Share

Bab I: Saudara Sekandung Semesta Itu Bernama Manusia

Angin berhembus ke arah barat, tertarik dengan pesona matahari yang mengarsir langit atas nama senja. Sungguh indah alam sekitar saat ini. Dedaunan kering kekuningan yang berjatuhan dan mendarat ke tanah pun menari-nari dengan sebelumnya dibawa angin. Semuanya bersatu padu mengikuti instruksi alam. Sebagian besar manusia percaya bahwa semua ini ada yang menciptakan. Semua ini ada yang menggerakan. Masalahnya adalah, pergerakannya bisa membawa ke arah baik atau bencana alam sekalian.

            Sudah lebih dari sepuluh tahun, sang guru berkawan dengan pegunungan, hutan, dan semesta sekitarnya. Dia mengumpulkan sepuluh anak kecil yatim piatu dari berbagai tempat penampungan. Dia latih semuanya agar menjadi pendekar pedang yang hebat. Tak hanya menciptakan hubungan baik antara guru dan murid, hubungan persaudaraan dan kekeluargaan menjadikannya seperti seorang ayah dengan sepuluh anak.

Keputusan untuk memilih sepuluh anak kecil itu pun bukanlah perkara acak. Sang guru bisa sampai menghampiri anak-anak yatim piatu itu lantaran mendiang kedua orang tua mereka adalah para samurai seperti dirinya. Mereka semua kebanyakan tewas dalam perang saudara atau antarklan. Banyak desa yang dibakar atau para warganya dihabisi secara membabi buta. Beberapa orang dewasa yang selamat rata-rata juga bukan yang dapat dikatakan baik dari segi ekonomi. Maka dari itu, tempat penampungan atau yayasan adalah tempat yang didatangi oleh sang guru untuk menjemput kesepuluh anak itu.

Apakah hanya sepuluh?

Sebenarnya tidak.

Hanya saja, sang guru hanya sanggup membesarkan dan mengajari ilmu pedang kepada sepuluh pendekar. Itu pun pada akhirnya, di hari ini, dia habiskan lima murid melalui tangan kelima murid lainnya. Sekilas, mungkin gila, tetapi tidak bagi sang guru. Masa lalunya yang getir dan pahit membuatnya tak menganggap apa yang dia perintahkan saat ini kepada kesepuluh muridnya adalah suatu hal yang berlebihan. Dia juga melatih kekuatan diri tiap pendekar agar hanya percaya dan bersandar pada dirinya masing-masing. Bagi seorang pengembara seperti dirinya, hal itu sudah biasa.

"Tinggal kalian!" sang guru melangkah perlahan keluar gubuk. Karena di depan gubuknya terpasang beberapa obor di atas kayu, mimik wajah datar dan dinginnya jadi terpampang lewat kobaran api. Memang pencahayaan tempat tinggalnya bersama para murid hanya berasal dari obor dan lentera. Obor dinyalakan di luar gubuk, tepatnya di halaman depan rerumputan dan halaman belakang pekarangan ternak, sedangkan lentera biasanya ditaruh di dalam. Sang guru dan kesepuluh muridnya hanya punya tiga lentera. Satu lentera digantung di dinding dapur, satu ditaruh di kamar tidur guru, dan satu lagi adalah lentera yang sering dipakai para murid jika ingin memasuki hutan untuk mencari makanan atau buang air. Lentera yang ketiga ini pun, saat ini tergeletak di halaman rerumputan. Karena dikira ingin menangkap binatang di hutan untuk makan malam, para murid sudah bersiap membawa lentera itu.

 Telapak kaki san guru yang tak beralaskan apapun menggesek rerumputan hijau. Dia memang lebih suka berjalan dengan telanjang kaki. Menurutnya, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diizinkan menempati semestaNya harus berdampingan dengan alam. Jadi, dengan melangkah telanjang kaki, tanah yang menyentuh kulit kaki akan memberikan efek sampai ke otak yang berada di kepala. Sementara itu, rerumputan yang menggelitik sela-sela jemari kaki seolah menyapa keberadaanmu sebagai sesama makhlukNya. Ini sebuah intuisi tingkat tinggi bahwa pada akhirnya, manusia tak bisa terlepas dari alam. Belum semua orang merasakan hakikatnya. Jadi, bersyukurlah kalau kau sudah mencapai tingkatan manusia yang menyetujui dirinya bagian dari alam.

