Share

2. Mertua yang Kejam

last update Last Updated: 2025-07-12 12:18:11

Setelah pernikahan, hari-hari Harsa penuh dengan kesuraman. Apalagi saat Rajendra pergi ke luar kota untuk urusan bisnis, meninggalkan dirinya dan Ibu mertuanya serta beberapa pelayan—membuat keadaan rumah semakin tidak karuan. Harsa paham, setelah menikah dengan Rajendra tanpa restu Ny. Ratri, dia akan menghadapi penolakan, ejekan yang penuh cemooh dari Ibu mertuanya. Semua memang sudah menjadi resiko yang harus dia hadapi. Hanya saja Harsa melupakan, hal itu akan sangat terasa menyesakkan, jika dihadapi setiap harinya.

Ny. Ratri memanggil Harsa ke ruang tamu. Wanita paruh baya itu duduk anggun di sofa dengan cangkir teh porselen di tangan. Sementara beberapa pelayan berdiri di belakangnya dengan wajah kaku. Harsa yang baru selesai membereskan kamar langsung datang, menghadapi mertuanya itu. "Ada yang bisa Saya bantu, Bu?"

Ny. Ratri menyesap tehnya perlahan, sebelum meletakkannya di meja. "Hari ini aku akan mengadakan arisan bersama teman-temanku. Aku ingin tamanku terlihat sempurna."

Harsa mengangguk, mencoba tersenyum. "Baik, Bu. Saya bisa meminta pelayan untuk membantu—"

"Tidak." Ny. Ratri langsung memotong dengan nada tegas. "Aku ingin kamu yang melakukannya sendiri. Kamu harus menyiram, memangkas dan merapikan seluruh taman tanpa bantuan siapa pun."

Harsa terkejut sesaat. Taman keluarga Rajendra bukan taman kecil—begitu luas, dipenuhi berbagai jenis bunga dan tanaman hias yang butuh perawatan intensif. Ini jelas bukan tugas yang bisa selesai dalam waktu singkat. Namun, dia tidak punya pilihan dan tidak bisa menolak. Siapa dirinya di rumah ini, jika tidak ada Rajendra? Yang tidak lebih adalah seorang pembantu di mata Ny. Ratri.

"Baik, Bu."

Di luar, matahari mulai terik. Tanpa banyak bicara, Harsa langsung bergegas pergi ke taman. Dia berdiri di tengah taman dengan sebuah gunting tanaman di tangan dan ember berisi air di sampingnya. Bulir keringat mulai membasahi pelipis dan dia juga merasakan keringat menetes di tubuhnya. Memotong daun-daun yang mengering, menyiram mawar yang mulai layu dan mencabut gulma yang mengganggu. Beberapa kali, dia harus mengangkat pot besar untuk memindahkannya ke tempat yang lebih baik, membuat tangannya terasa sakit. Tanah di bawahnya mulai kotor dan pakaiannya basah oleh keringat serta cipratan air.

Dari balkon lantai dua, Ny. Ratri berdiri mengamati sembari menyesap cerutunya, mengepulkan asapnya ke udara. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil penuh ejekan. Seorang pelayan mendekat dan berbisik. "Maaf, Bu. Nyonya ingin Saya membantu Nona Harsa?"

Ny. Ratri mendelik tajam. "Tidak usah. Biarkan saja dia bekerja sendiri. Biar dia tau bagaimana rasanya menjadi bagian dari keluarga ini."

Sementara itu, Harsa terus bekerja meskipun punggungnya mulai terasa pegal. Jari-jarinya kotor oleh tanah dan wajahnya mulai memerah akibat panas matahari.

"Jangan sampai ada satu pun bunga yang terlihat layu, Harsa. Aku ingin tamanku tetap sempurna, tidak seperti—" Ny. Ratri berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan nada tajam. "—menantuku yang tidak sempurna."

Harsa menelan ludah, tetapi tetap diam. Dia sudah terbiasa dengan penghinaan seperti ini. Setelah berjam-jam bekerja di taman, Harsa akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Tangannya terasa kaku, punggungnya nyeri dan kakinya terasa lemas karena berdiri terlalu lama. Dia hendak masuk untuk membasuh wajah dan sedikit beristirahat, tetapi suara Ny. Ratri menghentikannya.

