***
Lumatan demi lumatan terus menghajar bibir ranum Irena sejak beberapa detik lalu. Kedua tangan besar pria itu bertengger manis di pinggang ramping Irena yang punggungnya sudah terdesak ke deretan rak buku. Suasana sepi dan tenang semakin mendukung aksi penuh gairah dua sejoli di ruang kerja pria berdasi itu. "Aku membutuhkanmu Irena," bisik Zen seduktif di sela ciumannya. Irena tertegun seraya kedua tangannya turun skeptis dari leher pria ini, dan pria bernama lengkap Kim Zen itu melepaskan tautan bibir mereka. Mata tajam Zen memandang wajah wanitanya. Menunggu jawaban Irena.
Untuk kesekian kalinya kalimat serupa menyapa telinga Irena selama enam bulan mereka berpacaran namun selalu dia tolak. Pria itu tak pernah memaksa. Irena sendiri sangat mengerti maksud dari kata-kata itu.
Bukankah wajar jika mereka melakukannya atas suka sama suka? Tapi selama dua puluh empat tahun hidup, Irena belum pernah tidur dengan pria mana pun. Dia akui kalau Zen adalah cinta pertamanya yang begitu dia puja, tidak hanya dirinya tetapi juga banyak wanita lain ingin berada di posisinya sebagai pacar seorang direktur tampan. Maka telah diputuskan jawaban apa yang akan diberikan kali ini.
Sementara Irena sibuk mempertimbangkan, kesabaran Zen semakin digoda saat melihat Irena menarik napas seakan siap mengatakan sesuatu, kemudian mengangkat wajah menatapnya. "Maafkan aku. Aku belum bisa," pungkas Irena lirih yang seketika mengubah garis wajah Zen seolah salah dengar.
"Kenapa kau selalu menolakku? Ini yang ketiga kalinya." Ekspresi setengah tidak percaya terlukis di air muka Zen saat mengatakannya. Lalu sebelah tangan pria itu memegang pinggang kokohnya sambil menatap dengan sorot kecewa. "Kau sudah tidak mencintaiku huh?" lanjutnya.
"Zen, kau butuh istirahat. Kita bicarakan lagi di akhir minggu, ya." Satu kalimat bernada penolakan halus kembali dilontarkan lidah Irena. Kemudian dia mengambil tas tangannya dan berderap menuju pintu.
"Aku akan mengantarmu pulang," kata Zen tiba-tiba. Membuat langkah stiletto Irena terhenti. Sejenak dia berbalik. Seketika dia terpegun, dibawah sinar lampu itu, terlihat sekali raut kecewa di wajah lelah Zen.
"Baiklah," jawab Irena disertai senyuman. Irena tidak tahu alasan menolak bersenggama dengan kekasihnya sendiri. Dia bingung dan tidak mendapatkan jawabannya. Yang selalu ada di benaknya hanyalah Yohan, Adik tiri laki-lakinya yang mengindap gangguan trauma sehingga sangat bergantung kepadanya.
***
Langkah mereka berhenti ketika tiba di pintu basement. Irena tidak menyangka jika pemuda itu datang ke kantornya. Yohan tampak duduk di atas sepedanya dengan sebelah kaki menopang. "Yohan..." gumam Irena. Ketika itu Zen baru mengetahui rupa seorang adik lelaki yang diceritakan Irena baru-baru ini. Zen perhatikan sekali lagi pemuda bercelana jeans dengan mantel cokelat gelap itu. Jadi, dialah yang telah jahil membalas chat pribadi dirinya dengan Irena? Gara-gara itu hampir membuat Zen salah paham terhadap kekasihnya. Zen ingin marah dan protes atas aksi Yohan yang dianggap jahil dan tak sopan. Tapi, tertahan oleh fakta bahwa Yohan adalah adik laki-laki Irena. Yang itu artinya adalah calon adik iparnya. Zen merasa harus berhubungan baik dengan keluarga Irena.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Irena terheran. Karena Yohan tidak mengabarinya akan datang ke kantor.
