LILYA menangis dalam diam setiap malam setelah mendengar titah ibunya untuk menikah.
Dia masih muda, dia masih sekolah, bahkan dia belum lulus SMA. Lilya masih terlalu dini untuk menikah, tapi demi Kaisar dan Mawar, Bapak dan Ibu yang telah merawatnya selama ini, Lilya rela berkorban.
Digadaikan, dijual pada Pak Tua Mesum dari keluarga Gunawan yang kaya raya demi menyelamatkan perusahaan keluarga. Dia rela menikah dengannya dan mungkin dia akan menjadi istri muda yang akan ditindas oleh istri-istri tuanya di sebuah mansion besar.
Mengingat film-film tentang poligami yang bertebaran di layar televisi dan mengisahkan seorang istri muda yang disiksa istri-istri tuanya, Lilya bergidik ngeri saat membayangkan dirinya akan berakhir seperti itu.
"Tuhan, semoga tidak ada drama mengerikan seperti itu dalam hidupku," doanya sembari menatap langit-langit kamar.
Dia berharap doanya dijamah Tuhan kali ini. Padahal, setiap kali ia berdoa, semua doanya tak pernah dikabulkan sama sekali.
***
Evan menatap sebuah foto di layar ponselnya dengan wajah datar. Cantik, sih, cantik. Tubuhnya pendek, tapi lekukan tubuhnya terlihat sempurna, bahkan cenderung menggoda. Hanya saja ... pakaiannya.
Evan menghela napas kasar saat melihat ibu tirinya berjalan melewatinya yang sedang duduk nyaman di sofa ruang santai.
"Mom!" panggilnya tanpa ragu.
Nayla menoleh. "Iya, Van? Kenapa?"
"Evan mau nikah."
Mata wanita berusia lima puluh tahunan itu tampak berbinar-binar menatapnya. "Iya?" tanyanya antusias, sembari mendekat pada putra sambungnya. "Mana calonnya?"
Evan menunjukkan sebuah foto gadis berseragam SMA yang sukses membuat mulut Nayla menganga lebar.
"Cantik, kan, Mom?"
Nayla menatap putranya horor. "Serius kamu? Dia masih SMA?"
Evan menganggukkan kepala. "Pernikahan bisnis, Mom." Dia menatap kembali layar ponselnya sekali lagi. Gadis itu memang cantik, tapi tatapannya tampak menyimpan perih yang tidak seharusnya. "Keluarganya nyaris bangkrut, mereka meminta Evan untuk menikahi salah satu dari keturunan mereka asalkan Evan mau membantu mereka menyelesaikan masalah perusahaannya."
"Jadi?" Nayla menatap Evan tajam. "Tidak ada cinta di antara kamu dengan gadis itu?"
Evan menggeleng. "Dia bahkan belum pernah bertemu dengan Evan secara langsung."
"Jangan bercanda kamu!" bentak Nayla murka. "Kamu boleh mempermainkan wanita mana pun sesukamu, kamu boleh memacari mereka, menidurinya, atau bahkan bahkan melakukan apa pun. Tapi jangan pernah kamu mempermainkan pernikahan, Evan. Mommy tidak setuju, bahkan Daddy-mu akan menolak pernikahanmu."
Evan memejamkan matanya. "Evan tidak ada niat bermain-main dengan pernikahan ini." Evan kembali menatap Nayla dalam-dalam. "Mommy sendiri tahu, umur Evan sudah tua, Evan perlu pasangan hidup, tapi Evan terlalu malas mengurus soal percintaan. Mommy juga ingin melihat Evan menikah, bukan? Lantas mengapa Mommy menolak Evan menikahinya? Apa karena dia masih kecil?"
"Bukan perkara usia, tapi apa niatmu menikah dengannya. Jangan sampai kamu mempermainkannya dan mengulangi tragedi perceraian yang pernah terjadi dengan Daddy kamu dulu."
Evan memejamkan mata. "Evan mengerti, Mommy."
