Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.
Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.
Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'
Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.
Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan corak bunga biru. Sebelum aku mengenakan helm yang diberikannya kepadaku, papa menanyakan sebuah pertanyaan kepadaku.
"Kenapa pipimu merah dan bajumu kotor, Nak?" tanyanya dengan nada khawatir.
Aku tersentak kaget saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku bingung bagaimana aku akan menjawab pertanyaannya. 'Apa lebih baik aku berbohong supaya Papa tidak khawatir?'
"Nak?" Papa memanggilku dengan nada heran bercampur khawatir karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Aku menarik sebuah senyuman terpaksa dan menjawab, "Tadi aku jatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Pa."
"Begitu, ya ... ya sudah, ayo naik," gumamnya.
Aku pun langsung mengenakan helmku lalu naik dan duduk di belakangnya. Kuhela napas lega karena papa tidak menanyakan apa-apa lagi. 'Syukurlah Papa percaya. Kalau Papa tidak mempercayaiku, aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan yang sebenarnya.'
.
.
.
Papa menghentikan motornya di depan teras rumah yang sudah kulihat tak terhitung kali banyaknya. Aku pun turun dari motor dan melangkah masuk ke dalam bangunan bercat hijau di depan.
Setelah melepaskan sepatuku dan memasukkannya ke dalam rak sepatu, aku melangkah menuju kamar tidurku. Saat melewati ruang tamu, seorang wanita yang lebih tua 26 tahun dariku mencegatku dan bertanya kepadaku.
"Frey, kok bajumu kotor begini? Pipimu juga, kenapa bisa merah begitu?" tanyanya heran.
"Tadi aku terjatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Ma." Aku menjawab pertanyaan mama dengan kebohongan yang sama persis dengan yang kukatakan kepada suaminya.
Mama ber oh ria lalu menyuruhku untuk segera mandi dan mengganti bajuku karena penampilanku saat ini tidak enak untuk dilihat. Aku pun menuruti perintahnya dengan perasaan lega karena dia mempercayai kebohonganku begitu saja.
Setelah mandi dan berganti baju, aku makan siang lalu rebahan di ranjang sambil memainkan telepon pintarku. Kudapati ada banyak pesan masuk dan aku menyesal karena sudah membacanya. Pesan-pesan itu berisikan ujaran kebencian dan ejekan dari geng Celestine.
[Dasar cacat. Malu-maluin kelas dan sekolah saja.]
[Jangan datang ke sekolah lagi. Tempatnya mutant bukan di sekolah, tetapi di laboratorium. Wkwkwk.]
Aku mematikan telepon pintarku lalu meletakkannya di samping bantal. Kuangkat tangan kananku dan menutup kedua mataku dengan lengan kananku. Hembusan napas berat terlepas dari mulutku.
"Mereka dengan seenaknya menghakimiku yang tidak pernah menjahati mereka. Hanya karena aku sedikit 'berbeda' dengan mereka, mereka menindasku ... sebenarnya apa yang mereka dapat dari membuliku? Hiburan dari jenuhnya sekolah?" gumamku dengan lesu.
"Serukah merundungku begini?" tanyaku sambil tersenyum pahit.
Aku memiringkan badanku menghadap benda pipih yang tergeletak di samping bantal. Kuraih telepon pintarku lalu menyalakannya. Aku mengetik sebuah pertanyaan pada mesin pencarian; "Apa yang harus dilakukan saat dibuli?"
Keluarlah deretan situs yang merupakan jawaban dari pertanyaanku. Hampir semua situs menyarankan untuk melapor pada orang dewasa yang bisa dipercaya, mengabaikan upaya bullying, hindari konfrontasi fisik, dan lain-lain.
Aku merasa kurang puas dengan saran-saran itu. Namun, mungkin saran pertama akan lebih membantuku. Papa dan mama pasti akan membantuku untuk menghentikan perundungan yang kualami.
Kumatikan lagi telepon pintarku dan meletakkannya di samping bantal lagi. Aku bangkit dari ranjang dan beranjak keluar dari kamar tidurku. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan orang tuaku. Kutemukan mama sedang berbaring di sofa ruang keluarga.
Aku pun menghampirinya dan berkata, "Ma, sebenarnya tadi pas di sekolah aku ... dibuli."
Ingatan buruk di sekolah kembali menghantuiku. Ritme detak jantungku semakin kencang dan napasku kian mencepat. Aku mengepalkan tanganku yang dingin dan menggigit bibir bawahku yang bergetar.