            "Mengapa diam saja? Jangan terlalu lama bicara dengan alam! Dia juga sibuk mengerjakan banyak perintah Tuhan!" sang guru kembali berseru. Siapa memangnya dia? Mengapa merasa paling tahu alam sekali?

            Shitaro Watanabe. Itulah nama lengkap guru lelaki paruh baya itu. Dia adalah seorang samurai yang mungkin selama hidupnya lebih banyak dihabiskan dengan tumbuhan dan hewan ciptaan Tuhan daripada manusia. Selama hidupnya, dia hanya banyak berinteraksi dengan kesepuluh muridnya dan orang-orang di jajaran kekaisaran. Tak banyak manusia yang berinteraksi dengannya. Kalau pun takdir membawanya bertemu dengan manusia, mungkin tak akan banyak interaksi yang tercipta. Keseganan yang terlalu tinggi diikuti dengan dinginnya hati akan segera terasa.

            Ada empat elemen yang mewarnai semesta. Api diciptakan untuk menghangatkan. Air diciptakan untuk menyejukkan dahaga maupun raga. Angin diciptakan untuk menyadarkan makhluk hidup bahwa semesta ini bernyawa melalui gerakan. Lalu yang terakhir adalah tanah. Tak usah meremehkan karena tanah berada di bawah dan selalu kau injak. Kalau letaknya di atas, dia bisa longsor dan membuatmu kehilangan nyawa. Lalu, apa yang terjadi setelah kehilangan nyawa? Raga akan menyatu bersama tanah.

            "Tak ada yang sedang berbicara dengan alam," pernyataan Shitaro ditanggapi oleh salah satu muridnya. Hideyoshi Sanada. Tangan kanannya siap mengeluarkan Katana atau pedang dari sarungnya. Di antara para saudara seperguruannya, memang hanya dia dan pasangan duelnya, Sakurako, yang belum menyelesaikan perintah gurunya. Jika dia dapat mengulang waktu, ingin rasanya dia tak memilih Sakurako untuk berduel. Bahkan, dia lebih takut kehilangan Sakurako atau kehilangan nyawanya di tangan Sakurako ketimbang mendapati dirinya kehilangan nyawa di tangan saudara seperguruan lainnya.

            "Aku juga sedang tak bicara dengan alam," Sakurako Tsukumo, gadis samurai yang kini berada di hadapan Hideyoshi turut mengemukakan pendapat. Janganlah kau tertipu dengan namanya! Sakura memang bunga indah berwarna merah jambu yang mungkin tumbuh di pekarangan rumahmu. Jika angin menyapanya, dia akan menari di udara dengan begitu elegan. Janganlah kau tangkap kala dia tengah tertiup terbawa angin! Itu sama saja kau memisahkannya dengan kelopak bunga Sakura lainnya yang tengah berteberangan. Tunggulah sampai dia diam, tergeletak di atas tanah. Baru kau ambil dan sematkan di rambut seorang terkasihmu.

            Akan tetapi, topik yang sedang dibicarakan saat ini bukan Sakura yang merupakan nama bunga, melainkan sorot mata tajam seorang gadis samurai. Usianya memang belum genap tujuh belas tahun, tetapi kepiawaiannya dalam berpedang patut diacungkan jempol. Tusukan yang dia torehkan pada tubuh makhluk hidup di hadapannya mungkin tak terlalu dalam, tetapi darah dan detak jantung seolah tak ingin berkompromi. Cairan merah terus terkuras keluar setelah terkena tusukan Sakurako. Sepertinya, Sakurako dapat memperhitungkan di mana letak pembuluh darah, sehingga tebasannya berturut-turut memuntahkan darah. Jantung pun lupa bagaimana caranya berdetak. Malaikat pencabut nyawa segera menarik ruh. Itu mungkin lebih baik daripada terlalu lama memendam rasa sakit.

            "Ya sudah! Mulailah kalau begitu," Shitaro berbalik dan memasuki gubuknya kembali. Keempat jenazah muridnya hanya dia lirik sepersekian detik. Bukannya dia hilang ingatan jika keempat orang itu begitu dekat dengannya belasan tahun belakangan ini, melainkan menurutnya hidup itu tertuju pada masa depan. Sesuatu yang sudah lewat, tak bernyawa, dan diam saja dalam silam, bukanlah sesuatu yang harus dipertimbangkan.