"Tentu saja menjemputmu untuk pulang," kata Yohan dengan menekankan kata menjemputmu. Lalu dia melirik sekilas pada Zen. Bukan tatapan ramah. Zen membaca sorot tidak suka dari Yohan kepadanya. Mungkin Irena tidak tahu niat Yohan menjemputnya tiba-tiba seperti ini -sebelumnya belum pernah terjadi. Bahwa Yohan tidak ingin Irena berduaan hanya dengan Zen di luar jam kerja. Benar, seharusnya Irena sudah dalam perjalanan pulang satu jam lalu. Tapi wanita itu asik berduaan dengan kekasihnya di kantor. Yohan ada di sini untuk memotong bayangan negatif di pikirannya tentang mereka.
"Maaf Zen, aku akan pulang bersama adikku," kata Irena. Entah sudah ke berapa kali Irena menolak ajakannya. Kesabaran Zen diuji. Tapi untuk alasan ini dia memaklumi. Mungkin adiknya sudah menunggu Irena lama, datang jauh-jauh hanya dengan sepeda pula. Zen masih menghargai itu.
***
Sampai di rumah, Yohan tidak dapat menahan diri untuk menanyakan sesuatu tentang Zen dan hubungannya dengan Irena, sang kakak. "Apa kau berpacaran dengan Zen?" kata Yohan to the point. Kesalahan fatal untuk Yohan karena bertanya demikian di waktu yang kurang tepat. Sebab Irena jadi teringat kembali tentang chat dan kesalahpahaman Zen terhadap dirinya tadi siang.
Irena yang sedang menuangkan air mineral dingin ke gelas, berhenti sejenak sebelum diminum. Wanita itu berbalik ke arah Yohan. "Jadi benar, yang mengacau itu kau, Yohan?" Mulai terlihat gurat kekesalan di wajah Irena.
"Akulah yang membalas chat dari Zen. Kupikir kalian hanya berteman. Sejak kapan kalian berpacaran? Kenapa tidak memberitahuku?" Yohan tidak peduli dengan raut masam Irena. Tidak peduli meski tahu wanita itu baru pulang kerja. Dia terus memberondong pertanyaan. Perasaannya merasa terkhianati oleh Irena. Yohan tidak suka jika ternyata Irena menjalin kasih dengan pria lain.
Irena berusaha sabar dalam menghadapai sikap kekanak-kanakan Yohan. Dia berpikir dengan bijak. Yohan sedang marah. Maka dia sebagai lawan bicara tidak boleh menyahutnya dengan kemarahan juga. Sebagai seorang kakak dan orang dewasa, Irena menghela napas dengan tenang. "Maafkan aku," desau Irena. Irena ingat dulu dirinya pernah berjanji pada Yohan, untuk saling jujur dan tidak boleh ada yang disembunyikan. Tapi Irena melanggar itu.
"Awalnya kami hanya berteman. Aku tidak tahu kalau dia ternyata menyukaiku. Lalu, aku yang terpesona olehnya pun menerima pernyataan cintanya padaku. Kami sudah berpacaran enam bulan," ungkap Irena dengan berat hati. Irena bisa membayangkan kecewa Yohan kepada dirinya. Selama enam bulan itu dia tidak pernah mengatakan tentang hubungannya bersama Zen, teman sekampus dulu. Sehingga Yohan hanya tahu dirinya dan Zen sebatas teman. Irena bisa memaklumi jika Yohan akan berhenti bicara kepadanya mulai saat ini.
