Kriiinngg ...
Suara telepon yang berdering di ruang kerjanya berbunyi sangat keras, hingga tanpa istrinya perlu berteriak memberitahunya, Ayah Eritha sudah mengangkat telepon itu dan menempelkan gagang teleponnya di telinga.
"Halo."
"Halo."
Terdengar suara atasannya dari ujung telepon tersebut. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah melihat bagaimana kantormu di sana?"
Meskipun itu bukan panggilan video, Ayah Eritha mengangguk dan menjawabnya dengan suara yang terdengar sangat bersyukur. "Ya. Aku sudah melihat kantornya. Terimakasih sudah mengirimkanku kemari, pak."
"Apa maksudmu? Aku sangat menyesal mengirim seorang yang kompeten sepertimu ke sana." terdengar suara atasannya yang tampak tidak senang dengan ucapan terimakasih darinya, "Kenapa kau harus pergi ke sana? Padahal aku sudah menyediakan jabatan yang sangat tinggi untukmu? Kau tahu, jabatan pimpinan cabang tidak akan ada apa-apanya dibanding menjabat sebagai direktur di kantor pusat."
"Aku tahu dan aku juga merasa terhormat mendapatkan jabatan itu. Bagaimanapun itu adalah posisi yang sangat kuinginkan selama ini," ujarnya jujur. "Bahkan saat aku mendengar akan dipromosikan menjadi direktur, aku nyaris tidak bisa tidur karena takut kalau yang kudengar itu hanyalah sebuah mimpi."
"Lalu kenapa kau menolaknya? Kenapa kau meminta jabatan yang kurang layak untuk kinerjamu?" tanya atasannya yang terdengar tidak habis pikir dengan keputusannya. Alih-alih atasannya, ayah Eritha pun juga tak mengerti dengan keputusannya yang menolak posisi besar tersebut.
Lalu selagi melihat foto keluarga yang terpajang di mejanya, ia merasa sedih tapi di saat yang sama ia juga merasa bahagia. "Karena ada sebuah kebahagiaan yang ingin kucapai, dan kebahagiaan itu tidak akan aku dapatkan di kota itu."
Jika ia menetap di kota itu, maka Eritha tidak akan memiliki keinginan untuk keluar dari zona nyamannya. Dia akan terus terkurung dalam traumanya dan hidup tidak normal. Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi dirinya, selain melihat putri tunggalnya bisa hidup normal dan bahagia. Apa gunanya jabatan dan uang yang ia dapat, jika ia bahkan tidak bisa melihat putrinya bersenang-senang dan menghabiskan kekayaannya.
"Entah apa yang sedang terjadi padamu, hingga kau menolak tawaran sebesar itu. Namun jika kau menyesal dan menginginkan jabatan itu, kau bisa kembali kemari. Aku akan menunggumu."
Apakah ia akan mendapatkan bos sebaik ini di tempat lain?
Lalu sambil mendengus tawa, ayah Eritha merasa bahwa hal yang dikatakan bosnya itu tidak akan pernah terjadi. Ia sudah berketetapan untuk menetap di kota tersebut.
Namun, agar atasannya tidak kecewa, ia pun mengangguk demi kesopanan. "Ya, pak."
Lalu setelah berbincang untuk beberapa hal, panggilan pun berakhir. Namun rasa sedih dan gagal masih menyelimuti dirinya.
Mungkin jika ia tidak bekerja sekompeten ini, Eritha tidak akan menderita trauma seperti sekarang. Dia akan menjadi gadis normal yang akan membicarakan pria-pria tampan di kelasnya. Meskipun itu akan terdengar sangat menyebalkan untuk seorang ayah protektif seperti dirinya, tapi melihatnya bahkan tidak bisa berdekatan dengan laki-laki yang berparas rupawan, membuatnya merasa lebih sedih.
Apakah metode ini akan berhasil?
Ia sudah membawa Eritha ke dokter paling mahal, tapi tidak ada satu cara penyembuhan pun yang berhasil. Hingga kini yang tersisa hanyalah seorang dokter gila menyuruhnya untuk melakukan cara beresiko ini, dan yang paling membuatnya kesal adalah ia akhirnya menyetujui metode ini lantaran merasa sangat putus asa.
Apakah dengan ini, Eritha dapat keluar dari traumanya? Bagaimana jika Eritha gagal mengatasi traumanya?
