Home / Young Adult / Lepaskan Aku, Om / Bab 7. Bukan artis ibukota melainkan artis bintang film PO**o

Share

Bab 7. Bukan artis ibukota melainkan artis bintang film PO**o

Author: Bulandari f
last update Last Updated: 2025-07-11 21:36:06

Bab 7

Aku terus-terusan kepikiran dengan ucapan kak Dina, yang berkata sebentar lagi aku akan di jadikan sebagai pemeran utama dalam film PO*no, apa aku harus bahagia atau malah sebaliknya.

Untuk menjadi bintang film itu adalah impian ku semenjak kecil, tapi aku tidak pernah bermimpi akan menjadi bintang film dewasa. Tidak pernah sama sekali.

Tapi ... Siang ini aku mendengar obrolan dari beberapa wanita yang mengatakan kalau aku termasuk beruntung. Karena baru pertama kali masuk ke tempat itu sudah dijadikan sebagai bintang utama dalam pembuatan film dewasa.

Aku hanya bisa duduk diam di sudut ruangan itu, tangan mengepal di atas pangkuan. Kata-kata mereka terus berputar di kepalaku, seperti gema yang tak bisa dihentikan.

"Dia beruntung banget… baru masuk, langsung jadi pemeran utama.”

Beruntung? Aku ingin tertawa, tapi suara itu terjebak di tenggorokan. Apa mereka tahu bagaimana rasanya saat impian masa kecil yang indah berubah jadi bayangan buram seperti ini?

Aku tidak tahu harus merasa apa. Antara bangga karena disebut berbakat, atau takut karena kenyataan ini bukan seperti mimpi masa kecilku yang membayangkan sorotan kamera, red carpet, dan tepuk tangan penonton.

Yang kutahu, dadaku sesak. Aku bukan lagi gadis yang sama yang dulu berkhayal berdiri di atas panggung membawa piala dan mengucap terima kasih sambil menahan air mata bahagia. Kini aku hanyalah seseorang yang dipersiapkan untuk sorotan berbeda—sorotan yang terasa terlalu tajam dan menusuk harga diriku yang paling dalam.

Tapi terngiang dengan ucapan kak Dina yang pernah berkata, "Dulu, aku sama kayak kamu. Memberontak saat diminta untuk melayani pelanggan pertama ku,  pelanggan kedua juga begitu. Masih membuatku menangis tiap malam. Merasa diri hina dan yang paling tidak beruntung. Karena tubuhku dicicipi oleh banyak pria, aku juga dianggap sebagai sampah masyarakat. Dianggap sebagai wanita yang memalukan. Tapi sekarang aku tidak peduli, karena sekarang apapun yang aku inginkan bisa aku beli. Bahkan aku lebih banyak uang daripada mereka. Aku juga bisa membeli mulut mereka yang sempat merendahkan aku sebagai wanita malam. Membeli kesombongan mereka dengan uangku. Karena selama aku kerja di sini. Sudah banyak aset yang aku dapatkan. Bahkan setiap bulannya aku mengirim uang ke kampung halaman. Ibu dan ayahku senang, dan kata mereka. Mereka sangat bangga ke aku karena bisa sukses di kota. Tapi itu dia, kedua orang tuaku tidak tahu kalau anaknya ini seorang wanita pemuas . Yang mereka tahu aku ini kerja kantoran. Dan kalau kamu mau. Kamu bisa mengikuti jejak ku juga, Key?"

Aku masih duduk diam, tubuhku seakan terpaku di tempat. Kata-kata kak Dina itu kembali terngiang-ngiang di kepalaku, seperti bisikan setan yang manis tapi penuh racun. Suaranya, wajahnya, bahkan caranya bicara waktu itu—semuanya begitu hidup dalam ingatanku.

"Kalau kamu mau, kamu bisa mengikuti jejakku juga, Key..."

Jejak? Jejak seperti apa? Jejak yang penuh luka dan kebohongan? Jejak yang terlihat mewah dari luar, tapi rapuh dan hampa di dalam?

Aku menunduk, memandangi telapak tanganku sendiri yang kini terasa begitu asing. Dulu, tangan ini menulis cerita-cerita mimpi. Dulu, tangan ini membolak-balikkan majalah film sambil membayangkan suatu hari aku akan diwawancarai sebagai aktris muda berbakat. Tapi sekarang? Tangan ini mungkin akan digunakan untuk hal lain. Hal yang tak pernah masuk ke dalam rencana hidupku.

