Share

3. Sikap Manis Rajendra

last update Huling Na-update: 2025-07-12 12:18:15

Meskipun hari-harinya penuh dengan luka, tetapi masih ada satu hal yang perlu Harsa syukuri, yaitu kehadiran Rajendra yang menjadi obat dalam luka dan dukanya. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, Harsa duduk di tepi ranjang—meremas jemarinya yang merah dan perih akibat seharian bekerja di taman dan dapur. Tubuhnya terasa lelah, tetapi hatinya lebih lelah lagi. Pikirannya masih dipenuhi suara tawa sinis para tamu Ibu mertuanya. Setiap kata-kata tajam yang mereka lontarkan masih terngiang jelas di telinganya.

Namun, ketika pintu kamar terbuka, semua beban itu sedikit mereda. Rajendra masuk dengan langkah tenang, mengenakan kemeja santai dengan lengan yang digulung. Di tangannya ada sebuah nampan kecil berisi semangkuk sup hangat dan juga segelas susu. Harsa mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Kamu belum tidur?"

Rajendra tersenyum kecil, senyum yang selalu berhasil membuat hati Harsa merasa lebih tenang. "Aku tau kamu pasti merasa lelah hari ini. Makan dulu."

Harsa menatap sup di tangannya. Aroma jahe dan kaldu yang hangat membuat dadanya terasa penuh—bukan karena lapar, tetapi karena terharu.

"Mas ....." Suaranya bergetar. "Kamu yang memasaknya?"

Rajendra terkekeh pelan, duduk di sampingnya. "Tentu saja tidak. Aku hanya memanaskannya, tetapi tetap saja, ini untukmu."

Harsa tersenyum samar. Di tengah segala luka yang dia rasakan di rumah ini, kehadiran Rajendra adalah satu-satunya hal yang membuatnya bertahan. Saat dia mulai menyeruput supnya, Rajendra mengusap lembut jemari tangannya yang kemerahan. "Tanganmu kasar dan merah, Ibu menyuruhmu bekerja lagi hari ini, ya?"

Harsa menunduk. Dia tidak ingin mengeluh, tetapi diamnya sudah cukup menjadi jawaban.

Rajendra mendesah pelan. "Aku akan bicara dengan Ibu."

Harsa buru-buru menggeleng. "Tidak, Mas. Aku tidak ingin ada pertengkaran lagi. Aku bisa mengatasinya."

Rajendra menatapnya dalam, ada keprihatinan di matanya. Lalu, tanpa berkata apa-apa, dia menggenggam tangan Harsa dan mengecupnya pelan. Harsa tertegun. Pelukan kehangatan itu terasa seperti obat bagi luka-luka yang tidak terlihat di hatinya. Meskipun dunianya penuh dengan duri, setidaknya masih ada Rajendra yang menjadi tempat bersandar untuknya saat ini.

“Kamu habiskan makanannya dan aku akan mengambil salep untuk mengobati tanganmu.” Rajendra beranjak dari duduknya, tetapi Harsa menahan.

“Tidak perlu, Mas. Besok juga akan sembuh.”

Rajendra berjongkok di depan Harsa, menatap istrinya penuh kelembutan. Kedua tangannya meraih tangan kanan Harsa dan memberi usapan hangat. “Sayang, jangan menolak, ya?”

“Lihat ini, tangan cantikmu menjadi luka karena Ibu.” Lanjutnya sembari menyelipkan candaan di tengah kalimat. Harsa tersenyum lebar mendengarnya, melihat itu membuat Rajendra menghangat. Setidaknya, dunia akan terasa baik-baik saja, jika masih ada senyum tulus dari wajah cantik Harsa.

Sembari Harsa menyelesaikan menyantap sup yang dibawakan Rajendra, tidak berselang lama, pria itu datang dengan sebuah kotak obat. Rajendra menarik kursi dan duduk di depan Harsa, lalu mulai mengoleskan salep pada tangan istrinya yang memerah dan terlihat luka dengan sobekan kecil-kecil di beberapa tempat telapak tangannya. Setelah selesai memberikan obat, Rajendra memberikan kecupan singkat pada tangan Harsa dan menatap istrinya itu penuh cinta. “Kalau sudah diobati seperti ini, dapat dipastikan besok akan sembuh, sayang.”

Harsa tersenyum hangat. “Terima kasih ya, Mas.”

“Duniaku akan aman dan baik-baik saja, selagi ada kamu di sisiku.”

