LANGKAH keduanya terhenti saat melihat Evan sedang membawa sepiring nasi goreng dan segelas susu cokelat di atas nampan. Evan pun menghentikan langkahnya, ditatapnya Lilya sekilas, sebelum beralih menatap adiknya.
"Kalian mau ke mana? Lilya belum sarapan," katanya dengan nada datar.
"Cie yang baru ngadon berdua, romantis amat, Bang, sampai mau bawain sarapan ke kamar segala?" goda Mika yang kini meninggalkan Lilya dan mendekati kakaknya dengan mata mengedip genit. "Jadi, kapan keponakanku jadinya?" bisik Mika di telinga kakaknya.
"Kenapa kamu berisik sekali? Tidak perlu terburu-buru, dia masih sekolah." Evan mendengkus kecil. "Apa kamu cemburu, karena belum ada yang melakukan hal manis seperti itu padamu?"
"Enak aja! Gavin romantis tahu! Kalau cuma bawain sarapan ke kamar mah udah sering, nggak bisa dihitung lagi malahan."
Evan langsung mendelik ke arah adiknya. "Kalian melakukannya? Bahkan seb
"SUDAH selesai makannya?"Evan bertanya tanpa memandangi Lilya. Pria itu sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Lilya pikir, Evan sedang bekerja atau sedang berhubungan dengan Chris, jadi ia tidak ingin mengganggu suaminya."Udah, ini mau bawa ke bawah. Kakak mau nitip sesuatu?" tawarnya sebelum keluar kamar."Ambilkan puding di lemari es. Mommy biasanya stok banyak puding kalau aku main ke sini." Evan menatap Lilya yang kini menatapnya dengan tatapan yang menyiratkan pertanyaan 'Serius?' dan Evan membalasnya dengan mengangguk."Baiklah, aku ke bawah sebentar, ya?"Lilya keluar dari kamar itu dan lantas mencari-cari di mana lokasi dapur. Begitu sampai, dia langsung mencuci piring dan gelas yang ia gunakan tadi. Lilya sedang mengelap tangan ketika mendengar suara orang berbincang dan derap langkah kaki yang mengarah ke dapur.Lilya terdiam, berpikir untuk langsung pergi atau tet
LILYA terkejut melihat Gavin diseret keluar dengan mudahnya oleh satpam. Wajahnya babak belur, dipenuhi darah segar yang menetes dari bibir, kening, dan pelipisnya. Pakaiannya yang acak-acakan bak terkena angin puting beliung ditambah kondisinya yang lemah membuat Lilya langsung memikirkan keadaan suaminya.Lilya berlari ke arah dapur, tapi sebelum benar-benar sampai Evan sudah keluar lebih dulu.Evan mendapat beberapa luka lebam di wajahnya, sudut bibirnya koyak karena kini mengeluarkan darah segar dan dibiarkan mengalir begitu saja. Selain itu, pakaiannya yang selalu rapi kini terlihat berantakan. Lilya mendekati Evan dan langsung memapah suaminya dengan tubuh kecilnya. Dia takut kalau Evan tiba-tiba pingsan di sana."Ayo, aku antar ke kamar, Kak," katanya pelan, sembari mengajak Evan untuk lekas berjalan menuju kamarnya.Evan tak bergerak, dia memandangi Lilya dengan dahi mengernyit tidak mengerti.
NAYLA tak kuasa mengamuk begitu sampai rumah. Evan berusaha menenangkan mama tirinya, sedang Lilya terus memeluk Mika yang tak bisa menghentikan lelehan air mata sembari mendengar amukan yang mengerikan dari mama mertuanya.Ini baru mama mertua, bagaimana reaksi papa mertuanya soal hubungan Mika dengan Gavin yang kandas begitu saja karena kehadirannya?Lilya mulai merasa bersalah sekarang. Seandainya dia tidak muncul kemarin, apakah hubungan mereka akan tetap baik-baik saja sampai tahap pernikahan?Ethan, papa mertuanya muncul tanpa suara. Ekspresinya datar, tanpa emosi, dan tak bersuara. Dia hanya menepuk puncak kepala Lilya pelan hingga membuat gadis itu terlonjak dan menatapnya. Ethan hanya tersenyum tipis memandangi Mika, sebelum melerai Nayla, lalu meminta istrinya itu untuk mengikutinya.Evan menatap adik dan istrinya sekilas, sebelum mengikuti jejak orang tuanya. Lilya kembali menatap Mika yang masih me
MEMBAGI malam yang dingin dengan selimut dan dekapan hangat dengan pasangan membuat Evan tak kuasa meninggalkan tempat tidurnya. Bahkan, ketika ponselnya berbunyi, dia mengerang malas saat mengambil benda itu, sebelum mematikannya dan mengembalikannya ke tempat semula.Evan ingin tetap begini selamanya. Terlelap sembari memeluk Lilya erat, menghirup aroma tubuh Lilya dan merekamnya dengan baik di otaknya, sebelum menarik perempuan itu semakin merapat ke tubuhnya.Evan ingin kembali terlelap, tapi kantuk tak lagi berpihak. Matanya terbuka sempurna. Dia menatap Lilya yang masih terbuai di alam mimpi, tampak begitu tenang dan damai.Dalam hati, dia terus memuji fisik Lilya yang begitu sempurna. Satu-satunya kekurangannya hanyalah kebodohan ditambah kebaikannya yang membuat dia bisa dimanfaatkan siapa saja.
