Share

Lima Samurai Batavia
Lima Samurai Batavia
Penulis: Silvarani

Prolog

Nara, Jepang 1939

"Berpasanganlah dua-dua di antara kalian bersepuluh! Sehingga ada lima kelompok di antara kalian!" Pertengahan abad ke-20, di bawah kaki gunung pedalaman Nara, Jepang, seorang lelaki tua memerintahkan kesepuluh murid berpedangnya untuk berpasangan dua-dua.

Kesepuluh murid yang dapat dikatakan sebagai pendekar pedang, atau beberapa abad silam disebut sebagai Samurai itu segera memahami maksud sang guru. Lelaki berambut panjang penuh uban yang sudah dianggap sebagai ayah mereka bersepuluh ini pasti berteriak begini lantaran menyuruh kesepuluh muridnya untuk berburu di hutan. Seperti biasa, jika senja sudah mewarnai langit, kesepuluh anak muda yatim piatu itu harus berebut bahan pangan bersama binatang-binatang buas di semak belukar. Mereka yang senang bertarung demi merebutkan mangsa dengan para binatang itu memang lebih memilih malam untuk beraksi. Sebaliknya, sekitar pagi atau siang hari, mereka biasanya mencari kegiatan yang tak terlalu memacu adrenalin, seperti berkebun dan memancing.

Katana atau pedang Samurai tergenggam di tangan kanan kesepuluh murid. Mereka terdiri dari delapan orang laki-laki dan dua orang perempuan. Karena dari kecil sudah yatim piatu dan hidup bersama sehari-hari, mereka sudah selayaknya saudara satu sama lain di perguruan pedang ini.

"Kakak tertua! Aku berpasangan denganmu, ya?" Si cantik imut yang termuda di antara mereka bersepuluh tentu saja memilih Si kakak laki-laki tertua. Mereka berdua memang begitu dekat meski jarak usia di antara mereka mencapai sepuluh tahun. Setiap pagi, sambil memanggul atau menggendong si bungsu imut di punggung bidangnya, kedua murid tertua dan termuda ini memetik buah di pepohonan tinggi atau membersihkan langit-langit rumah kayu beratap jerami mereka. Memang sudah lebih dari belasan tahun, kesepuluh pendekar berpedang ini tinggal bersama guru mereka di gubuk sederhana kaki gunung.

"Hey! Si Bodoh! Aku berpasangan denganmu, ya?" Di kelompok lainnya, Si murid pedang terbodoh dirangkul tiba-tiba oleh Si murid pedang terceria dan pandai berkelakar. Kalau mereka berdua sudah menyatu, suasana latihan, berburu, atau makan bersama pasti penuh canda tawa. Si ceria selalu membuat lawakan yang membuat Si terbodoh terlihat konyol. Gelak tawa pasti mewarnai ke delapan saudara seperguruan lainnya. Saking konyolnya, si bungsu imut pernah tertawa sampai mengeluarkan air mata dan pegal di tulang pipi. Meski begitu, Si terbodoh tak merasa sakit hati. Dia malah senang karena Si terceria begitu mahir membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian. Memang begini cara mereka bersahabat.

"Pasti aku yang terbaik daripada dirimu!" Dua murid kembar yang selalu merasa ingin menjadi lebih baik satu sama lain dari saudara kandungnya memutuskan untuk berpasangan di dalam duel berpedang ini. Meski saingan, mereka saling menyayangi. Kalau salah satu sakit, yang lainnya pasti jatuh sakit pula. Pernah salah satu di antara mereka terkena bisa ular di semak belukar, entah mengapa di waktu yang bersamaan, kembarannya yang sedang memasak di rumah tiba-tiba saja demam tinggi.

"Aku ingin berpasangan dengan yang tercepat, agar jika menjadi satu tim, kami bisa mengalahkan empat kelompok lainnya. Huahaha," Si murid yang paling lamban dalam soal gerakan pedang dan berlari memilih Si tercepat sebagai pasangan. Persahabatan mereka ini bukan urusan kepentingan semata. Memang aslinya mereka akrab. Mereka berdua sering dihukum sang guru karena sama-sama sering bangun kesiangan. Kalau sudah begitu, kedelapan saudara seperguruannya diperbolehkan untuk menyiramkan air ke wajah mereka berdua.

"Sisanya tinggal Hide dan Sakura! Tak usah ditanya! Mereka malu-malu, tapi ujung-ujungnya pasti memilih untuk berpasangan! Hahahaaaa!" Delapan orang yang sudah layaknya saudara itu meledek Hide dan Sakurako, dua orang murid yang sudah kelihatan sekali merajut cinta selama ini. Hide yang tampan dan ramah begitu mengagumi Sakurako yang cantik dan penyayang binatang. Seminggu sekali, mereka berdua latihan di hutan dengan menyatukan jurus mereka. Kalau mereka berdua sudah bertarung, apik sekali melihat kedua pedang mereka menari. Mereka berdua tak hanya kompak, tetapi chemistry-nya menyentuh hati sekali. Si bungsu imut jadi bermimpi ingin mempunyai kekasih seorang pendekar pedang juga. Sayangnya, tak ada satu pun dari saudara seperguruannya yang menarik perhatiannya.

