Share

Bab 7

Author: V I L
last update Last Updated: 2022-03-05 08:32:46

Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.

Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.

Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'

Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.

Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan corak bunga biru. Sebelum aku mengenakan helm yang diberikannya kepadaku, papa menanyakan sebuah pertanyaan kepadaku.

"Kenapa pipimu merah dan bajumu kotor, Nak?" tanyanya dengan nada khawatir.

Aku tersentak kaget saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku bingung bagaimana aku akan menjawab pertanyaannya. 'Apa lebih baik aku berbohong supaya Papa tidak khawatir?'

"Nak?" Papa memanggilku dengan nada heran bercampur khawatir karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Aku menarik sebuah senyuman terpaksa dan menjawab, "Tadi aku jatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Pa."

"Begitu, ya ... ya sudah, ayo naik," gumamnya.

Aku pun langsung mengenakan helmku lalu naik dan duduk di belakangnya. Kuhela napas lega karena papa tidak menanyakan apa-apa lagi. 'Syukurlah Papa percaya. Kalau Papa tidak mempercayaiku, aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan yang sebenarnya.'

.

.

.

Papa menghentikan motornya di depan teras rumah yang sudah kulihat tak terhitung kali banyaknya. Aku pun turun dari motor dan melangkah masuk ke dalam bangunan bercat hijau di depan.

Setelah melepaskan sepatuku dan memasukkannya ke dalam rak sepatu, aku melangkah menuju kamar tidurku. Saat melewati ruang tamu, seorang wanita yang lebih tua 26 tahun dariku mencegatku dan bertanya kepadaku.

"Frey, kok bajumu kotor begini? Pipimu juga, kenapa bisa merah begitu?" tanyanya heran.

"Tadi aku terjatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Ma." Aku menjawab pertanyaan mama dengan kebohongan yang sama persis dengan yang kukatakan kepada suaminya.

Mama ber oh ria lalu menyuruhku untuk segera mandi dan mengganti bajuku karena penampilanku saat ini tidak enak untuk dilihat. Aku pun menuruti perintahnya dengan perasaan lega karena dia mempercayai kebohonganku begitu saja.

Setelah mandi dan berganti baju, aku makan siang lalu rebahan di ranjang sambil memainkan telepon pintarku. Kudapati ada banyak pesan masuk dan aku menyesal karena sudah membacanya. Pesan-pesan itu berisikan ujaran kebencian dan ejekan dari geng Celestine.

[Dasar cacat. Malu-maluin kelas dan sekolah saja.]

[Jangan datang ke sekolah lagi. Tempatnya mutant bukan di sekolah, tetapi di laboratorium. Wkwkwk.]

Aku mematikan telepon pintarku lalu meletakkannya di samping bantal. Kuangkat tangan kananku dan menutup kedua mataku dengan lengan kananku. Hembusan napas berat terlepas dari mulutku.

"Mereka dengan seenaknya menghakimiku yang tidak pernah menjahati mereka. Hanya karena aku sedikit 'berbeda' dengan mereka, mereka menindasku ... sebenarnya apa yang mereka dapat dari membuliku? Hiburan dari jenuhnya sekolah?" gumamku dengan lesu.

"Serukah merundungku begini?" tanyaku sambil tersenyum pahit.

Aku memiringkan badanku menghadap benda pipih yang tergeletak di samping bantal. Kuraih telepon pintarku lalu menyalakannya. Aku mengetik sebuah pertanyaan pada mesin pencarian; "Apa yang harus dilakukan saat dibuli?"

Keluarlah deretan situs yang merupakan jawaban dari pertanyaanku. Hampir semua situs menyarankan untuk melapor pada orang dewasa yang bisa dipercaya, mengabaikan upaya bullying, hindari konfrontasi fisik, dan lain-lain.

Aku merasa kurang puas dengan saran-saran itu. Namun, mungkin saran pertama akan lebih membantuku. Papa dan mama pasti akan membantuku untuk menghentikan perundungan yang kualami.