Nayla memeluk kepala putra sambungnya. Dulu, dia anak yang manis, tapi perlahan dia berubah. Semenjak dewasa, Ethan membiarkan putranya memilih jalan hidupnya sendiri, dan Evan berubah menjadi seperti ini.
"Mommy hanya tidak mau melihat pernikahanmu hancur. Kamu tetap anak kesayangan Mommy, Evan, Mommy akan sakit jika sampai melihat rumah tanggamu berantakan."
"Mommy tenang saja." Evan membalas pelukan Nayla. "Evan tidak akan bermain-main, selama dia tidak memainkan Evan."
Nayla tersenyum tipis. "Jadi, kapan Mommy sama Daddy bisa melamarnya buat kamu?"
Evan mengurai pelukan mereka. "Tidak perlu." Evan berdeham singkat. "Mom sama Dad hanya akan melihat calon istri Evan tepat di saat upacara pernikahan terlaksana. Aku ingin membuat seseorang di sana menyesal karena berani menolak Evan bahkan sebelum kami dipertemukan."
Nayla hanya mengernyitkan dahi tidak mengerti. Apa maksud kalimat putranya tadi?
Kata-kata Evan dipenuhi makna, tapi Nayla percaya, kalau Evan akan tetap berlaku baik seperti yang pernah terjadi selama ini.
"Apa pun pilihan kamu, Mommy akan dukung. Asalkan kamu tidak melakukan sesuatu yang melanggar norma, agama, dan juga aturan. Mom dan Dad akan selalu ada di belakangmu."
"Makasih, Mom."
Nayla tersenyum manis. "Jangan lupa, beritahu mama kamu juga, ya?"
Evan tersenyum tipis. "Itu urusan mudah."
___
SATU bulan yang lalu, kakek Lilya meninggal dunia. Lilya mau tidak mau harus merelakan kepergian kakeknya, karena memang sudah tidak ada harapan lagi untuk kakeknya bisa kembali seperti sedia kala.Saat pemakamannya, Arini datang bersama seorang polisi yang mengawasi pergerakannya. Lilya akhirnya tahu, bahwa tantenya terlibat kasus pembunuhan Kenanga sebelum ini. Dia hanya bisa tersenyum dan memeluk Arini dengan erat. Saling menguatkan satu sama lain, walau tak ada kalimat apa pun yang terucap.Walau sempat terguncang hebat atas apa yang dialaminya selama setahun terakhir. Lilya akhirnya bisa lulus dari sekolah dengan nilai yang ... cukup memuaskan.Evan tidak banyak berkomentar saat melihat nilai Lilya yang terbilang sangat biasa saja. Dia hanya bersyukur istrinya bisa lulus saat itu tanpa harus mengulang lagi setahun atau mengejar paket, karena ketertinggalannya.Sesuai janji yang telah
EVAN hanya ingin mengabulkan semua keinginan istrinya. Setelah malam itu dia mengenalkan Lilya pada semua anggota keluarga Gunawan, kali ini dia membawa perempuan itu ke rumah ibunya.Benar ... ibu kandungnya. Orang yang telah melahirkan dan membuat karakternya menjadi demikian. Dia bahkan tidak bisa menyalahkan sifat-sifat buruk yang dia bawa di dalam dirinya, karena semua itu dia dapatkan dari ibunya.Ibunya memang bukan orang yang baik ... tapi Evan tetaplah satu-satunya anak yang ia miliki hingga saat ini.Evan menghela napas kasar. Dia melirik Lilya yang kali ini terlihat begitu tegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sedang tatapannya tampak tidak fokus. Dia terlihat gelisah dan Evan mengerti hal itu, karena dia telah mengatakannya sebelum ini, kalau ibunya mungkin tidak sebaik mama tirinya.Evan mengulurkan tangan, menyentuh tangan Lilya lalu menggenggamnya erat. Pria itu ter
