Home / Young Adult / Lepaskan Aku, Om / Bab 8. Adegan menarik

Share

Bab 8. Adegan menarik

Author: Bulandari f
last update Last Updated: 2025-07-12 20:46:47

Bab 8

Lampu sorot menyorot wajahku. Rasanya hangat, menyilaukan. Tapi tidak ada kehangatan di dalam dadaku. Hanya kekosongan yang menggema.

Seseorang memberiku naskah tipis. Tapi tak ada yang perlu dihafal, tak ada dialog penting. Semua hanya instruksi fisik. Aku menggenggamnya sejenak, lalu meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Tak sanggup membacanya.

"Aman, ya? Kalau siap, kita mulai," ujar seseorang dari belakang kamera. Suaranya datar, profesional. Seperti ini adalah hal biasa. Mungkin untuk mereka, memang sudah biasa.

Aku mengangguk kecil, hampir tak terlihat. Tubuhku bergerak, tapi bukan karena keinginanku. Lebih seperti... sisa-sisa perintah dari otak yang sudah mati rasa.

Aku berbaring perlahan. Kasur terasa dingin, bau ruangan ini pun berbeda. Ada campuran parfum murahan, keringat, dan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan—sesuatu yang membuat tenggorokanku tercekat.

Lelaki itu masuk ke dalam frame. Aku bahkan tak sempat tahu namanya. Dia tersenyum sejenak, basa-basi yang terasa kosong. Tidak ada jiwa di balik tatapannya, hanya rutinitas yang sudah diulang berkali-kali.

Kamera mulai merekam.

Aku menarik napas panjang, menatap ke langit-langit. Ada bekas retakan di sana, seperti guratan luka di kulit beton. Aku menatapnya lama-lama, mencoba mengalihkan pikiranku. Membayangkan bahwa aku ada di tempat lain. Di rumah. Di kelas. Di taman kecil di belakang apartemen ibu.

Tapi suara kamera yang berdengung halus itu mengembalikanku ke sini. Ke tempat di mana tubuhku bukan lagi milikku. Hanya properti. Hanya alat untuk sesuatu yang tidak pernah aku inginkan.

Tanganku bergetar sedikit. Tapi wajahku tetap diam. Kamera tidak boleh menangkap ketakutan.

Aku belajar cara berpura-pura. Dengan senyum tipis, dengan pandangan yang dibuat seolah-olah aku menikmati ini. Aku tak tahu bagaimana aku bisa melakukannya, tapi aku melakukannya. Mungkin karena aku tahu, ini belum akhir. Ini baru awal dari semuanya.

Dan di dalam hati, aku hanya bisa berbisik lagi pada satu-satunya harapan yang mungkin masih mendengar. "Tuhan... kalau Engkau masih ada... tolong jangan biarkan aku jadi orang lain sepenuhnya. Sisakan sedikit diriku. Sedikit saja..."

Namun, itu hanya sebuah harapan yang tersisa di hati kini, karena tubuhku mulai di jamah oleh pria yang sama sekali tidak aku kenal.

Tapi tangannya langsung membuka kancing bajuku, membuatku gemetar takut. Seorang kameramen yang melihatnya justru berkata, "Santai saja, tidak usah takut. Tugas mu hanya menikmatinya saja."

Mendengar ucapannya itu, membuatku berkata di dalam hati, "Bagaimana aku menikmatinya, kalau jelas-jelas tubuhku sedang di jamah oleh pria yang tidak aku kenal."

Aku tersenyum getir, bukan karena senang tapi karena rasa takut.

Frame berganti ke adegan di mana pria itu memasukkan batangnya ke dalam mulutku, membuatku ingin menolak tapi tidak bisa, ada tatapan tajam yang sedang menatapku. Seakan mengawasi gerak-gerik ku agar tidak melakukan kesalahan sekecil apapun itu.

Karena kalau kita sudah melakukan kesalahan, dampaknya begitu fatal. Ada yang dihukum sampai mati, dan aku belum siap untuk semua itu.

Aku masih mau hidup, aku mau memeluk ayah dan ibuku, aku tidak ingin mereka sedih. Kalau mereka lihat putri kecil yang ia besarkan sekarang sedang melayani nafsu pria bejat.

Apalagi pria itu begitu kasar, ia juga jorok bagiku. Karena selain ia menjilati kemal**n ku, dia juga menjilati bok*Ng ku. Apa itu tidak menjijikan.

Tapi jujur, aku mulai suka. Bahkan perlahan-lahan aku mulai menikmati pekerjaan ku sebagai bintang po*no.

Hampir setiap Minggu aku di minta untuk melayani pria yang berbeda, dan kali ini bintang cowoknya itu seorang an*k yang bisa di bilang masih remaja. Tapi bentuk badannya tinggi dan terlihat dewasa. Tapi di adegan ini aku berperan sebagai seorang kakak tiri untuknya.

Dia yang baru pulang se**lah langsung aku ajak bercinta, dan adegan itu aku lakukan disaat ia sedang belajar.

Ini memang menjijikkan bagi setiap orang, tapi aku mulai menikmatinya, aku mulai suka dengan gerakan kecil yang bisa membuat tubuhku bergetar tidak karuan, dan rasanya itu sangat sulit untuk di gambarkan. Yang jelas rasanya itu sakit tapi enak.

Sama seperti saat ini, saat aku meminta dia untuk menjilati ke**Luan ku.

Hingga tanpa sadar aku langsung mendesah kenikmatan.

"Huhhh ... Arhhh ahhh ... Ini sangat nikmat sayang, jangan berhenti," erangku yang kenikmatan, tapi kalau aku lihat ke dia juga gitu.

Dia sampai memicing kan mata, menikmati setiap sentuhan yang aku berikan.

Tanganku yang menjalar di tubuhnya, dan lidah ku yang membasahi jenjang lehernya sampai menghisap kemal**n nya.

Aku buat dia sampai tidak lupa dengan hari ini, hari di mana aku yang awalnya menjadi guru lest nya justru menjadi pemuas hasratnya.

Tanganku menyusuri kulitnya, seolah mencari sesuatu yang tak pernah kutemukan—kehangatan, mungkin. Atau sekadar alasan untuk tetap bertahan di ruangan dingin ini. Nafasku bertemu dengan lehernya, dan sejenak aku memejamkan mata. Bukan karena rindu, bukan karena cinta. Tapi karena aku ingin... melupakan.

Segala gerakan diatur, seolah aku sedang memainkan peran. Tapi tak ada panggung. Tak ada tepuk tangan. Hanya kamera, hanya orang-orang yang tak peduli pada perasaanku.

Di layar nanti, mungkin aku terlihat berani. Terlihat penuh gairah. Tapi tak seorang pun tahu bahwa di balik sorot mataku yang setengah tertutup, ada jeritan yang kutahan mati-matian.

Hari itu, aku bukan lagi diriku. Aku bukan siswi teladan yang pernah bermimpi menjadi guru. Aku bukan anak yang dulu rajin membantu ibu di dapur. Hari itu... aku berubah menjadi seseorang yang bahkan tak berani kusapa di cermin.

"Jangan lupa hari ini," katanya sambil tersenyum. Seolah-olah hari ini adalah sesuatu yang harus dirayakan.

Tapi dalam hati kecilku, aku tahu. Hari ini bukan tentang kenikmatan. Bukan tentang keberanian. Ini adalah hari di mana aku kehilangan sedikit lagi dari diriku yang dulu.

Dan entah mengapa, tubuhku mulai terbiasa. Seolah menyerah. Seolah berkata, “Sudah, cukup melawan. Nikmati saja, agar tak terasa terlalu sakit.”

"Regangkan kaki mu, buka sedikit lebih lebar."

"Kamu cukup diam saja, biarkan dia yang bekerja memberikan kepuasan untukmu," ujar para kru itu.

Tanganku masih menyentuh kulitnya—hangat, hidup, tapi tak memberi arti apa-apa. Gerakanku pelan, mengikuti alur yang sudah aku hafal di luar kepala. Seolah-olah aku sedang menari dalam bayangan, menuruti irama yang tak pernah benar-benar kumengerti.

Suara napasnya menggema di telingaku, bercampur dengan bisik-bisik dari balik kamera. Mereka menyuruhku terlihat rileks. Terlihat menikmatinya. Tapi bagaimana bisa? Ketika setiap helaan napas terasa seperti mencuri bagian dari jiwaku?

Aku mencoba tersenyum. Senyum tipis yang tak sampai ke mata. Senyum yang sudah kulatih di depan cermin—bukan karena bahagia, tapi karena itu satu-satunya cara agar aku tetap utuh… atau setidaknya, terlihat utuh.

