku di rumah." Marcella mengoceh sambil merotasi bola matanya. "Oke. Kamu tidur di kamarku. Biar aku bisa jaga kamu. Siapa tahu nanti alergimu kambuh lagi." Marcella menggigit bibir. Diliriknya Andara yang masih mengelap-ngelap meja. "Tapi gimana dengan Andara?" Perempuan itu tampak ragu. "Emangnya kenapa dia?" "Kalau aku tidur di kamar kamu, Andara mau tidur di mana?" Marcella bersikap seolah-olah dia memang mengkhawatirkan Andara. "Dia bisa tidur di kamar pembantu." Dengan refleks Andara mengangkat wajah dan menatap Ananta. Namun laki-laki itu tidak satu kali pun sudi memandang padanya. "Andara, nggak apa-apa kalau aku tidur sama Ananta?" tanya Marcella, masih menunjukkan sikap tidak enak hatinya. "Nggak apa-apa. Saya bisa tidur di kamar lain," jawab Andara dengan perasaan terluka yang susah payah disembunyikannya. "Beneran?" Marcella masih terlihat belum yakin. "Beneran. Aku bisa tidur di kamar lain. Nggak apa-apa kok." Andara sengaja menerbitkan sebuah senyum dari bibirnya walau jauh di dalam diri hatinya tersayat-sayat. Marcella tersenyum lebar. Ananta merangkulnya, mengajak perempuan itu ke kamarnya. Andara berdiri mematung memandang punggung keduanya yang perlahan menjauh. Ananta dan Marcella tampak begitu akrab dan intim. Andara tahu dirinya memang bodoh. Memangnya istri mana yang sudi membiarkan perempuan lain tidur di kamar suaminya? Tapi Andara tahu, sebutan istri itu hanyalah sekadar status untuknya. Ia tidak berhak atas apa-apa dan tidak boleh menuntut apa pun. Termasuk diperlakukan semena-mena seperti ini. Ketika Andara hendak ke kamarnya dan melewati kamar Ananta, pintunya sedikit terbuka, cahaya lampu tidur memberikan sinar temaram. Entah sengaja atau tidak. Andara tidak tahu. Yang ia tahu, ia mendengar dengan jelas suara dari dalam sana. "Ta, udah ah, jangan peluk aku terus." Itu suara manja Marcella. Perempuan itu juga tertawa kecil. "Biar kamu tenang. Tadi katanya gatal." Ananta menjawab. "Tapi aku udah nggak gatal. Sekarang aku malah geli. Besok cukur kumis kamu ya, udah mulai panjang nih." Marcella tertawa cekikikan. Andara tertegun di tempatnya. Ia bisa membayangkan adegan mesra keduanya. Mungkin saat ini Ananta sedang mencumbui wanitanya hingga mendesah manja. Andara menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia tidak boleh menangis. Tapi kenapa ia tidak bisa menahan diri agar perasaannya tidak sedih? Tidak tahan lagi mendengar kemesraan itu, Andara berniat meninggalkan depan kamar Ananta. Ia hampir melangkah ketika tiba-tiba Ananta muncul. Tadi Ananta bermaksud menutup pintu yang sedikit terbuka. "Mau apa di sini? Mau ngintip?" Andara tersentak. Suara Ananta yang dingin tapi tajam membuatnya mundur setapak. Ia menunduk, menahan sesak di dada. "Mau tahu apa yang aku lakukan? Kenapa nggak sekalian masuk?" Andara menggeleng cepat-cepat. "B-bukan, Mas. Tadi aku kebetulan lewat dan nggak sengaja melihat pintunya terbuka sedikit." "Lewat? Kebetulan banget ya, pas kamu lewat pintunya juga kebuka." "Maaf, Mas." Hanya itu yang bisa disampaikan Andara. Ananta mendengkus. "Kalau kamu udah selesai nguping silakan pergi." "B-baik, Mas." Suara Andara nyaris tidak terdengar. Tanpa menunggu lagi ia langsung melangkah. Bahunya merosot. Tubuhnya gemetar. Tak lama