Novel Sang Putri Sahabat Dari Surga merupakan kisah semasa sekolah dasar si penulis. Terlebih penulis dedikasikan untuk semua sahabat dan guru yang sudah membimbing hingga menjadi sekarang. Tepatnya, setelah pindah dari sekolah lama ke sekolah baru yang di dekat rumah. Saat itu, baru kelas 4, penulis mengenal sosok sahabat cowok bernama Wanto yang memiliki kesan tersendiri. Namun, menginjak kelas 5, Wanto meninggalkan tanah Jawa dan menetap di Sulawesi Tenggara. Wanto merupakan sahabat yang sangat perhatian. Mungkin satu-satunya teman cowok yang baik. Setelah kepergian Wanto, penulis memiliki dua sahabat perempuan yang bernama Ayu dan Halimah. Ayu merupakan anak yang sabar dan menyukai make up, sekaligus seorang non muslim yang taat juga menyukai bahasa Inggris. Sedangkan Halimah seorang muslim yang sedikit tomboy dengan potongan rambut pendek. Dalam perjalanan belajar di kelas 5, sosok pengajar yang hangat akan selamanya terkenang. Beliau bernama Pak Kasim yang tiba-tiba memilih pindah tempat mengajar. Kami sekelas merasa kehilangan. Hingga akhirnya memberikan nyanyian terakhir diiringi tangisan histeris. Menjelang pulang sekolah, beliau mengucapkan kata perpisahan. Hal itu membuat salah satu teman bernama Efi memberikan sepucuk surat kepada Pak Kasim. Sepanjang mengayuh sepeda menuju rumah masing-masing, kami masih saja menangis. Suatu ketika, menjelang kenaikan kelas. Sekolah mengadakan liburan ke beberapa obyek wisata Yogyakarta. Di sana, penulis mengalami beberapa hal aneh yang tidak masuk akal. Seperti di situs Candi Borobudur, Museum Kyai Langgeng, dan terakhir Museum Ronggowarsito. Bab selanjutnya, Ayu, Halimah, dan penulis bertenngkar saling menendang satu sama lain di belakang sekolah. Teman-teman yang lain tentu saja bersorak sorai menyemangati kami untuk beradu kekuatan. Hingga, sebuah kalimat meluncur dari mulut Halimah cukup mencengangkan,
View MoreKudus Tahun 2005
Seperti biasa, ritual pagi sebelum mandi. Aku harus menimba air dari sumur yang memiliki kedalaman cukup menakutkan. Hari itu, seolah semua tumpukan batu terlepas begitu saja dari kepala yang selama ini menjadi beban. Hari itu pula menjadi awal meraih cita-cita yang sebenarnya.
Akhirnya, bapak mengizinkan aku pindah sekolah yang dekat rumah. Selain aku bisa dekat dengan tetangga, justru orang tua memiliki alasan sendiri mengenai kepindahanku. Apalagi kalau bukan mengakhiri kebiasaan lamaku yang selalu bangun kesiangan. Bersyukur, aku tidak dikeluarkan dari sekolah yang lama. Mungkin karena bapak menjadi pekerja di sana, sehingga pihak sekolah memberikan sedikit kompensasi.
Tetap saja, hukuman dari wali kelas tidak pernah absen. Begitulah aku memang pethakilan. Entah mengapa, di hari pertama sekolah aku terlambat lagi masuk kelas empat. Wali kelas yang bernama Pak Kasim hanya mengembangkan senyum hangat. Seolah tidak terjadi kesalahan sama sekali.
“Dia ini Siti murid pindahan dari SDN 1 Karangrowo. Sebagian kalian pasti sudah mengenalnya, bukan?”
Sebagian teman-teman menjawab, “Iya, Pak.” Sisanya diam memperhatikan.
Hanya itu kalimat yang ku dengar dari seorang guru kesayangan. Biasanya, seorang guru akan menghukum muridnya yang melanggar peraturan. Mungkin, aku merupakan siswa baru jadi memiliki keistimewaan sendiri, atau Pak Kasim sudah biasa menghadapi murid nakal sepertiku? Mungkin saja.
“Akhirnya, Ti kamu pindah juga ke sini.” Beberapa tetangga yang menjadi teman sekelas, terlihat antusias membentuk sebuah lingkaran kecil di waktu istirahat.
“Begitulah. Aku bosen di sekolah yang lama. Lagian di sana lumayan jauh dari rumah. Aku pingin belajar mandiri buat berangkat sekolah sendiri.”
“Besok kamu bisa bareng sama kami kalau berangkat sekolah.” Salah satu temanku bernama Wahyu memberikan penawaran.
Siapa yang tidak menyukainya? Toh, selama ini aku berangkat sekolah selalu bersama bapak. Terkadang, sesampainya di sekolah aku menjadi bahan tertawaan. Padahal itu sangat wajar dilakukan seorang bapak kepada anaknya. Mereka saja yang mungkin menaruh rasa iri.
“Boleh saja. Ohiya, kamu kalau ke sekolah bawa bekal makanan ya, Wahyu?” aku melihat sebuah kotak makanan yang dikeluarkan Wahyu dari dalam laci meja.