Aku menarik napas dalam-dalam. Ruangan ini terasa sempit, dan udara semakin berat menekan dadaku. Di luar, suara tawa para wanita yang tadi membicarakanku masih terdengar samar. Mereka tertawa seolah semuanya baik-baik saja, seolah tidak ada yang salah dengan kehidupan yang mereka jalani.

Mungkin benar kata kak Dina—mereka tidak peduli lagi. Karena uang bisa membungkam rasa malu. Uang bisa menyamarkan luka. Uang bisa memberi kekuatan untuk bertahan di dalam dunia yang kejam ini.

Tapi… aku masih peduli.

Setidaknya, sampai detik ini.

Aku masih peduli dengan nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh ibuku. Aku masih ingat wajah ayahku yang berkata, “Jangan pernah jual harga diri hanya demi uang, Key. Karena harga diri itu tak bisa dibeli kembali.”

Tapi bagaimana kalau kenyataannya, aku tidak punya pilihan?

Aku sudah sejauh ini. Sudah masuk ke dunia yang asing, gelap, dan nyaris tak ada jalan keluar. Kak Dina benar… aku bisa mengirim uang ke kampung, membuat kedua orang tuaku bangga. Mereka tidak akan tahu apa-apa. Mereka akan terus memujiku sebagai anak gadis yang berhasil di kota besar.

Tapi setiap malam, siapa yang akan tidur dengan tenang? Siapa yang akan menatap cermin dan mengakui siapa dirinya yang sebenarnya?

Tanganku mulai gemetar. Perasaanku campur aduk—antara takut, marah, muak, dan entah apa lagi.

"Key..."

Aku mendongak. Suara itu membuatku kembali tersadar.

Kak Dina berdiri di depan pintu, mengenakan gaun satin merah yang terlalu mewah untuk ukuran sore hari. Rambutnya digelung rapi, make-up-nya sempurna seperti biasa. Tak ada yang menyangka, dari penampilan luarnya, bahwa perempuan ini menyimpan cerita getir seperti yang pernah ia ceritakan padaku.

"Aku tahu ini berat," katanya lembut. Ia menghampiriku dan duduk di sebelahku. "Aku tahu kamu nggak nyangka akan masuk ke dunia ini. Tapi kamu kuat, Key. Aku lihat itu dari pertama kali kamu datang. Kamu punya daya tarik, dan itu yang membuat kamu langsung dipilih sebagai pemeran utama."

Aku hanya diam. Mataku tertuju ke lantai, tak sanggup menatap matanya.

"Jangan mengecewakan mereka, Key. Kalau kamu tidak mau di hukum lagi," ujar kak Dina sebelum ia pergi, dan lima menit setelah kepergian kak Dina.

Madam Sarah datang dengan dua bodyguard nya, ia langsung berkata ke aku, "Ayo ikut aku, sudah waktunya kamu tampil."

"Tampil? Tampil sebagai apa?"

Madam Sarah tidak menjawab, ia justru berkata kembali, "Jangan pernah membuatku marah!"

Setelah kata-kata yang penuh dengan ancaman itu, dua bodyguard mendekat. Langkah mereka berat, teratur, dan membawa tekanan seperti palu godam di dadaku. Aku bangkit pelan, tanpa suara, seperti tubuhku sudah kehilangan semangat untuk melawan. Langkah-langkah kecilku mengikuti mereka keluar dari ruangan itu, melewati lorong yang sunyi namun seolah menjerit dalam kepalaku.

Di ujung lorong, sebuah pintu besar terbuka. Aku melihat cahaya lampu sorot menyilaukan dari dalam ruangan, suara bisik-bisik, kamera yang sedang disiapkan, dan beberapa orang yang terlihat biasa saja—seolah ini adalah pekerjaan yang lumrah, bukan sesuatu yang menghancurkan hidup seseorang.

Madam Sarah berjalan di depan, mengenakan blazer hitam dengan sepatu hak tinggi yang suaranya berdetak tajam di lantai marmer.

"Kamu akan memakai ini," katanya dingin, menyerahkan gaun tipis berwarna hitam transparan. “Make-up artist akan datang sebentar lagi. Lakukan saja dengan baik, dan kau akan dibayar lebih dari cukup.”

Aku menerima pakaian itu dengan tangan gemetar. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Aku menoleh, berharap ada yang menghentikan semua ini. Tapi semua orang di sana—kameramen, kru, bahkan wanita lain yang duduk sambil memeriksa naskah adegan—terlihat biasa saja. Tak ada simpati. Tak ada suara nurani.

