Bab 8
Lampu sorot menyorot wajahku. Rasanya hangat, menyilaukan. Tapi tidak ada kehangatan di dalam dadaku. Hanya kekosongan yang menggema. Seseorang memberiku naskah tipis. Tapi tak ada yang perlu dihafal, tak ada dialog penting. Semua hanya instruksi fisik. Aku menggenggamnya sejenak, lalu meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Tak sanggup membacanya. "Aman, ya? Kalau siap, kita mulai," ujar seseorang dari belakang kamera. Suaranya datar, profesional. Seperti ini adalah hal biasa. Mungkin untuk mereka, memang sudah biasa. Aku mengangguk kecil, hampir tak terlihat. Tubuhku bergerak, tapi bukan karena keinginanku. Lebih seperti... sisa-sisa perintah dari otak yang sudah mati rasa. Aku berbaring perlahan. Kasur terasa dingin, bau ruangan ini pun berbeda. Ada campuran parfum murahan, keringat, dan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan—sesuatu yang membuat tenggorokanku tercekat. Lelaki itu masuk ke dalam frame. Aku bahkan tak sempat tahu namanya. Dia tersenyum sejenak, basa-basi yang terasa kosong. Tidak ada jiwa di balik tatapannya, hanya rutinitas yang sudah diulang berkali-kali. Kamera mulai merekam. Aku menarik napas panjang, menatap ke langit-langit. Ada bekas retakan di sana, seperti guratan luka di kulit beton. Aku menatapnya lama-lama, mencoba mengalihkan pikiranku. Membayangkan bahwa aku ada di tempat lain. Di rumah. Di kelas. Di taman kecil di belakang apartemen ibu. Tapi suara kamera yang berdengung halus itu mengembalikanku ke sini. Ke tempat di mana tubuhku bukan lagi milikku. Hanya properti. Hanya alat untuk sesuatu yang tidak pernah aku inginkan. Tanganku bergetar sedikit. Tapi wajahku tetap diam. Kamera tidak boleh menangkap ketakutan. Aku belajar cara berpura-pura. Dengan senyum tipis, dengan pandangan yang dibuat seolah-olah aku menikmati ini. Aku tak tahu bagaimana aku bisa melakukannya, tapi aku melakukannya. Mungkin karena aku tahu, ini belum akhir. Ini baru awal dari semuanya. Dan di dalam hati, aku hanya bisa berbisik lagi pada satu-satunya harapan yang mungkin masih mendengar. "Tuhan... kalau Engkau masih ada... tolong jangan biarkan aku jadi orang lain sepenuhnya. Sisakan sedikit diriku. Sedikit saja..." Namun, itu hanya sebuah harapan yang tersisa di hati kini, karena tubuhku mulai di jamah oleh pria yang sama sekali tidak aku kenal. Tapi tangannya langsung membuka kancing bajuku, membuatku gemetar takut. Seorang kameramen yang melihatnya justru berkata, "Santai saja, tidak usah takut. Tugas mu hanya menikmatinya saja." Mendengar ucapannya itu, membuatku berkata di dalam hati, "Bagaimana aku menikmatinya, kalau jelas-jelas tubuhku sedang di jamah oleh pria yang tidak aku kenal." Aku tersenyum getir, bukan karena senang tapi karena rasa takut. Frame berganti ke adegan di mana pria itu memasukkan batangnya ke dalam mulutku, membuatku ingin menolak tapi tidak bisa, ada tatapan tajam yang sedang menatapku. Seakan mengawasi gerak-gerik ku agar tidak melakukan kesalahan sekecil apapun itu. Karena kalau kita sudah melakukan kesalahan, dampaknya begitu fatal. Ada yang dihukum sampai mati, dan aku belum siap untuk semua itu. Aku masih mau hidup, aku mau memeluk ayah dan ibuku, aku tidak ingin mereka sedih. Kalau mereka lihat putri kecil yang ia besarkan sekarang sedang melayani nafsu pria bejat. Apalagi pria itu begitu kasar, ia juga jorok bagiku. Karena selain ia menjilati kemal**n ku, dia juga menjilati bok*Ng ku. Apa itu tidak menjijikan. Tapi jujur, aku mulai