“Kadang-kadang, Ti. Kalau ibuk nggak masak ya nggak bawa bekal.”
“Terus, teman-teman lainnya juga bawa bekal?” tanyaku sambil mengitari pandangan ke wajah mereka yang masih membetuk lingkaran kecil di sekitar tempat dudukku.
Sebagiannya menggeleng, sebagiannya mengangguk.
“Ya udah, kapan-kapan aku juga mau bawa bekal.” Ucapku sambil mengembangkan senyum semanis mungkin.
Mendoan, tahu goreng, sayur bening, sama sambal terasi sudah membayangi pikiran untuk menu yang akan kubawa besok. Semua bayangan mengasikkan itu menghilang begitu aku melihat sesosok anak lelaki berkulit hitam legam duduk di samping kiri. Aku memperhatikan sosoknya yang terus memasang senyum menjengkelkan.
Sepertinya, dia mau sok kenal dan sok dekat.
‘Awas saja kalau dia macam-macam. Seribu jurus bayangan sudah aku siapkan. Biar kapok.’ Saat membatin, senyum di bibirku tiba-tiba melebar. Ku perhatikan lagi anak lelaki itu.
“Eh, kamu kenapa senyam-senyum begitu?” Aku menegurnya dengan suara yang rendah. Agar anak-anak yang lain tidak mendengarnya.
Mungkin, baginya aku ini anak cewek yang konyol. Tapi, salah dia juga mengapa selalu senyam-senyum tidak jelas.
“Namaku Wanto.” Anak lelaki itu menyebut dirinya Wanto yang memiliki orang tua kelahiran Sulawesi Tenggara. Aku sendiri belum mengerti di mana daerah tersebut. Bodo amat.
Namun, karena salah satu orang tuanya asli desa sini, ia harus menetap di rt sebelah. Pantas saja, setiap keluyuran bersama tetangga samping rumah. Aku tidak pernah melihat anak lelaku itu. Sambil menceritakan dirinya, tetap saja Wanto masih tersenyum yang seolah mengejek. Apa iya ada yang salah dengan diriku? Aku rasa semuanya baik-baik saja.
“Oh ya, kamu kenapa pindah? Bukannya di sekolah yang lama itu favorit, ya?”
“Ya memang. Tapi, di sana aku lebih sering terlambat. Pokoknya nggak nyaman. Kalau di sini ada teman-teman lamaku. Jadi, aku merasa lebih senang aja.”
“Hmmm … begitu.” Ucapnya nyengir sambil menggaruk kepala. Apa kepalanya gatal hingga digaruk begitu? Aneh memang.
“Ya.” Jawabku yang terasa malas.
Mata pelajaran di sekolah yang baru memang sama saja seperti di sekolah lama, tetapi entah mengapa ada hal yang menyenangkan ketika Pak Kasim menjelaskan. Khususnya pelajaran matematikan yang memusingkan kepala kecilku. Aku yang tidak terbiasa dengan matematika, hari demi hari terasa mudah untuk kupecahkan. Semua teman bertepuk bangga dengan sorak yang membuatku semakin betah.
***
“Sitiii! Apakah kamu tidak ingin mengetahui keadaan Kalim yang sebenarnya? Maksudku, kenapa sahabatmu itu bisa ngamuk-ngamuk nggak jelas.” Wawan terus mengoceh sambil terbang mengikuti kakiku yang masih mengayuh sepeda hingga sampai di rumah Kalim.Perkataan Wawan Si Hantu payah itu terus saja mengiang-ngiang di dalam pikiranku. Memangnya apa yang sebenarnya terjadi sama Kalim? Pertanyaan yang sama selalu mengusik hatiku. Wawan sudah memahami perasaanku kalau aku memang benar-benar menginginkan jawaban atas pertanyaan tersebut.“Wawan ….” Desisku sambil menggigit bagian bawah bibirku.“Holaaa! Kamu lagi nyari aku, ya?” Kemunculan Wawan secara tiba-tiba begitu mengagetkanku.“Emmm, aku … aku … aku lupa mau ngomong apa sama kamu.”“Aku sudah bisa menebak apa yang akan kamu katakana.”“A-a-apa?” tanyaku dengan nada sedikit agak gugup.Sebenarnya
“Aku jadi penasaran sama kelanjutan ceritamu tadi soal Si Hantu Wawan.”“Awalnya, aku jalan-jalan naik menyewa becak mini di Taman Kiai Langgeng. Pas aku main becak mini, aku jatuh. Tiba-tiba ada bocah laki-laki umurnya sama dengan kita. Dia menolongku dan akhirnya kami berteman. Awalnya aku nggak sadar kalau bocah laki-laki itu … hantu bernama Wawan. Dia memiliki cerita yang sangat menyedihkan. Dia juga minta bantuan sama aku. Tapi, aku benar-benar bingung harus membantunya gimana. Makanya, aku ceritain semuanya sama kamu. Aku harap Si Hantu payah itu nggak mendengar ocehanku tentangnya.”“Tenang aja, Siti. Aku akan jadi pendengar yang baik buat sahabat tercintaku ini. He he he.”Begitu ritual minumku selesai, aku harus melanjutkan kisah tentang pertemananku dengan Si Hantu Wawan.“Kamu sudah seharusnya menjadi pendengar yang baik. Apalagi ceritaku ini sangat aneh, bisa dibilang juga menyeramkan.”
