Penulis yang konon tak terlalu suka dengan gelora cinta Aphrodite itu duduk dengan santai di hadapanku. Pandangan matanya yang biasanya menyorot tajam ke arahku, kini agak sayu dan mengandung harap. Aku jadi ingin tahu alasan Aubree kembali ingin memakai sound system-ku itu apa. Lalu, mengapa dia juga tampak putus asa begitu?
“Can, gue nggak terlalu suka sama sound system mereka. Kualitasnya bagusan produk lo,” belum saja aku bertanya alasannya kembali ingin menggunakan produk perusahaanku, Aubree sudah melontarkannya sendiri, “Jadi, gue datang ke sini untuk meyakinkan lo,” lanjutnya. Aku suka dengan penampilan Aubree hari ini. Dia mengenakan topi pet berwarna cokelat kemerahan alias cokelat marun. Lalu, rambut lurus kecokelatannya menggantung rapi di atas pundak. Kemeja putih gombrong yang dimasukkan ke celana jins biru menunjukkan kesan androgyne atau sedikit maskulin. Gesper kulitnya sama-sama berwarna cokelat kemerahan
Lesung pipi Aubree tampak jelas di refleksi kaca spion tengah mobil. Selama mengunjungi Cana di kantor, dia memakirkan mobilnya di gedung parkir yang agak gelap. Tak jarang untuk meminimalisir kegelapan, dia menyalakan lampu dalam mobil.Di bawah sorot cahaya lampu mobil yang berwarna kekuningan, Aubree menggerak-gerakan bibirnya, melebarkan senyum yang kelewat lebar. Dia biasa melakukan hal ini jika sedang dalam kondisi tak terlalu baik-baik saja. Wajahnya yang good looking sebenarnya tak bisa dikatakan selalu cantik, tetapi karena dirinya selalu merawat kecantikan kulit dan berolahraga, dia yang kini sudah berusia seperempat abad masih cocok saja mengenakan seragam putih abu-abu. Menurut Cana, wajah Aubree juga tak berubah sejak SMA.“Cana jadi agak sebel nggak, ya, gue plin-plan begini?” Aubree memukul-mukul setir mobil dengan jemari. Kedua matanya masih melirik kaca spion tengah. Dia cukup mengagumi warna lensa kontaknya yang unik. Jika diperhatikan dengan seksama, lensa kontak ber
Aubree menggigit bibir bawah ketika tak sengaja pandanganku masih tertuju ke sana. Aku sendiri tak berani menebak apakah dirinya menyadari arah pandangku saat ini atau tidak. Kalau pun menyadari, aku rasa Aubree tak protes. Mungkin sebagai penulis novel, dia malah mendapatkan inspirasi baru karena aku kedapatan tertarik dengan bibirnya. “Duduk dulu, yuk, Can. Lo mau pesen minum atau makanan apa?” Aubree menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramusaji. “Minta menunya, ya, Mbak?” senyumnya membuat lesung pipinya terlihat. Kalau tadi aku memperhatikan bibirnya, kini pandanganku beralih ke lesung pipitnya. Seharusnya aku berpendapat biasa saja karena aku sendiri juga tak terlalu berkesan setiap kali bertemu dengan seorang yang berlesung pipit. Namun, bolehkah aku sampaikan bahwa sungguh berbeda jika seorang berlesung pipit itu adalah Aubree? Dibandingkan semasa SMA, lesung pipitnya lebih jelas saat ini. Apakah dia operasi plastik? Entahlah, s
“Kenapa niiiiih, kamu nanya-nanya tentang Aphrodie?” nada suaraku kuusahakan terdengar agak manja. Tidak apa-apa pikirku. Mandy juga sudah paham jika aku akan mengeluarkan suara kekanak-kanakanku di saat menggodanya. Karena pada tingkatan usiaku yang lebih muda daripadanya, aku bisa merengek semauku. Aku pernah pura-pura tak ingin bicara padanya ketika kami makan siang bersama dan dia lupa mengatakan kepada pramusaji bahwa aku tak suka tingkat kematangan medium rare. Ketika Mandy menawarkan untuk menukar atau memesan ulang, aku pura-pura mengangguk dengan sedikit ogah-ogahan. Sebenarnya, dia bisa marah karena jengkel dengan kelakuanku, tetapi tampaknya dia lebih takut jika aku tak akan lagi menemaninya ke mana-mana lagi.“Kamu nggak cerita-cerita kalau lagi dekat dengan Aphrodie?” pertanyaan Mandy di seberang sana lagi-lagi kuanalisis sebagai bentuk interogasi.“Apakah aku harus cerita-cerita? Aku nggak pernah minta kamu untuk cerita tentang teman yang lagi dekat sama kamu?” Pertanyaan
Kalau pasanganmu adalah seorang seniman, janganlah marah kepadanya jika rasa cinta yang kau berikan kepadanya disalurkan kepada banyak orang melalui karya.Coba bayangkan, kau hanya membuat satu orang merasakan cinta, dan dia bisa membuat banyak penikmat karyanya merasakan cinta yang kau berikan kepadanya.Bukannya, pahalamu jadi banyak?Kecuali, kamu memberikan rasa cinta pada satu orang, lalu dia menebarkan pesonanya sendiri, sehingga orang-orang tak jatuh cinta pada karyanya, tetapi padanya. Tapi, tenang saja!Dia sudah pasti setia kepadamu.Karena baginya, kau adalah karya seni Tuhan yang digariskan menjadi inspirasi karya seninya.Itu sangat mahal harganya.Sebelas dua belas dengan harga nyawanya.“Lalu? Ke manakah aku harus meminta balik rasa cintanya?” tanyamu kepada semesta.Jangan terlalu diambil pusing!Kau akan jatuh cinta balik hanya dengan menikmati karya seni ciptaannya. Lalu, jujurlah atas penilaianmu terhadap karyanya. Dia tak akan melepas genggaman tanganmu. Kedua mat