Dia menyentuhku lagi. Gerakannya terukur, seperti mengikuti skrip yang ditulis tanpa mempertimbangkan apa pun selain visual. Aku tak menolak, tak melawan. Tubuhku seolah tahu ini bukan tempat untuk melawan. Ini adalah panggung yang tak mengenal batas perasaan.

Di layar, semua ini akan tampak seperti gairah. Seperti kedekatan. Tapi di baliknya, hanya ada hampa. Sunyi yang nyaring. Dan di tengah sunyi itu, aku berusaha mencari diriku—di setiap sentuhan, di setiap pandangan kosong.

"Sedikit lebih dekat," ujar seseorang. Aku menuruti. Bukan karena ingin, tapi karena tak ada pilihan lain.

Aku mendekat, dan entah bagaimana, ada momen di mana waktu terasa berhenti. Bukan karena indah. Tapi karena tubuhku lelah pura-pura kuat. Ada titik di mana aku berhenti merasa. Seolah... inilah hidupku sekarang. Ini jalanku. Ini caraku bertahan.

Dan di ujung adegan, ketika semuanya selesai, aku menarik napas panjang. Bukan karena lega, tapi karena aku masih hidup.

"Bagus, adegan yang menarik."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 8. Adegan menarik

    Bab 8Lampu sorot menyorot wajahku. Rasanya hangat, menyilaukan. Tapi tidak ada kehangatan di dalam dadaku. Hanya kekosongan yang menggema.Seseorang memberiku naskah tipis. Tapi tak ada yang perlu dihafal, tak ada dialog penting. Semua hanya instruksi fisik. Aku menggenggamnya sejenak, lalu meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Tak sanggup membacanya."Aman, ya? Kalau siap, kita mulai," ujar seseorang dari belakang kamera. Suaranya datar, profesional. Seperti ini adalah hal biasa. Mungkin untuk mereka, memang sudah biasa.Aku mengangguk kecil, hampir tak terlihat. Tubuhku bergerak, tapi bukan karena keinginanku. Lebih seperti... sisa-sisa perintah dari otak yang sudah mati rasa.Aku berbaring perlahan. Kasur terasa dingin, bau ruangan ini pun berbeda. Ada campuran parfum murahan, keringat, dan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan—sesuatu yang membuat tenggorokanku tercekat.Lelaki itu masuk ke dalam frame. Aku bahkan tak sempat tahu namanya. Dia tersenyum sejenak, basa-b

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 7. Bukan artis ibukota melainkan artis bintang film PO**o

    Bab 7Aku terus-terusan kepikiran dengan ucapan kak Dina, yang berkata sebentar lagi aku akan di jadikan sebagai pemeran utama dalam film PO*no, apa aku harus bahagia atau malah sebaliknya.Untuk menjadi bintang film itu adalah impian ku semenjak kecil, tapi aku tidak pernah bermimpi akan menjadi bintang film dewasa. Tidak pernah sama sekali.Tapi ... Siang ini aku mendengar obrolan dari beberapa wanita yang mengatakan kalau aku termasuk beruntung. Karena baru pertama kali masuk ke tempat itu sudah dijadikan sebagai bintang utama dalam pembuatan film dewasa.Aku hanya bisa duduk diam di sudut ruangan itu, tangan mengepal di atas pangkuan. Kata-kata mereka terus berputar di kepalaku, seperti gema yang tak bisa dihentikan."Dia beruntung banget… baru masuk, langsung jadi pemeran utama.”Beruntung? Aku ingin tertawa, tapi suara itu terjebak di tenggorokan. Apa mereka tahu bagaimana rasanya saat impian masa kecil yang indah berubah jadi bayangan buram seperti ini?Aku tidak tahu harus mer

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 6. Hukuman

    Bab 6"Tolong hentikan Madam, sakit. Aku mohon ampun, Madam. Please ... Tolong hentikan ... Tolong hentikan ... Aku mohon...," ujar ku yang tengah menangis, merintih dan memohon belas kasihan dari Madam Sarah, ia menyiksaku. Memasukkan sesuatu ke dalam selangkanganku menggunakan sebuah alat dewasa yang dimasukkan ke dalam kemaluanku.Awalnya aku merasa kenikmatan, tapi lama kelamaan rasanya sakit, perih dan aku tidak kuat.Hingga aku merintih dan memohon ampun, tapi tidak ada seorangpun yang peduli. Aku dijadikan tontonan. Yang sialnya, sebuah kamera mengarah ke aku.Merekam setiap detail apa yang mereka lakukan padaku, tawa suara pria menggelegar di ruangan itu, dilanjutkan dengan dua orang pria yang justru berjalan ke arahku.Ia cabut alat itu, membuatku merasa sedikit enakkan, walaupun masih ada perih sedikit di area kemaluan.Tapi, yang awalnya aku pikir hukuman itu berhenti justru tidak, ternyata dua pria itu lebih kasar daripada alat yang mereka masukkan ke dalam kemaluanku.Mer