suka. Bahkan perlahan-lahan aku mulai menikmati pekerjaan ku sebagai bintang po*no. Hampir setiap Minggu aku di minta untuk melayani pria yang berbeda, dan kali ini bintang cowoknya itu seorang an*k yang bisa di bilang masih remaja. Tapi bentuk badannya tinggi dan terlihat dewasa. Tapi di adegan ini aku berperan sebagai seorang kakak tiri untuknya. Dia yang baru pulang se**lah langsung aku ajak bercinta, dan adegan itu aku lakukan disaat ia sedang belajar. Ini memang menjijikkan bagi setiap orang, tapi aku mulai menikmatinya, aku mulai suka dengan gerakan kecil yang bisa membuat tubuhku bergetar tidak karuan, dan rasanya itu sangat sulit untuk di gambarkan. Yang jelas rasanya itu sakit tapi enak. Sama seperti saat ini, saat aku meminta dia untuk menjilati ke**Luan ku. Hingga tanpa sadar aku langsung mendesah kenikmatan. "Huhhh ... Arhhh ahhh ... Ini sangat nikmat sayang, jangan berhenti," erangku yang kenikmatan, tapi kalau aku lihat ke dia juga gitu. Dia sampai memicing kan mata, menikmati setiap sentuhan yang aku berikan. Tanganku yang menjalar di tubuhnya, dan lidah ku yang membasahi jenjang lehernya sampai menghisap kemal**n nya. Aku buat dia sampai tidak lupa dengan hari ini, hari di mana aku yang awalnya menjadi guru lest nya justru menjadi pemuas hasratnya. Tanganku menyusuri kulitnya, seolah mencari sesuatu yang tak pernah kutemukan—kehangatan, mungkin. Atau sekadar alasan untuk tetap bertahan di ruangan dingin ini. Nafasku bertemu dengan lehernya, dan sejenak aku memejamkan mata. Bukan karena rindu, bukan karena cinta. Tapi karena aku ingin... melupakan. Segala gerakan diatur, seolah aku sedang memainkan peran. Tapi tak ada panggung. Tak ada tepuk tangan. Hanya kamera, hanya orang-orang yang tak peduli pada perasaanku. Di layar nanti, mungkin aku terlihat berani. Terlihat penuh gairah. Tapi tak seorang pun tahu bahwa di balik sorot mataku yang setengah tertutup, ada jeritan yang kutahan mati-matian. Hari itu, aku bukan lagi diriku. Aku bukan siswi teladan yang pernah bermimpi menjadi guru. Aku bukan anak yang dulu rajin membantu ibu di dapur. Hari itu... aku berubah menjadi seseorang yang bahkan tak berani kusapa di cermin. "Jangan lupa hari ini," katanya sambil tersenyum. Seolah-olah hari ini adalah sesuatu yang harus dirayakan. Tapi dalam hati kecilku, aku tahu. Hari ini bukan tentang kenikmatan. Bukan tentang keberanian. Ini adalah hari di mana aku kehilangan sedikit lagi dari diriku yang dulu. Dan entah mengapa, tubuhku mulai terbiasa. Seolah menyerah. Seolah berkata, “Sudah, cukup melawan. Nikmati saja, agar tak terasa terlalu sakit.” "Regangkan kaki mu, buka sedikit lebih lebar." "Kamu cukup diam saja, biarkan dia yang bekerja memberikan kepuasan untukmu," ujar para kru itu. Tanganku masih menyentuh kulitnya—hangat, hidup, tapi tak memberi arti apa-apa. Gerakanku pelan, mengikuti alur yang sudah aku hafal di luar kepala. Seolah-olah aku sedang menari dalam bayangan, menuruti irama yang tak pernah benar-benar kumengerti. Suara napasnya menggema di telingaku, bercampur dengan bisik-bisik dari balik kamera. Mereka menyuruhku terlihat rileks. Terlihat menikmatinya. Tapi bagaimana bisa? Ketika setiap helaan napas terasa seperti mencuri bagian dari jiwaku? Aku mencoba tersenyum. Senyum tipis yang tak sampai ke mata. Senyum yang sudah kulatih di depan cermin—bukan karena bahagia, tapi karena itu satu-satunya cara agar aku tetap utuh… atau setidaknya, terlihat utuh. Dia menyentuhku lagi. Gerakannya