Baru saja ia pikirkan, Eritha mendadak muncul di depan pintu ruangannya dan menatapnya dengan bingung.
"Ayah?" Putrinya masuk ke dalam ruangannya dengan masih menggunakan pakaian seragam sekolahnya. "Kudengar dari Ibu, Ayah ingin bertemu denganku setelah aku pulang sekolah."
"Benar. Masuklah," ucapnya sambil diam-diam mengeluarkan perekam suara dan menyalakannya.
Tanpa tahu bahwa percakapan mereka direkam, Eritha mengambil duduk di kursi yang ada di depan mejanya.
"Ada apa? Apakah ada yang Ayah ingin bicarakan denganku?" tanyanya dengan waswas, seolah sedang berhadapan dengan guru pendisiplin.
Namun untuk mencairkan ketakutan putrinya, ayah Eritha tersenyum lebar dan memajukan tubuhnya dengan antusias. "Bagaimana dengan sekolah tadi? Ceritakan semuanya pada ayah."
Meskipun ia tidak membuat topik yang terlalu sulit untuk dibicarakan oleh bapak-anak, raut ajah Eritha tampak sangat berat dan muram. Namun putrinya itu segera menutupinya dengan senyuman kaku, yang membuat ayahnya tahu benar bahwa dia melakukannya hanya untuk membuat semua orang tidak khawatir.
"Tentu saja baik," ucapnya yang justru terdengar seperti sebaliknya. "Aku bertemu dengan seorang guru yang baik dan teman sekelasku pun baik. Ketua kelasku, dia mengajakku untuk berkeliling dan memberiku informasi mengenai banyak hal. Semua orang tampak menyambutku dengan baik, bahkan mereka lebih ramah daripada teman-temanku di sekolah wanita. Aku pikir, dari melihat yang terjadi pada hari ini, aku tidak akan mendapatkan masalah apapun."
Dari sorot mata putrinya, ia bisa tahu kalau ceritanya mengenai guru dan temannya benar. Dia tidak berbohong tentang itu. Namun apa yang membuatnya merasa tidak baik? Mungkinkah ...
"Di sekolahmu, apakah ada pria yang membuat traumamu kambuh?" tanyanya dengan mengikuti firasatnya.
Lalu seperti ditembak oleh peluru kebenaran, ayah Eritha bisa melihat pupil mata anaknya yang sesaat terlihat gelisah. Hingga setelah menunggu satu menit, Eritha pun menjawab pertanyaannya dengan menganggukkan kepala.
"Ya, ada Ayah?"
Kini rasa cemas dan takut yang dirasakannya bercampur menjadi satu hingga membawanya ke sebuah pergulatan batin. Perlahan ia pun mulai bertanya-tanya apakah metode ini akan berhasil? Bahkan ia sempat takut jika cara ini akan membuat trauma putrinya akan semakin parah.
Namun dalam kedewasaannya, Eritha menenangkannya. Meskipun seharusnya yang menerima penghiburan saat ini adalah Eritha, tapi —entah sejak kapan dia menjadi sedewasa ini— ia pun menyadari kalau putrinya bukan anak kecil yang dulu ia kenal.
"Namun itu adalah hal yang wajar di sekolah campuran, jika ada seorang pria tampan yang menjadi idola murid-murid yang lain. Itu adalah sebuah kondisi yang tidak terhindarkan."
Melihatnya belum merasa tenang, Eritha kembali menambahkan kalimat meyakinkan lain, untuk melegakan hati seorang ayah yang hancur.
"Sungguh tidak apa-apa. Jika dia mendekat dan traumaku muncul, aku hanya perlu menghindarinya, kan? Lagipula untuk apa anak idola sekolah mendekatiku."
Meskipun cukup sulit untuk terbujuk dengan kata-katanya, ayah Eritha mencoba untuk optimis dan mempercayai putrinya.
Ia melihat putri cantiknya itu dan mengangguk. "Ya. Tentu kau akan baik-baik saja. Karena putriku menuruni darahku dan darah istriku yang kuat. Dia tidak akan lemah."
Eritha pun terkekeh dan menunjuk pintu dengan ibu jarinya. "Ayah, aku akan membantu ibu membuat makan siang dulu. Ayah bisa selesaikan pekerjaan Ayah, dan kita makan bersama."