di belakangnya terdengar pintu yang dibanting dengan suara keras. Andara berhenti di tengah lorong, menyentuh dadanya yang nyeri. Tidak ada luka yang mengucurkan darah, tapi rasa sakitnya jauh lebih dalam. Sesaat ia berpikir. Andai saja tadi seafood itu benar-benar membunuh Marcella. Mungkin keadaannya tidak begini. Andara menepis pikiran buruk itu. Dirinya bukan pembunuh. Tapi Andara tahu, jika dirinya terus tinggal di rumah ini, bukan hanya Marcella yang mati pelan-pelan. Tapi dirinya. **Anak kecil itu memandangi pria dewasa di sebelahnya dengan benak dipenuhi pertanyaan. Ia berusaha menyerap informasi yang tidak sanggup ia cerna."Papa? Papa Kai, kan, lagi di Bandung, Om," ujarnya bingung.Shankara sempat terdiam sepersekian detik, lalu tersenyum kaku. "Oh iya, Om lupa. Om salah bicara. Bukan papa Kai maksudnya, tapi teman Om."Kaivan memiringkan kepalanya. “Teman Om?"“Iya, dia teman Om. Orangnya baik. Nanti Kai bisa kenalan,” jawab Shankara, mengusap kepala mungil itu.Bocah itu tampak belum sepenuhnya puas dengan jawaban sang paman, tapi akhirnya mengangguk kecil. “Kalau baik, Kai mau. Tapi Om ikut ya?”“Ikut dong. Om nggak bakal ninggalin Kai.”Shankara menggandeng tangan Kaivan menuju rumah. Setiap langkah kecil bocah itu terdengar jelas, seakan menambah degup jantung yang berkejaran di dada Shankara sendiri. Ia tahu cepat atau lambat kebenaran akan terungkap, tapi untuk saat ini ia memilih menjaga agar hati anak itu tidak kaget terlalu cepat. Dan tentu saja aga
Andara menata pakaian Kaivan ke dalam koper kecil berwarna biru. Kaivan duduk di tepi ranjang. Kakinya yang mungil berayun-ayun. Sesekali ia mencoba memasukkan mainan dinosaurus kesayangannya ke dalam koper.“Kai, cuma boleh bawa satu mainan, sayang. Itu koper isinya baju, bukan kebun binatang,” ucap Andara sambil melipat kaus bergambar lumba-lumba.“Tapi Kai mau bawa T-Rex sama Triceratops juga,” rengek bocah itu dengan wajah penuh strategi.Andara menghela napas, lalu menatap matanya yang bundar. “Dua mainan, nggak lebih. Mama titip T-Rex, Kai boleh pilih satu lagi buat dibawa. Deal?”“Deal!” seru Kaivan ceria, lalu menyelipkan Triceratops kecil ke sudut koper.Shankara yang dari tadi bersandar di pintu setelah Kaivan memaksa melihat kamarnya yang estetik, hanya tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. “Ra, jangan terlalu keras, namanya juga anak-anak. Kalau bawa mainan segambreng juga nggak masalah.”Andara spontan memandang. “Abang gampang ngomongnya. Nanti kalau barangnya ke
Sudah empat tahun Andara menetap di Paris. Tapi kota yang terkenal dengan julukan La Ville Lumiere itu bagaikan persinggahan sementara karena Andara sering bolak-balik ke negara-negara lain.Sejak usia Kaivan dua tahun, Andara memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan Lumiere Models. Ia berdiri sendiri karena sudah punya modal selain skill dan pengalaman, yaitu nama besar. Kini, ia mengelola karirnya secara mandiri, memilih klien sesuai visi kreatifnya, dan menetapkan tarif sendiri.Perjalanan profesional Andara membuatnya sering bolak-balik Indonesia. Bahkan belakangan ini ia lebih sering tinggal di Indonesia. Namanya sudah dikenal di tanah air. Banyak yang mengajaknya berkolaborasi dan menyewa jasanya secara pribadi. Ia juga semakin sering berkeliling dunia, karena setiap kali ada event yang mengundang klien yang ia tangani ke luar negeri, Andara juga wajib ikut.Dengan ritme hidup seperti itu, Andara belajar menyeimbangkan antara karir internasional dan kehidupan keluarg
