Bab 7
Aku terus-terusan kepikiran dengan ucapan kak Dina, yang berkata sebentar lagi aku akan di jadikan sebagai pemeran utama dalam film PO*no, apa aku harus bahagia atau malah sebaliknya. Untuk menjadi bintang film itu adalah impian ku semenjak kecil, tapi aku tidak pernah bermimpi akan menjadi bintang film dewasa. Tidak pernah sama sekali. Tapi ... Siang ini aku mendengar obrolan dari beberapa wanita yang mengatakan kalau aku termasuk beruntung. Karena baru pertama kali masuk ke tempat itu sudah dijadikan sebagai bintang utama dalam pembuatan film dewasa. Aku hanya bisa duduk diam di sudut ruangan itu, tangan mengepal di atas pangkuan. Kata-kata mereka terus berputar di kepalaku, seperti gema yang tak bisa dihentikan. "Dia beruntung banget… baru masuk, langsung jadi pemeran utama.” Beruntung? Aku ingin tertawa, tapi suara itu terjebak di tenggorokan. Apa mereka tahu bagaimana rasanya saat impian masa kecil yang indah berubah jadi bayangan buram seperti ini? Aku tidak tahu harus merasa apa. Antara bangga karena disebut berbakat, atau takut karena kenyataan ini bukan seperti mimpi masa kecilku yang membayangkan sorotan kamera, red carpet, dan tepuk tangan penonton. Yang kutahu, dadaku sesak. Aku bukan lagi gadis yang sama yang dulu berkhayal berdiri di atas panggung membawa piala dan mengucap terima kasih sambil menahan air mata bahagia. Kini aku hanyalah seseorang yang dipersiapkan untuk sorotan berbeda—sorotan yang terasa terlalu tajam dan menusuk harga diriku yang paling dalam. Tapi terngiang dengan ucapan kak Dina yang pernah berkata, "Dulu, aku sama kayak kamu. Memberontak saat diminta untuk melayani pelanggan pertama ku, pelanggan kedua juga begitu. Masih membuatku menangis tiap malam. Merasa diri hina dan yang paling tidak beruntung. Karena tubuhku dicicipi oleh banyak pria, aku juga dianggap sebagai sampah masyarakat. Dianggap sebagai wanita yang memalukan. Tapi sekarang aku tidak peduli, karena sekarang apapun yang aku inginkan bisa aku beli. Bahkan aku lebih banyak uang daripada mereka. Aku juga bisa membeli mulut mereka yang sempat merendahkan aku sebagai wanita malam. Membeli kesombongan mereka dengan uangku. Karena selama aku kerja di sini. Sudah banyak aset yang aku dapatkan. Bahkan setiap bulannya aku mengirim uang ke kampung halaman. Ibu dan ayahku senang, dan kata mereka. Mereka sangat bangga ke aku karena bisa sukses di kota. Tapi itu dia, kedua orang tuaku tidak tahu kalau anaknya ini seorang wanita pemuas . Yang mereka tahu aku ini kerja kantoran. Dan kalau kamu mau. Kamu bisa mengikuti jejak ku juga, Key?" Aku masih duduk diam, tubuhku seakan terpaku di tempat. Kata-kata kak Dina itu kembali terngiang-ngiang di kepalaku, seperti bisikan setan yang manis tapi penuh racun. Suaranya, wajahnya, bahkan caranya bicara waktu itu—semuanya begitu hidup dalam ingatanku. "Kalau kamu mau, kamu bisa mengikuti jejakku juga, Key..." Jejak? Jejak seperti apa? Jejak yang penuh luka dan kebohongan? Jejak yang terlihat mewah dari luar, tapi rapuh dan hampa di dalam? Aku menunduk, memandangi telapak tanganku sendiri yang kini terasa begitu asing. Dulu, tangan ini menulis cerita-cerita mimpi. Dulu, tangan ini membolak-balikkan majalah film sambil membayangkan suatu hari aku akan diwawancarai sebagai aktris muda berbakat. Tapi sekarang? Tangan ini mungkin akan digunakan untuk hal lain. Hal yang tak pernah masuk ke dalam rencana hidupku. Aku menarik napas dalam-dalam. Ruangan ini terasa sempit, dan udara semakin berat menekan dadaku. Di luar, suara tawa para wanita yang tadi membicarakanku masih terdengar samar. Mereka tertawa seolah