Suatu gelombang yang sangat besar tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Ketiga makhluk yang berada di dalam kapal kecil itu panik, melihat hamparan air laut yang tiba-tiba naik ke atas. “Apa yang terjadi?!” teriak Zayn panik.
“Sesuatu yang besar akan muncul! Morie ayo bantu aku untuk menyerang, dan Zayn pegangan yang erat!” seru Tauriel dengan lingkaran sihir berwarna putih yang sudah teracung ke depan.
“Menyerang? Apa yang harus kita serang?!” tanya Morie panic.
Raarrr
Byuurr
Cling
Enam pasang mata mereka terbelalak, ketika merasakan hempasan gelombang air asin tersebut membasahi seluruh kapal. Mereka bertiga aman tidak terkena hempasan air laut itu karena Morie sigap membuat kubah pelindung.
“Terima kasih Morie,” ujar Tauriel, yang diangguki kecil oleh perempuan bersurai hitam tersebut.
Raarrr
Mata Tauriel menajam. Dia terbang ke atas melihat siluet besar dari dasar laut. Bibir kecil nya mendengus perlahan seraya mengacungkan tangannya ke arah siluet tersebut, bersiap menyerang makhluk yang mengganggu perjalanan mereka.
Byurr
Cipratan-cipratan air asin kembali menghantam mereka. Morie dan Zayn terkejut, ketika melihat seekor belut besar berukuran tiga puluh meter dengan kulit licinya yang berwarna hitam.
Makhluk sebesar tiga puluh meter itu terlihat marah. Dia kembali menenggelamkan kepalanya ke dasar laut, berenang ke bawah kapal kayu mereka.
“Morie bantu aku!” seru Tauriel
Seakan tahu apa yang dimaksudkan oleh perempuan cantik itu, Morie sigap terbang ke atas dengan lingkaran sihir hitamnya yang dia acugkan ke dasar laut.
Cling
Cling
Tauriel mengeluarkan kubah pelindung, melapisi kendaraan laut tersebut dari makhluk besar menyeramkan.
Slapp
Satu serangan berhasil diluncurkan oleh belut raksasa. Hantaman keras itu tepat mengenai kubah pelindung yang di buat Tauriel. Morie berdecih pelan, kemudian menembakkan beberapa es berwarna hitam pada belut raksasa tersebut.
Splassh Splassh
Tombak-tombak tajam es tersebut meluncur ke dasar laut, mengenai tubuh belut raksasa. Makhluk tersebut nampak marah meskipun serangan yang diberikan elf kecil itu tak seberapa, karena tubuhnya sangat besar.
Byurr
Belut raksasa itu kembali menampakkan kepalanya ke permukaan. Kali ini Tauriel bantu menyerang. Karena elemennya adalah angin dia tidak bisa menyerang makhluk rasasa itu di dalam air. Butuh kekuatan yang sangat besar untuk menggunakan angin di dalam air.
“Argh!”
Dia berteriak keras, membuat tornado kecil dan melemparkannya langsung ke kepala si belut. Hewan sebesar tiga puluh meter itu terdorong ke belakang. Meskipun hanya beberapa meter, tapi itu berhasil menyenangkan hati mereka. “Ada harapan untuk kita menang!”
“Tapi serangan kita tidak cukup besar, kita harus bekerja sa---“
Slapp
Braak
Kapal kayu mereka hancur, terlempar beberapa meter ke samping. Morie terkejut, dia terbang cepat menghampiri Zayn tengah tenggelam di laut.
Kayu-kayu berserakan, mengapung di atas laut. Perempuan bersurai putih yang ikut terlempar itu bingung, melihat keadaan yang sangat kacau di sekitarnya.
“Zayn!”
Telinga panjangnya bergerak, ketika mendengar suara perempuan berteriak nyaring. Tauriel mengedarkan pandangannya berusaha mencari dari mana suara itu berasal. “Zayn, Morie ….”
Dia terbang, berusaha menghampiri Zayn yang tengah tak sadarkan diri. Tubuh kecil Morie kesusahan ketika mengangkat pria bersurai kuning keemasan itu dari laut. Tauriel datang membantu, merangkulkan tangan pria yang tengah tak sadarkan diri tersebut.
“Kita harus meletakkannya di mana?” tanya Morie bingung.
“Aku bisa menahannya dengan tornado mini, tapi masalahnya adalah ….” Ujar perempuan bersurai putih itu, dengan kedua mata yang menatap siluet belut raksasa yang ada di dasar laut.
Morie berdecih sebal lalu meluncurkan tubuhnya ke bawah. “Tolong jaga Zayn!”
Perempuan bersurai hitam itu bagaikan torpedo.