KEKAGETAN membuat Lilya tidak bereaksi apa-apa selain; mulutnya yang terbuka, matanya yang membelalak memandangi Evan dengan ekspresi wajah tak percaya, dan suaranya yang hilang ditelan hampa.Lilya mencoba membuka dan menutup mulutnya, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.Evan meletakkan ponselnya ke dashboard, sebelum fokus pada istrinya. Dia menarik sabuk pengaman Lilya dan memasangnya dengan rapi sebelum bertanya, "Kamu mau ke sana?"Lilya hanya mengangguk-angguk bak robot yang tak bisa berbicara. Perempuan itu masih terkejut, itu wajar, karena dia pun merasakan hal yang sama. Dia tidak menyangka akan ada 'sosok lain' yang bertindak lebih dulu untuk membunuh Kenanga daripada dirinya sendiri.Jujur, Evan memang ingin membunuh wanita itu dan keluarganya agar dia bisa melihat Lilya bebas-sebebas-bebasnya dari keluarga angkatnya. Namun, dia tahu, apa yang ia lakukan hanya a
Selamat membaca ....Jangan lupa follow IG-ku @Kaitani_books.Thank you 😘----LILYA menarik tangannya dari Evan dengan paksa begitu mereka berada di parkiran rumah sakit. Dia tidak peduli di mana mereka sekarang. Ditatapnya suaminya dengan tatapan garang. "Kenapa Kakak melakukannya?" tuntutnya.Evan hanya menatap Lilya dengan wajah datar tanpa menjawab pertanyaannya. Dia mengalihkan perhatian ke sekeliling, mengawasi sebentar, sebelum fokus menatap Lilya."Kenapa Kakak harus menawarku pada orang tuaku? Kenapa kamu harus melakukannya, bukannya kamu sudah menikahiku, lalu kenapa kamu masih harus membeliku juga? Apakah status pernikahan masih kurang untukmu?" tanya Lilya yang kini menatap suaminya penuh tuntutan."Iya, semuanya masih kurang. Aku h
SEMALAM Lilya berkata, kalau masalah almarhumah kakaknya selesai, dia ingin pergi ke panti asuhan secepatnya. Jadi, pagi-pagi sekali Evan sudah memanggil Chris, kaki tangannya, untuk melaporkan semua kabar yang sudah dia dapatkan.Chris masih mengantuk saat sampai di rumahnya. Dandanannya tidak begitu bagus, kemeja kusut yang Evan yakini belum diganti dari semalam dan rambutnya yang acak-acakan tak kuasa membuat Evan menaikkan sebelah alis penuh pertanyaan."Kamu pasti tahu, alasan kenapa aku memanggilmu sepagi ini?" tanyanya pada Chris yang kini memamerkan senyuman tipis.Pria itu menarik napas panjang, sebelum mengembuskannya perlahan. "Saya harus mulai menjelaskannya dari mana, Tuan?" tanyanya pada Evan yang terus menatapnya serius."Sebenarnya, apa hubunganmu dengan Kenanga, Chris? Kalau hanya sebatas kenal, kamu tidak mungkin mendatangi tempatnya pagi-pagi, kan?" Evan menatapnya penuh
HARI sudah sore saat mereka sampai di panti asuhan. Lilya keluar dari mobil disambut sebuah bangunan besar berwarna putih yang sama sekali tidak pernah ia ingat keberadaannya. Ada juga taman luas yang berisikan ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, dan masih banyak lagi."Benarkah ini tempatnya?" tanya Lilya keheranan. Dia sama sekali tidak bisa mengenali tempat ini.Panti asuhan dalam ingatannya adalah tempat kumuh yang tidak begitu terawat. Rumput-rumput liar tumbuh di sekitar halaman hingga menaiki pagar, padahal setiap minggunya mereka rajin bersih-bersih. Tembok bangunannya pun retak, lantainya mencuat keluar dari tempat asalnya, cat luntur, dan perlahan bangunan yang harusnya berwarna putih mulai terlihat hitam.Panti asuhannya lebih terlihat layaknya rumah hantu daripada rumah yang diisi banyak anak kecil di dalamnya. Bahkan, tidak jarang beberapa adiknya kerap menangis setiap malam lantaran mimpi buruk