            Setelah Shitaro memasuki gubuk, keempat murid yang masih hidup memandangi Sakurako dan Hideyoshi. Mereka berpikir apakah pasangan ini akan mengikuti perintah sang guru atau tidak. Mereka berempat tahu betul bagaimana perjalanan kisah Sakura dan Hide. Terkadang kedelapan murid laki-laki Shitaro bertaruh akan mendapatkan kekasih juga seperti halnya Hide. Tak jarang ketika berbelanja bahan makanan dan kebutuhan primer lainnya ke kota, mereka sering tebar pesona kepada beberapa gadis penjual di pasar. Nyatanya, karena tak terlalu sering ke kota juga, hubungan asmara mereka tak sempat terjalin. Mereka saling mengetahui nama saja sudah terbilang untung.

            "Aku benci diriku sendiriiii! HUWAAAA!" si bungsu imut tiba-tiba saja memotong keheningan. Dia refleks menutup wajah dan berlari memasuki hutan. Sepertinya, dia masih belum terima jika beberapa menit lalu, kakak seperguruan tertua yang begitu disayanginya mati bunuh diri di hadapannya. Semuanya dilakukan semata-mata dirinya tak tega membunuh si bungsu yang paling disayanginya.

            "Hinagi!" seru Jin, si murid kembar yang baru saja membunuh kembarannya. Laki-laki kurus berusia dua puluh dua tahun ini merasa setengah jiwa dan raganya sudah tak berfungsi. Entah sugesti atau bagaimana, tetapi ketika kembarannya pergi meninggalkan dunia ini, dia merasa napasnya berat sekali. "Jangan kau lari dari masalah begitu!” mentalnya sendiri sedang kacau, tetapi dia tetap mencoba membuat adik terbungsunya dapat mengendalikan diri. “Cara Takuya tewas bunuh diri pun tak membanggakan untukmu di mata guru! Kau mau lebih mengotori nama baikmu dengan berteriak-teriak seperti anak kecil begitu?!"

            "Aku tak mengerti! Aku tak mengerti!" Hinagi yang masih berusia empat belas tahun tetap mengayunkan langkahnya memasuki hutan. Jerit tangisnya menggema, bersamaan dengan bunyi gesekan semak belukar yang dia terobos. 

            "Yuji! Kejar Hinagi! Jangan sampai dia melakukan hal yang tidak-tidak di hutan!" Perintah Hideyoshi yang sedang dikuasai kekhawatiran tingkat tinggi.

            "He! Tak usah kau menasihatiku! Selesaikan dulu urusanmu! Kami semua menunggu pertarunganmu dengan Sakura!" respons Yuji yang sungguh mengejutkan Hideyoshi. Dalam keseharian, Yuji biasanya menuruti dan cenderung mengagumi Hideyoshi. Hal ini membuat alam bawah sadar Hideyoshi hanya menyuruh Yuji untuk mengejar Hinagi. Padahal, di sebelah mereka masih ada Kazumi dan Jin.

            Akan tetapi, mulai saat ini, kelihatannya rasa simpati dan kekaguman Yuji atas Hideyoshi perlahan memudar. Semuanya sirna. Dia yang sudah menghabisi lawan duelnya lebih dulu dari Hideyoshi merasa posisinya saat ini jauh lebih unggul.

            Jangankan rasa kagum dan simpati Yuji kepada Hideyoshi. Rasa persaudaraan antar mereka pun hilang lantaran duel ini.

Apapun jenis rasa itu.

Seharusnya, cinta juga begitu.

Pada mata berkilatnya, Sakurako memperhatikan Hideyoshi. Lelaki yang begitu dicintainya ini tampak begitu linglung. Dia masih saja membuang pandang kepada Yuji. Dia kelihatannya tak terima dengan perlakuan Yuji yang berbeda dari biasa.