"Oh, sudah selesai? Bagus." Ny. Ratri tersenyum dingin, melirik pakaian Harsa yang kotor. "Sekarang, masuk dan mulai siapkan makanan untuk para tamuku. Aku ingin kamu yang memasak dan menyajikan semuanya sendiri."

Harsa bahkan belum bernapas dengan baik dan belum sempat membersihkan diri dari debu dan keringat. Lalu sekarang, Ibu mertuanya itu sudah memberinya tanggung jawab lagi? Tanpa pelayan. Lagi-lagi, dia harus mengerjakan semuanya sendiri.

"Tapi, Bu, Saya baru saja—"

"Tidak ada tapi-tapian." Suara Ny. Ratri terdengar datar. "Kamu mau membuat malu suamimu di depan teman-teman Ibu mertuamu? Cepat masuk ke dapur."

Setelah berjam-jam bekerja di taman, Harsa memasuki dapur dengan langkah berat. Pakaiannya kotor oleh tanah, wajahnya masih berkilau oleh keringat dan tubuhnya terasa pegal. Tidak ada waktu untuk beristirahat dan langsung beralih pekerjaan menjadi tukang masak. Bahkan, dia lebih pantas disebut sebagai pembantu daripada menantu keluarga Rajendra. Dapur keluarga Rajendra begitu luas, dilengkapi dengan peralatan modern dan bahan-bahan mahal. Namun, semua kemewahan itu tidak berarti apa-apa bagi Harsa, karena dia harus bekerja sendirian tanpa bantuan seorang pun. Ya, meskipun banyak pelayan yang ada di rumah ini, Ny. Ratri tidak membiarkan satu pun dari mereka untuk membantunya. Sungguh mertua yang kejam.

Harsa menghela napas panjang, lalu menggulung lengan bajunya—mulai mempersiapkan bahan-bahan makanan dengan cekatan. Dia mengiris daging ayam untuk sate, merendamnya dalam bumbu kecap dan rempah-rempah. Selain itu, dia juga memasak sup buntut di atas api kecil, menunggu dagingnya empuk sembari terus mengaduk kuah agar rasanya meresap sempurna. Tangannya yang lincah menata tumpeng dengan aneka lauk, memastikan warnanya menarik dan menggugah selera. Bahkan, dia juga memanggang kue tradisional, memastikan teksturnya lembut dan harum. Dia benar-benar memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Waktu terus berjalan dan Harsa hampir tidak menyadari, jika tenaganya perlahan mulai habis. Bulir keringat semakin deras membasahi pelipisnya, kakinya mulai terasa lemas, tetapi dia tetap bertahan. Sesekali, dia melirik jam dinding. Acara arisan akan dimulai sebentar lagi dan semua hidangan harus siap tepat waktu. Baru saja, dia hendak mengambil piring untuk menyajikan makanan, tiba-tiba tangannya tergelincir dan hampir menjatuhkan mangkuk berisi adonan kue.

"Astaga!" Harsa berhasil dengan sigap menangkapnya, tetapi jari-jarinya harus berkorban terkena cipratan minyak panas dari wajan yang berada di sampingnya.

Harsa menggigit bibirnya, menahan rasa perih. Namun rasanya, dia tidak punya waktu untuk mengeluh. Dia harus menyelesaikan semuanya sebelum Ny. Ratri kembali datang dengan perintah baru. Setelah selesai memasak, Harsa membawa nampan berisi makanan ke ruang tamu. Saat dia melangkah masuk, suasana ruangan begitu berbeda dari dapur tempatnya bekerja keras barusan.

Rumah keluarga Rajendra sudah dipenuhi tamu. Ny. Ratri mengundang teman-teman sosialitanya untuk acara arisan eksklusif. Para wanita berusia setengah baya itu duduk di ruang tamu yang luas. Di tengah suasana meriah itu, Harsa berdiri canggung di sudut ruangan, mengenakan daster sederhana dengan celemek di pinggang. Tangannya sedikit gemetar karena kelelahan, peluh sudah mulai membasahi pelipisnya.

Para wanita sosialita duduk di sofa empuk sembari berbincang santai. Mereka mengenakan pakaian mahal dan mewah dengan perhiasan berkilauan di leher dan tangan. Sesekali tertawa pelan, menikmati teh dan percakapan ringan tentang perjalanan liburan, tas bermerek, serta investasi mereka. Udara di ruangan terasa dingin, kontras dengan panas dan keringat yang masih melekat di tubuh Harsa.

