Share

Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua
Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua
Author: thxyousomatcha

1. Pernikahan Tanpa Restu

last update Huling Na-update: 2025-07-12 12:18:07

"Aku tidak menyangka, Ratri merestui hubungan mereka."

"Sekalipun memakai gaun mewah dari brand terkenal, perempuan itu masih terlihat kampungan."

"Di mana Rajendra menemukan perempuan miskin itu?"

"Aku sangat yakin, pasti perempuan itu hanya mengincar harta keluarga Rajendra saja." Bisik-bisik menyakitkan terdengar di telinga Harsa, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya. Meskipun sebenarnya, hatinya merasakan sakit. Serendah itukah mereka memandang dirinya?

Harsa berusaha memperlihatkan senyum hangat, tidak peduli orang-orang mengabaikan kehadirannya. Bahkan keluarga besar sekalipun seakan tidak menganggapnya ada, seakan dirinya tidak terlihat di tengah-tengah keramaian ini. Padahal sekarang, adalah hari bahagianya dengan salah satu keluarga mereka.

Di dalam aula besar yang dihiasi bunga-bunga putih dan cahaya lilin, pernikahan Harsa Paraduta dan Rajendra digelar dengan mewah. Para tamu dari kalangan elit berbisik-bisik, memperhatikan pengantin wanita dengan tatapan menilai. Harsa terlihat ayu dan manis dalam balutan kebaya putih. Di balik senyumnya, ada kegelisahan yang tidak bisa dia sembunyikan.

Di sudut ruangan, seorang wanita paruh baya dengan kebaya hitam berdiri dengan tatapan dingin yang begitu ketara. Ny. Ratri—Ibu Rajendra itu tidak berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia bahkan tidak memberi selamat kepada Harsa. Memilih diam dengan ekspresi tidak terbaca.

Saat upacara akad selesai dan para tamu mulai mengucapkan selamat, Harsa menggenggam tangan Rajendra erat. "Akhirnya kita sampai di titik ini juga, Mas," bisiknya dengan mata berbinar.

Rajendra tersenyum kecil, meskipun dia tidak bisa menghilangkan rasa gelisah di dalam hatinya karena Ibunya tidak memberi mereka restu. "Ibu masih marah. Aku harap kamu siap dengan semua ini, sayang."

Harsa mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi segalanya, termasuk ketidaksetujuan Ny. Ratri. Dia berjanji, akan mengambil hati Ibu mertuanya itu. Menggantikan rasa ketidaksukaan menjadi rasa cinta dan kasih sayang kepadanya. Namun, harapannya sedikit goyah saat mereka mendekati Ny. Ratri. Bahkan wanita paruh baya itu tidak berusaha menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.

"Selamat, Ibu." Harsa mencoba bersikap sopan, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat.

Ny. Ratri hanya menatapnya dingin dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Jangan panggil aku Ibu. Aku tidak menganggapmu bagian dari keluarga ini."

Suasana seketika menjadi tegang. Beberapa tamu yang mendengar perkataan itu juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Sementara Harsa merasakan kecewa dan malu di saat yang bersamaan.

"Ibu ....." Rajendra mencoba menengahi, tetapi Ny. Ratri mengangkat tangannya, menghentikan.

"Ibu tidak ingin mendengar satu patah kata pun darimu," ujar Ny. Ratri dengan tegas. "Kamu telah menghancurkan keluarga kita dengan menikahi perempuan miskin ini."

Harsa menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tidak ingin membuat keributan di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.

"Lagipula, bagaimana bisa kamu merestui mereka?" Ayuning, kakak ipar Ny. Ratri itu bersuara. Menghampiri mereka dan menatap Harsa penuh ketidaksukaan.

"Andai saja Rajendra bukan anakku satu-satunya, maka aku tidak akan sudi menyetujui pernikahan ini," balas Ny. Ratri dengan tegas.

"Dan untuk apa mengadakan acara resepsi, jika yang dinikahi adalah perempuan dari kalangan miskin," sambung Gayatri, adik ipar Ny. Ratri. "Membuat malu keluarga saja."