“Morie!” teriak Tauriel kaget ketika melihat perempuan manis yang kerap disapa Morie itu telah meluncur masuk ke dasar laut.
Tauriel mengeluarkan tornado mininya, membuat tubuh pria bersurai kuning itu mengapung di udara seperti sedang menaiki tornado.
“Apa dia bisa mengatasinya sendiri?” ujar Tauriel khawatir dengan tangan kiri yang terus teracung ke Zayn, menyeimbangkan tornado mininya agar tidak menghilang.
Splassh
Tombak hitam meluncur menyerang kulit licin belut tersebut. Makhluk raksasa itu sigap, menghindari serangan yang diluncurkan oleh elf kecil di depannya. Morie berdecih sebal. Badannya sigap terbang ke atas, keluar dari dalam laut ketika melihat belut tersebut menghampirinya.
“Morie, kalau ingin menyerangnya kita harus menyerangnya di atas permukaan air!” saran Tauriel.
“Bagaimana aku membuatnya berada di atas air?” tanya Morie bingung dengan tangan yang terus menembakkan tombak-tombak es.
“Ah!”
Manik hijau milik Morie tiba-tiba terbelalak. Seperti melihat pintu di ujung lorong gang buntu. Perempuan tersebut tersenyum, kemudian kembali masuk ke dalam air. Tauriel kebingungan melihat tingkah elf tersebut.
“Apa yang akan dilakukan olehnya?”
Perasaan khawatir menyelimutinya. Dia takut kalau temannya itu akan melakukan hal yang berbahaya.
Morie mengacungkan kedua tangannya ke atas. Dia memejamkan matanya, merasakan arus air di sekitarnya. Lingkaran sihir hitam besar muncul, membuat air-air di sekitar berputar kencang seperti tornado.
Merasakan bahwa di sekitarnya ada bahaya, makhluk besar berkulit hitam itu garang berusaha menyerang kembali elf kecil tersebut.
Raaarrr
Tuariel membelakkan matanya terkejut, melihat makhluk raksasa tersebut yang masuk ke dalam tornado air besar di dalam air. Tornado tersebut berwarna hitam, bercampur dengan elemen sihir Morie yang berwarna hitam.
Elf kecil tersebut menggunakan seluruh tenaganya, berusaha mendorong ke atas belut raksasa tersebut.
“Ugh, aku sudah melampaui batas,” batin Morie yang mulai merasakan kaku di tangannya.
“Teruskanlah, aku akan memijamkan kekuatanmu,” bisik seseorang di kepalanya.
Morie membuka kedua matanya, dia melirik ke kanan dan ke kiri mencari suara yang baru saja berbicara padanya.
“Itu pasti hanya khayalanku. Ugh … aku harus fokus terus mengangkat belut ini keluar dari laut!” batin Morie dengan tangan yang terus mengeluarkan semprotan air.
Belut tersebut berteriak marah, merasakan tubuhnya yang terombang-ambing dan perlahan naik ke permukaan laut.
Manik mata Tauriel bergetar, dia kaget sekaligus terharu melihat perjuangan elf kecil melawan makhluk besar yang menyerangnya itu.
“Arghhh!”
Morie berteriak. Bagaikan disengat oleh listrik berwarna hitam, secara tiba-tiba tubuh mungil Morie dipenuhi oleh aura hitam. Air yang dikeluarkannya pun semakin gelap. Tauriel mengernyitkan dahinya bingung, melihat aura-aura menyeramkan yang tiba-tiba saja keluar dari tubuh Morie.
“Apa itu?” lirihnya.
Byurrr
Tubuh belut raksasa itu terhempas ke atas. Morie terbang ke atas, mengeluarkan lingkaran sihirnya lagi. “Membekulah kau!”
Creek
Bagaikan masuk ke dalam ruangan bersuhu mines seribu derajat, tubuh besar belut hitam itu beku dilapisi oleh bola es hitam.
Byurr
Bola es berisikan belut itu tenggelam, di dasar lautan.
Morie terlihat kelelahan. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun, dengan sekujur tubuhnya yang basah. Aura-aura hitam dari tubuh Morie pun kian menghilang, membuat Tauriel yang memperhatikannya semakin bingung.
“Apa yang terjadi?” batinnya.
“Aku, akan buatkan perahu kecil dari es,” ujar Morie dengan napas yang terengah-engah.
Dia menodongkan tangannya ke depan. Gelombang kecil laut naik, membeku perlahan membentuk sebuah perahu.
“Kau tidak memakai mantra untuk membekukan sesuatu?” tanya Tauriel bingung, ketika melihat perempuan bersurai hitam itu dengan santainya duduk di atas perahu es yang telah jadi.