Mobil Aubree terhenti di depan sebuah rumah tingkat dua berpagar cokelat keemasan. Rumah-rumah di sekitarnya rata-rata juga bertingkat dua. Pepohonannya tinggi-tinggi dan rimbun sekali. Sumber penerangannya hanya berasal dari lampu perumahan dan pos satpam depan portal. “Masuk dulu, Can. Sambil nunggu taksi online, lo santai aja di ruang tamu gue,” Aubree menarik rem tangan, “lagipula, obrolan kita belum selesai, kan?” dia membuka pintu mobil dan melangkah mendekati pagar rumah. “Eh! Eh! Eh! Gue aja yang buka pagarnya!” betapa terkejutnya aku ketika melihat Aubree hendak mendorong pagar rumahnya sendiri. Buru-buru, aku ikut keluar mobil. “Gue kira, bakal ada penjaga yang buka pintunya?” “Memang ada sebenarnya. Cuma gue suka nggak enak kalau udah malam begini bangunin penjaga rumah,” jawab Aubree terbilang santai, “lagipula, gue udah biasa kok buka pager begini,” dia mulai mendorong pintu pagarnya. “Iya, tapi kalau ada cowok, atau ada gue, yaaa biar gue aja yang dorong pagarnya,” ak
“WRONG WAY!” “WRONG WAY!” “WRONG WAY!” Suara narator video game playstation racing Grand Turismo membuatku bertambah panik kala menekan-nekan tombol stick video game. Mobil-mobil rivalku dalam car race ini melaju berlawanan arah denganku. Sial! Hanya lantaran tersenggol mobil lawan, mobilku jadi berbalik arah seratus delapan puluh derajat. Selama hidupku, sebenarnya aku akrab dengan dunia video game. Ketika kukecil dulu, orangtuaku rajin membelikan konsul game apa pun yang kumau. Mulai dari playstation, sega, x-box, maupun Gameboy tak ada yang terlewatkan. Tak jarang aku mengajak teman-temanku di sekolah maupun tetangga untuk bermain video game ke rumahku. Kebanyakan memang laki-laki. Kalau pun ada teman perempuan yang ikut bersama kami bermain video game, kemungkinan adalah pacarku atau pacar dari sahabat-sahabatku. Satu hal yang menarik adalah… Seingatku, aku tak pernah mengajak Aubree untuk bermain video game di rumahku. Padahal, kami berdua ini satu sekolah. Mungkin karena kuk
Aku mencintaimu. Aku milikmu. Kau adalah kekasihku. Kau adalah tambatan hatiku. Kau adalah milikku. Bolehkah aku mengkritisi kalimat yang terlontar dari bibir berlipstik maroon red cantiknya itu dan mengungkapkan dari lubuk hati terdalamku bahwa justru aku akan menjauh dari seseorang yang meyakini teori cinta tesebut untuk pedoman hidupnya? Aku tak suka diriku menjadi miliknya. Diriku hanyalah milikku, sedangkan dirinya adalah miliknya. Kalau pun ada orang lain yang ingin mengklaim kepemilikan seseorang, menurutku yang lebih pantas adalah kedua orang tuanya. Aku ada karena mereka berdua. Atau, jika aku ingin sok suci, sudah pasti diriku dan dirinya hanyalah milik Tuhan. Ah! Sekilas, pernyataan kau adalah milikku dari seseorang yang sedang kau cintai itu terdengar begitu romantis. Namun, sebenarnya, makna di balik semua itu sangat menyeramkan. Kau tak hanya sekedar menyerahkan diri, tetapi sudah mengakui bahwa jiwa dan ragamu adalah miliknya. Aku pernah mendapatkan cerita dari se
“Mungkin suatu hari nanti, aku harus bicara pada Jasmine,” aku mencoba memejamkan mataku. Aku hendak berangkat tidur. Perasaanku memang agak tak enak, mungkin karena memikirkan Jasmine. Namun sepertinya, kantukku jauh lebih menguasai. Aku ingin mengakhiri hari dengan tenang. Sampai jumpa di hari esok.Nyatanya, ketika aku sudah memejamkan mata, aku belum benar-benar tertidur pulas. Semilir AC hanyalah satu-satunya bunyi yang kudengar di telinga. Dalam gelap karena memejamkan mata, benakku rupanya belum ingin beristirahat. Baiklah! Biarkan dia berpikir terlebih dahulu tentang hubunganku dengan Jasmine.Tak hanya itu, biarkan aku juga menambahkan beban pikiranku seputar pernikahan.Entah mengapa, aku jadi teringat dengan pesta perayaan usia pernikahan lima puluh tahun kakek dan nenekku.Dalam beberapa acara perayaan lima puluh tahun pernikahan, aku sering mengkritisi perjalanan kisah panjang pasangan yang sedang merayakan kemeriahan itu. Sebenar