"Jika kalian ingin protes, protes saja pada keponakan kalian ini," ujar Ny. Ratri menatap putranya dengan malas. "Dia yang mengacaukannya."

"Aku pusing mendengar perkataan semua orang." Lanjut Ny. Ratri beralih menatap Harsa dengan tajam. "Dan semua ini, terjadi karena dirimu. Dasar tidak tau malu!"

"Ibu, hentikan!" Kini, Rajendra berkata dengan tegas. "Kalian sudah keterlaluan, karena terus-menerus memojokkan Harsa."

"Dia sama sekali tidak bersalah. Aku yang bersalah, karena sudah jatuh cinta dengannya!"

"Kalian lihat sendiri, kan? Bagaimana bocah kemarin sore ini mengatakan hal-hal tentang cinta?" ujar Ny. Ratri disertai tawa, merasa sudah sangat muak dengan putranya karena terus membela perempuan miskin itu.

"Ibu!" Rajendra menatap Ny. Ratri tajam. "Jangan pernah menyampurkan semua urusanku, termasuk pernikahanku ini dengan perasaan Ibu!"

"Oh, astaga! Aku tidak menyangka, putraku sendiri membentakku di hadapan semua orang hanya demi perempuan murahan ini."

Belum sempat Rajendra membuka suara, seorang perempuan muda dengan gaun emas—Anindya, saudara sepupu perempuannya itu datang menghampiri dan berbisik. "Kak, sebaiknya kalian pergi dari sini sebelum Tante Ratri membuat skandal di depan semua orang."

Rajendra menghela napas berat, lalu menggenggam tangan Harsa. "Ayo, sayang, kita pergi."

Saat mereka berjalan menjauh, Harsa menoleh sekali lagi ke arah Ny. Ratri, berharap ada sedikit penerimaan di wajah wanita paruh baya itu. Namun, yang dia lihat hanyalah ekspresi penuh kebencian.

*

Sejak pertama kali Harsa memasuki rumah keluarga Rajendra, hawa dingin langsung menyergapnya. Rumah yang begitu besar, megah dengan marmer mengilap dan chandelier kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Namun, semua kemewahan itu terasa hampa, terutama saat Ny. Ratri menatapnya dengan ekspresi penuh penolakan.

"Astaga. Aku tidak siap, jika harus menjalani hari-hariku melihat wanita yang berhasil membuat anakku kehilangan akal ini." Suara Ny. Ratri terdengar tajam, penuh sindiran.

Harsa menundukkan kepala, mencoba tetap sopan. "Selamat pagi, Bu. Senang bisa bertemu dengan Ibu."

Ny. Ratri tidak menjawab, hanya mengangkat alis dan memperhatikan Harsa dari ujung kepala hingga kaki. Seolah menilai barang murahan yang tidak sepatutnya berada di rumahnya.

"Kamu bekerja sebagai perancang busana, ya?" Ny. Ratri akhirnya membuka suara, tetapi nada suaranya lebih mirip ejekan. "Itu berarti kamu tidak berasal dari keluarga berada."

"Tidak heran, kamu berusaha memikat putraku."

Rajendra yang berdiri di samping Harsa meremas tangan istrinya, mencoba menenangkan. "Bu, Harsa menikah denganku karena kami saling mencintai, bukan karena alasan lain."

Ny. Ratri menatap putranya dengan ekspresi penuh kekecewaan. "Cinta?" Dia tertawa sinis. "Kamu benar-benar naif, Nak."

"Perempuan seperti ini hanya akan menjadi beban. Lihat saja nanti, dia akan menuntut ini-itu, menguras hartamu dan akhirnya meninggalkanmu."

Harsa merasakan dadanya sesak, tetapi dia tetap berusaha tenang. "Saya tidak pernah menginginkan harta Mas Rajendra, Bu. Saya hanya ingin menjadi istri yang baik dan membangun rumah tangga yang bahagia bersamanya."

Ny. Ratri mendekat, menatapnya tajam. "Kalau kamu benar-benar ingin membuktikan itu, buktikan dengan tindakan. Jangan pernah berharap aku akan menerimamu sebagai bagian dari keluarga ini."