“Iyah. Aku juga tidak mengerti, tapi sejak bertarung dengan belut tadi aku mereka ke---“
“Ughh.”
Ucapan perempuan bersurai hitam itu terputus ketika melihat Zayn yang melenguh pelan dan sedikit menggerakan kelopak matanya. Tauriel sigap, meletakkan perlakan tubuh Zayn di atas perahu es berwarna hitam tersebut.
Tauriel masih diam. Dia termenung penasaran sekaligus bingung, dengan apa yang baru saja dia lihat.
“Sihir Morie, kenapa menjadi sangat dingin?” batin perempuan bersurai putih keemasan itu.
Sudut bibir perempuan bersurai hitam itu naik ke atas. “Zayn!” Morie berseru kencang, ketika melihat pria bersurai kuning tersebut membuka matanya.
Perasaan pening dan mulai memasuki tubuh pria tampan itu. “Ugh, d-dimana a-aku?” tanya Zayn parau.
“Aku bersyukur kau tidak apa-apa,” ujar Morie dengan senyuman tulusnya.
Tauriel diam mematung, duduk memperhatikan kedua insan tersebut.
“Morie menyukai Zayn. Tapi apapun itu … aku senang mereka selamat,” pikirnya.
.
.
.
Ctaarrr
“Morie lindungi Zayn!”
Perempuan bersurai putih itu sigap, dia mengangkat kedua tangannya ke atas membuat sebuah kubah raksasa utuk melindungi perahu mereka dari hantaman badai.
Morie berdiri di belakang Zayn, melihat ke belakang siap siaga barang kali jika ada serangan musuh yang tiba-tiba saja menyerang.
“Aku merasa terlindungi, kalian benar-benar hebat.”
Zayn tersenyum kecil, menatap bergantian kedua perempuan tersebut.
Ombak besar datang.
Tauriel menguatkan kubah pelindungnya, dia memantapkan kuda-kudanya bersiap untuk diterjang ombak air asin tersebut.
Byurrr
“Wah!”
Ombak tersebut berhasil mereka taklukan. Tidak ada yang basah, atau tenggelam. Tauriel tersenyum senang, melihat kedua insan di belakangnya terselamatkan.
“Kau keren sekali Tauriel!” puji Zayn menggebu-gebu dengan matanya yang berbinar.
Morie merenung sejenak, berjalan mendekati perempuan bersurai putih itu. Perasaan tidak suka dan iri mulai memasuki hati kecilnya.
“Biarkan aku saja yang membuat kubah pelindung, kau yang menyerang musuh,” ujar Morie tiba-tiba.
Tauriel mengernyitkan dahinya bingung melihat tingkah perempuan bersurai hitam tersebut yang tiba-tiba berubah. “Tapi elemenku angina, aku—“
“Kalau begitu, aku juga yang akan menyerang musuhnya,” ucap Morie cepat kemudian mulai membuat kubah.
Tauriel mengalah, dia mundur ke belakang Zayn memperhatikan sekitar.
“Aku merasa aneh,” gumam Tauriel pelan.
Sejak Aredel kembali, keadaan Aciel dan Rayzeul berubah. Mereka nampak lebih semangat, dan sering tertawa bersama. Kekhawatiran mereka akan keadaan perempuan bersurai putih itu menghilang. Karena dia telah kembali, dan bahkan sudah melakukan banyak hal berempat. Seperti berjalan-jalan, mencari sesuatu yang aneh di hutan, atau mencoba penemuan baru Rayzeul. Pip Pip Pip “Dalam hitungan ketiga … dia akan meledak. Satu dua ….” Dor Semua orang bertepuk tangan. Termasuk Aciel dan Aredel. Mereka layaknya kedua orang tua yang bangga saat melihat Rayzeul dan Irimie sedang mendemontrasikan alat buatan mereka. “Mereka keren!” seru perempuan bersurai putih itu dari kejauhan. “Mereka pasti berhasil! Kalau begitu ayo!” Grep Pria bersurai merah itu menarik tangan Aredel. Dia tertawa, seraya membawa perempuan cantik bersurai pendek itu ke suatu
Satu bulan kemudian.Hari-hari yang dijalani Aciel sangat berat.Bukan hanya tentang Aredel yang belum kembali, tapi juga tentang pekerjaannya yang bertambah. Akibat adanya perang kemarin, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.Misalnya mengembangkan senjata baru, mini jet untuk perang, dan menjinakan robot-robot perang kemarin agar bisa digunakan kembali.Tentu saja dia tidak sendiri melakukan hal itu. Bersama dengan timnya yang lain, dan Irimie serta Rayzeul yang membuat amunisi-amunisi seperti bom.Dar “Dasar ahli kimia menyebalkan! Sudah aku bilang jangan coba-coba dulu dengan senjata itu!”Aciel berteriak marah. Lantaran pistol gel merahnya meledak begitu saja ketika Irimie dan Rayzeul menambahkan sesuatu.“Kita kan sedang ingin mencoba! Siapa tahu berhasil bukan?” tanya Irimie kesal.“Lihat … apakah itu berhasil? Kau membuatnya menjadi potongan be