Penilaian dangkal Sakurako atas Hideyoshi yang memikirkan perbedaan sikap Yuji tersebut sesungguhnya membuat alasan Sakurako untuk fokus menghabisi Hideyoshi tercipta. Jika dia membuang perasaan cinta yang bersemayam di hatinya, akan begitu terlihat bahwa Hideyoshi tak sesempurna yang dia pikirkan. Soal kecepatan berpedang, Hideyoshi memang patut diacungkan jempol, tetapi dalam soal menyikapi berbagai hal di sekitarnya, menurut Sakurako, kekasihnya ini mudah terbawa suasana hati. Terkadang, Yuji juga senang memuji cara berpedang Sakurako yang kelewat akurat. Bedanya dengan Hideyoshi, rasanya Sakurako tak masalah jika Yuji jadi berubah sikap saat ini. Memang pujian dan celaan tak berpengaruh bagi hidup Sakurako. Prinsipnya adalah, tokoh utama kehidupannya adalah dirinya sendiri. Dia baik bukan untuk dipuji, melainkan untuk dirinya sendiri. Begitu pula jika dicela. Dia dicela untuk kebaikan dirinya di hari depan. Olokan atau tanggapan negatif orang lain dianggapnya masuk ke lubang telinga kiri dan keluar ke lubang telinga kanan.

"Hide!" merasa yakin dengan apa yang harus dilakukan, Sakurako mulai memasang kuda-kuda. Rambut panjang hitam legamnya berayun-ayun dipermainkan angin. "Yuji benar," ucapnya lirih, "saatnya kita selesaikan pertarungan kita. Semua orang menunggu kita,"

Dalam diam, Hide hanya mampu menatap mata Sakura. Tajam seperti biasa, layaknya ujung pedang yang digenggamnya. Benak rasanya sudah memperkirakan bahwa sepasang mata itu tak akan dilihatnya dalam waktu ke depan. Entah dia yang meninggalkan semesta, atau Sakura.

Hati boleh tak terima saat ini, tetapi tak ada jalan lain yang bisa dilakukan. Air mata tampaknya juga sudah mengering. Begitu juga dengan kenangan akan suatu kebersamaan.

“Hide!” Sakurako kembali mengacaukan lamunan Hide. “Atau jangan-jangan, kau juga mau mati konyol seperti Takuya?”

Mati konyol?

Seperti….

Takuya?

Kedua mata Hide terbelalak ketika hatinya bersuara, mengulang kata-kata yang dilontarkan Sakurako. Sungguh, Hide tak mengerti mengapa pengorbanan Takuya yang tak sampai hati menghunuskan pedangnya untuk Hinagi dianggap sebagai suatu hal yang bodoh.

“Mati….? Konyol?” Hide melontarkan perkataan Sakurako kembali seraya memandangi Takuya yang sudah tewas tengkurap di atas tanah.

“Dilihat dari segi kemampuan berpedang saja, kemampuan berpedang Takuya jauh lebih handal dibandingkan Hinagi,” karena merasa Hide belum memahami maksud Sakurako, gadis itu kembali menerangkan. “Sekarang, kau lihat, Hide! Takuya bunuh diri begitu saja lantaran tidak tega menghabisi Hinagi!” suara Sakurako begitu lantang, “Takuya tak berpikir bahwa perasaan tak teganya pada Hinagi itu justru merugikan empat di antara kita yang nantinya akan berangkat ke Batavia! Hinagi adalah murid paling baru di antara kita bersembilan! Kemampuan berpedangnya saja jauh di bawah kita! Sedangkan Takuya? Kau dan Takuya selalu berganti-gantian menjadi nomor satu dan dua! Jadi, Takuya bunuh diri hanya untuk dirinya sendiri! Dia gantikan kemampuannya dengan seorang Hinagi yang kekanak-kanakan itu?”

Hide menggeleng-gelengkan kepala. Benaknya sebenarnya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Sakurako, tetapi tidak dengan hatinya. Kedua matanya masih melirik Takuya. Dia merasa dapat membayangkan posisi kakak seperguruannya itu. Namun, bukannya Hide membandingkan perasaan yang dimiliki Takuya terhadap Hinagi dengan dirinya terhadap Sakurako, tetapi Hide mungkin bisa menerka perasaan kakak tertua Takuya terhadap adik termuda Hinagi mungkin sama besarnya dengan dirinya, tetapi jika perasaan dirinya terhadap Sakurako?

Perasaan cinta ini?

Perasaan sayang ini?

Hanya Hide yang merasakannya kepada Sakurako.

“Sakurako,” lamunan Hide membawanya terdorong untuk menanyakan sesuatu kepada gadis yang dicintainya ini.