LILYA tidak tahu harus mengenakan pakaian yang mana untuk pergi ke pesta. Dia hanya punya satu gaun yang indah dan itu adalah gaun yang ia kenakan di hari pernikahannya.Evan hanya mengajaknya pergi sebentar ke pesta, seharusnya tidak masalah jika dia mengenakan gaun lama untuk pergi ke sana. Namun, masalah lainnya hadir, Lilya tidak bisa mendandani dirinya sendiri.Dulu, ada Mawar dan Kenanga yang mendandaninya saat menjadi ratu sehari. Namun, sekarang dia tinggal sendiri. Dia tidak bisa dandan hingga menjadi perempuan cantik jelita, dia tidak punya alat make-up juga, dan dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi masalahnya.Evan memasuki kamar dan melihat istrinya masih mematung di depan almari. Dahinya mengerut, dia mendekati Lilya dan menemukan perempuan itu sedang memegangi gaun pernikahan mereka dulu.Evan jelas mengingat baik tentang gaun itu, karena dia sendiri yang mem
SIDANG berjalan lancar. Gavin berhasil dipenjara atas kasus pembunuhan yang dilakukannya. Arini juga menyerahkan diri ke kepolisian, karena diam saja saat peristiwa itu terjadi dan ikut andil merusak TKP yang ada.Hukumannya tidak seberat Gavin yang mendapat tuntutan beruntun. Namun, Arini bersyukur, karena setidaknya dia bisa menebus rasa bersalah serta dosa-dosa yang telah dilakukannya selama ini.Lilya hanya mendengar tentang sidang itu, dia tidak diizinkan untuk hadir. Walaupun namanya dibawa-bawa dalam kasus pembunuhan Kenanga, tapi dia sama sekali tak diizinkan untuk mendengarkan semua tuntutan yang dilayangkan pada Gavin.Evan yang melarang Lilya untuk hadir. Alasannya, untuk menjaga mental Lilya yang bisa saja hancur setelah semua kenyataan itu terkuak. Biarlah kejadian itu tetap menjadi rahasia mereka. Lilya jangan sampai mendengar dan mengetahuinya agar hidupnya yang sekarang tetap baik-baik saja.
HANYA orang bodoh yang akan menyangkal jika Lilya dan Ariani tidak memiliki hubungan apa-apa. Lilya terlihat sama persis dengan kakaknya sewaktu masih remaja.Gadis lugu, polos, dan naif. Gadis yang menderita sebelum dia bertemu dengan pangeran yang menolongnya untuk keluar dari penjara.Lilya masih berceloteh banyak hal dengan ayahnya, walau ayahnya sama sekali tak merespon apa-apa. Matanya masih terpejam, sama seperti sebelumnya. Ayahnya ... kalau dibilang sudah meninggal pun tidak bisa, karena ia masih bernapas. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang."Terima kasih," gumam Arini sewaktu ia keluar dari ruangan itu dan menghampiri Evan yang sedia menunggu di luar."Kenapa?"Evan menatapnya dingin. Terlihat jelas, bahwa pria itu tidak begitu suka dengannya. Padahal sebelum ini, Arini sempat mengira kalau Evan tertarik padanya. Namun, nyatanya dia benar-benar bodoh. Evan
SETELAH pemeriksaan terakhir selesai dan hasilnya baik-baik saja, Lilya diperbolehkan untuk pulang. Senyum di bibirnya tak kunjung hilang. Kakinya melangkah ringan ketika dia diminta untuk segera mengganti pakaian sebelum meninggalkan ruangan.Begitu keluar dari kamar mandi, Evan lantas menyodorkan bunga lili putih ke hadapannya. Lilya terdiam, dia menatap bunga itu dengan ekspresi tidak paham."Kiriman bunga dari Chris, dia tidak bisa datang menjenguk, karena sibuk," kata Evan sembari menyodorkan bunga itu ke tangan Lilya.Lilya menerima bunga itu, lalu mencium aromanya yang mengingatkannya akan wewangian di pemakaman. Lalu, dia menatap Evan. "Aku seperti sedan.g didoakan lekas meninggal olehnya."Evan tersenyum lebar. Dia juga tidak mengerti kenapa Chris membelikan bunga itu untuk Lilya. Namun, setelah melihat istrinya membawa bunga itu dalam dekapan kedua lengan kecilnya, dia pun mengerti a