Mereka masih duduk di tepi ranjang—menikmati keheningan malam. Lampu kamar yang redup memberikan suasana hangat di antara mereka, seolah dunia luar yang penuh tekanan bisa dikesampingkan untuk sementara.

Rajendra menghela napas pelan, lalu menatap istrinya. "Hari ini melelahkan, ya?"

Harsa tersenyum kecil. Meskipun senyumnya tidak bisa menyembunyikan kelelahannya. "Seperti hari-hari biasanya. Tidak ada yang spesial."

Rajendra mengamati wajah Harsa, lalu mengulurkan tangan untuk menyelipkan beberapa helai rambut yang jatuh ke pipi istrinya itu. "Kamu terlalu baik, sayang. Aku tau, Ibu tidak mudah untuk dihadapi."

Harsa hanya menunduk. "Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik. Bagaimanapun juga, aku adalah bagian dari keluarga ini sekarang."

Rajendra tersenyum kecil, tetapi ada sedikit rasa bersalah di matanya. "Aku ingin bisa selalu melindungimu, tapi kamu tau sendiri, Ibu—"

Harsa mengangguk paham. "Aku mengerti, Mas. Aku tidak ingin kamu berada di posisi sulit. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, Ibu bisa melihat aku sebagai bagian dari keluarga ini, bukan orang luar."

Rajendra terdiam sesaat sebelum mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Harsa. Genggaman hangatnya selalu membuat Harsa merasa lebih tenang. “Kalau lelah, mengeluh saja ya, sayang,” ujar Rajendra. “Di depanku, kamu tidak perlu menahannya. Ungkapkan saja semua keluh kesah yang kamu miliki, termasuk dengan Ibuku.”

“Aku bahkan siap mendengarkannya, sekalipun itu dari malam ke pagi.”

Harsa hanya diam, mendengarkan semua yang dikatakan Rajendra. Rasanya ingin sekali mengatakan semua itu pada Rajendra, sesuai dengan yang dikatakan oleh suaminya. Namun, rasanya begitu berat.

"Bagaimana kalau besok kita pergi keluar? Aku tau satu tempat makan enak yang pasti kamu suka." Rajendra kembali membuka percakapan, saat Harsa memilih diam.

Harsa menatapnya dengan mata berbinar. "Benarkah? Tapi, apa Ibu tidak akan marah?"

Rajendra tertawa kecil. "Aku bisa mengatasinya. Lagipula, aku ingin menghabiskan waktu dengan istriku sendiri. Sudah lama kita tidak pergi berdua, kan?"

Harsa tersenyum lembut, merasakan sejenak kebahagiaan yang sederhana di antara luka-luka yang dia alami. Di saat seperti ini, dia bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa suaminya masih pria yang dia cintai dan mencintai dirinya, bukan seseorang yang akan berubah di kemudian hari. Bahkan, jika kembali mengingat masa lalu—memutar segala kenangan saat-saat pertama kali bertemu dengan Rajendra hingga akhirnya mereka bisa sampai di titik ini.

Harsa tidak pernah menyangka bahwa perjalanannya di dunia desain busana akan mempertemukannya dengan seseorang seperti Rajendra. Semua bermula di sebuah acara peragaan busana eksklusif, tempat dia bekerja sebagai salah satu desainer muda yang sedang meniti karier. Hari itu, dirinya tengah sibuk memastikan gaun-gaun yang dirancangnya terpasang sempurna di tubuh para model sebelum mereka melangkah di atas catwalk.

Di antara keriuhan backstage, suara langkah tegas seorang pria menarik perhatiannya. Harsa tidak langsung menoleh, terlalu sibuk dengan jahitan terakhir pada gaun seorang model, tetapi kehadiran pria itu terasa begitu kuat. Ketika dia akhirnya mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Rajendra. Pria itu berdiri tegap, mengenakan setelan mahal yang memperjelas statusnya sebagai seseorang dari kelas atas. Sikapnya santai, tetapi terlihat berwibawa, seolah dunia berputar di sekelilingnya, bukan sebaliknya. Rajendra bukan tipe pria yang sulit dikenali—namanya sudah sering disebut-sebut di berbagai media sebagai pewaris salah satu perusahaan terbesar di negeri ini.

Awalnya, Harsa tidak terlalu memikirkan pertemuan itu. Baginya, Rajendra hanyalah tamu penting yang hadir untuk menyaksikan koleksi terbaru dari rumah mode tempatnya bekerja. Namun, sesuatu dalam cara pria itu memperhatikannya membuatnya sedikit gelisah. Rajendra tidak hanya melihatnya sekilas seperti kebanyakan orang kaya yang mengabaikan staf di balik layar, tetapi dia memperhatikannya—seolah ingin memahami siapa dirinya di balik kanvas kain dan jarum yang digunakannya.