Dalam ruang ganti kecil yang diberikan padaku, aku berdiri di depan cermin. Aku melihat diriku sendiri—bukan sebagai Key, gadis desa yang punya mimpi, tapi bayangan dari seseorang yang bahkan tidak kukenal lagi.

Make-up artist masuk tanpa basa-basi, memoles wajahku dengan cepat. "Kamu cantik," katanya sambil tersenyum, seolah itu cukup untuk membuatku merasa lebih baik.

Setelah semuanya selesai, aku dibawa ke sebuah tempat seperti panggung kecil dengan kasur putih di tengahnya. Kamera menghadap langsung ke arahku. Lampu menyorot wajahku. Seorang pria sudah menunggu, berdiri dengan tangan menyilang. Ia lebih tua dariku. Senyumnya tipis, tapi tidak ramah. Matanya memandangku seperti aku bukan manusia—hanya objek.

"Siap?" tanya seorang dari balik kamera.

Aku menoleh pada Madam Sarah. Ia mengangguk pelan, tajam.

Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti tubuh ini bukan milikku. Aku berjalan pelan, duduk di atas kasur. Kamera mulai merekam. Seorang kru berkata, "Take satu, judul: The New Girl in Town."

Itu judul film yang akan kukenal selamanya.

Aku ingin menangis. Tapi tidak ada air mata yang keluar.

Dalam pikiranku, aku hanya berdoa dalam diam.

"Tuhan... kalau Engkau masih ada... jangan biarkan aku hilang sepenuhnya malam ini."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lepaskan Aku, Om   bab 96 tamat

    Bab 96 — Janji di Ujung Peluru.Angin malam menyusup dari celah jendela mobil tua yang kupacu tanpa arah. Jalanan basah oleh sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar seperti kenangan—redup, tapi tak mau padam. Aku tak tahu sudah berapa jauh aku pergi. Yang kutahu, darah di tanganku masih terasa hangat.Bukan darahku. Bukan juga darah yang asing. Itu darah dari masa laluku yang menjerat hidupku bertahun-tahun—darah Madam Sarah.Tanganku gemetar di atas setir. Setiap kali aku berkedip, wajahnya muncul—wanita yang dulu menjualku ke pria-pria kaya dengan alasan “demi masa depanmu, Key.”Aku masih ingat malam pertama kali ia mengikat tanganku di kursi, menyuruhku diam ketika aku menangis, menjanjikan uang dan keamanan yang tak pernah datang.Sekarang, semuanya sudah berakhir.Dia sudah mati.Dan aku... sebentar lagi menyusulnya.Mobil berguncang ketika aku membelok tajam ke jalan kecil di tepi kota. Sirene polisi terdengar samar di belakang. Aku tahu mereka mengejarku,

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.

    Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.Pagi itu terlalu tenang untuk menjadi akhir dari segalanya.Udara membawa aroma tanah basah, tapi di dalam dadaku, badai belum juga reda. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Ara yang masih terlelap di kursi. Matanya sembab, tubuhnya meringkuk dalam selimut yang tidak menutupi seluruh ketakutannya. Aku tahu ia tak benar-benar tidur—ia hanya menutup mata agar aku tak melihat sisa air mata yang belum kering.Aku menatap jam di dinding. Waktu sudah bergerak, dan aku tak punya banyak. Polisi pasti sudah mencium jejak. Revan bukan sekadar orang biasa; pembunuhannya akan membuat banyak pihak bergerak. Aku tahu mereka akan datang, cepat atau lambat. Tapi sebelum itu… aku harus menyelamatkan dua orang yang masih tersisa dari reruntuhan hidupku: Ara dan ayah.Langkahku berat ketika turun ke ruang tamu. Ayah duduk di kursi rotan, rambutnya mulai memutih, wajahnya kosong. Ia menatapku seperti menatap seseorang yang sudah setengah pergi.“Key…” suaranya ser