semuanya baik-baik saja, seolah tidak ada yang salah dengan kehidupan yang mereka jalani. Mungkin benar kata kak Dina—mereka tidak peduli lagi. Karena uang bisa membungkam rasa malu. Uang bisa menyamarkan luka. Uang bisa memberi kekuatan untuk bertahan di dalam dunia yang kejam ini. Tapi… aku masih peduli. Setidaknya, sampai detik ini. Aku masih peduli dengan nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh ibuku. Aku masih ingat wajah ayahku yang berkata, “Jangan pernah jual harga diri hanya demi uang, Key. Karena harga diri itu tak bisa dibeli kembali.” Tapi bagaimana kalau kenyataannya, aku tidak punya pilihan? Aku sudah sejauh ini. Sudah masuk ke dunia yang asing, gelap, dan nyaris tak ada jalan keluar. Kak Dina benar… aku bisa mengirim uang ke kampung, membuat kedua orang tuaku bangga. Mereka tidak akan tahu apa-apa. Mereka akan terus memujiku sebagai anak gadis yang berhasil di kota besar. Tapi setiap malam, siapa yang akan tidur dengan tenang? Siapa yang akan menatap cermin dan mengakui siapa dirinya yang sebenarnya? Tanganku mulai gemetar. Perasaanku campur aduk—antara takut, marah, muak, dan entah apa lagi. "Key..." Aku mendongak. Suara itu membuatku kembali tersadar. Kak Dina berdiri di depan pintu, mengenakan gaun satin merah yang terlalu mewah untuk ukuran sore hari. Rambutnya digelung rapi, make-up-nya sempurna seperti biasa. Tak ada yang menyangka, dari penampilan luarnya, bahwa perempuan ini menyimpan cerita getir seperti yang pernah ia ceritakan padaku. "Aku tahu ini berat," katanya lembut. Ia menghampiriku dan duduk di sebelahku. "Aku tahu kamu nggak nyangka akan masuk ke dunia ini. Tapi kamu kuat, Key. Aku lihat itu dari pertama kali kamu datang. Kamu punya daya tarik, dan itu yang membuat kamu langsung dipilih sebagai pemeran utama." Aku hanya diam. Mataku tertuju ke lantai, tak sanggup menatap matanya. "Jangan mengecewakan mereka, Key. Kalau kamu tidak mau di hukum lagi," ujar kak Dina sebelum ia pergi, dan lima menit setelah kepergian kak Dina. Madam Sarah datang dengan dua bodyguard nya, ia langsung berkata ke aku, "Ayo ikut aku, sudah waktunya kamu tampil." "Tampil? Tampil sebagai apa?" Madam Sarah tidak menjawab, ia justru berkata kembali, "Jangan pernah membuatku marah!" Setelah kata-kata yang penuh dengan ancaman itu, dua bodyguard mendekat. Langkah mereka berat, teratur, dan membawa tekanan seperti palu godam di dadaku. Aku bangkit pelan, tanpa suara, seperti tubuhku sudah kehilangan semangat untuk melawan. Langkah-langkah kecilku mengikuti mereka keluar dari ruangan itu, melewati lorong yang sunyi namun seolah menjerit dalam kepalaku. Di ujung lorong, sebuah pintu besar terbuka. Aku melihat cahaya lampu sorot menyilaukan dari dalam ruangan, suara bisik-bisik, kamera yang sedang disiapkan, dan beberapa orang yang terlihat biasa saja—seolah ini adalah pekerjaan yang lumrah, bukan sesuatu yang menghancurkan hidup seseorang. Madam Sarah berjalan di depan, mengenakan blazer hitam dengan sepatu hak tinggi yang suaranya berdetak tajam di lantai marmer. "Kamu akan memakai ini," katanya dingin, menyerahkan gaun tipis berwarna hitam transparan. “Make-up artist akan datang sebentar lagi. Lakukan saja dengan baik, dan kau akan dibayar lebih dari cukup.” Aku menerima pakaian itu dengan tangan gemetar. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Aku menoleh, berharap ada yang menghentikan semua ini. Tapi semua orang di sana—kameramen, kru, bahkan wanita lain yang duduk sambil memeriksa naskah adegan—terlihat biasa saja. Tak ada simpati. Tak ada suara nurani. Dalam ruang ganti kecil yang diberikan padaku, aku berdiri di depan cermin. Aku melihat diriku sendiri—bukan sebagai Key, gadis desa yang punya mimpi, tapi bayangan dari seseorang yang bahkan tidak kukenal lagi. Make-up artist masuk tanpa basa-basi, memoles wajahku dengan cepat. "Kamu cantik," katanya sambil tersenyum, seolah itu cukup untuk membuatku merasa lebih baik. Setelah semuanya selesai, aku dibawa ke sebuah tempat seperti panggung kecil dengan kasur putih di tengahnya. Kamera menghadap langsung ke arahku. Lampu menyorot wajahku. Seorang pria sudah menunggu, berdiri dengan tangan menyilang. Ia lebih tua dariku. Senyumnya tipis, tapi tidak ramah. Matanya memandangku seperti aku bukan manusia—hanya objek. "Siap?" tanya seorang dari balik kamera. Aku menoleh pada Madam Sarah. Ia mengangguk pelan, tajam. Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti tubuh ini bukan milikku. Aku berjalan pelan, duduk di atas kasur. Kamera mulai merekam. Seorang kru berkata, "Take satu, judul: The New Girl in Town." Itu judul film yang akan kukenal selamanya. Aku ingin menangis. Tapi tidak ada air mata yang keluar. Dalam pikiranku, aku hanya berdoa dalam diam. "Tuhan... kalau Engkau masih ada... jangan biarkan aku hilang sepenuhnya malam ini."Bab 15 – Ketahuan Aku kira aku bisa bebas. Aku kira malam ini akan jadi awal baru—aku salah.Langkahku baru saja menyentuh aspal jalan raya ketika suara itu menghantam seperti palu godam."Bos, aku menemukannya!"Tubuhku membeku. Aku menoleh. Di balik semak gelap, dua pria bertubuh besar muncul. Salah satunya adalah Jaka—tangan kanan Madam Sarah. Yang satunya aku tak kenal, tapi wajahnya menyeringai seperti sudah menantikan ini sejak tadi.Aku sempat melangkah mundur, bersiap berlari lagi.“JANGAN COBA LARI, KEY!” teriak Revan. Dan sebelum aku sempat menjerit, lenganku ditarik kasar dari belakang oleh pria yang satu lagi. Ia membekap mulutku dengan tangan penuh bau rokok dan keringat.“Akhirnya dapet juga, ya,” katanya puas, sambil menyeret tubuhku ke arah van hitam yang entah sejak kapan sudah parkir tak jauh dari sana.Aku memberontak. Menendang. Menangis. Tapi semua sia-sia. Mereka lebih kuat. Dan malam terlalu gelap untuk berharap ada yang melihat.Pintu belakang van terbuka. Dan
Bab 14 – Jerat yang MenghancurkanTanpa rasa takut, aku mencoba keluar dari pintu depan. Lututku gemetar, tapi tekadku lebih keras dari sebelumnya. Para pria bertubuh kekar yang berdiri di ruang tamu hanya memandangiku, tak satu pun menghalangi langkahku. Aku pikir aku sudah menang—aku pikir mereka membiarkanku pergi.Tapi ternyata tidak.Begitu aku membuka pintu, tubuhku terpaku. Seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal, gaun ketat, dan tatapan penuh amarah berdiri di sana. Tangannya yang bertabur perhiasan langsung melayang ke wajahku.Plakk!!!“Ahh!” Aku menjerit tertahan, tubuhku terhuyung. Tangannya kembali mendarat ke wajahku. Satu, dua, tiga kali. Aku sudah kehilangan hitungan.“Dasar wanita murahan! Kamu pikir bisa kabur dari aku, hah?!” bentaknya sambil mencengkeram rambutku. “Anak tolol! Jangan pernah mimpi keluar dari tempat ini tanpa izinku!”Aku mencengkeram pipi yang mulai panas, menahan air mata yang menggenang. “Apa salahku, Madam?!” Aku membalas dengan suara berg