Ny. Ratri yang duduk di tengah dengan anggun, melirik Harsa sekilas sebelum berkata dengan nada tajam. "Lihat siapa yang akhirnya muncul. Cepat sajikan makanan itu."

Harsa menunduk sedikit. "Ya, Bu."

Saat Harsa mulai meletakkan hidangan di meja, seorang wanita bergaun biru dengan berlian besar di jarinya mengamatinya dengan tatapan menyelidik.

"Jadi, ini menantumu, Ratri?" Wanita itu berkata dengan nada meremehkan. "Kudengar dia berasal dari keluarga biasa saja?"

Ny. Ratri tertawa kecil, melirik Harsa seolah sedang menilai barang dagangan. "Ya ... tapi, bukan lagi keluarga biasa," ujarnya meralat.

"Dia perempuan miskin yang berhasil menikahi putraku. Aku sendiri masih bertanya-tanya bagaimana dia bisa membuat Rajendra jatuh cinta." Lanjutnya dengan malas.

Tawa kecil terdengar dari beberapa tamu membuat Harsa menggigit bibirnya, menahan rasa sakit di dadanya.

Seorang wanita lain menambahkan dengan nada berpura-pura ramah. "Wah, tapi dia kelihatan rajin. Bisa memasak dan mengurus taman juga? Tidak seperti menantu-menantu lain yang hanya tau bersolek."

"Ah, tapi jangan salah." Ny. Ratri menyela dengan nada licik. "Seorang menantu bukan hanya harus rajin. Dia juga harus tau tempatnya."

Para tamu tertawa lagi. Bagi mereka, ini hanya hiburan. Namun bagi Harsa, ini adalah penghinaan yang harus dia telan mentah-mentah. Harsa mencoba untuk tetap tenang. Meskipun di dalam hatinya, dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya.

"Kalau begitu—" Ny. Ratri berkata lagi. Kali ini dengan senyum puas di wajahnya. "Karena Harsa sudah menyajikan makanannya, biarkan dia juga yang menuangkan teh untuk kalian semua."

Para tamu tersenyum penuh arti, menikmati pemandangan seorang menantu yang direndahkan di rumah suaminya sendiri. Lalu Harsa? Dia hanya bisa bertahan, berharap suatu hari semua ini semua akan berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    5. Rencana Ny. Ratri

    Setelah menikah dengan Rajendra, Harsa berhenti dari pekerjaannya sebagai perancang busana. Lebih tepatnya, suaminya itu yang menginginkan dan memilih untuk membuatkan Harsa butik sendiri. Hari ini adalah hari yang penting, karena dia berencana meninjau koleksi baru yang sedang dikerjakan timnya. Suasana hatinya juga menjadi lebih baik, setelah Rajendra membawanya pergi jalan-jalan. Namun, saat baru saja melangkah keluar dari kamar, suara tajam Ny. Ratri menghentikannya. Lagi dan lagi, Ibu mertuanya itu selalu memiliki 1000 cara untuk menghancurkan dan merusak kebahagiaannya di pagi hari. "Mau ke mana kamu sepagi ini?" Harsa menelan ludah. Dia menoleh dan melihat Ny. Ratri berdiri di dekat tangga dengan tangan bersedekap, tatapannya penuh selidik. "Saya ingin ke butik, Bu," balas Harsa dengan sopan. "Ada beberapa hal yang perlu Saya urus di sana." Ny. Ratri mendengus sinis. "Butik? Untuk apa? Menghamburkan uang suamimu lagi?" Harsa mengepalkan jemarinya erat. "Bukan begitu, Bu.

