Semua orang berebutan ingin melihat jari kakiku yang 'unik'. Sesudah melihatnya, mereka langsung menatapku dengan jijik atau takut lalu saling berbisik kepada satu dengan yang lainnya.
Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang mematung saking syoknya. Aku ingin kabur dari sini. Masa bodoh dengan lomba fashion show, lebih baik aku segera menghilang dari hadapan mereka. Kubalikkan badanku dan melangkah menuju balik panggung dengan cepat.
Akan tetapi, aku tersandung di permukaan yang datar ini karena sangat panik. Aku ambruk di atas panggung yang dilapisi oleh karpet berwarna biru tua. Suara bisikan orang-orang yang menontonku semakin terdengar jelas di telingaku.
"Ternyata si Freya cacat, ya."
"Ini pertama kalinya aku melihat orang berjari 11."
Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku ingin keluar dari sini secepatnya. Namun, kedua kaki dan tanganku mengkhianatiku. Mereka sama sekali tidak dapat kugerakkan. Rasanya ada lem yang membuat lengan dan lututku menempel pada permukaan panggung.
Tekanan yang kurasakan semakin berat seiring dengan lamanya aku terjebak di ruangan yang luas namun menyesakkan ini. Aku menarik napas dengan sangat cepat, tetapi rasanya tidak ada sedikit pun oksigen yang mengisi paru-paruku. Jantungku pun berdetak dengan tak karuan sampai-sampai dadaku terasa sakit.
Akhirnya kekuatanku terkumpul kembali sehingga aku bisa menggerakan tangan kakiku lagi. Aku bangkit lalu berlari memasuki belakang panggung yang ditutupi oleh tirai. Air mataku bercucuran dan membasahi karpet biru tua pada setiap langkah yang kubuat.
Aku tidak mempedulikan tatapan aneh dari peserta lain yang masih belum dipanggil untuk tampil. Kuambil tas selempangku yang kutinggalkan di kursi dan berlari menuruni panggung. Aku menerobos ratusan orang yang menghalangi jalan.
"Aw! Siapa yang menabrakku?!"
"Cewek cacat yang tadi tampil di panggung kabur! Itu dia di sana!"
Kuacuhkan perkataan mereka selama menerobos untuk keluar dari sini. Pikiranku kalut. Aku tidak dapat memikirkan apa pun selain kabur ke tempat yang aman. Aku tidak mau berada di ruangan ini lebih lama lagi.
Akhirnya aku berhasil keluar dari auditorium. Aku berbelok ke kiri dan berlari menyusuri jalan setapak. Tak sedikit orang tertabrak olehku dan tak sedikit juga yang menatapku dengan aneh, seperti melihat orang gila. Aku berlari tanpa arah, entah kemana kakiku akan membawaku.
Pintu di depanku terbanting terbuka sebelum terbanting tertutup lagi. Aku kembali ke kelasku yang kosong dengan napas memburu. Kulangkahkan kakiku dengan perlahan, berjalan bagaikan orang linglung. Aku duduk di kursi yang biasa kududuki. Kutenggelamkan wajahku di meja dan menangis.
"Harusnya tadi aku tidak usah mendengarkan perkataan mama ...," gumamku di sela-sela isak tangisku.
Kalau saja aku bersikeras untuk tetap memakai sepatu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. 'Tidak, percuma saja aku bersikeras ingin memakai sepatu, mama akan terus memaksaku sampai aku mau memakai sandal pilihannya. Dari awal aku tidak punya pilihan lain selain menuruti kehendaknya.'
Kudengar bunyi derit pintu yang terbuka. Aku mengangkat kepalaku dari meja dan melihat siapa yang membuka pintu. Kudapati Celestine beserta dengan keempat anggota gengnya memasuki ruangan ini. Mereka berjalan menghampiriku. 'Apa mau mereka?'
Lima siswi itu berhenti tepat di depanku. Mereka menatapku dengan tatapan merendahkan dan jijik seolah-olah melihat sampah. Senyuman sinis terpasang pada wajah mereka. Kurasakan bulu kudukku berdiri. Sepertinya suatu hal buruk akan menimpaku.
Celestine membuka mulutnya dan berkata, "Kukira cuma gosip yang tidak jelas kebenarannya, ternyata beneran 11 lho~"
"Jari kelingkingnya ada 2 eh~ Bikin merinding!" timpal salah satu anggota gengnya.
Mendengar perkataan mereka, sontak aku menyembunyikan kaki kiriku ke belakang. Jantungku yang tadi sempat tenang kini kembali berdebar dengan tak karuan. Napasku pun semakin cepat dan berat. Ingatan saat aku tampil di panggung auditorium terputar di dalam kepalaku.
Celestine melangkah mundur dan menyilangkan tangannya di dada. "Jangan terlalu dekat sama dia, nanti ketularan cacatnya! Hahaha!"
Teman-teman sepermainannya ikut tertawa dan menjauh dariku. "Takut ah~ Aku tidak mau ketularan cacat!"
Aku mengangkat kedua tanganku dan menutup telingaku. Walaupun aku sudah menutup kedua telingaku, suara tawa sinis mereka masih terdengar jelas olehku. Suara degup jantungku yang cepat pun menggema di dalam kepalaku.
"Hentikan! Kenapa kalian melakukan ini padaku? Apa salahku pada kalian?" tanyaku sambil meneteskan air mata yang tadinya sudah berhenti.
Senyuman sinis pada bibir Celestine menghilang. Dia memandangku dengan jijik, seperti akan muntah saking jijiknya. 'Memangnya jari kakiku semenjijikan itu sampai membuatnya memasang ekspresi begitu?'
"Kamu tanya apa salahmu? Salahmu adalah karena kamu cacat!" jawab Celestine.
Aku tertegun mendengar jawaban darinya. Secara perlahan kutundukkan kepalaku. Kurasakan hatiku seperti ditusuk oleh pisau. Ditusuk dan dikoyakkan sampai tidak berbentuk. Sakit. Rasanya sakit sekali.
Aku mengangkat kepalaku untuk menatapnya dan membuka mulutku untuk membalasnya. Namun, tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Suara yang ingin kusuarakan menghilang entah kemana.
Salah satu temannya menutup mulutnya dan mengernyitkan matanya. "Apa sih? Kalau mau ngomong, ya, ngomong!"
Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Keberanianku untuk melawan perkataan mereka mulai terkumpul akibat amarah yang tumbuh dalam hatiku. 'Kalian pikir aku takut sama kalian?'
Tanpa aba-aba, aku bangkit dari kursi dan menatap mereka dengan sejajar. "Hanya karena aku cacat, kalian menghinaku seperti ini? Kalian kekanakan sekali!"
Tatapan jijik pada mata mereka mulai menghilang dan digantikan oleh tatapan kesal. Kulihat Celestine mengangkat tangan kanannya dan menunjukku dengan jari telunjuknya. Dia membuka mulutnya dan membentakku.
"Aku hanya bersikap realis! Kalau kamu tidak cacat, kelas kita pasti akan memenangkan lomba fashion show. Kalaupun kalah juga tidak masalah, yang penting tidak mempermalukan kelas karena mempunyai orang cacat sepertimu!
Seharusnya dari awal kamu bilang kalau kamu itu cacat! Tidak, seharusnya kamu menolak saat ditunjuk untuk mewakili kelas kita dalam lomba fashion show!" Dia menyalahkanku sambil menunjuk-nujuk aku.
Aku melebarkan mataku mendengar bentakannya yang menyalahkanku. Kukepalkan tanganku dengan erat dan menggeretakkan gigiku. Aku tahu kalau sejak awal dia tidak begitu menyukaiku. Namun, tak kusangka dia akan menjadikan 'perbedaanku' sebagai kesalahan.
Entah kemana kesabaranku hanyut. Tanpa kusadari, kakiku bergerak sendiri menerjang Celestine dan kawan-kawannya. Aku mengangkat tangan kananku dan menjambak rambut panjangnya yang lurus seperti penggaris.
"Hei, kamu sudah gila, ya?!" pekik Celestine karena rambutnya kujambak.
Salah satu tangannya memegangi pergelangan tanganku yang menjambaknya, sedangkan yang satunya lagi menjambak rambutku. Cengkeramannya yang mencengkeram pergelangan tanganku sangat kuat seakan-akan bisa mematahkan tulangku.
Aku mengabaikan rasa sakit ini dan membalas kata-katanya yang membuatku tersinggung. "Memangnya orang cacat tidak boleh ikut lomba fashion show?! Tidak ada peraturan yang melarang orang cacat untuk mengikuti lomba fashion show!"
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.