Kulirik ke arah mama yang kelihatannya tidak terkejut atau marah sama sekali. Melihatnya yang tidak menampilkan reaksi apa pun, aku pun menjadi heran. 'Apa dia tidak mendengarku?'
Sebelum aku mengulangi perkataanku, mama membuka mulutnya dan berkata, "Abaikan saja mereka, palingan mereka hanya main-main. Nanti mereka pasti akan berhenti dengan sendirinya."
Perkataan mama yang terdengar tidak mempedulikanku menghancurkan ekspetasiku. Kupikir dia akan marah setelah mengetahui aku dibuli di sekolah, ternyata tidak, dia hanya menyuruhku untuk mengabaikan mereka.
Kepalan tanganku semakin erat. 'Bukankah secara tidak langsung Mama menyuruhku untuk menyelesaikan masalahku sendiri?'
"Kalaupun aku sudah mengabaikan mereka dan mereka masih membuliku, apa yang harus kulakukan?" tanyaku lagi.
Dengan entengnya mama menjawab, "Bertahan saja. Palingan kamu hanya akan mengalaminya selama beberapa minggu, seperti kakakmu dulu."
Aku tidak habis pikir dengan jawaban mama. 'Mama terlalu meremehkan masalah ini ... dia menyuruhku bertahan dari hinaan dan kekerasan yang kuderita? Tak hanya itu, dia bahkan menyamakan pembulian yang kualami dengan yang dulu kakakku alami?'
"Ma, dulu kakak cuma diejek 'baboon' karena dia gendut, beda sama aku; aku dikatai 'cacat, monster' ... tak hanya itu saja, aku bahkan sampai dipukul dan diinjak-injak oleh teman sekelasku," jelasku bahwa pembulian yang kualami jauh lebih berat daripada yang kakakku alami dulu.
Tiba-tiba mama meninggikan suaranya terhadapku. "Freya, kamu bisa diam tidak sih? Mama jadi tidak fokus nonton nih!"
Aku tertegun karena dibentak oleh mama dan secara tidak langsung diusir olehnya. Aku pun memutuskan untuk pergi mengadu papa. Siapa tahu dia akan memberikan solusi yang lebih baik daripada mama.
"Jangan terlalu dipikirkan, Nak, mereka hanya penasaran. Nanti juga bakal berhenti sendiri kalau sudah tidak penasaran lagi," ujar papa.
"Oke, Pa ...," balasku sambil menundukkan kepalaku.
Tidak ada gunanya aku keras kepala meyakinkan mereka tentang penderitaanku, mereka tidak akan mengerti karena belum pernah mengalaminya secara langsung. Pada akhirnya aku kembali ke kamarku tanpa menemukan solusi terhadap persoalanku.
Aku menutup pintu kamarku lalu duduk berselonjor di lantai sambil menyandarkan punggungku pada papan kayu di belakangku. Aku menundukkan kepalaku dan memejamkan mataku.
"Kalau tidak ada yang mengerti, lalu kepada siapa aku harus bersandar?"
Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang."Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh
Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak
Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba
Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira karena pelajaran telah berakhir dan bisa istirahat selama setengah jam. Para siswa-siswi yang kelaparan beranjak dari kelas dan pergi ke kantin untuk makan, tak terkecuali diriku. Kali ini aku pergi ke kantin sendirian, padahal biasanya aku akan pergi bersama Vania dan Jonathan. Selama aku berjalan, aku mendapatkan tatapan sinis dan bisikan dari orang-orang di sekitar. Tak hanya murid SMP saja yang mengomongiku, murid SMA pun ikut mengomongiku. "Itu 'kan yang jari kakinya 11?" "Iya, kalau tidak salah itu adiknya Alexander." Aku merasa bersalah karena kakak jadi ikut diomongi. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di kantin. Begitu aku memasuki gedung kantin, puluhan pasang mata tertuju kepadaku, diikuti dengan bisikan yang tak mengenakan. Aku berusaha mengabaikan mereka dan memesan makananku. Setelah mendapatkan makanan dan minumanku, aku berjalan mencari meja kosong. Saat tengah menge
Aku berada di dalam sebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang tidak begitu luas. Ruangan ini diisi oleh sebuah meja, 2 buah kursi, kabinet, rak buku, dan sebuah sofa yang empuk. Beberapa bingkai foto menghiasi dinding yang berwarna putih bersih. Pria berkepala setengah botak yang mengantar aku dan Maryam ke sini menarik dua kursi untuk kami. "Duduk!" Tanpa berkata apa-apa, kami berdua menuruti perintahnya dan duduk di kursi yang ditunjuk olehnya. Setelah kami duduk, pria yang merupakan guru BK itu pun duduk di depan kami. Aku jadi gugup karena duduk berhadapan dengan guru BK yang terkenal menyeramkan saat marah. "Kenapa tadi kalian bertengkar? Seperti anak kecil saja!" tanya guru BK sambil menunjuk aku dan Maryam secara bergantian. "Dia merobek buku saya, Pak!" Aku mengadu sambil menunjuk Maryam dengan jari telunjukku. "Hah? Mana ada!" sangkal Maryam. "Jahat kamu, ya, main tuduh saja!" Aku mengalihkan pandanganku dari gadis berkunc
Bunyi yang sudah lama dinanti-nantikan oleh para siswa dan siswi akhirnya terdengar. Bel pulangan berdering dan menggema ke sepenjuru gedung sekolah. Semua orang berhamburan pulang ke rumah, kecuali beberapa murid yang termasuk diriku sendiri. "Hizz, malasnya aku berduaan sama kamu lagi," desis seorang gadis berkuncir dua yang berjalan di depanku, yang tak lain adalah Maryam. "Kamu pikir kamu saja yang malas? Aku juga tidak mau berduaan sama kamu," balasku. Tiba-tiba Maryam menghentikan langkahnya sehingga aku pun menghentikan langkahku. Dia membalikkan badannya, menghadap ke arahku. Sebuah senyuman terpasang pada wajahnya, membuatku berprasangka buruk dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. "WC perempuan ada di lantai 1 dan 3, kan? Jadi, kamu bersihkan lantai 1, sedangkan aku bersihkan lantai 2 supaya kita tidak perlu berbarengan lagi," usulnya sambil menjentikkan jari. Kukira dia akan mengusulkan sesuatu yang akan merugikanku, t
Mama menghentikan motornya di depan teras rumah kami. Aku pun turun dari motor dan menunggu mama selesai memarkirkan motornya. Setelah mama memarkirkan motornya dengan rapi, kami masuk ke rumah bersama-sama.Mama duduk di sofa dan mengajakku untuk duduk bersamanya. "Duduk. Ayo kita lanjutkan obrolan kita tadi."Aku menganggukkan kepalaku lalu duduk di sofa lain karena tidak berani duduk di sofa yang sama dengan mama. Aku mengatupkan tanganku dan memainkan jemariku, berusaha menahan rasa gugup dan takutku."Kok bisa kamu dihukum membersihkan WC?" tanya mama menginterogasiku."Itu ... gara-gara aku berkelahi sama Maryam," jawabku dengan suara kecil."Apa?!" Mama melebarkan matanya setelah mendengar jawabanku. Dia melotot kepadaku. Matanya yang sipit terbuka lebar hingga terlihat seperti akan melompat keluar dari kantong matanya."Memangnya kamu anak kecil, ya, sampai berkelahi sama Maryam? Lagi pula, Maryam 'kan sepupumu, kok bisa sampai berke
Beberapa hari kemudian, aku memulai keseharianku seperti biasa; bangun tidur lalu mandi, ganti baju, menyiapkan buku pelajaran, sarapan, dan pergi ke sekolah. Papa menurunkan aku dan kakak di depan gerbang sekolah. Kami berdua berjalan menuju gedung sekolah masing-masing. Kakak tidak berjalan bersebelahan denganku karena tidak ingin ikut menjadi bahan omongan orang lain. Sampailah aku di ruang kelasku; kelas 9-B. Saat aku memasuki kelas, kudapati ada banyak teman sekelasku yang sudah lebih dulu datang sebelum aku. Mereka mengabaikan kehadiranku seakan-akan aku adalah angin yang tak terlihat oleh mata. Aku tiba di mejaku dan menyadari sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Permukaan mejaku yang biasanya bersih tanpa coretan apa pun, kini mendapatkan 'hiasan' berupa tulisan yang mengejek. -Cleaning service, maid, tukang bersih-bersih WC. Tanpa perlu melihat secara langsung siapa yang menulisnya, aku sudah tahu siapa pelaku dari tulisan-tulisan ini. Aku m