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    4. Perusak Kebahagiaan

    Udara pagi masih terasa sejuk, saat sinar matahari mulai menyelinap masuk melalui tirai kamar. Harsa bangun lebih awal, bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Ada sebuah perasaan ringan di dadanya, sesuatu yang jarang ia rasakan sejak menikah—harapan kecil untuk memiliki hari yang indah bersama Rajendra. Saat dia keluar dari kamar, Rajendra sudah menunggunya di ruang tamu. Pria itu mengenakan kemeja kasual dengan lengan tergulung. Senyumnya lembut, penuh ketenangan, seolah ingin mengatakan bahwa hari ini hanya akan menjadi milik mereka berdua. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suara langkah berderap terdengar dari arah tangga, disusul dengan kehadiran seseorang yang sejak awal selalu menjadi bayangan kelam dalam hidup Harsa—Ny. Ratri. Wanita paruh baya itu mengenakan gaun tidur sutra dengan rambut tertata rapi, meskipun pagi baru dimulai, ekspresi di wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Matanya menyapu Harsa dari kepala hingga kaki sebelum akhirnya beralih ke Rajendr

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    3. Sikap Manis Rajendra

    Meskipun hari-harinya penuh dengan luka, tetapi masih ada satu hal yang perlu Harsa syukuri, yaitu kehadiran Rajendra yang menjadi obat dalam luka dan dukanya. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, Harsa duduk di tepi ranjang—meremas jemarinya yang merah dan perih akibat seharian bekerja di taman dan dapur. Tubuhnya terasa lelah, tetapi hatinya lebih lelah lagi. Pikirannya masih dipenuhi suara tawa sinis para tamu Ibu mertuanya. Setiap kata-kata tajam yang mereka lontarkan masih terngiang jelas di telinganya. Namun, ketika pintu kamar terbuka, semua beban itu sedikit mereda. Rajendra masuk dengan langkah tenang, mengenakan kemeja santai dengan lengan yang digulung. Di tangannya ada sebuah nampan kecil berisi semangkuk sup hangat dan juga segelas susu. Harsa mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Kamu belum tidur?" Rajendra tersenyum kecil, senyum yang selalu berhasil membuat hati Harsa merasa lebih tenang. "Aku tau kamu pasti merasa lelah hari ini. Makan dulu." Harsa menatap s

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    2. Mertua yang Kejam

    Setelah pernikahan, hari-hari Harsa penuh dengan kesuraman. Apalagi saat Rajendra pergi ke luar kota untuk urusan bisnis, meninggalkan dirinya dan Ibu mertuanya serta beberapa pelayan—membuat keadaan rumah semakin tidak karuan. Harsa paham, setelah menikah dengan Rajendra tanpa restu Ny. Ratri, dia akan menghadapi penolakan, ejekan yang penuh cemooh dari Ibu mertuanya. Semua memang sudah menjadi resiko yang harus dia hadapi. Hanya saja Harsa melupakan, hal itu akan sangat terasa menyesakkan, jika dihadapi setiap harinya. Ny. Ratri memanggil Harsa ke ruang tamu. Wanita paruh baya itu duduk anggun di sofa dengan cangkir teh porselen di tangan. Sementara beberapa pelayan berdiri di belakangnya dengan wajah kaku. Harsa yang baru selesai membereskan kamar langsung datang, menghadapi mertuanya itu. "Ada yang bisa Saya bantu, Bu?" Ny. Ratri menyesap tehnya perlahan, sebelum meletakkannya di meja. "Hari ini aku akan mengadakan arisan bersama teman-temanku. Aku ingin tamanku terlihat sempurn

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    1. Pernikahan Tanpa Restu

    "Aku tidak menyangka, Ratri merestui hubungan mereka." "Sekalipun memakai gaun mewah dari brand terkenal, perempuan itu masih terlihat kampungan." "Di mana Rajendra menemukan perempuan miskin itu?" "Aku sangat yakin, pasti perempuan itu hanya mengincar harta keluarga Rajendra saja." Bisik-bisik menyakitkan terdengar di telinga Harsa, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya. Meskipun sebenarnya, hatinya merasakan sakit. Serendah itukah mereka memandang dirinya? Harsa berusaha memperlihatkan senyum hangat, tidak peduli orang-orang mengabaikan kehadirannya. Bahkan keluarga besar sekalipun seakan tidak menganggapnya ada, seakan dirinya tidak terlihat di tengah-tengah keramaian ini. Padahal sekarang, adalah hari bahagianya dengan salah satu keluarga mereka. Di dalam aula besar yang dihiasi bunga-bunga putih dan cahaya lilin, pernikahan Harsa Paraduta dan Rajendra digelar dengan mewah. Para tamu dari kalangan elit berbisik-bisik, memperhatikan pengantin wanita dengan tatapan menilai. H

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status