"SUDAH BERPASANGAN DUA-DUA?" Teriak sang guru menggelegar kepada kesepuluh muridnya. Sorot matanya begitu tajam, serupa dengan pandangan serigala yang senang berkeliaran di hutan kala malam hari. 

"SUDAH GURU!" Teriakan kesepuluh murid begitu mantap, seolah angin pun terbelah di udara. Para pendekar pedang itu tak sabar untuk berburu hewan di hutan.

"HANYA ADA LIMA ORANG YANG AKAN BERANGKAT KE BATAVIA!" seruan sang guru mengundang tanda tanya besar.

"Ba....tavia?" Dahi kesepuluh murid mengerut. Maksudnya apa Batavia? Bukannya saat ini mereka bersepuluh hanya akan latihan berburu hewan di hutan?

"Diperintahkan negara untuk menjadi mata-mata di Batavia! Tetapi hanya lima orang!" Nada bicara sang guru agak berbisik.

Kecenderungan seseorang jika diminta berpasangan dua-dua dari suatu kelompok, pasti mereka memilih orang terdekat. Buktinya saja kesepuluh pendekar pedang ini. Kelima kelompok yang tercipta mengandung persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, bahkan ada pula percintaan.

Hal inilah yang diuji oleh sang guru. Karena dia tahu, di Batavia pasti semuanya akan lebih membahayakan. Harus seorang dengan mental kuat yang berada di sana. Bukanlah seseorang yang tergantung pada hubungan kedekatan. Karena kawan, bisa menjadi lawan.

Di antara sepuluh murid, hanya akan terpilih lima.

Lima orang yang dapat disebut sebagai...

Lima Samurai Batavia.

"Tatap pasangan duel yang kalian pilih!" Seru sang guru. "Karena hanya lima murid yang akan berangkat ke Batavia, jadi....,"

Kesepuluh murid tercenung, menunggu perkataan lanjutan sang guru.

Bersamaan dengan semilir angin bertiup, sang guru berbalik, memunggungi kesepuluh murudnya. Kemudian, bibir keringnya terbuka, "BUNUH!" serunya tegas.

***

"Apa? Bunuh? Bunuh siapa guru?!" Hideyoshi Sanada, salah satu dari sepuluh murid mendadak melotot. Di duel kali ini, dia terlanjur memilih kekasihnya, Sakurako.

"DZING!" Ujung Samurai sang guru tiba-tiba berada di hadapan biji mata Hide.

"Kurasa kau mengerti maksudku!" Sang guru belum menjauhkan Katananya dari Hide. Dia tak sengaja melirik Si Terbodoh. 

Si terbodoh pun menangkap pandangan sang guru. Seketika, ada kekuatan dari dalam raga yang serasa menelisik otak pas-pasannya. Tangan kanannya tiba-tiba bergerak,

Dan...

"AAAAAAKGH!" Kemudian, dalam hitungan detik, Si terbodoh sudah menghunuskan pedang ke dada Si Terceria. Dia tewas dalam hitungan detik. Detakan jantungnya terhenti oleh kejutan maut.

Sang guru menyunggingkan senyum. Menurutnya, kali ini, Si Terbodoh yang paling cepat menangkap perintahnya. Jangan-jangan, selama ini dia bodoh hanya untuk menutupi jati diri aslinya.

jati diri yang berbahaya.

Di antara kesepuluh murid, Hide dan Sakurako tampak yang terlihat paling tak terima dengan perintah gila sang guru ini.

Haruskah cinta turut andil untuk memberontak?

"AAAKGH!" Si kakak laki-laki tertua menusukkan belati ke jantungnya secara tiba-tiba. Karena tak tega melawan Si Imut termuda yang bisa mati di tangannya, dia memilih untuk mengakhiri hidupnya...

"KAKAAAAAK!" Si bungsu imut histeris. Dia tangkap tubuh kakak laki-laki tersayangnya itu. Sudah tak bernyawa ketika mendarat di kedua tangan mungil Si bungsu.

"Kita bertaruuuuuung!" Dua pasangan Si cepat-Si lamban dan Si kembar bertarung dalam isak tangis.

Lalu, bagaimana dengan Hide dan Sakurako?

Mereka berdua masih berdiam diri. Tatapan mereka saling bertemu. Cinta mereka diuji.

Mana yang menang?

Loyalitas atau Cinta?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status