Share

Bab 5

Rambutku semakin ditarik oleh Celestine. Rasanya rambutku akan tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku tak kalah menarik rambut Celestine hingga membuatnya menjerit kesakitan.

"Dasar cewek gila!" umpatnya kepadaku.

"Guys, jangan nonton saja! Tolong aku melepaskan cewek gila ini!" Dia berteriak meminta tolong kepada anggota gengnya.

Empat siswi yang tadi hanya menonton dan merekam aksi jambak-jambakkan kami mulai membantu Celestine. Mereka memisahkan aku dari pemimpin geng mereka. Aku didorong hingga terjungkal ke belakang. Punggungku menabrak kaki meja yang keras di belakangku.

Aku merintih dan memegangi punggungku yang sakit. Kulihat di lantai ada bayangan besar bergerak mendekatiku. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Celestine beserta kawan-kawannya berdiri di depanku bagaikan tembok yang sulit ditembus.

Celestine berjongkok di depanku dan menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang dengan jarinya. Celestine mengangkat tangan kanannya dan memegangi pipi kiriku. Telapak tangannya yang halus menggesek kulitku.

"Kamu harus diberi pelajaran supaya sadar diri," ujarnya dengan nada rendah.

Aku mengerutkan alisku dan membuka mulutku untuk membalas perkataannya. Akan tetapi, sebelum suaraku keluar dari mulutku, aku mendapatkan sebuah tamparan pada pipi kiriku. Perih.

Kata-kata yang tadinya ingin kuucapkan langsung menghilang. Aku terdiam seribu bahasa. Aku diam bukan karena rasa sakit yang menusuk-nusuk pipiku, melainkan karena terkejut, tak menyangka Celestine akan menamparku.

"Orang cacat jangan banyak bacot deh," hina Celestine yang diikuti oleh cekikikan teman-temannya.

Aku mengangkat tangan kiriku yang tadinya menapak lantai. Kupegang pipiku yang perih. Ini bukan pertama kalinya aku ditampar oleh orang lain, tetapi tetap saja begitu mengejutkanku sehingga membuatku tidak dapat berkata-kata.

Celestine bangkit berdiri dan mengibas-ngibaskan tangan kanannya seolah-olah baru saja menyentuh sesuatu yang menjijikan. Dia menyilangkan tangannya di dada dan menatapku dengan tatapan merendahkan. Bibirnya yang cemberut perlahan melengkung ke atas, menciptakan sebuah senyuman sinis.

"Kenapa diam saja? Apa kamu sudah sadar dengan posisimu sekarang?" tanyanya sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya.

Secara perlahan, kubuka bibirku yang bergetar. "Jahat ... padahal selama ini kita berteman ...."

Aku menurunkan pandanganku ke jari kaki kiriku yang berjumlah 6. Pandanganku mulai kabur karena mataku digenangi oleh air mata. Aku mengernyitkan mataku sehingga air mataku tumpah dan membasahi rok yang kukenakan.

Tiba-tiba sebuah tawa menghina tertangkap oleh telingaku. Kuangkat kepalaku secara perlahan. Aku mendapati Celestine menertawakanku, diikuti oleh anggota gengnya. Tawa mereka yang menghinaku membuat kepercayaan diriku lenyap tak bersisa.

"Aku? Berteman denganmu? Jangan mimpi! Kita hanya kebetulan sekelas, bukan berarti kita berteman!" hina Celestine sambil menunjuk antara dirinya dengan diriku.

"Betul! Lagi pula, mana sudi kami berteman dengan orang cacat sepertimu!" timpal salah satu anggota gengnya.

Aku menggigit bibir bawahku dan mengepalkan tanganku dengan erat. Perkataan mereka yang menghinaku menusuk harga diriku. Harga diriku yang sudah lama kubangun langsung hancur berkeping-keping dibuatnya.

Kulemaskan kepalan tanganku dan berhenti menggigit bibir bawahku. 'Tidak ada gunanya aku bersikap lemah begini, nanti mereka akan merasa superior terhadapku. Aku harus kuat! Tidak akan kubiarkan mereka merendahkanku lebih dari ini!'

Aku mendorong tubuhku dengan sekuat tenaga dan bangkit dari lantai. Aku berlari ke arah mereka yang terkesiap melihatku mendadak menerjang mereka bagaikan kerbau ngamuk. Kutarik kerah baju Celestine dan membentaknya.