Sakurako mengangkat kepala, memandangi kedua mata lelaki yang sejak dulu, sampai sekarang, atau bahkan nanti, akan dia cintai.

“Apakah….. kau sungguh menilai orang seperti Takuya adalah seorang yang bodoh?” tanya Hideyoshi.

Sakurako hanya membalas pertanyaan Hideyoshi dengan seringai di bibirnya.

“Memangnya? Kau menemukan kata lain selain bodoh untuk menggambarkan apa yang barusan dia lakukan?” tanya Sakurako.

“Kemampuan berpedang Takuya mungkin memang diperlukan di Batavia. Dia mungkin memang harus menang dan seharusnya menang jika hanya berhadapan dengan Hinagi,” terang Hideyoshi, “tapi kemampuan berpedangnya itu adalah milik Takuya. Dia yang berhak memberikan atau tidak. Rasa tak teganya pada Hina melarang kemampuan berpedangnya untuk diberikan kepada perjuangan kita kelak di Batavia. Menurutku, Takuya tidak bodoh. Lebih bodoh lagi, kalau dia menang dalam duel ini, tetapi tak dapat mengeluarkan kemampuan berpedangnya lagi di Batavia lantaran dihantui oleh perasaan bersalah karena menghabisi Hinagi!”

“Hide,” Sakurako berniat memotong ucapan Hideyoshi, “Jika kau ingin hatimu lega, aku memberimu kesempatan jika kau ingin mengikuti jejak Takuya,” angin kembali melambai-lambaikan rambut panjang hitamnya, “meski jika kau lakukan itu, aku akan sama menderitanya seperti Hinagi, yaitu merasa tak terhormat dan pantas untuk diberangkatkan ke Batavia. Aku yakin, Shitaro-sama juga akan memandangku sebelah mata. Akan tetapi,” bibir Sakurako mulai bergetar, “aku tak apa-apa dianggap sebelah mata begitu. Asalkan, kau lega,”

Hide kembali membelalakkan matanya.

Tiba-tiba, Hide merasa ada energi lain yang mulai mendominasikan hatinya. Jenis perasaan ini sepertinya sudah tertanam lama di hati, hanya saja baru bermunculan saat ini.

“Sakurako, apakah…. Apakah kau mencintaiku?” tanya Hide. “A…pakah kau masih mencintaiku?” suaranya bagaikan tertelan sebongkah kekecewaan.

“Apa yang kau harapkan dari jawabanku?” Sakurako bertanya balik. “Perasaan aman? Atau benar-benar peduli dengan perasaan cintaku padamu?”

“Aduh! Kakiku sakit! Sakiiiiit!”

Teriakan Hideyoshi ketika masih kecil dan terjatuh di tengah hutan bertalu-talu di benak.

“Hide! Kau berteriak seperti itu, karena memang benar sakit? Atau marah dengan rasa sakit itu? Atau berharap ada orang yang datang membantumu?”

Pada saat itu, Sakurako yang hanya terpaut satu tahun lebih muda dari Hideyoshi menghampirinya. Di antara guru dan semua saudara seperguruannya, hanya Sakurako yang datang. Sebagai seorang yang mengenal Sakurako, Hideyoshi yang sewaktu itu memeluk kakinya yang berdarah malah berpikir bahwa kehadiran Sakurako di hadapannya bukannya lantaran peduli padanya, tetapi hanya ingin melontarkan pertanyaan yang tidak perlu.

“Kalau tak ingin membantuku, tak usah datang!” Hideyoshi membentak Sakurako.

“Jangan salahkan aku yang datang! Telingaku mendengar teriakanmu! Makanya, aku datang! Suaramu saja yang terlalu besar!” ada saja jawaban yang dilontarkan Sakurako.

“Jadi? Kau menyalahkan suaraku?” Hide paling tidak mengerti dengan saudara seperguruannya yang bernama Sakurako ini, “Memang aku sengaja berteriak agar ada yang membantuku berdiri dari jatuh!”

“Kalau begitu, berteriaklah dengan kata ‘Tolong!’ atau panggilah nama guru dan saudara-saudara seperguruanmu! Yang jelas, siapa yang kau tuju! Kau berteriak asal seperti ini di tengah hutan, malah akan memancing binatang buas untuk mendatangimu,”

“Aduuuuuh,” Hideyoshi kecil hanya meringis. Dia sungguh kesakitan.