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 5. Layani aku

    Bab 5."Tapi Tuan, anda salah orang. Aku bukan jalang dan aku bukan seorang pelacur, tapi merekalah yang menjadikan aku seorang pelacur. Tolong jangan sentuh aku, Tuan.""Banyak bacot, buruan tarik handukmu! Dan aku ingin kamu menari telanjang di hadapan ku!"Tanganku gemetar saat menggenggam erat ujung handuk ini. Dada sesak, seperti ada batu besar menindih. Ucapan pria itu barusan bukan hanya menusuk harga diriku tapi begitu menakutkan untukku. Apa yang akan terjadi setelah ini padaku? Di saat rasa perih di tengah selangkangan ku saja belum hilang."Aku sudah cukup dihina, Tuan," suaraku keluar lirih, tapi jelas. Aku menatap langsung ke matanya, meskipun tubuhku menggigil ketakutan. "Kalau memang harga diriku serendah itu di matamu, biarkan saja aku mati malam ini."Dia terdiam. Sorot matanya tidak semenggila tadi. Mungkin karena aku bicara terlalu jujur, terlalu mentah. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku sudah kehilangan segalanya—keluarga, kebebasan, bahkan hakku untuk bermimpi."Aku

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 4. Menari telanjang di hadapan ku

    Bab 4Apa ini yang dinamakan kehilangan raga? Ketika aku merasa tubuhku hina dan tidak berarti lagi.Di bawah pancuran shower aku menangis, meratapi diri yang habis di genjot oleh kakek tua, dia memang meninggalkan uang untukku, katanya sebagai tips karena dia puas.Tapi masalahnya aku bukan pelacur, dan tidak ingin dijadikan sebagai pelacur. Tapi takdir berkata lain, rasa sakit di tengah selangkangan ku belum hilang.Aku sudah diminta kembali melayani tamu, yang katanya seorang bos perusahaan.Walaupun terkenal keren tapi itu menjijikan, kenapa aku harus melayaninya? Aku bukan istrinya, bukan juga kekasihnya, atau selingkuhannya. Sama sekali bukan, dan aku juga bukan seorang pelacur. Tapi madam Sarah justru memaksaku menjadi pelacur."Bukankah pekerjaan ini enak? Kamu cukup ngangkang dan di kasih uang, iya, kan?" katanya dengan penuh keangkuhan, seakan-akan uang adalah segalanya, sampai bisa membeli tubuh wanita yang tidak tahu apa-apa.Aku hanya bisa diam mendengar ucapan Madam Sara

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 3. Pelanggan pertama kakek tua

    Bab 3Sayangnya, aku tidak bisa berbincang lama dengan kak Dina, sebab seseorang langsung masuk ke dalam kamar. "Dina, kamu di panggil dengan Madam Sarah," ujar seorang wanita yang usianya sekitar 30 tahun ke atas."Key, aku pergi yah. Cepat habiskan makananmu sebelum terlambat.""Sebelum terlambat, maksudnya?" tanyaku yang sia-sia, sebab kak Dina pergi tanpa menjelaskan apapun kepadaku, mungkinkah ... Entahlah, bagaimana aku bisa selera makan. Kalau perasaanku dihantui rasa cemas gini. Sampai-sampai aku masih menatap pintu yang baru saja ditutup Kak Dina. Rasa-rasanya, dinding kamar ini makin menyempit, udara makin menekan dadaku. Aku mencoba menelan nasi yang tersisa di piring, tapi lidahku seakan menolak. Ada firasat aneh yang mengganggu pikiranku, apalagi setelah kalimat terakhir Kak Dina—*sebelum terlambat*.Apa maksudnya?Belum sempat aku berdamai dengan pikiranku sendiri, pintu kamar terbuka kembali. Kali ini bukan Kak Dina. Seorang perempuan tinggi, dingin, dengan rambut disan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status