Share

Bab 5 - Penolakan

***

Lumatan demi lumatan terus menghajar bibir ranum Irena sejak beberapa detik lalu. Kedua tangan besar pria itu bertengger manis di pinggang ramping Irena yang punggungnya sudah terdesak ke deretan rak buku. Suasana sepi dan tenang semakin mendukung aksi penuh gairah dua sejoli di ruang kerja pria berdasi itu. "Aku membutuhkanmu Irena," bisik Zen seduktif di sela ciumannya. Irena tertegun seraya kedua tangannya turun skeptis dari leher pria ini, dan pria bernama lengkap Kim Zen itu melepaskan tautan bibir mereka. Mata tajam Zen memandang wajah wanitanya. Menunggu jawaban Irena. 

Untuk kesekian kalinya kalimat serupa menyapa telinga Irena selama enam bulan mereka berpacaran namun selalu dia tolak. Pria itu tak pernah memaksa. Irena sendiri sangat mengerti maksud dari kata-kata itu. 

Bukankah wajar jika mereka melakukannya atas suka sama suka? Tapi selama dua puluh empat tahun hidup, Irena belum pernah tidur dengan pria mana pun. Dia akui kalau Zen adalah cinta pertamanya yang begitu dia puja, tidak hanya dirinya tetapi juga banyak wanita lain ingin berada di posisinya sebagai pacar seorang direktur tampan. Maka telah diputuskan jawaban apa yang akan diberikan kali ini. 

Sementara Irena sibuk mempertimbangkan, kesabaran Zen semakin digoda saat melihat Irena menarik napas seakan siap mengatakan sesuatu, kemudian mengangkat wajah menatapnya. "Maafkan aku. Aku belum bisa," pungkas Irena lirih yang seketika mengubah garis wajah Zen seolah salah dengar. 

"Kenapa kau selalu menolakku? Ini yang ketiga kalinya." Ekspresi setengah tidak percaya terlukis di air muka Zen saat mengatakannya. Lalu sebelah tangan pria itu memegang pinggang kokohnya sambil menatap dengan sorot kecewa. "Kau sudah tidak mencintaiku huh?" lanjutnya. 

"Zen, kau butuh istirahat. Kita bicarakan lagi di akhir minggu, ya." Satu kalimat bernada penolakan halus kembali dilontarkan lidah Irena. Kemudian dia mengambil tas tangannya dan berderap menuju pintu. 

"Aku akan mengantarmu pulang," kata Zen tiba-tiba. Membuat langkah stiletto Irena terhenti. Sejenak dia berbalik. Seketika dia terpegun, dibawah sinar lampu itu, terlihat sekali raut kecewa di wajah lelah Zen. 

"Baiklah," jawab Irena disertai senyuman. Irena tidak tahu alasan menolak bersenggama dengan kekasihnya sendiri. Dia bingung dan tidak mendapatkan jawabannya. Yang selalu ada di benaknya hanyalah Yohan, Adik tiri laki-lakinya yang mengindap gangguan trauma sehingga sangat bergantung kepadanya. 

***

Langkah mereka berhenti ketika tiba di pintu basement. Irena tidak menyangka jika pemuda itu datang ke kantornya. Yohan tampak duduk di atas sepedanya dengan sebelah kaki menopang. "Yohan..." gumam Irena. Ketika itu Zen baru mengetahui rupa seorang adik lelaki yang diceritakan Irena baru-baru ini. Zen perhatikan sekali lagi pemuda bercelana jeans dengan mantel cokelat gelap itu. Jadi, dialah yang telah jahil membalas chat pribadi dirinya dengan Irena? Gara-gara itu hampir membuat Zen salah paham terhadap kekasihnya. Zen ingin marah dan protes atas aksi Yohan yang dianggap jahil dan tak sopan. Tapi, tertahan oleh fakta bahwa Yohan adalah adik laki-laki Irena. Yang itu artinya adalah calon adik iparnya. Zen merasa harus berhubungan baik dengan keluarga Irena. 

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Irena terheran. Karena Yohan tidak mengabarinya akan datang ke kantor. 