Butuh waktu enam minggu bagi Andara untuk mempersiapkan segalanya. Dimulai dari mengurus dokumen-dokumen pribadi hingga surat keterangan medis.Ia teringat pada masa ketika mengikuti summer course di Paris dulu. Waktu itu ia hanya perlu menyiapkan visa Schengen jangka pendek. Prosesnya lebih sederhana, hanya butuh bukti kursus, tiket pulang, dan akomodasi. Dalam waktu yang singkat semua sudah beres, dan ia bisa terbang ke Paris tanpa banyak prosedur tambahan.Sekarang, jalannya jauh lebih panjang. Karena Lumiere mengajukan visa kerja khusus untuknya, ada otorisasi dari pemerintah Prancis yang harus terbit terlebih dahulu sebelum kedutaan bisa menempelkan stiker visa di paspornya.Hari-hari Andara pun kembali dipenuhi penantian. Ia sering membuka portal imigrasi online, membaca ulang prosedur, mencari tahu kisah-kisah orang lain di forum. Ternyata ada yang menunggu sampai tiga bulan, ada juga yang hanya enam minggu. Semua tergantung pada keberuntungan dan kecepatan administrasi.Kadang
Andara terpaku sepersekian detik begitu menyaksikan nama yang tertera di layar. Selama sesaat ia berpikir untuk menolak atau mengabaikan panggilan tersebut.Akhirnya ia putuskan untuk menjawab."Halo, El.""Aku dengar dari Mas Kemal kamu udah resign. Itu betul, Ra?" Ello langsung menyerbunya dengan pertanyaan tanpa basa-basi atau salam pembuka."Iya, yang dibilang Mas Kemal nggak salah," jawab Andara berterus terang."Kenapa mendadak? Ada masalah apa?" Sama seperti Kemal pada awalnya, Ello juga mengira Andara berhenti karena memiliki masalah."Nggak ada masalah apa-apa, El. Aku cuma pengen bersolo karir."Ello menghela napas panjang di ujung telepon. “Solo karir ya… Aku paham, Ra. Maksudmu kamu mau fokus sama studio sendiri dan brand kamu sendiri, kan?”Andara mengangguk meski Ello tidak bisa melihatnya. “Iya, El. Aku pengen membangun semuanya dari nol. Aku mau orang ngeliat hasil kerjaku sendiri.”“Aku ngerti, dan jujur, aku bangga sama kamu. Berani banget ambil risiko gini. Nggak se
Andara menatap pria yang sedang duduk di hadapannya. Dengan sabar ia menunggu pria yang sedang menelepon itu meskipun kata-kata yang tersusun di benaknya sudah tidak bisa menunggu untuk dilontarkan."Sorry, Ra, jadi nunggu," kata pria itu setelah meletakkan ponselnya begitu selesai menelepon."Nggak apa-apa, Mas, kalau masih ada yang mau ditelepon lanjutin aja," jawab Andara pada Kemal. "Nggak ada."Andara diam.Kemal menatapnya, seolah menunggu Andara membuka pembicaraan. Akhirnya, Andara menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian.“Mas, aku mau bicarain sesuatu,” katanya pelan."Apa itu, Ra?"“Aku mau resign dari Etoile Beauty.”Kedua alis Kemal naik sekaligus, matanya menatap Andara penuh tanya. "Resign? Kenapa, Ra? Ada masalah?"Andara menggeleng. “Nggak ada masalah apa pun, Mas. Aku senang kerja di sini. Cuma... aku ngerasa waktunya sudah tepat. Aku ingin fokus membangun studio makeup sendiri, mengembangkan brand aku sendiri. Dan aku berterima kasih sudah dikasih kesempatan