“Aredel! Hei bangun! Kau tidak bisa meninggalkanku!”Suara teriakan pria bersurai merah itu menggema di medan pertempuran.Dia putus asa. Terus menerus meneriaki nama Aredel. Meskipun si empunya hanya bisa diam bergeming. Tanpa menyahut sekalipun.“Kau bilang akan hidup selamanya … tapi kenapa hanya dengan tertusuk pisau saja kau sekarat begini huh?!”Aciel tidak terima. Dia terus menggenggam tangan Aredel yang kini tengah diobati oleh Rayzeul.“Aciel … kau harus menerimanya. Itu bukanlah pisau biasa, pisau it---“ ucapan Ratu Tauriel terputus.“Aku tidak peduli! Seharusnya dia bisa hidup selamanya! Aku mau di---“BughRayzeul meninju pipi Aciel kencang. Pria bersurai merah itu diam, tak bisa berkata-kata. “Dasar sialan! Bisakah kau diam?! Bukan hanya kau yang bersedih di sini! Apakah kau tidak membayangkan bagaimana sedihnya Ibu Aredel?!”
“Aredel … kenapa aku merasa telingaku gatal ya?” tanya Aciel tiba-tiba.“Di sebelah mana?”“Kiri … apakah mungkin?”Aredel tertawa. Dia menidurkan tubuhnya di atas rumput hijau sambil menatap jutaan bintang di langit. “Ada yang membicarakan hal buruk tentangmu.”“Siapa yang berani membicarakanku?!” Aciel kesal. Dia melipat tangannya di dada sambil menatap datar Aredel.“Mungkin Irimie dan Rayzeul sedang membicarakanmu sekarang.” Perempuan bersurai putih itu menarik tangan Aciel lembut. Agar dia berbaring di sebelahnya.“Bagaimana bisa? Ugh aku tidak suka melihat adikku berdekatan dengan Rayzeul!” ujar Aciel kesal sambil merebahkan dirinya di samping Aredel.“Kenapa? Kau cemburu?”“Tidak. Aku hanya takut kalau Irimie akan menyukainya. Bagaimana kalau nanti Rayzeul mengkhianati adikku?” Wajah Aciel nampak kesa
Serpihan bintang langit malam menghiasi latar belakang kedua insan yang tengah bercengkrama, membuat makan malam di pinggir air terjun ini menjadi romantis.Perempuan bersurai putih itu kesusahan. Ini pertama kali untuknya memasakkan sebuah hidangan.Bahkan jika diingat terakhir kali, dia lupa kapan pernah masak.“Aku tidak bisa masak Aciel,” ujar Aredel pasrah sambil terus membersihkan sisik ikan.“Aku tahu. Kalau begitu kau harus belajar masak dengan Irimie.” Aredel menghela napasnya kasar. Mendengar pria bersurai merah itu menjawab sesuatu yang tidak mungkin, terdengar sangat menyebalkan di telinganya.“Dia tidak ada di sini. Bisakah kita langsung meminta saja makanan jadi? Daripada aku harus susah-susah membuatkanmu makanan,” keluh Aredel kesal dengan bibirnya yang mengerucut gemas.“Lihat betapa menggemaskannya dia,” batin pria bersurai merah itu senang.Aciel tertawa lalu menghampi
ZrasshHujan turun di seluruh Kerajaan Cartenzeul. Seperti tanda berkah dan kesedihan karena perang balas dendam ini telah berakhir. Mereka semua yang berada di medan perang satu persatu kembali, ke rumah mereka masing-masing.“Kau akan pulang ke kerajaan elf?” tanya Irimie sok akrab dengan Rayzeul.Pria bersurai putih itu mengangkat bahunya cuek. “Entahlah. Aku juga tidak tahu harus ke mana sekarang. Aku ingin kembali ke rumahku di Hutan Lhokove tapi rasanya malas.”“Bagaimana kalau kau tinggal di sini? Aku dengar kau mempunyai kemampuan kimia yang hebat? Kau bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan kemampuan itu di kerajaan kami.”Seseorang dari belakang berbicara.Perempuan anggun bersurai kuning keemasan tersenyum ramah. Menatap pria bersurai putih itu lembut.“Tuan Putri ingin merekrutku?” tanya Rayzeul tanpa basa-basi.Putri yang kerap disapa Aurora itu mengangg