"Ayame-sama adalah mantan seorang Karayuki-san pemilik toko kelontong Banzai di Batavia. Secara tidak langsung, Ayame-sama adalah majikan kalian. Jadi, tolong hormat dan jaga sikap kalian!" Yukiko duduk di samping Takeshi yang mengemudikan mobil. Dia memberikan arahan kepada kelima anak buah barunya yang duduk bersila di belakang bersama beberapa karung beras. Volume suaranya terkadang kalah dengan deru mesin mobil."Apa sebenarnya tujuan manusia itu dilahirkan di muka bumi ini?" Hide mendengar Yuji berbicara sendiri. Tatapan matanya kosong. Badannya tergoncang-goncang ke kiri dan ke kanan, mengikuti gerakan mobil melaju.Mendengar Yuji mengatakan hal aneh, Hide hanya mampu mengernyitkan dahi. Di sisi lain, dia tahu bahwa jika saudara seperguruannya itu mulai berfilosofi yang tidak-tidak, suasana hatinya sebenarnya sedang kalut."Yu...ji," Kazumi memejamkan mata, "bukan saatnya," segala sesuatu yang terjadi dengan begitu cepat di sekitarnya membuatnya merasa bukan saatnya mempertanyaka
Bayangan api dari lilin di atas meja menari-nari di bola mata Ayame yang menyorot tajam. Hide baru sadar bahwa dia pernah memandang lama pandangan mata model begitu di hari-hari lalunya. Sakurako memang tak hanya mewarisi sifat keras kepala kedua orang tuanya, tetapi juga sorot mata tajamnya yang mengandung seribu arti. "Apa kemampuanmu?" Rupanya Ayame masih menunggu jawaban Hina untuk kedelapan kalinya. Nada bicara, gestur badan, dan volume suaranya serupa seperti pada pertanyaan pertama. Tak ada satu penekanan pun. Tak ingin menerima pertanyaan sama untuk kesembilan kalinya, Hina tergerak untuk membuka mulut, "Kemampuanku," dia menoleh Hide. Kakak seperguruannya itu memberikan anggukan sedikit, petunjuk agar tak perlu takut dengan apapun. "Kemampuanku mungkin seperti yang dikatakan oleh Hide," "Apa yang dikatakan Hide?" potong Yukiko, mengantisipasi pertanyaan sama dari Ayame. "A," Hina menurunkan pandangnya sedikit. Ketakutan sungguh menguasai batin, "aku penyanyang saudara-saud
Roda sepeda ontel berhenti berputar. Pemiliknya baru saja menarik rem. Karena agak mendadak, si pengendara sepeda sampai hampir terjatuh dari kendaraannya sendiri. “TIN! TIN! TIN!” di belakang sepeda ontel itu, sebuah mobil VW kodok cokelat tua ikut mengerem mendadak. Kalau saja si pengemudi tak sigap menginjak rem, mungkin si pengendara sepeda ontel di depannya bisa mental ke depan. Suasana pagi kota Batavia sebenarnya tak terlalu riuh. Beberapa polisi pengatur lalu lintas tak pernah terlalu pusing menertibkan para pengguna jalan. Trem yang lewat membelah jalan besar juga jarang bersinggungan dengan pejalan kaki atau pengendara mobil. Belum lagi penjual jamu gendong, penjaja makanan, atau pemusik jalanan. Mulai dari pribumi, warga Asia, bahkan Eropa berdampingan hidup di ibukota Hindia Belanda ini. Akan tetapi, jangan tanya para penduduk luar Batavia yang sering berperang melawan pasukan Hindia Belanda! Mereka memandang Batavia justru sebagai kota yang tak dapat melawan dominasi Hin
“BAHASA BELANDA ITU SUSAH SEKALI!” seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana panjang hitam membatalkan diri untuk menggoreskan pena di atas kertas. Kertas kekuningan itu malah dibuangnya ke ubin tegel kedai kopi milik keluarga kawan satu sekolahnya itu. Di tempat santai inilah, pemuda bernama Fadjar ini sering belajar dan menghafal pelajaran. Kesehariannya memang tak jauh dari meraih ilmu. Maklum, sebagai seorang mahasiswa, kegiatan yang dilakukan memang berkutat dengan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan. Kedai kopi milik keluarga keturunan ningrat Jawa ini jarang sekali sepi pengunjung. Mulai dari orang Eropa berkulit putih, Asia Timur, sampai pribumi kelas menengah ke atas banyak saling berjumpa, berbincang, dan menyedu kopi bersama di tempat ini. Di atas meja dekat pintu masuk kedai, terdapat selebaran media cetak harian yang dapat dibaca para pengunjung sambil menikmati kopi. Tak jarang, pembicaraan pada meja-meja di kedai ini seputar berita hari ini yang tertulis di selebar
Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu. Belum saja para murid Shitaro menanggapi ketukan, rupanya Yukiko dan Takeshi sudah menghampiri para murid Shitaro di gudang halaman belakang. Tampaknya ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan. "Tugas pertama akan segera diberikan," tak ada basa-basi, Yukiko langsung saja sampaikan kepada kelima murid Shitaro, "kurasa kalian sudah rindu menebaskan pedang. Oleh karena itu, kuminta kalian tebaskanlah ke orang-orang Belanda itu. Waktunya bisa tengah malam seperti sekarang." "Singkat kata, bunuh orang-orang Belanda itu di tengah malam!" Takeshi mencoba melanjutkan. “Maksudmu? Membunuh orang-orang Belanda di tengah malam?” Kazumi mengulang kalimat yang dia dengar dengan nada bicara penuh keheranan. “Sebenarnya, kau suruh kami datang ke Batavia ini sebagai pelayan toko atau pembunuh berdarah dingin?” tambah Jin seraya mengernyitkan dahi. WUS! Sekelabat, ujung bilah katana sudah menyentuh kulit leher Jin. Untungnya, hanya menyentuh, belum, dan j
“Kalau kau tak masuk terus karena mengurusi pergerakan kelompok kepemudaanmu itu, aku tak ada alasan lagi untuk mempertahankanmu di sini,” Dokter Barend van Der Sluijs bangkit dari meja kerja di ruangan pengajar senior sekolah STOVIA. Dia meraih pipa dan berbalik untuk melangkah menuju jendela. Tangan kirinya dia sandarkan ke dinding dekat jendela, sedangkan tangan kanannya sibuk memegangi pipa. Di balik kaca matanya, kedua mata Dokter Barend agak menyipit memandang langit biru di luar jendela sana. Terik mentari menembus pandangan, melesak ke retina dan seluruh bagian mata. Dokter Barend memutuskan untuk menutup salah satu jendelanya. “Terang yang berlebihan juga tak terlalu baik,” dia berbicara sendiri, tetapi kedua matanya melirik ke arah Fadjar. “Bisa merusak mata,” Fadjar sedikit mengernyitkan dahi. Dia yakin jika perkataan pengajarnya barusan bukanlah perkataan biasa tanpa makna. Dia segera menoleh ke luar jendela. Daripada memperhatikan terik, dia lebih tertarik mengagumi lang
“Pasti kau yang membunuh Dokter Barend van Der Sluijs, wahai orang sok pintar selaku ketua gerakan pemuda kemerdekaan!” BRUG! Sebuah kepalan keras mendarat di pipi Fadjar. Calon dokter muda itu tersungkur di atas trotoar depan rumah sakit CBZ, tempatnya mengikuti ujian praktek. Menerima pukulan itu, kepalanya langsung sakit. Pandangannya berkunang-kunang. Kawannya sesama pelajar dokter Jawa asal Belanda bernama Michael itu memang berpostur tinggi besar. Fadjar tak terkejut ketika cairan merah keluar dari hidungnya. “Fadjar!” melihat kawan sesama pribuminya dihajar keras oleh Michael, Poernomo segera menghampiri Fadjar dan membantunya bangkit. Priai pemilik kedai kopi di Jalan Kramat ini segera mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya dan memberikannya kepada Fadjar untuk menyeka luka di hidungnya. “A…ku tidak apa-apa,” Fadjar menerima sapu tangan pemberian Poernomo dan mulai menyeka lukanya. Seolah pembuluh darah halusnya di hidung sudah pecah, Fadjar terus saja mimisan. Cai
“Saya tidak menyangka Bung Ketua Fadjar dapat senekad ini bertindak,” ucapan salah seorang peserta rapat organisasi Bapera –Barisan Pemuda Nusantara- menyita perhatian Poernomo yang tengah mempersiapkan agenda rapat organisasi pagi ini di ruang khusus kedai kopinya. Dia sebenarnya tak terlalu aktif berpendapat. Maka dari itu, dia sediakan saja tempat agar tak dituntut harus aktif berpendapat. Dia sudah cukup puas andilnya hanya sekedar penyedia tempat. “Jadi, anda percaya bahwa kematian Dokter Barend ada hubungannya dengan organisasi ini?” Sendja membalikkan pertanyaan salah satu anggota organisasi, mencoba menghindari amukan Fadjar yang dia ketahui bukanlah pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kasus kematian Dokter Barend. “Siapa….lagi?” pemuda yang seorang fotografer media cetak itu mengangkat bahu. “Bodoh jangan dipelihara di kepala! Mana mungkin Fadjar melakukan hal seperti itu kepada orang yang sudah dia anggap sebagai guru maupun ayah kandungnya sendiri!” Sendja menarik