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 94

    Bab 94Mobil mengantar kami pulang dalam sunyi yang tebal—sebuah tirai gelap setelah badai. Jarum spidometer berputar, lampu jalan membelah kabut malam seperti gagang-gagang tombak yang tak bernyawa. Di kursi penumpang, Ara menunduk, bibirnya gemetar, sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti desahan orang yang belum pulih dari mimpi buruk. Aku menatap ke luar jendela, menelan kepahitan yang masih menguar di mulut. Ada rasa lega—ya—namun lega itu tipis, seperti kertas yang tercecer di angin; di bawahnya ada lubang yang menganga.“Sudah benar, kan, Kak?” suara Ara kecil, seperti boneka yang remuk. “Kita nggak salah… kan?”Aku memalingkan wajah. Lampu jalan memantulkan bayanganku di kaca; wajah yang sama namun berbeda, seolah cermin menolak mengenali jiwa yang bersembunyi di baliknya. “Kita melakukan apa yang harus dilakukan, Dek,” jawabku, suaraku kering. “Dia sudah hancurkan hidup kita. Sekarang dia udah berhenti.”Ara mengangkat kepala, matanya basah masih bertahan. “Tapi

  • Lepaskan Aku, Om   bab 93

    Bab 93.Aku ingat malam itu seperti mimpi yang dingin — setiap detik terasa padat, setiap napas diperas oleh tekad. Setelah Ara pergi tidur aku menatap cermin, melihat bayangan Key yang berbeda: bukan lagi gadis takut, melainkan perempuan yang punya rencana. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan dari akun palsu yang kubuat. Revan menjawab cepat, seperti biasanya: tidak pernah menolak pujian dan godaan.“Jam sepuluh malam di Hotel Chantika,” balasku.“Ok.” Balasannya singkat. Aku membaca satu kata itu berkali-kali seolah menyelami keangkuhan yang menipu.---Ara muncul di kamar tepat ketika aku hendak berangkat. Matanya merah, suaranya nyaris patah ketika ia memanggil, “Kak Key…”Aku menoleh, melemparkan senyum tipis karena tidak mau ia melihat kebekuan di dadaku. “Hmm?”“Aku tidak ingin kakak pergi.” Suaranya kecil, hampir memohon.Hatiku tercekat. Aku turun dari tempat tidur dan duduk di ujung. “Dek, ini harus kulakukan,” jawabku pelan. “Kita nggak bisa hidup terus seperti ini. Dia

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 90

    bab 90."Kak, bagaimana ini kak?" isak tangis Ara. "Bangun kak Gery, bangun," lanjut Ara merintih, sementara suara bunyi sirene pihak berwajib mulai berdatangan, bersamaan dengan kedatangan ambulan. "Ayo angkat, angkat ke dalam!" kata seorang petugas. Mereka menaikkan tubuh Gery yang tidak bernyawa ke dalam mobil ambulans, aku dan Ara juga ikut naik ke dalam. Sementara mobil Gery diamankan oleh pihak berwajib, sebab aku juga tidak tahu cara mengendarai mobil itu. Lagian, aku tidak begitu memperdulikan sekitarku, yang ada aku hanya terdiam menahan rasa sedih, dan mungkin karena sedihnya sampai aku tidak bisa menangis lagi. Pikiran ku kacau, antara dendam yang semakin parah ke Revan, dan aku yang kian pusing memikirkan tentang kehidupanku dan Ara. Kalau begini, siapa lagi yang akan menolongku? Siapa lagi yang akan melindungi ku dan Ara? Siapa lagi yang peduli pada hidupku? Siapa lagi. Aku hanya punya ayah, yang kondisi nya entah bagaimana. Aku belum pernah bertemu dengan ayah sem

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 89. Insiden di jalan raya

    Bab 89"Ger, bagaimana ini?"Malam kian mencekam, tatkala mataku menangkap keluar jendela mobil, beberapa sepeda motor sedang membuntuti mobil yang di lakukan oleh Gery. Suara klakson motor mereka meminta Gery untuk berhenti, tapi aku, Gery dan Ara yang ketakutan justru memilih untuk kabur secepat mungkin. Aku bahkan refleks menoleh. Lampu-lampu motor menyorot tajam, menyilaukan mata. Suaranya semakin dekat, semakin keras, sampai bulu kudukku berdiri."Berhenti, aku bilang berhenti!"Tit tit tit ...."Berhenti!" sorak seseorang itu dari luar jendela mobil. "Kak Key, bagaimana ini?" kata Ara yang mulai ketakutan, sampai ku menoleh ke arah Gery yang fokus mengemudi mobil. Sebisa mungkin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Ger…” panggilku pelan. Tapi suaraku tercekat.Gery memutar kepala, wajahnya langsung berubah tegang. “Pegangan, Key. Jangan panik.”Dalam hitungan detik, kami sudah terkepung. Sekitar sepuluh motor berhenti mengelilingi mobil kami. Para pengendara turun sat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status