Share

Bab 4

Semua orang berebutan ingin melihat jari kakiku yang 'unik'. Sesudah melihatnya, mereka langsung menatapku dengan jijik atau takut lalu saling berbisik kepada satu dengan yang lainnya.

Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang mematung saking syoknya. Aku ingin kabur dari sini. Masa bodoh dengan lomba fashion show, lebih baik aku segera menghilang dari hadapan mereka. Kubalikkan badanku dan melangkah menuju balik panggung dengan cepat.

Akan tetapi, aku tersandung di permukaan yang datar ini karena sangat panik. Aku ambruk di atas panggung yang dilapisi oleh karpet berwarna biru tua. Suara bisikan orang-orang yang menontonku semakin terdengar jelas di telingaku.

"Ternyata si Freya cacat, ya."

"Ini pertama kalinya aku melihat orang berjari 11."

Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku ingin keluar dari sini secepatnya. Namun, kedua kaki dan tanganku mengkhianatiku. Mereka sama sekali tidak dapat kugerakkan. Rasanya ada lem yang membuat lengan dan lututku menempel pada permukaan panggung.

Tekanan yang kurasakan semakin berat seiring dengan lamanya aku terjebak di ruangan yang luas namun menyesakkan ini. Aku menarik napas dengan sangat cepat, tetapi rasanya tidak ada sedikit pun oksigen yang mengisi paru-paruku. Jantungku pun berdetak dengan tak karuan sampai-sampai dadaku terasa sakit.

Akhirnya kekuatanku terkumpul kembali sehingga aku bisa menggerakan tangan kakiku lagi. Aku bangkit lalu berlari memasuki belakang panggung yang ditutupi oleh tirai. Air mataku bercucuran dan membasahi karpet biru tua pada setiap langkah yang kubuat.

Aku tidak mempedulikan tatapan aneh dari peserta lain yang masih belum dipanggil untuk tampil. Kuambil tas selempangku yang kutinggalkan di kursi dan berlari menuruni panggung. Aku menerobos ratusan orang yang menghalangi jalan.

"Aw! Siapa yang menabrakku?!"

"Cewek cacat yang tadi tampil di panggung kabur! Itu dia di sana!"

Kuacuhkan perkataan mereka selama menerobos untuk keluar dari sini. Pikiranku kalut. Aku tidak dapat memikirkan apa pun selain kabur ke tempat yang aman. Aku tidak mau berada di ruangan ini lebih lama lagi.

Akhirnya aku berhasil keluar dari auditorium. Aku berbelok ke kiri dan berlari menyusuri jalan setapak. Tak sedikit orang tertabrak olehku dan tak sedikit juga yang menatapku dengan aneh, seperti melihat orang gila. Aku berlari tanpa arah, entah kemana kakiku akan membawaku.

Pintu di depanku terbanting terbuka sebelum terbanting tertutup lagi. Aku kembali ke kelasku yang kosong dengan napas memburu. Kulangkahkan kakiku dengan perlahan, berjalan bagaikan orang linglung. Aku duduk di kursi yang biasa kududuki. Kutenggelamkan wajahku di meja dan menangis.

"Harusnya tadi aku tidak usah mendengarkan perkataan mama ...," gumamku di sela-sela isak tangisku.

Kalau saja aku bersikeras untuk tetap memakai sepatu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. 'Tidak, percuma saja aku bersikeras ingin memakai sepatu, mama akan terus memaksaku sampai aku mau memakai sandal pilihannya. Dari awal aku tidak punya pilihan lain selain menuruti kehendaknya.'

Kudengar bunyi derit pintu yang terbuka. Aku mengangkat kepalaku dari meja dan melihat siapa yang membuka pintu. Kudapati Celestine beserta dengan keempat anggota gengnya memasuki ruangan ini. Mereka berjalan menghampiriku. 'Apa mau mereka?'

Lima siswi itu berhenti tepat di depanku. Mereka menatapku dengan tatapan merendahkan dan jijik seolah-olah melihat sampah. Senyuman sinis terpasang pada wajah mereka. Kurasakan bulu kudukku berdiri. Sepertinya suatu hal buruk akan menimpaku.

Celestine membuka mulutnya dan berkata, "Kukira cuma gosip yang tidak jelas kebenarannya, ternyata beneran 11 lho~"

"Jari kelingkingnya ada 2 eh~ Bikin merinding!" timpal salah satu anggota gengnya.

Mendengar perkataan mereka, sontak aku menyembunyikan kaki kiriku ke belakang. Jantungku yang tadi sempat tenang kini kembali berdebar dengan tak karuan. Napasku pun semakin cepat dan berat. Ingatan saat aku tampil di panggung auditorium terputar di dalam kepalaku.