Kumatikan lagi telepon pintarku dan meletakkannya di samping bantal lagi. Aku bangkit dari ranjang dan beranjak keluar dari kamar tidurku. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan orang tuaku. Kutemukan mama sedang berbaring di sofa ruang keluarga.

Aku pun menghampirinya dan berkata, "Ma, sebenarnya tadi pas di sekolah aku ... dibuli."

Ingatan buruk di sekolah kembali menghantuiku. Ritme detak jantungku semakin kencang dan napasku kian mencepat. Aku mengepalkan tanganku yang dingin dan menggigit bibir bawahku yang bergetar.

Kulirik ke arah mama yang kelihatannya tidak terkejut atau marah sama sekali. Melihatnya yang tidak menampilkan reaksi apa pun, aku pun menjadi heran. 'Apa dia tidak mendengarku?'

Sebelum aku mengulangi perkataanku, mama membuka mulutnya dan berkata, "Abaikan saja mereka, palingan mereka hanya main-main. Nanti mereka pasti akan berhenti dengan sendirinya."

Perkataan mama yang terdengar tidak mempedulikanku menghancurkan ekspetasiku. Kupikir dia akan marah setelah mengetahui aku dibuli di sekolah, ternyata tidak, dia hanya menyuruhku untuk mengabaikan mereka.

Kepalan tanganku semakin erat. 'Bukankah secara tidak langsung Mama menyuruhku untuk menyelesaikan masalahku sendiri?'

"Kalaupun aku sudah mengabaikan mereka dan mereka masih membuliku, apa yang harus kulakukan?" tanyaku lagi.

Dengan entengnya mama menjawab, "Bertahan saja. Palingan kamu hanya akan mengalaminya selama beberapa minggu, seperti kakakmu dulu."

Aku tidak habis pikir dengan jawaban mama. 'Mama terlalu meremehkan masalah ini ... dia menyuruhku bertahan dari hinaan dan kekerasan yang kuderita? Tak hanya itu, dia bahkan menyamakan pembulian yang kualami dengan yang dulu kakakku alami?'

"Ma, dulu kakak cuma diejek 'baboon' karena dia gendut, beda sama aku; aku dikatai 'cacat, monster' ... tak hanya itu saja, aku bahkan sampai dipukul dan diinjak-injak oleh teman sekelasku," jelasku bahwa pembulian yang kualami jauh lebih berat daripada yang kakakku alami dulu.

Tiba-tiba mama meninggikan suaranya terhadapku. "Freya, kamu bisa diam tidak sih? Mama jadi tidak fokus nonton nih!"

Aku tertegun karena dibentak oleh mama dan secara tidak langsung diusir olehnya. Aku pun memutuskan untuk pergi mengadu papa. Siapa tahu dia akan memberikan solusi yang lebih baik daripada mama.

"Jangan terlalu dipikirkan, Nak, mereka hanya penasaran. Nanti juga bakal berhenti sendiri kalau sudah tidak penasaran lagi," ujar papa.

"Oke, Pa ...," balasku sambil menundukkan kepalaku.

Tidak ada gunanya aku keras kepala meyakinkan mereka tentang penderitaanku, mereka tidak akan mengerti karena belum pernah mengalaminya secara langsung. Pada akhirnya aku kembali ke kamarku tanpa menemukan solusi terhadap persoalanku. 

Aku menutup pintu kamarku lalu duduk berselonjor di lantai sambil menyandarkan punggungku pada papan kayu di belakangku. Aku menundukkan kepalaku dan memejamkan mataku.

"Kalau tidak ada yang mengerti, lalu kepada siapa aku harus bersandar?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
ini bukan sekedar kisah pembulian tapi show sadisme!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Life Hates Me   Bab 119

    'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM

  • Life Hates Me   Bab 118

    “Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti

  • Life Hates Me   Bab 117

    "Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer

  • Life Hates Me   Bab 116

    Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di

  • Life Hates Me   Bab 115

    Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba

  • Life Hates Me   Bab 114

    Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status