Bab 13Keesokan harinya, setelah menghabiskan waktu selama satu Minggu di villa nya Revan, datang seorang pria dengan bertubuh gendut, pendek dan rambut kriting. Tapi tampilannya persis kayak seorang bos. Sampai membuatku bertanya-tanya. "Siapa lagi pria ini?"Belum sempat aku bertanya kedatangan pria itu untuk apa, tiba-tiba Revan muncul dan langsung berkata, "Bagaimana Om? Cantik, kan? Persis seperti yang aku ceritakan," ujarnya sambil tersenyum. Membuatku merasa aneh, karena baru kemarin Revan menunjukkan sikap baiknya padaku, membawaku keluar dari rumah lon*e. Kalau aku bilang nya gitu sih. Mengingat tempat itu tidak baik untuk siapapun, setiap wanita yang datang kesitu akan di jual ke para pria hidung belang, begitu juga dengan ku. Tapi ternyata pikiran ku salah, bahkan ini terlihat lebih parah dari dugaan ku sebelumnya. Tatapanku tertuju pada pria berbadan gempal itu. Meski tubuhnya tidak tinggi dan wajahnya biasa saja, penampilannya mencolok: jas mahal, sepatu mengkilap, cin
Bab 12Malam itu seperti mimpi buruk yang tak berujung. Villa tempat Revan membawaku terlalu sunyi untuk meminta tolong, dan terlalu jauh dari apa pun yang bisa menyelamatkanku.“Aku ingin ini,” ucap Revan dengan tatapan yang membuat darahku membeku. Tangannya merayap ke tubuhku dengan penuh klaim. Tak seperti kelembutan Kenara malam sebelumnya, sentuhan Revan dingin — seperti belati yang diselubungi api.Aku berusaha menepis, menjerit, mendorong tubuhnya. Tapi dia terlalu kuat. Cengkeramannya menekan kulitku, dan napasnya panas di leherku."Berhenti!" Aku berteriak, mataku panas menahan tangis dan amarah. Tapi Revan tak peduli. Ia seperti binatang yang terlepas dari kandang — tak mempan oleh kata-kata, tak paham rasa takut, tak kenal simpati.“Aku membayar mahal, Key,” ucapnya pelan, penuh ancaman. “Jangan buat aku menyesal.”Ia mendorongku ke sofa dengan paksa. Tubuhku membentur sandaran keras, membuat bahuku nyeri. Tanganku menggenggam ujung gaun, berusaha mempertahankannya, tapi R
Bab 11Malam itu tiba dengan pelan, tapi jantungku berdetak cepat. Kamar tempatku akan “melayani” sudah disiapkan — tidak seperti biasanya, lebih lembut nuansanya, dengan lilin aromaterapi, kelambu putih, dan bunga mawar merah yang disusun di pinggir ranjang. Seolah-olah ini bukan kamar untuk pelacuran, melainkan pesta malam untuk cinta yang manis. Tapi aku tahu lebih baik daripada percaya pada ilusi.Aku berdiri di depan cermin, mengenakan gaun satin putih yang diberikan Madam Sarah. Rambutku disanggul lembut. Wajahku dilapisi makeup tipis — tidak mencolok, hanya cukup untuk memunculkan “Key” yang diinginkan pelanggan.Dan untuk pertama kalinya, aku mulai bertanya pada diriku sendiri: siapa yang sebenarnya ada di balik bayangan ini? Apakah aku masih memiliki nama asli? Atau sudah terkubur di balik panggilan singkat: Key?Pintu kamar terbuka, dan aku pun berbalik. Seorang wanita muda berdiri di sana — cantik, anggun, dan berpakaian seperti sosialita papan atas. Dia mengenakan gaun hit
Bab 10Langkah ku terasa ragu, haruskah aku melakukan ini? Atau justru kabur? Entahlah, tapi yang jelas aku sudah lima kali mondar mandir di depan pintu kamar pelanggan yang harus aku puaskan malam ini.Hingga akhirnya pintu itu terbuka, dan kulihat seorang pria tua yang sepantaran ayahku sedang menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.Tatapannya begitu genit, membuatku ingin marah. Tapi aku sadar diri, aku tidak pantas marah? Toh, bukankah sekarang ini sudah menjadi pilihan ku?Tapi yang jelas dia yang mengedipkan mata padaku itu justru berkata, "Kamu Key yah?"Aku menganggukkan kepala, dan di dalam hati ini ada rasa takut, tapi aku harus tersenyum. Sekalipun itu hanya tersenyum terpaksa.Sebab, madam Sarah sudah memberikan peringatan, kalau aku harus bersikap ramah ke pelanggan. Alhasil aku dengan senyum kecil di wajahku langsung menyapa pria yang sepantaran ayahku. "Iya Om, aku Key.'Dia langsung mengambil tangan ini, tanpa basa-basi ia menarik tanganku ke dalam, "Ayo masuk,