Celestine melangkah mundur dan menyilangkan tangannya di dada. "Jangan terlalu dekat sama dia, nanti ketularan cacatnya! Hahaha!"

Teman-teman sepermainannya ikut tertawa dan menjauh dariku. "Takut ah~ Aku tidak mau ketularan cacat!"

Aku mengangkat kedua tanganku dan menutup telingaku. Walaupun aku sudah menutup kedua telingaku, suara tawa sinis mereka masih terdengar jelas olehku. Suara degup jantungku yang cepat pun menggema di dalam kepalaku.

"Hentikan! Kenapa kalian melakukan ini padaku? Apa salahku pada kalian?" tanyaku sambil meneteskan air mata yang tadinya sudah berhenti.

Senyuman sinis pada bibir Celestine menghilang. Dia memandangku dengan jijik, seperti akan muntah saking jijiknya. 'Memangnya jari kakiku semenjijikan itu sampai membuatnya memasang ekspresi begitu?'

"Kamu tanya apa salahmu? Salahmu adalah karena kamu cacat!" jawab Celestine.

Aku tertegun mendengar jawaban darinya. Secara perlahan kutundukkan kepalaku. Kurasakan hatiku seperti ditusuk oleh pisau. Ditusuk dan dikoyakkan sampai tidak berbentuk. Sakit. Rasanya sakit sekali.

Aku mengangkat kepalaku untuk menatapnya dan membuka mulutku untuk membalasnya. Namun, tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Suara yang ingin kusuarakan menghilang entah kemana.

Salah satu temannya menutup mulutnya dan mengernyitkan matanya. "Apa sih? Kalau mau ngomong, ya, ngomong!"

Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Keberanianku untuk melawan perkataan mereka mulai terkumpul akibat amarah yang tumbuh dalam hatiku. 'Kalian pikir aku takut sama kalian?'

Tanpa aba-aba, aku bangkit dari kursi dan menatap mereka dengan sejajar. "Hanya karena aku cacat, kalian menghinaku seperti ini? Kalian kekanakan sekali!"

Tatapan jijik pada mata mereka mulai menghilang dan digantikan oleh tatapan kesal. Kulihat Celestine mengangkat tangan kanannya dan menunjukku dengan jari telunjuknya. Dia membuka mulutnya dan membentakku.

"Aku hanya bersikap realis! Kalau kamu tidak cacat, kelas kita pasti akan memenangkan lomba fashion show. Kalaupun kalah juga tidak masalah, yang penting tidak mempermalukan kelas karena mempunyai orang cacat sepertimu!

Seharusnya dari awal kamu bilang kalau kamu itu cacat! Tidak, seharusnya kamu menolak saat ditunjuk untuk mewakili kelas kita dalam lomba fashion show!" Dia menyalahkanku sambil menunjuk-nujuk aku.

Aku melebarkan mataku mendengar bentakannya yang menyalahkanku. Kukepalkan tanganku dengan erat dan menggeretakkan gigiku. Aku tahu kalau sejak awal dia tidak begitu menyukaiku. Namun, tak kusangka dia akan menjadikan 'perbedaanku' sebagai kesalahan.

Entah kemana kesabaranku hanyut. Tanpa kusadari, kakiku bergerak sendiri menerjang Celestine dan kawan-kawannya. Aku mengangkat tangan kananku dan menjambak rambut panjangnya yang lurus seperti penggaris.

"Hei, kamu sudah gila, ya?!" pekik Celestine karena rambutnya kujambak.

Salah satu tangannya memegangi pergelangan tanganku yang menjambaknya, sedangkan yang satunya lagi menjambak rambutku. Cengkeramannya yang mencengkeram pergelangan tanganku sangat kuat seakan-akan bisa mematahkan tulangku.

Aku mengabaikan rasa sakit ini dan membalas kata-katanya yang membuatku tersinggung. "Memangnya orang cacat tidak boleh ikut lomba fashion show?! Tidak ada peraturan yang melarang orang cacat untuk mengikuti lomba fashion show!"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
hai Ivena, apakah ada bukti ilmiah bahwa cacat fisik bisa menular? hal yg tidak,lbelym ada bukti kebenarannya hendaknya jangsndisebar-luasksn, juga melalui novel, maaf ya ivena
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
apakah ada bukti ilmiah bahwa cacat fisik bisazmr?
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
saya akan mulai baca novel life hatesme karyamu Ivena, mulai hEi ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status