"Kenapa kau tidak bercerita kepadaku?" geram Yohan. Lalu dia mencengkram lengan atas Irena dengan kuat. "Irena, aku tidak suka Zen! Aku tidak suka lelaki mana pun dekat denganmu! Kau sudah berjanji padaku untuk tetap disisiku! Tapi kini kau sudah menyembunyikannya selama enam bulan? Irena! Katakan apa alasanmu seperti ini padaku!" Yohan tak dapat mengendalikan emosinya. Sorot matanya terluka. Sedangkan Irena hanya bisa menunduk lemas. Dia lelah dan harus meladeni kemarahan Yohan.
"Aku ingin agar kau terbiasa hidup tanpaku." Irena tak dapat membayangkan bagaimana masa depan mereka nanti. Yohan, sejak dulu sangat bergantung kepadanya. Oh ayolah Irena bukan ibunya. Dia juga punya dunia sendiri. Namun, Yohan membatasi semua itu. Irena punya niat baik, yaitu membantu kesembuhan mental Yohan dengan caranya sendiri agar tidak terlalu mengandalkannya.
"Aku ingin istirahat. Kita bicarakan lain waktu," alih Irena lemas kemudian melengos dari bahu Yohan, dan masuk ke kamar.
***Irena tidak bisa tidur dengan nyaman. Pertengkaran dengan Yohan tadi membuatnya gelisah. Rasa lelah bercampur khawatir telah melenyapkan kantuk di matanya. Irena melirik jam digital di atas nakas. Sudah pukul satu dini hari. Irena terkadang berganti posisi tidur, mencari posisi ternyaman, namun tidak juga membuatnya mengantuk. Sebal, Irena bangun. Dia merasa harus minta maaf dengan baik pada Yohan sekarang agar dapat tidur dengan nyenyak.Irena keluar kamar. Suasana ruang tengah tidak berubah. Namun dia tidak mendapati tanda-tanda kehadiran Yohan di tengah keheningan ini. Irena mencoba membuka pintu kamarnya yang berada tepat di seberang. Kamar itu kosong. Jika benar kini Yohan pergi dari rumah, maka Irena tidak suka seperti ini. Ada rasa khawatir di dalam benak Irena sekarang. "Yohan!" teriaknya cemas.Di sini Irena tahu dirinya sumber pertengkaran mereka semalam. Irena sadar bahwa dia salah. Merasa bersalah, dan dia perlu minta maaf pada Yohan lal
***Irena mengecek jam tangannya. Hari kian sore, dan dia merasa melupakan sesuatu yang penting. Kemudian dia mendapat pesan singkat dari Zen. 'Sayang, malam ini kau akan hadir kan di acara reuni? Kayla juga akan ikut. Kita bertemu di basement jika kau setuju.' Sebuah ajakan yang menggiurkan bagi Irena. Sudah lama mereka tidak bertemu lagi setelah LDR itu. Irena merasa tak ingin menyianyiakan kesempatan. Lantas, tak mengulur waktu lagi, dia merapikan meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir di pukul lima sore.Menoleh ke samping, meja kerja Kayla berantakan. Wanita itu belum menandakan akan mengakhiri pekerjaannya. "Kudengar kau akan pergi malam ini," celetuk Irena."Huh? Ya. Tapi mungkin aku akan datang terlambat karena harus menyelesaikan semua berkas ini. Tanggung sekali jika kutinggalkan," sahut Kayla sambil sibuk mengetik dengan cepat di keyboard."Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di acara reuni," pamit Irena. Beranjak dari tempat
***Yohan berhenti di depan gedung klub. Dia memastikan sekali lagi arah GPS-nya. Benar, titik tempat Irena berada ada di dalam gedung ini. Kemudian dia masuk ke dalam klub tanpa hambatan karena sudah cukup umur. Di tengah hingar-bingar klub malam, mata Yohan harus mencari dengan jeli sosok Irena di sini. Menaiki tangga, Yohan pikir akan lebih mudah jika dia memperhatikan ke bawah dari lantai atas.Ketika baru saja dia tiba di anak tangga teratas, pintu di depan itu terbuka dan seorang pria yang tampak dikenalinya keluar, melengos ke jalur lain. Zen! Dengan penasaran Yohan mengikuti jejak Zen. Hingga dia dihadapkan oleh dua lorong remang-remang sementara Zen entah lewat jalur mana. Yohan jadi bingung, kehilangan jejaknya. Pada akhirnya dia memilih jalur kiri. Baru separuh jalan langkahnya terhenti seketika. Tepat di depannya pintu toilet wanita itu terbuka dan menampakkan Irena keluar dari sana. Sedetik setelahnya, Zen menyusul keluar dari tempat yang sa
***Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena."Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya."Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi."Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sam
***Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
***Flashback.Irena berlari di bandara disusul Yohan. Dia berhenti di depan papan pengumuman yang sudah didesaki orang-orang. Irena gelisah dan menyelinap paksa hingga tiba di depan papan. Daftar nama yang tertera di papan, dia mencari nama orang tuanya. Irena tercengang. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Yohan baru tiba di sampingnya, dan cekatan menangkap Irena yang limbung. "Irena!" kagetnya."Yohan, ini tidak mungkin kan?" lirih Irena lemas. Yohan kemudian mengarahkan pandangan ke papan nama penumpang. Seperti yang ditakutkan Irena, nama orang tuanya terdaftar dalam peristiwa kecelakaan pesawat hari ini. Yohan lebih tegar dari Irena. Jadi dia menuntun Irena menjauh dari kerumunan dan didudukkan ke salah satu kursi tunggu. Memberikan Irena air mineral agar tenang. "Minumlah dulu," ujar Yohan menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah dibuka.Irena meraihnya dengan tanpa te
***Kedua kelopak mata Irena bergerak membuka. Seperti biasanya, pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur, Yohan. Irena terdiam sejenak. Sejak kapan Yohan tidur di sampingnya? Irena tak ingat semalam Yohan tidur bersamanya. Diperhatikannya sekali lagi. Wajah yang sering menampakan kecemburuan itu kelihatan tenang seperti bayi tidur. Irena tersenyum lembut. Dapat dia rasakan dekapan lengan kokoh Yohan di pinggang. Yohan memeluknya sambil berbaring miring.Tiba-tiba Irena teringat percakapan mereka semalam. Yohan menanyakan apakah dirinya sudah pernah tidur dengan Zen? Irena tentu saja menjawabnya dengan jujur. Bahwa dia belum pernah tidur bersama Zen. Setelahnya, Yohan bersemringah. Membuat Irena mengeryit heran melihat reaksinya.Diingatkan dengan jadwal kerja, Irena hendak bangun dengan memindahkan perlahan lengan Yohan dari pinggangnya. Pada saat yang sama suara lenguhan terdengar seiring mata Yohan terbuka pelan. "Kau sudah bangun?" s
***Liliana mengikuti diam-diam punggung Yohan dari kejauhan tiga meter. Dia ingin tahu mau ke mana lelaki itu akan pergi setiap selesai kelas. Liliana sadar kalau dirinya kurang kerjaan mengikuti orang lain seperti saat ini. Yah memang dia tidak punya kesibukan. Oleh sebab itu membuntutinya menjadi kegiatan sibuk baginya. Ketika tiba ditikungan, Liliana mengerjap kaget. "Hilang?" Lalu dia berlari kecil dan berhenti di perempatan tikungan gang perumahan. "Pergi ke arah mana dia?" gumam Liliana celingukan."Hey, wanita~" Suara pria terdengar dari arah belakang. Liliana tersentak berbalik. Dapat dia lihat lima pria dengan penampilan sangar membuat jantungnya berdetak takut. "Mau apa kalian?" kata Liliana waspada. Mereka bergerak maju, dan Liliana menarik langkah mundur. Siapa yang tahu niat mereka? Yang pasti dia harus pergi dari jangkauan mereka sekarang. Setidaknya berada di tempat yang ramai maka akan aman. Sementara tempat ini sep