“Cepat berteriaklah memanggil namaku, maka, akan kutolong!” Sakurako membungkuk di samping Hide yang mulai lemas karena darah di lututnya semakin banyak keluar.

“Kalau kau sudah berada di hadapanku, bukankah lebih baik aku tak usah berteriak?”

“……,” Sakurako hanya menyunggingkan senyum tipis kala mendengar perkataan Hide. Dia merasa, logika berpikirnya telah berhasil menular pemikiran Hide.

Sejak saat itu, Hide merasa Sakurako memberikan perhatian-perhatian kecil setiap harinya. Karena diberikan setiap hari dan sesering mungkin, perhatian-perhatian kecil itu lama-lama bertumpuk dan membesar. Jangan salahkan Hide jika semakin lama, dia semakin tertarik dengan gadis yang kelihatannya dingin ini. Sakurako ternyata begitu perhatian dan halus. Sampai-sampai, Hide begitu terbiasa jika gadis itu berada di sisinya.

“Hide? Kau sudah siap?” Sakurako membetulkan posisi kuda-kudanya.

Entah sudah berapa kali, lamunan Hide terhenti lantaran suara Sakurako. Semakin berbincang dengan Sakurako, semakin pula Hide merasa banyak memori dan perasaan hati yang seolah membentuk jiwanya yang baru.

“Aku…. sudah… siap,” sedikit membetulkan posisi pedangnya, Hide pada akhirnya mengikuti alur berpikir Sakurako. Dia sendiri merasa harus melakukan hal ini karena dia sadar dengan posisinya. Dia hanyalah seorang murid dari Shitaro. Dari dia kecil, Shitaro adalah orang yang memenuhi kebutuhannya. Jika samurai itu tak menolongnya dalam kebakaran di panti asuhannya, mungkin nasibnya akan sama dengan anak-anak kecil lain di panti asuhan itu, antara mati terbakar atau kalaupun hidup menjadi budak yang dijual oleh pemilik panti asuhan.

“Baguslah kalau kau sudah siap,” Sakurako mengernyitkan dahi. Hembusan angin yang semakin besar seolah memberikan respons kepada keputusan Hideyoshi dan Sakurako untuk menggeser perasaan mereka terlebih dahulu. Semoga mereka berdua mengizinkan angin untuk bereaksi. Hal ini dikarenakan, angin pegunungan ini adalah saksi bisu pertumbuhan kedekatan dan hubungan yang terjalin antara mereka berdua.

***

            Sesungguhnya tak hanya angin pegunungan yang menjadi saksi hubungan Hideyoshi dan Sakurako. Shitaro sang guru sendiri maupun kedelapan saudara seperguruannya juga mengikuti perjalanan cinta antar keduanya. Sebenarnya, tak ada satu pun orang yang tak mendukung hubungan keduanya. Semuanya malah berpikir dan bersyukur karena di tengah keseharian yang sulit, mereka berdua tetap memelihara, bahkan menguatkan cinta mereka.

            “Hey Hide! Berikan bunga musim dingin ini kepada Sakurako!” Jin, salah satu murid Shitaro yang barusan membunuh saudara kembarnya mengingat masa-masa dirinya sering berlatih pedang di pegunungan semasa musim dingin. Lalu, di atas perbukitan sering ditumbuhi bunga musim dingin yang merekah indah. Ketika dia berlatih dengan Sakurako dan Takuya, dia pernah diceritakan Sakurako bahwa dirinya sangat menyukai bunga musim dingin. Sejak saat itu, Jin sering memberikan bunga itu kepada Hide agar diberikan kepada Sakurako.

            “Mengapa tidak kau saja yang memberikannya? Aku kan tak berlatih di puncak gunung?” Hide sempat menolak di awal permintaan.

            “Sakurako pasti tahu kalau hari ini aku yang berlatih di pegunungan dan memetik bunga ini untuknya,” jawab Jin ketika itu, “akan tetapi, bukan hal ini yang penting. Sakurako pasti akan senang sekali jika kau yang memberikannya untuknya,” dia menepuk pundak Hideyoshi, memberikan semangat. Dia juga senang mendukung hubungan keduanya lantaran menjadi suatu warna indah tersendiri dalam keseharian mereka. Bahkan, Hinagi pernah bercanda dengan cara meminta ketujuh kakak laki-laki seperguruannya untuk menjadikannya kekasih, seperti Hideyoshi menjadikan Sakurako. Tujuannya semata-mata untuk menambah warna lain pada perguruan mereka. Lucunya, ketika mendengar kelakar Hinagi saat makan malam, ketujuh kakak laki-laki seperguruannya malah tersedak makanan. 