Ayah Eritha menganggukkan kepala, lalu tersenyum. "Ya, bantulah ibumu. Ayah akan segera menyusul setelah menyelesaikan urusan ayah."
Lalu Eritha keluar dari ruangannya dan menutup pintu ruang kerjanya.
Setelah menunggu langkah Eritha berjalan menjauh, ayah Eritha pun mengambil telepon genggamnya dan menghubungi seseorang.
Selagi ia menunggu nada sambung yang tak henti-hentinya terdengar, ia mengambil perekam suara yang disembunyikannya dan mengetuk-ketuk benda tersebut ke permukaan meja.
"Halo." Hingga akhirnya terdengar suara pria dari ujung teleponnya.
"Halo, dok."
"Bagaimana dengan sekolah putrimu? Anda sudah bertanya dengannya?"
"Sudah." Lalu dengan menatap perekam itu gelisah ia mengatakan apa yang dilihatnya sebagai orang tua. Meskipun analisanya tak akan sebaik seorang psikiater, tapi —dengan firasatnya sebagai seorang ayah— ia mungkin bisa membantu dokter tersebut untuk mengawasi anaknya dari jauh. "Namun dia tampak gelisah. Aku rasa dia bertemu dengan seorang yang memicu traumanya. Apakah ini akan baik-baik saja, dok?"
Bukan hiburan yang ingin ia dengarkan, dokter tersebut mengatakan sebuah fakta yang membuatnya semakin gelisah. "Saya tidak bisa memastikan dan menjamin hal itu. Namun sebagai dokter, saya rasa hanya ini cara yang tepat untuk menyembuhkannya."
Sambil memejamkan matanya, ayah Eritha merasa sangat pusing dengan keadaan yang dialaminya. "Baiklah. Aku akan segera mengirimkan suara rekaman percakapan kami setelah ini."
"Ya, saya tunggu."
Sebelum panggilan di tutup, dengan sangat putus asa, ia meminta hal yang tidak dalam kendali dokter tersebut. "Dok, tolong bantu putriku agar kembali lagi seperti dulu."
...****************...
Seperti orang bodoh, Eritha berlari begitu melihat senyuman Arlando. Hingga ketika ia sudah berada di jarak yang cukup jauh dari pria itu, ia memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. "Ada apa denganmu?" Tangan Eritha menyentuh dadanya dan ia bergumam sendiri bak orang tidak waras. "Kenapa aku merasa seperti ini padahal sudah menjaga jarak dua meter. Astaga, sampai gila rasanya." "Eritha." Terdengar kembali suara Arlando yang membuatnya harus segera meneruskan pelariannya dan bergegas menuju tempat teraman bagi dirinya. Glek. "Eritha, kaukah itu? Kenapa pulang terlambat?" Senyum ibunya mendadak berubah menjadi kekhawatiran ketika dia melihat putrinya banjir keringat. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berkeringat sebanyak ini?" "Tidak apa-apa," ujar Eritha sambil menggelengkan kepalanya. Lalu mencoba menenangkan ibunya dengan senyuman lebar yang menampakkan kalau dirinya baik-baik saja. "Aku hanya ingin berolah raga saj
Tak pernah ia duga, mendapatkan nilai yang bagus akan jadi semenarik ini. Pagi tadi, ketika ia kira akan mendapatkan teguran dari gurunya, Arlando justru diberi sebuah hadiah oleh Bu Via. Dengan dirinya yang mendapat peringkat terburuk dan 'kekasih'nya yang mempunyai nilai tertinggi, guru wali kelasnya berharap Eritha dapat menaikkan sedikit nilai Arlando. Tentu sebagai 'kekasih'nya, Eritha tidak bisa menolak permintaan gurunya dan kini dengan berdiri dua meter dihadapannya, wanita itu mengajaknya untuk memulai pembelajaran bersama. "Ayo kita ke perpustakaan," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan, lantaran semua temannya sedang melihat mereka. Nyaris Arlando menjatuhkan buku yang hendak ia masukkan ke dalam tas, karena tak percaya dengan yang ia dengar. Ia kira, Eritha hanya meng-iyakannya di depan guru dan tidak menepati janjinya. Namun dia ternyata bukan wanita yang sangat konsisten dengan ucapannya, Arlando menyukai sikapnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Juanita sambil menatapnya lekat-lekat."Tenang, aku baik-baik