terukur, seperti mengikuti skrip yang ditulis tanpa mempertimbangkan apa pun selain visual. Aku tak menolak, tak melawan. Tubuhku seolah tahu ini bukan tempat untuk melawan. Ini adalah panggung yang tak mengenal batas perasaan. Di layar, semua ini akan tampak seperti gairah. Seperti kedekatan. Tapi di baliknya, hanya ada hampa. Sunyi yang nyaring. Dan di tengah sunyi itu, aku berusaha mencari diriku—di setiap sentuhan, di setiap pandangan kosong. "Sedikit lebih dekat," ujar seseorang. Aku menuruti. Bukan karena ingin, tapi karena tak ada pilihan lain. Aku mendekat, dan entah bagaimana, ada momen di mana waktu terasa berhenti. Bukan karena indah. Tapi karena tubuhku lelah pura-pura kuat. Ada titik di mana aku berhenti merasa. Seolah... inilah hidupku sekarang. Ini jalanku. Ini caraku bertahan. Dan di ujung adegan, ketika semuanya selesai, aku menarik napas panjang. Bukan karena lega, tapi karena aku masih hidup. "Bagus, adegan yang menarik."Bab 61.Awalnya malam ini aku pikir bisa terselamatkan, ternyata tidak. Aku ... Aku justru tetap ditawarkan ke seorang pria berbadan kekar, sedikit brewokan dan sorot matanya tajam. Jelas, ia bukan pria baik dan seperti modelan mafia. Aku harap aku salah. 11:20 wita. Aku dan kedua temanku Clara dan Chintya, kami dibawa ke hadapan sang pria berbadan kekar itu, seperti barang dagangan. Kami dengan mengenakan pakaian seksi, dan sedikit riasan di wajah. Dihadapkan padanya. Dua teman wanitaku justru sangat antusias, bahkan berharap bisa melayani pria brewokan itu. Hingga mereka memasang wajah genit, sedang aku sebaliknya. Aku berharap tidak terpilih. Sebab aku bosan. Aku bosan hidup seperti ini, dijual dan dipaksa melayani nafsu bejat mereka yang berdatangan.Dia menatapku—mata gelapnya seperti dua lubang yang tak menunjukkan belas kasihan. Saat kedua teman wanitaku tertawa kecil, menyingkapkan gigi seperti sedang bermain drama yang menjerat, aku merasa ruang di sekitarku semakin s
Bab 60 – Penantian yang Membakar."Tolong bawa aku dari sini, Gery." Suaraku lirih, hampir tak terdengar, tapi penuh dengan keputusasaan. Aku memegang lengannya erat, seakan hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa menyelamatkanku dari lautan gelap yang terus menenggelamkanku.Mata Gery bergetar, aku bisa melihat dengan jelas pergulatan batinnya. Ia menunduk, seakan mencari jawaban di lantai kamar yang kusam ini. Lalu pelan-pelan, ia menghela napas berat."Itu yang sedang aku pikirkan, Key," katanya akhirnya. Suaranya terdengar rendah, serak, seperti menahan sesuatu yang besar. "Tapi… aku belum menemukan cara. Aku nggak bisa gegabah. Kalau aku paksa, kita malah bisa mati berdua."Aku terdiam. Kata-katanya menamparku keras. Seluruh tubuhku serasa ditarik kembali ke jurang putus asa.Aku menggigit bibir, mencoba menahan air mata. "Jadi… maksud kamu, aku harus terus ada di sini? Menunggu? Sementara setiap hari aku dijual, dipaksa, diperlakukan kayak barang?"Nada suaraku meninggi, mesk
Bab 59."Tolong Om, jangan sentuh aku," kataku terisak, tubuhku bergetar, mataku dipenuhi air mata. Malam ini kembali sama seperti malam-malam sebelumnya—aku dijual lagi oleh Madam Sarah kepada pria hidung belang. Tubuhku bukan lagi milikku, harga diriku sudah lama dihancurkan, dan setiap kali hal ini terjadi, aku merasa bagian dari jiwaku hilang sedikit demi sedikit.Aku duduk di ujung ranjang, memeluk lututku erat-erat. Aroma parfum yang menyengat dari pria itu menusuk hidungku, membuat perutku terasa mual. Cahaya lampu redup ruangan hotel ini membuat suasana semakin mencekam, seakan-akan tidak ada harapan sama sekali.Namun, pria itu tidak langsung mendekat. Ia hanya berdiri menatapku dalam diam. Itu membuatku semakin takut. Biasanya, mereka tidak sabar. Biasanya, mereka langsung memperlakukanku seperti barang murahan tanpa peduli aku menangis atau memohon.Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. "Tolong, Om. Jangan lakukan ini. Aku mohon. Aku… aku sudah hancur. Aku tidak kuat lag