"Kalau kita memang tidak pernah berteman, biarlah kita bersikap seolah-olah tidak saling kenal! Kamu punya masalah apa sama aku, hah?! Aku tidak pernah sekalipun mengganggumu!" bentakku sambil memelototi mata hitam Celestine yang menatapku dengan terkejut.

"Kalau kamu tidak suka aku cacat, ya, diam saja! Kalau mau menggosipkan aku bareng teman-temanmu dari belakang pun tak masalah! Setidaknya tidak perlu sampai menghinaku ramai-ramai begini!" lanjutku sambil mengguncang-guncang siswi yang badannya lebih berisi daripada aku.

Celestine mendorongku dan berteriak, "Lepaskan! Nanti aku terkontaminasi kecacatanmu!"

Karena tenaganya jauh lebih kuat daripada aku, aku terhempas dan menghantam meja di belakangku. Pekikan yang cukup nyaring terkeluar dari mulutku saat punggungku menghantam permukaan yang keras.

Terdengar bunyi langkah kaki melangkah menghampiriku. Sebelum aku dapat melakukan apa-apa, Celestine menjambak rambutku dan menarikku untuk menjauh dari meja. Aku menjerit kesakitan dan memegangi tangannya yang menjambak rambutku.

"Dasar tidak tahu diri!" umpatnya. Emosi marah terdengar jelas di dalam suaranya yang ditinggikan.

Celestine mendorongku lagi sehingga aku terhempas ke lantai. Tanpa memberikan aku kesempatan untuk bernapas, dia menendang perutku dengan kuat seolah-olah menendang bola. Tubuhku terguling ke belakang dan menghantam kaki meja.

"Agh ..! Hentikan ...," pintaku dengan suara bergetar.

Celestine tidak mendengarkan permintaanku dan lanjut menginjak-injak aku bagaikan sampah. Rasa sakit yang menggerogoti tubuhku membuatku tidak memiliki tenaga dan keberanian untuk bangkit.

"Aku tidak akan berhenti sampai kamu benar-benar menyadari tempatmu!" tolak Celestine sambil menginjak-injak badanku tanpa ampun.

Aku merintih dan meringkukkan badanku yang terasa sakit. Rasanya sakit sekali dan pasti akan meninggalkan memar pada kulitku. Isak tangisku menggema ke sepenjuru ruang kelas yang dipenuhi oleh bunyi hentakan dan suara cekikikan.

Aku melirik ke arah empat siswi yang berdiri di belakang Celestine. Mereka hanya cekikikan sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arahku, merekam ketua gengnya menindasku. Mereka menonton adegan penindasan ini dengan mata geli.

"Ih~ Dia melihat ke sini!" ucap salah satu anggota gengnya yang asik merekamku.

"Jangan lihat ke sini! Bikin jijik saja!" celetuk yang lainnya.

Di balik keempat siswi itu, aku melihat ada beberapa kaki lain yang berdiri di belakang mereka. Kupikir aku hanya berlimaan saja dengan gengnya Celestine, ternyata ada murid lain. 'Kalau mereka ada di sini, kenapa mereka tidak menolongku?'

Aku memfokuskan pandanganku yang berkunang-kunang ke gerombolan siswa-siswi yang berdiri di belakang teman-temannya Celestine. Kulihat ada hampir dari setengah murid kelas ini menontoniku yang ditindas oleh Celestine.

Aku melebarkan mataku saat kutemukan Vania dan Jonathan berdiri di antara siswa-siswi yang menonton adegan penindasan ini. Kurasakan secercah harapan muncul saat melihat kedua sahabatku.

Aku menopang tubuhku yang terasa sakit dan remuk dengan kedua tanganku. Aku memandang lurus ke arah Vania dan Jonathan yang berdiri beberapa meter di depanku. Air mataku mengalir dengan deras sebelum aku mengucapkan kata-kata yang ingin kuucapkan.

"Vania, Jonathan, tolong aku!" pintaku penuh harap.

Celestine mendengarku meminta tolong kepada kedua sahabatku. Sontak dia berhenti menindasku dan membalikkan badannya. Dia mendapati belasan orang berdiri di belakangnya dan mengarahkan kamera telepon pintarnya ke arahnya.

Aku mengalihkan pandanganku dari Celestine dan kembali menatap kedua sahabatku yang tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun maupun menolongku. 'Kenapa mereka diam saja?'

"Vania? Jonathan?" Aku memanggil nama mereka dengan heran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
sayaselalu masih rasa ngeri dan takut baca novel ini seperti membaca tentang Sadi sadisme, bukan cuma pembulian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status