Setelah berkata demikian, Ny. Ratri melangkah pergi meninggalkan Harsa yang berdiri kaku dengan tangan masih digenggam Rajendra.

Rajendra menghela napas panjang. "Maafkan Ibu, sayang. Dia memang keras kepala."

Harsa tersenyum kecil, meskipun hatinya sakit. "Tidak apa-apa, Mas. Aku akan mencoba membuatnya menerimaku."

"Aku akan berusaha. Tidak mungkin, kan, Ibu akan membenciku selamanya?" Lanjutnya dengan berusaha tersenyum hangat, meskipun jauh di dalam lubuk hatinya—dia tidak tau apakah usaha-usahanya nanti akan berhasil.

Ya, Harsa belum tau bahwa tidak peduli sekeras apa pun ia mencoba, Ny. Ratri tidak akan pernah menerimanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    Ekstra Part: Yang Layak Dicintai

    Langit biru cerah menaungi rumah kayu sederhana yang telah direnovasi indah di pinggir desa, dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang Harsa tanam sendiri selama berbulan-bulan terakhir. Udara hangat membawa suara tawa seorang gadis kecil dan langkah kaki riang dari halaman depan.Hari ini, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal. Hari ini, rumah itu menjadi saksi Harsa memulai kembali hidupnya. Di dalam rumah, Harsa berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya lembut warna krem gading. Senyumnya mengembang pelan, begitu tulus, meskipun matanya berkaca-kaca. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai rambut lembut sengaja dibiarkan menjuntai. Di perutnya, tangan seorang wanita paruh baya membantu mengikatkan selendang dengan pelan."Kamu cantik sekali, Nak," ujar wanita itu, Ibu Raka.Harsa mengangguk kecil. “Aku gugup, Bu.”“Tidak perlu gugup kalau kamu tau lelaki yang menunggumu di pelaminan itu akan memuliakanmu seumur hidupnya.”Kalimat itu membuat air mata Harsa luruh tanpa suara.

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    55. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Rumah kayu sederhana di ujung desa itu dipeluk senyap sore hari. Aroma kayu bakar dari dapur, tawa kecil putri mungilnya dan semilir angin yang membawa damai—itulah kehidupan yang kini dijalani Harsa. Namun, sore itu datang seorang tamu yang tidak pernah dia sangka.Ny. Ratri.Wanita yang dulu begitu dingin, kaku dan tajam dalam kata-katanya kini berdiri di beranda rumah, mengenakan selendang tenun yang menutupi bahunya. Usianya memang belum terlalu tua, tapi raut wajahnya lebih tenang, seperti seseorang yang telah bergulat lama dengan penyesalan. Harsa membukakan pintu. Kaget, tentu saja, tapi dia tetap menyambut dengan hangat dan sopan.“Silakan masuk, Bu,” ujarnya pelan.Ny. Ratri duduk di kursi kayu panjang di ruang tamu, matanya menyapu seisi rumah yang sederhana tapi bersih dan terasa hangat. Ada getaran halus di dada wanita itu. Bukan karena hina, tapi karena malu."Aku tidak tau harus memulai dari mana," ujarnya pelan tapi tegas. “Tapi aku datang bukan untuk menyakiti lagi. Ju

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    54. Bedamai dengan Masa Lalu

    Beberapa tahun kemudian.Pagi di desa kecil itu dimulai dengan suara burung yang bersahut-sahutan dan angin lembut yang menerpa pepohonan. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya keemasannya sudah menyusup masuk melalui sela-sela jendela rumah kayu sederhana, rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakek dan nenek Harsa, kini menjadi rumah kecil yang penuh kehangatan baru.Di dalamnya, terlihat seorang wanita muda sedang menyisir rambut panjang anak perempuannya yang masih mengenakan piyama lucu bermotif kelinci. Gadis kecil itu duduk di atas karpet rotan dengan cermin kecil di hadapannya.“Pelan-pelan, Bunda, nanti aku jadi kelinci galak,” gumam gadis kecil itu membuat Harsa tertawa pelan.“Bunda nggak tau kalau kelinci bisa galak,” balas Harsa lembut, menyematkan pita mungil ke rambut anaknya. “Tapi, kelinci manis seperti kamu, pasti banyak yang sayang.”Anak itu membalikkan tubuh dan langsung memeluk ibunya. “Aku sayang Bunda. Sama besar kayak langit.”Harsa mengecup ubun