"Tentu saja menjemputmu untuk pulang," kata Yohan dengan menekankan kata menjemputmu. Lalu dia melirik sekilas pada Zen. Bukan tatapan ramah. Zen membaca sorot tidak suka dari Yohan kepadanya. Mungkin Irena tidak tahu niat Yohan menjemputnya tiba-tiba seperti ini -sebelumnya belum pernah terjadi. Bahwa Yohan tidak ingin Irena berduaan hanya dengan Zen di luar jam kerja. Benar, seharusnya Irena sudah dalam perjalanan pulang satu jam lalu. Tapi wanita itu asik berduaan dengan kekasihnya di kantor. Yohan ada di sini untuk memotong bayangan negatif di pikirannya tentang mereka. 

"Maaf Zen, aku akan pulang bersama adikku," kata Irena. Entah sudah ke berapa kali Irena menolak ajakannya. Kesabaran Zen diuji. Tapi untuk alasan ini dia memaklumi. Mungkin adiknya sudah menunggu Irena lama, datang jauh-jauh hanya dengan sepeda pula. Zen masih menghargai itu. 

***

Sampai di rumah, Yohan tidak dapat menahan diri untuk menanyakan sesuatu tentang Zen dan hubungannya dengan Irena, sang kakak. "Apa kau berpacaran dengan Zen?" kata Yohan to the point. Kesalahan fatal untuk Yohan karena bertanya demikian di waktu yang kurang tepat. Sebab Irena jadi teringat kembali tentang chat dan kesalahpahaman Zen terhadap dirinya tadi siang. 

Irena yang sedang menuangkan air mineral dingin ke gelas, berhenti sejenak sebelum diminum. Wanita itu berbalik ke arah Yohan. "Jadi benar, yang mengacau itu kau, Yohan?" Mulai terlihat gurat kekesalan di wajah Irena. 

"Akulah yang membalas chat dari Zen. Kupikir kalian hanya berteman. Sejak kapan kalian berpacaran? Kenapa tidak memberitahuku?" Yohan tidak peduli dengan raut masam Irena. Tidak peduli meski tahu wanita itu baru pulang kerja. Dia terus memberondong pertanyaan. Perasaannya merasa terkhianati oleh Irena. Yohan tidak suka jika ternyata Irena menjalin kasih dengan pria lain. 

Irena berusaha sabar dalam menghadapai sikap kekanak-kanakan Yohan. Dia berpikir dengan bijak. Yohan sedang marah. Maka dia sebagai lawan bicara tidak boleh menyahutnya dengan kemarahan juga. Sebagai seorang kakak dan orang dewasa, Irena menghela napas dengan tenang. "Maafkan aku," desau Irena. Irena ingat dulu dirinya pernah berjanji pada Yohan, untuk saling jujur dan tidak boleh ada yang disembunyikan. Tapi Irena melanggar itu. 

"Awalnya kami hanya berteman. Aku tidak tahu kalau dia ternyata menyukaiku. Lalu, aku yang terpesona olehnya pun menerima pernyataan cintanya padaku. Kami sudah berpacaran enam bulan," ungkap Irena dengan berat hati. Irena bisa membayangkan kecewa Yohan kepada dirinya. Selama enam bulan itu dia tidak pernah mengatakan tentang hubungannya bersama Zen, teman sekampus dulu. Sehingga Yohan hanya tahu dirinya dan Zen sebatas teman. Irena bisa memaklumi jika Yohan akan berhenti bicara kepadanya mulai saat ini. 

"Kenapa kau tidak bercerita kepadaku?" geram Yohan. Lalu dia mencengkram lengan atas Irena dengan kuat. "Irena, aku tidak suka Zen! Aku tidak suka lelaki mana pun dekat denganmu! Kau sudah berjanji padaku untuk tetap disisiku! Tapi kini kau sudah menyembunyikannya selama enam bulan? Irena! Katakan apa alasanmu seperti ini padaku!" Yohan tak dapat mengendalikan emosinya. Sorot matanya terluka. Sedangkan Irena hanya bisa menunduk lemas. Dia lelah dan harus meladeni kemarahan Yohan. 

"Aku ingin agar kau terbiasa hidup tanpaku." Irena tak dapat membayangkan bagaimana masa depan mereka nanti. Yohan, sejak dulu sangat bergantung kepadanya. Oh ayolah Irena bukan ibunya. Dia juga punya dunia sendiri. Namun, Yohan membatasi semua itu. Irena punya niat baik, yaitu membantu kesembuhan mental Yohan dengan caranya sendiri agar tidak terlalu mengandalkannya.

"Aku ingin istirahat. Kita bicarakan lain waktu," alih Irena lemas kemudian melengos dari bahu Yohan, dan masuk ke kamar. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status