Setelah acara selesai, Harsa kembali ke ruangannya. Dia mencoba menikmati momen kebanggaan atas hasil kerja kerasnya. Namun, tidak lama kemudian—seseorang mengetuk pintu dan menyerahkan sebuah kartu nama berukir elegan dengan tulisan nama Rajendra di atasnya. Itu adalah undangan makan malam. Sebuah ajakan yang sederhana, tetapi cukup untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.

"Makasih ya, Mas. Sudah mau berjuang dengan hubungan kita," ujar Harsa menatap Rajendra serius.

Rajendra tersenyum hangat, mengusap lembut tangan istrinya. "Seharusnya aku yang berterima kasih."

"Makasih karena kamu sudah mau bertahan pada pernikahan kita sampai detik ini." Lanjutnya menatap Harsa dengan tulus. "Kanu tau, aku cinta dan sayang sekali sama kamu."

"Aku tau," balas Harsa sembari tertawa pelan. Dia menatap suaminya dengan gemas. "Aku juga. Cinta dan sayang sekali sama kamu, Mas."

"Jangan tinggalkan aku, ya."

"Justru aku yang seharusnya bilang seperti itu," balas Rajendra dengan cepat. "Aku takut. Kalau suatu saat nanti kamu pergi meninggalkan aku, karena tidak tahan lagi dengan sikap Ibu."

"Kamu tenang saja, Mas. Aku tidak akan menyerah begitu saja hanya karena sikap Ibu." Harsa tersenyum hangat sembari mengusap pipi suaminya, menenangkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    Ekstra Part: Yang Layak Dicintai

    Langit biru cerah menaungi rumah kayu sederhana yang telah direnovasi indah di pinggir desa, dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang Harsa tanam sendiri selama berbulan-bulan terakhir. Udara hangat membawa suara tawa seorang gadis kecil dan langkah kaki riang dari halaman depan.Hari ini, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal. Hari ini, rumah itu menjadi saksi Harsa memulai kembali hidupnya. Di dalam rumah, Harsa berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya lembut warna krem gading. Senyumnya mengembang pelan, begitu tulus, meskipun matanya berkaca-kaca. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai rambut lembut sengaja dibiarkan menjuntai. Di perutnya, tangan seorang wanita paruh baya membantu mengikatkan selendang dengan pelan."Kamu cantik sekali, Nak," ujar wanita itu, Ibu Raka.Harsa mengangguk kecil. “Aku gugup, Bu.”“Tidak perlu gugup kalau kamu tau lelaki yang menunggumu di pelaminan itu akan memuliakanmu seumur hidupnya.”Kalimat itu membuat air mata Harsa luruh tanpa suara.

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    55. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Rumah kayu sederhana di ujung desa itu dipeluk senyap sore hari. Aroma kayu bakar dari dapur, tawa kecil putri mungilnya dan semilir angin yang membawa damai—itulah kehidupan yang kini dijalani Harsa. Namun, sore itu datang seorang tamu yang tidak pernah dia sangka.Ny. Ratri.Wanita yang dulu begitu dingin, kaku dan tajam dalam kata-katanya kini berdiri di beranda rumah, mengenakan selendang tenun yang menutupi bahunya. Usianya memang belum terlalu tua, tapi raut wajahnya lebih tenang, seperti seseorang yang telah bergulat lama dengan penyesalan. Harsa membukakan pintu. Kaget, tentu saja, tapi dia tetap menyambut dengan hangat dan sopan.“Silakan masuk, Bu,” ujarnya pelan.Ny. Ratri duduk di kursi kayu panjang di ruang tamu, matanya menyapu seisi rumah yang sederhana tapi bersih dan terasa hangat. Ada getaran halus di dada wanita itu. Bukan karena hina, tapi karena malu."Aku tidak tau harus memulai dari mana," ujarnya pelan tapi tegas. “Tapi aku datang bukan untuk menyakiti lagi. Ju

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    54. Bedamai dengan Masa Lalu