saja. Namun hanya saja jantungku kini yang sedang tidak baik-baik saja," keluhnya atas perbuatan Juanita yang benar-benar tak terduga. "Aku benar-benar sangat terkejut saat mendengar kalau guru disiplin akan datang. Hingga aku berlari gugup karena kukira aku akan mendapat masalah besar jika sampai tertangkap. Namun siapa sangka itu adalah ulahmu. Bagaimana kau bisa menjadikan sesuatu yang mengerikan itu sebagai bahan candaan? Bahkan aku tidak bisa tertawa meskipun sudah mendengarnya darimu."Eric dan Juanita pun tersenyum dalam rasa bersalah."Maafkan aku. Kupikir dengan membubarkan semua orang, aku bisa membantumu," Jelas Juanita yang tidak dapat sepenuhnya ia pahami. "Lagipula kukira dengan membuat sedikit keributan, aku bisa menciptakan sedikit adegan romantis dan kalian bisa berlari sambil bergandengan tangan bersama."Selagi mengernyit, Eritha menatap dua temannya d
'Siapa yang pernah menyangka?' itulah kata yang tepat untuk semua situasi yang dihadapi Sheryn pagi ini. Di saat ia ingin menyudutkan Eritha dan menekannya, wanita yang belum genap pindah seminggu itu justru yang jadi menyudutkannya dan menghancurkan pertahanan teman-temannya. Lalu dalam kondisi yang memalukan tersebut, Arlando datang! Pria itu tampak ingin menyelamatkan Eritha, tapi —seperti yang dia lihat— Eritha cukup baik-baik saja untuk ditolong. Sedangkan Sheryn, ia sudah terlalu lemah untuk dilawan Arlando. Namun kebingungan yang dirasakan pria itu hanya bertahan sesaat, lantaran kondisi mendesak lainnya datang. Guru disiplin yang sesekali berkeliling untuk memastikan kondisi sekolah tertib, hari itu mendapati pertengkaran yang Sheryn mulai. Sehingga dalam hitungan detik, semua penonton bubar. Lalu dengan tidak disangka olehnya, Eritha mendorong Sheryn ke pelukan Arlando dan berlari seorang diri. Hingga, setelah
Seperti hari-hari biasanya, Arlando datang ke sekolah dan masuk ke kelasnya yang super ramai. Pagi masih terlalu awal dan jauh dari jam masuk. Jadi seberisik apapun mereka, tidak akan ada guru yang memarahi ataupun memukul meja lantaran suara mereka yang tak hanya terdengar dari dalam ruangan, tapi juga luar ruangan. "Kau sudah datang," ujar beberapa temannya yang sedikit basa-basi, meskipun sudah jelas dengan mata mereka bahwa Arlando sudah tiba di ruang kelas dan duduk di ruangannya. Eric yang duduk di belakang bangku Juanita, kini berjalan mendekatinya dan seperti biasa, dia mengajak Arlando untuk banjir keringat di lapangan basket. "Ayo kita main basket." Namun dengan ketakutan baru Arlando mengenai bau keringatnya, ia pun menolak ajakan Eric yang biasanya selalu ia terima dengan senang hati. "Jangan sekarang. Nanti saat pulang saja," ujarnya yang langsung dijawab dengan wajah cemberut Eric. "Kenapa? I
Sheryn duduk terdiam di tempatnya dengan wajah terganggu. Sudah sejak kemarin sore, ia melamun sepanjang waktu. Semua itu karena percakapan Eritha dan Arlando yang tak sengaja ia dengar. Sore itu, dari kejauhan, Sheryn melihat Eritha dan Arlando yang saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh. Namun keduanya saling berkomunikasi lewat ponsel. Ia kira, itu adalah cara berpacaran abad kini dan ia dibuat kesal lantaran pemandangan yang tak ingin ia lihat itu. Hingga saat ia hendak berbalik dan mencari jalan lain untuk pulang ke rumahnya, ia tak sengaja mendengar ucapan Eritha yang posisinya lebih dekat dengannya. Dengan suaranya yang agak keras itu, Eritha mengatakan hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Tentang tadi pagi, aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu. Aku hanya mengatakannya karena terlalu malu untuk mengatakan pada teman-teman kalau aku muntah di pakaianmu." Mata Sheryn pun terbelalak dan ia memandang ke arah sepasang k