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    53. Obsesi Anindira

    Mobil hitam yang membawa Rajendra melaju membelah jalan tol dengan kecepatan sedang. Langit kota sudah mulai menghitam, menyambut malam dengan bias lampu-lampu kendaraan yang tidak henti berkelebat. Tangan pria itu bertumpu di atas kemudi, tapi pikirannya jauh tertinggal di desa tempat Harsa tinggal kini. Di rumah kayu sederhana yang dipenuhi aroma kayu tua dan tangis bayi yang belum sempat ia peluk.Perempuan itu benar-benar menolaknya. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak ada celah untuk permintaan maaf dan yang paling menghantam batinnya adalah tatapan itu, tatapan Harsa yang dulu lembut, kini mengeras menjadi dinding dingin yang tidak bisa dia tembus.“Sudah terlambat, Rajendra.”Kalimat itu masih menggema di telinganya, menusuk seperti duri-duri halus yang tidak terlihat, tapi menghantui setiap helaan napasnya. Dia mengerti dan pantas ditolak, pantas dibenci, tapi ternyata mengetahui itu tidak membuat sakitnya berkurang.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Anindira muncul di

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    52. Meminta Kesempatan

    Hujan turun perlahan. Langit desa berwarna abu, seolah ikut menyimpan luka-luka yang belum sembuh. Di teras rumah kayu tempat Harsa tinggal, aroma tanah basah dan teh jahe menguap bersamaan dengan ketegangan yang telah lama tertahan. Rajendra berdiri di depan pintu. Tangannya menggenggam jaket tipis yang dikenakan dengan setengah kuyup. Napasnya berat, tapi niatnya tidak bergeming.Harsa membukakan pintu, tapi tetap dengan tatapan netral. Dingin, datar dan penuh jarak."Ada apa?" tanyanya.Rajendra menatap perempuan itu—yang kini tidak lagi rapuh seperti dulu. Harsa terlihat kuat dan tegar.“Aku hanya ingin bicara.”Harsa membuka sedikit pintu. Tidak mempersilakan masuk, tapi juga tidak langsung menolak."Aku tidak datang untuk membela diri. Aku tau, aku salah. Dan mungkin, bahkan maaf pun tidak pantas aku minta.” Suara Rajendra parau. “Tapi aku tetap ingin memintanya. Bukan karena aku ingin menghapus semuanya, tapi karena aku ingin memperbaiki semua yang sudah hancur.”Harsa menunduk

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    51. Antara Hidup dan Mati

    Darah terus mengalir. Terlalu banyak dan wajah Harsa semakin pucat.“Raka,” gumamnya lemah, menyebut satu-satunya nama yang akhir-akhir ini menemaninya. Tetapi pria itu sedang mencari mobil untuk membawa Harsa ke rumah sakit terdekat yang letaknya satu jam dari desa jika tidak banjir.“Aku takut,” bisik Harsa, pandangannya mulai mengabur. “Aku belum lihat anakku.”"Tolong ... tolong selamatkan bayinya." Suaranya hampir tak terdengar.Bidan dan para ibu bekerja dengan cepat, panik dan dibalut doa. Detik-detik berlalu dalam teror yang seakan membekukan waktu. Lalu tangis bayi pecah. Keras dan nyaring.Salah satu tetangga berteriak. “Bayinya perempuan!”Namun, semua sorot mata segera beralih ke Harsa yang diam tidak bergerak.“Harsa?” Bidan memeriksa denyut nadinya. Lemah. Nyaris tidak ada.“Cepat, ambilkan air hangat dan handuk! Jangan biarkan dia tertidur!”Tubuh Harsa bergetar. Bibirnya berbisik pelan. “Dia … mirip ayahnya, ya?”Dan kemudian gelap menelannya pelan.Beberapa Jam Kemudi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status