    Beberapa tahun kemudian.Pagi di desa kecil itu dimulai dengan suara burung yang bersahut-sahutan dan angin lembut yang menerpa pepohonan. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya keemasannya sudah menyusup masuk melalui sela-sela jendela rumah kayu sederhana, rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakek dan nenek Harsa, kini menjadi rumah kecil yang penuh kehangatan baru.Di dalamnya, terlihat seorang wanita muda sedang menyisir rambut panjang anak perempuannya yang masih mengenakan piyama lucu bermotif kelinci. Gadis kecil itu duduk di atas karpet rotan dengan cermin kecil di hadapannya.“Pelan-pelan, Bunda, nanti aku jadi kelinci galak,” gumam gadis kecil itu membuat Harsa tertawa pelan.“Bunda nggak tau kalau kelinci bisa galak,” balas Harsa lembut, menyematkan pita mungil ke rambut anaknya. “Tapi, kelinci manis seperti kamu, pasti banyak yang sayang.”Anak itu membalikkan tubuh dan langsung memeluk ibunya. “Aku sayang Bunda. Sama besar kayak langit.”Harsa mengecup ubun

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    53. Obsesi Anindira

    Mobil hitam yang membawa Rajendra melaju membelah jalan tol dengan kecepatan sedang. Langit kota sudah mulai menghitam, menyambut malam dengan bias lampu-lampu kendaraan yang tidak henti berkelebat. Tangan pria itu bertumpu di atas kemudi, tapi pikirannya jauh tertinggal di desa tempat Harsa tinggal kini. Di rumah kayu sederhana yang dipenuhi aroma kayu tua dan tangis bayi yang belum sempat ia peluk.Perempuan itu benar-benar menolaknya. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak ada celah untuk permintaan maaf dan yang paling menghantam batinnya adalah tatapan itu, tatapan Harsa yang dulu lembut, kini mengeras menjadi dinding dingin yang tidak bisa dia tembus.“Sudah terlambat, Rajendra.”Kalimat itu masih menggema di telinganya, menusuk seperti duri-duri halus yang tidak terlihat, tapi menghantui setiap helaan napasnya. Dia mengerti dan pantas ditolak, pantas dibenci, tapi ternyata mengetahui itu tidak membuat sakitnya berkurang.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Anindira muncul di

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    52. Meminta Kesempatan

    Hujan turun perlahan. Langit desa berwarna abu, seolah ikut menyimpan luka-luka yang belum sembuh. Di teras rumah kayu tempat Harsa tinggal, aroma tanah basah dan teh jahe menguap bersamaan dengan ketegangan yang telah lama tertahan. Rajendra berdiri di depan pintu. Tangannya menggenggam jaket tipis yang dikenakan dengan setengah kuyup. Napasnya berat, tapi niatnya tidak bergeming.Harsa membukakan pintu, tapi tetap dengan tatapan netral. Dingin, datar dan penuh jarak."Ada apa?" tanyanya.Rajendra menatap perempuan itu—yang kini tidak lagi rapuh seperti dulu. Harsa terlihat kuat dan tegar.“Aku hanya ingin bicara.”Harsa membuka sedikit pintu. Tidak mempersilakan masuk, tapi juga tidak langsung menolak."Aku tidak datang untuk membela diri. Aku tau, aku salah. Dan mungkin, bahkan maaf pun tidak pantas aku minta.” Suara Rajendra parau. “Tapi aku tetap ingin memintanya. Bukan karena aku ingin menghapus semuanya, tapi karena aku ingin memperbaiki semua yang sudah hancur.”Harsa menunduk

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    51. Antara Hidup dan Mati

    Darah terus mengalir. Terlalu banyak dan wajah Harsa semakin pucat.“Raka,” gumamnya lemah, menyebut satu-satunya nama yang akhir-akhir ini menemaninya. Tetapi pria itu sedang mencari mobil untuk membawa Harsa ke rumah sakit terdekat yang letaknya satu jam dari desa jika tidak banjir.“Aku takut,” bisik Harsa, pandangannya mulai mengabur. “Aku belum lihat anakku.”"Tolong ... tolong selamatkan bayinya." Suaranya hampir tak terdengar.Bidan dan para ibu bekerja dengan cepat, panik dan dibalut doa. Detik-detik berlalu dalam teror yang seakan membekukan waktu. Lalu tangis bayi pecah. Keras dan nyaring.Salah satu tetangga berteriak. “Bayinya perempuan!”Namun, semua sorot mata segera beralih ke Harsa yang diam tidak bergerak.“Harsa?” Bidan memeriksa denyut nadinya. Lemah. Nyaris tidak ada.“Cepat, ambilkan air hangat dan handuk! Jangan biarkan dia tertidur!”Tubuh Harsa bergetar. Bibirnya berbisik pelan. “Dia … mirip ayahnya, ya?”Dan kemudian gelap menelannya pelan.Beberapa Jam Kemudi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status