Bab 58jeratan yang Menghancurkan.Lantai dingin menyentuh lututku. Aku masih bisa merasakan nyeri di pipi bekas tamparan Madam Sarah. Tubuhku gemetar, bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena ketakutan yang merayap seperti ular di seluruh tubuhku.Aku ingin berteriak, ingin melarikan diri, tapi dinding ruangan ini terlalu tebal, pintu terlalu kokoh, dan mata-mata Madam Sarah terlalu banyak. Aku hanya bisa menunduk, terisak, menunggu apa pun yang akan dia lakukan padaku.“Aku sudah bilang, Key,” suara Madam Sarah terdengar pelan, tapi penuh dengan ancaman, “kau itu aset. Dan malam ini, asetku harus kembali menghasilkan uang.”Aku menoleh cepat, mataku melebar. “Tidak, Madam… jangan. Aku mohon… jangan paksa aku lagi. Aku sudah cukup. Tolong biarkan aku pergi…”Dia mendekat, tumit sepatunya mengetuk lantai kayu dengan ritme yang mengerikan. Jemarinya yang panjang meraih daguku, memaksa wajahku menatapnya. Senyumnya tipis, penuh kemenangan.“Kau pikir permohonanmu akan menggerakka
Bab 57Di Hadapan Madam Sara.Suara derit kayu semakin keras ketika pintu rumah reyot itu didobrak paksa. Tubuhku yang bersembunyi di bawah ranjang kaku seperti batu, napasku kutahan sekuat tenaga. Dari celah kayu sempit, aku bisa melihat sepatu-sepatu mereka melangkah masuk.“Dia pasti di sini!” suara kasar seorang pria bergema, diikuti tawa mengejek dari yang lain.Jantungku berdegup gila-gilaan, seakan hendak meledak. Aku menggigit bibirku sampai hampir berdarah agar tidak menjerit.Gery berdiri dengan batang besi di tangannya, matanya menatap tajam penuh keberanian. “Keluar dari rumahku! Aku nggak akan biarin kalian bawa dia!”“Hahaha… sok jago kau, Bung.,” suara yang paling aku kenal—suara Revan—menyusul dari pintu. Tubuhku bergetar hebat begitu mendengar namanya.Aku bisa melihat kaki Revan melangkah perlahan masuk, berbeda dengan anak buahnya yang kasar. Sepatunya bersih, langkahnya tenang, tapi aura yang memancar darinya membuat udara di dalam ruangan menekan.“Mana dia?” tany
Bab 56."Key, apa kamu menangis?" tanya Gery, yang seketika aku langsung menyeka airmata ku. Aku menggelengkan kepala menatapnya. "Enggak kok, cuman kena debu doang," jawabku berbohong. Tapi Gery, ia justeru duduk tepat di sebelahku. "Ada apa lagi, ha? Apalagi yang membuatmu sedih?"Aku kembali menggelengkan kepala ini, dan mencoba tegar di hadapannya. "Aku gak apa-apa, Ger."Aku sengaja berbohong, karena tidak ingin membuat susah Gery. Apalagi dia sudah banyak membantuku. Membuatku malu untuk minta tolong padanya lagi. "Kamu kenapa?" tanyanya ulang yang kali ini ku jawab dengan diam. "Baiklah, kalau kamu gak mau cerita ke aku, Key. Mungkin kamu belum begitu percaya ke aku."Disitu aku langsung merasa bersalah, sampai aku katakan yang sebenarnya. "Aku rindu dengan ibuku, Ger."Gery menatap lama ke arahku, sambil aku lanjut bercerita. "Mungkin Revan, dia mungkin sudah menemui ibu."Aku tertunduk lesu, tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi ke ibu. "Memangnya Revan tahu rumah