Ketika Kalim terbangun dari pingsan, mulut sahabatku itu melontarkan kalimat yang sangat aneh.“Aku akan menghancurkan persahabatan kalian berdua. Lihat saja nanti!”Jujur saja, mulutku membulat membentuk huruf “O” besar setelah mendengar ancaman dari Kalim. Anehnya, sahabatku yang satu itu kembali dalam pingsan. Teman-teman lainnya yang menonton kami melakukan adegan tendang-tendangan, seketika bubar dengan jeritan penuh ketakutan. Mereka mungkin ketakutan melihat Kalim seperti orang kesurupan memberikan ancaman yang cukup mengerikan.Aku bingung harus bagaimana dengan tubuh Kalim yang masih terbaring pingsan. Sementara Ayuk sudah berhenti menangis.“Ayuk, ini gimana?” tanyaku kepada Ayuk dengan rasa penuh kebingungan.“A-a-aku nggak tahu, Ti,” jawab Ayuk dengan raut kebingungan pula.Kedua tanganku memijit-mijit pelan pada jari kakinya Kalim. Aku benar-benar sangat takut jika terjadi apa-apa
Aku terperanjat dari ranjang tempat tidur. Tentu saja pandanganku mengitari sekitar ruangan ini. Ternyata, aku baru saja terbangun dari mimpi yang aneh bersama … Si Hantu Wawan. Sebenarnya mimpi tersebut tidak bisa kupercaya begitu saja. Aku menyentuh leherku yang terasa ada benda yang menempel. Kalung yang diberikan oleh Wawan di dalam mimpiku menempel nyata di leher.Aku benar-benar sungguh bingung.“Wawan,” desisku sambil masih menyentuh kalung hadiah dari Si Hantu payah itu.Segera kukerjakan rutinitas seperti biasanya. Aku bisa sedikit bernapas lega, karena pihak sekolah memberikan libur selama tiga hari setelah liburan sekolah ke luar kota. Tercium aroma sedap yang berasal dari dapur. Aroma harum yang menusuk hidungku itu seolah-olah melarangku untuk pergi mandi. Ternyata Emak memasak kari ayam, nasi kebuli, dan roti maryam kesukaanku.“Siti, kamu setelah mandi jangan lupa bantuin emak ngasih sebagian kari ayam sama roti mar
“Siti, apakah kamu menyukai pantai ini?” tanya Wawan sambil berhenti menyeruput minuman. “Aku ….” Aku menundukan kepala, karena tidak memiliki jawaban yang tepat. “Jawablah tanpa keraguan,” ucap Wawan sekali lagi. “Aku menyukai tempat ini, tapi aku nggak tahu di mana ini. Memangnya … tempat ini di mana?” “Sebenarnya, aku mengajakmu jalan-jalan sebentar di tempat ini. Aku akan mengatakan. Sebelumnya, aku memintamu untuk menutup kedua bola mata.” “Memangnya ada apa?” Aku mengernyitkan dahi. Tiba-tiba saja salah satu tangannya menyentuh punggung tanganku. Terasa dingin. Kumiringkan kepala untuk melihat sinar dari bola matanya yang kian aneh. Bukan aneh menyeramkan, tetapi sinar bening bak mutiara yang membuat perasaanku semakin kagum. “Hey! Jangan melamun!” Lagi-lagi Wawan mengganggu kosentrasiku. Dasar Si Hantu payah! Si Hantu Wawan sama sekali tidak mengerti bahwa aku hanya memperhatikan sinar yang keluar dari kedua bola matanya. Sekara
Aku sebenarnya tidak mengetahui secara pasti mengapa Sang Putri sepertiku bisa jatuh cinta kepada sosok hantu? Hal ini sangat aneh. Aku sangat berharap kalau sahabatku bernama Ayuk tidak pernah mengetahui perasaan aneh ini kepada seorang hantu. Namun, sampai kapan aku harus menyimpan rahasia besar ini? Hingga semua rambutku sudah memutih dan kulit wajahku keriput? Sangat mustahil! Aku terus saja teringat akan sosok hantu Wawan yang pernah menciumku. Hal itu merupakan ciuman pertama dan mungkin … terakhir. “Sitiii! Ah, kamu melamun saja. Memangnya kenapa, hayooo.” Lamunanku buyar gara-gara disinggung oleh Ayuk. Ia memang perusak suasana hatiku. “Nggak apa-apa, Ayuk. Ya sudah tidur lagi. Perjalanan pulang masih lumayan panjang!” celetukku sedikit kesal. Kulihat, sahabatku yang menyebalkan itu pun mengalah. Ayuk kembali tidur. Kusibakkan tirai jendela bus untuk melihat malam yang semakin gelap. Kini, usai sudah perjalananku di tempat-tempat wisata itu. A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments