Share

Bab 7

Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.

Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.

Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'

Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.

Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan corak bunga biru. Sebelum aku mengenakan helm yang diberikannya kepadaku, papa menanyakan sebuah pertanyaan kepadaku.

"Kenapa pipimu merah dan bajumu kotor, Nak?" tanyanya dengan nada khawatir.

Aku tersentak kaget saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku bingung bagaimana aku akan menjawab pertanyaannya. 'Apa lebih baik aku berbohong supaya Papa tidak khawatir?'

"Nak?" Papa memanggilku dengan nada heran bercampur khawatir karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Aku menarik sebuah senyuman terpaksa dan menjawab, "Tadi aku jatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Pa."

"Begitu, ya ... ya sudah, ayo naik," gumamnya.

Aku pun langsung mengenakan helmku lalu naik dan duduk di belakangnya. Kuhela napas lega karena papa tidak menanyakan apa-apa lagi. 'Syukurlah Papa percaya. Kalau Papa tidak mempercayaiku, aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan yang sebenarnya.'

.

.

.

Papa menghentikan motornya di depan teras rumah yang sudah kulihat tak terhitung kali banyaknya. Aku pun turun dari motor dan melangkah masuk ke dalam bangunan bercat hijau di depan.

Setelah melepaskan sepatuku dan memasukkannya ke dalam rak sepatu, aku melangkah menuju kamar tidurku. Saat melewati ruang tamu, seorang wanita yang lebih tua 26 tahun dariku mencegatku dan bertanya kepadaku.

"Frey, kok bajumu kotor begini? Pipimu juga, kenapa bisa merah begitu?" tanyanya heran.

"Tadi aku terjatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Ma." Aku menjawab pertanyaan mama dengan kebohongan yang sama persis dengan yang kukatakan kepada suaminya.

Mama ber oh ria lalu menyuruhku untuk segera mandi dan mengganti bajuku karena penampilanku saat ini tidak enak untuk dilihat. Aku pun menuruti perintahnya dengan perasaan lega karena dia mempercayai kebohonganku begitu saja.

Setelah mandi dan berganti baju, aku makan siang lalu rebahan di ranjang sambil memainkan telepon pintarku. Kudapati ada banyak pesan masuk dan aku menyesal karena sudah membacanya. Pesan-pesan itu berisikan ujaran kebencian dan ejekan dari geng Celestine.

[Dasar cacat. Malu-maluin kelas dan sekolah saja.]

[Jangan datang ke sekolah lagi. Tempatnya mutant bukan di sekolah, tetapi di laboratorium. Wkwkwk.]

Aku mematikan telepon pintarku lalu meletakkannya di samping bantal. Kuangkat tangan kananku dan menutup kedua mataku dengan lengan kananku. Hembusan napas berat terlepas dari mulutku.

"Mereka dengan seenaknya menghakimiku yang tidak pernah menjahati mereka. Hanya karena aku sedikit 'berbeda' dengan mereka, mereka menindasku ... sebenarnya apa yang mereka dapat dari membuliku? Hiburan dari jenuhnya sekolah?" gumamku dengan lesu.

"Serukah merundungku begini?" tanyaku sambil tersenyum pahit.

Aku memiringkan badanku menghadap benda pipih yang tergeletak di samping bantal. Kuraih telepon pintarku lalu menyalakannya. Aku mengetik sebuah pertanyaan pada mesin pencarian; "Apa yang harus dilakukan saat dibuli?"

Keluarlah deretan situs yang merupakan jawaban dari pertanyaanku. Hampir semua situs menyarankan untuk melapor pada orang dewasa yang bisa dipercaya, mengabaikan upaya bullying, hindari konfrontasi fisik, dan lain-lain.

Aku merasa kurang puas dengan saran-saran itu. Namun, mungkin saran pertama akan lebih membantuku. Papa dan mama pasti akan membantuku untuk menghentikan perundungan yang kualami.

Kumatikan lagi telepon pintarku dan meletakkannya di samping bantal lagi. Aku bangkit dari ranjang dan beranjak keluar dari kamar tidurku. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan orang tuaku. Kutemukan mama sedang berbaring di sofa ruang keluarga.

Aku pun menghampirinya dan berkata, "Ma, sebenarnya tadi pas di sekolah aku ... dibuli."

Ingatan buruk di sekolah kembali menghantuiku. Ritme detak jantungku semakin kencang dan napasku kian mencepat. Aku mengepalkan tanganku yang dingin dan menggigit bibir bawahku yang bergetar.

Kulirik ke arah mama yang kelihatannya tidak terkejut atau marah sama sekali. Melihatnya yang tidak menampilkan reaksi apa pun, aku pun menjadi heran. 'Apa dia tidak mendengarku?'

Sebelum aku mengulangi perkataanku, mama membuka mulutnya dan berkata, "Abaikan saja mereka, palingan mereka hanya main-main. Nanti mereka pasti akan berhenti dengan sendirinya."

Perkataan mama yang terdengar tidak mempedulikanku menghancurkan ekspetasiku. Kupikir dia akan marah setelah mengetahui aku dibuli di sekolah, ternyata tidak, dia hanya menyuruhku untuk mengabaikan mereka.

Kepalan tanganku semakin erat. 'Bukankah secara tidak langsung Mama menyuruhku untuk menyelesaikan masalahku sendiri?'

"Kalaupun aku sudah mengabaikan mereka dan mereka masih membuliku, apa yang harus kulakukan?" tanyaku lagi.

Dengan entengnya mama menjawab, "Bertahan saja. Palingan kamu hanya akan mengalaminya selama beberapa minggu, seperti kakakmu dulu."

Aku tidak habis pikir dengan jawaban mama. 'Mama terlalu meremehkan masalah ini ... dia menyuruhku bertahan dari hinaan dan kekerasan yang kuderita? Tak hanya itu, dia bahkan menyamakan pembulian yang kualami dengan yang dulu kakakku alami?'

"Ma, dulu kakak cuma diejek 'baboon' karena dia gendut, beda sama aku; aku dikatai 'cacat, monster' ... tak hanya itu saja, aku bahkan sampai dipukul dan diinjak-injak oleh teman sekelasku," jelasku bahwa pembulian yang kualami jauh lebih berat daripada yang kakakku alami dulu.

Tiba-tiba mama meninggikan suaranya terhadapku. "Freya, kamu bisa diam tidak sih? Mama jadi tidak fokus nonton nih!"

Aku tertegun karena dibentak oleh mama dan secara tidak langsung diusir olehnya. Aku pun memutuskan untuk pergi mengadu papa. Siapa tahu dia akan memberikan solusi yang lebih baik daripada mama.

"Jangan terlalu dipikirkan, Nak, mereka hanya penasaran. Nanti juga bakal berhenti sendiri kalau sudah tidak penasaran lagi," ujar papa.

"Oke, Pa ...," balasku sambil menundukkan kepalaku.

Tidak ada gunanya aku keras kepala meyakinkan mereka tentang penderitaanku, mereka tidak akan mengerti karena belum pernah mengalaminya secara langsung. Pada akhirnya aku kembali ke kamarku tanpa menemukan solusi terhadap persoalanku. 

Aku menutup pintu kamarku lalu duduk berselonjor di lantai sambil menyandarkan punggungku pada papan kayu di belakangku. Aku menundukkan kepalaku dan memejamkan mataku.

"Kalau tidak ada yang mengerti, lalu kepada siapa aku harus bersandar?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
ini bukan sekedar kisah pembulian tapi show sadisme!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status