            Jika peristiwa-peristiwa lucu dan ringan para muridnya bergulir di hadapannya, Shitaro masih saja memamerkan ekspresi wajah datar. Dia sendiri tahu dan mengerti jika urusannya dengan kesepuluh muridnya itu hanyalah ilmu perpedangan. Berkali-kali dia mengandalkan ingatannya untuk mengetahui asal muasal para muridnya dapat akrab dan penuh kekeluargaan satu sama lain. Namun, sepertinya dia tak menemukan jawabannya. Mungkin memang naluri manusia sebagai makhluk sosial yang mendorongnya. Bagi Shitaro sendiri, dirinya dan semesta sudah lebih dari cukup.

            “Takuya, apakah Hideyoshi dan Sakurako mempunyai hubungan khusus?” di antara para muridnya, Shitaro sebenarnya paling sering berbagi cerita dengan murid tertuanya, Takuya Ryubasa. Ketika kesembilan muridnya sudah tertidur pulas di ruangan yang juga menjadi tempat mereka berkumpul dan memasak, tak jarang Shitaro menghampiri dan membangunkan Takuya untuk berbincang di halaman depan. Halaman penuh rerumputan itulah yang pada akhirnya menjadi tempat Takuya mengakhiri hidupnya.

            Lelaki berwajah lonjong dengan tulang pipi menonjol itu bertanya balik kepada gurunya, “Maaf jika aku lancang, Shitaro-Sama,” dia agak menundukkan badannya sedikit, “Apakah kedekatan mereka mengganggu guru atau tak sepatutnya begitu?”

            Lolongan serigala terdengar dari arah hutan. Biasanya jika tengah malam banyak ditemani oleh suara-suara binatang buas seperti ini, maka keesokan paginya akan banyak sekali bangkai binatang jinak di hutan. Biasanya jika malas berburu dan perut sudah lapar sekali, Shitaro dan murid-muridnya mengangkut binatang-binatang tak bernyawa itu. Satu hal yang menarik adalah, sepertinya binatang-binatang jinak itu yang kebanyakan adalah rusa tak tewas karena diterkam serigala. Entahlah ada binatang buas apalagi di dalam hutan. Atau, Shitaro malah merasa bisa juga ada manusia lain yang tinggal di dalam hutan.

            “Aku,” setelah melamun lama, Shitaro menjawab pertanyaan Takuya, “aku tak begitu peduli dengan hal itu,”

Helaan napas Takuya yang panjang mengisyaratkan bahwa dia lega dengan jawaban gurunya, “Kalau begitu, tak ada salahnya jika guru menikahkan mereka,”

Lirikan mata Shitaro begitu tajam ke arah Takuya.

“Ah, maafkan aku, Shitaro-Sama,” Takuya paham jika gurunya kurang nyaman membahas hal pribadi seperti ini.

 Sesungguhnya, di waktu tengah malam itu, Shitaro sudah membocorkan satu petunjuk. Hanya saja, dikira Takuya bukanlah suatu hal yang penting. Sungguh sangat menyesakkan dada. Apalagi mengingat jika Takuya sendiri yang tewas dalam duel sampai mati ini.

“Tak ada rasa yang kekal di dunia ini,” Shitaro menengadahkan kepala, memandangi bulan yang waktu itu berbentuk sabit, “suatu saat, mereka akan tahu bahwa mereka tak harus memeliharanya,”

“Shitaro-sama, ti...dak setuju?” Takuya tampak kecewa. Jika ditanya, dia malah ingin punya keponakan dari Hideyoshi dan Sakurako.

Shitaro masih memandangi bulan, “Aku tak ada urusannya setuju atau tidak, yang jelas adalah,” dia menoleh ke arah Takuya, “mereka berdua harus bisa mengendalikan dan menerima jika suatu saat rasa itu harus…dikesampingkan terlebih dahulu,”    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status