Share

Mysterious thing

Berawal dari persahabatan kedua orang tua mereka, mereka bertemu sepuluh tahun lalu. Saat pria itu baru di adopsi oleh pasangan Quin. Kala itu Edward dan Alice masih berumur sebelas tahun. 

Mereka mulai akrab, menjadi sahabat tidak terpisahkan, hingga Alice memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Edward saat mereka duduk di bangku sekolah menengah.

Tentu saja Edward juga mencintai Alice, kalau tidak pemuda itu tidak mungkin menerima perasaan si gadis manis enam tahun lalu. Hanya saja pria itu masih ingin berfokus pada studinya. Ia ingin memberikan hasil memuaskan untuk  membanggakan orang tua yang telah membesarkan juga merawatnya sejak kecil. Karena, ia hanya anak hasil adopsi, ia merasa punya kewajiban untuk membalas semua kebaikan orang tua angkatnya ini.

"Bagaimana acara tadi sore? Lancar?" Alice kembali memulai obrolan.

"Semua lancar. Calon istri Ayahku sangat baik dan aku yakin dia bisa membahagiakan Ayahku."

Ketika mengucapkan kalimat barusan mau tak mau Edward juga ikut mengingat wajah pucat gadis remaja itu. Rosie Wilkins. Mata kecil berwarna hazel yang bening miliknya. Hidung mancung tapi mungil yang selalu dia gosok sekilas setelah bicara. Bibir merah muda ranum yang dengan sembunyi-sembunyi menyunggingkan seringai misterius. Ada sesuatu tentang Rosie yang menarik bagi Edward.

"Syukurlah. Aku hanya khawatir kau merasa tidak nyaman dengan calon ibu tirimu."

"Ah, tidak begitu. Bibi Eliza baik dan tulus. Aku senang Ayah menemukan orang yang bisa membuatnya bahagia lagi. Oh, iya. Bibi Eliza juga memiliki seorang anak. Anak perempuan."

"Benarkah? Berapa umurnya?"

"Sekitar tujuh belas tahun."

''Wah! Sekarang kau memiliki adik perempuan. Akhirnya kau menjadi seorang kakak."

"Ngomong-ngomong soal itu. Aku jadi ingat ingin menjagamu bertemu bersama Rosie juga. Ayah bilang kau juga harus akrab dengan Rosie."

"Tentu. Aku memang harus akrab dengan calon adik ipar, bukan? Kapan kita bertemu bersama? Besok?" Entah kenapa Alice sangat bersemangat. Yah, gadis itu memang selalu seperti itu. Ceria, penuh senyum, dan ramah pada siapapun. Itu salah satu sebab Edward mencintai Alice.

"Ah, tidak besok juga, Alice. Kau sudah rindu ya dengan aku? Padahal kita belum lama bertemu tadi siang," goda Edward seraya menyembunyikan kekehannya.

''Iya. Iya, Edward Quin. Aku memang sudah ingin bertemu denganmu, padahal setiap hari kita bertemu di kampus. Bagaimana, kau puas Tuan Edward yang terhormat?" Edward bisa membayangkan bibir sang kekasih yang mencebik imut saat ini. Dia pun tak bisa lagi menahan gelak tawa karena perilaku menggemaskan kekasihnya itu.

"Puas Sekali, Nyonya Alice. You're too

cute that's why I love you, Alice."

"Love you too, Edward Quin. And miss you too."

"Besok aku akan ke rumahmu."

"Hah?!"

"Hey, kau bilang ingin bertemu denganku. Besok aku ke rumah. Sekalian bertemu dengan orang tuamu. Sudah lama tidak mengobrol dengan mereka."

Kebanyakan orang mengira hanya Alice saja yang sungguh-sungguh serius menjalankan hubungan ini. Karena lebih sering Alice mengambil inisiatif duluan. Namun, sebenarnya Edward juga suka menunjukkan perhatiannya dengan hal-hal kecil. Seperti sekarang, dari pada membalas dengan omongan, Edward lebih suka langsung bertindak.

"Oke. Aku tunggu."

"Baiklah, sudah malam. Tidur sana."

Akhirnya Alice menguap setelah menahannya sejak tadi. Ia takut Edward akan langsung menyuruhnya tidur kalau tahu Alice sudah mengantuk. Gadis itu masih ingin mendengar suara kekasihnya meskipun sudah hafal setiap nada dan intonasi pada vokal khas Edward. Alice tidak pernah puas akan kekasihnya.

"Selamat malam."

"Malam. Mimpi Indah."

Alice terkikik sekali lagi mendengar betapa hangat dan cheesy seorang Edward. 

"Kau juga. Bye."

"Bye."

***

"Rosie, Ibu ingin pergi dulu. Ada makanan di kulkas. Kalau kau lapar tinggal panaskan saja, ya. Jaga rumah baik-baik dan jangan nakal, sayangku." Teriakan Eliza Wilkins dari depan pintu utama bisa didengar Rosie dari kamarnya.

"Iya, Bu. Hati-hati di jalan. Pulang cepat." Balas Rosie juga berteriak. Tidak sedikitpun mengubah posisi tengkurap, sambil mengetik pesan untuk sahabatnya, Claire dan Annette.

Suara pintu depan dibanting menutup

sebagai tanda bagi Rosie kalau ibunya

sudah pergi kerja. Hari ini hari sabtu. Tapi, ibunya masih harus masuk kantor dan pulang larut malam. Rosie sudah biasa akan hal itu. Dia sudah tebiasa mengurus dirinya sejak kecil.

Eliza Wilkins adalah orang tua tunggal. Jangan tanya kemana ayah Rosie karena dia pun tidak tau di mana bedebah itu. Ibu dan Ayah Youngjae tidak pernah menikah membuat wanita itu harus banting tulang ekstra keras untuk menafkahi dirinya dan anaknya.

Claire

lbumu sudah pergi?

Hm, ada apa?

Claire

Pulang malam seperti biasa?

Ya. Ada apa? Ada kerjaan?

Claire

Kau tahu saja.

Seperti biasa?

Claire

Tentu saja. Nanti aku jemput.

Di mana Annette?

Claier

Dia biar aku saja yang atur. Kau tenang saja.

Kerja bagus.

Claire

Ah, omong-omong bagaimana acara

kemarin? Yang aku dengar, calon Ayah tirimu orang berada? Ah, kau mendadak banyak uang.

Ya, seperti itulah. Dia yang memiliki perusahaan manufaktur yang berada di pusat kota. 

Claire

Kau beruntung sekali. Jadi, Ibumu tidak perlu bekerja lagi. Dan, kau juga bisa berhenti bekerja nantinya.

Ah, aku tidak tahu. Kau kan tahu kita tidak bisa langsung percaya dengan orang baru, Claire. Asalkan Ibuku bahagia aku sudah puas. Masalah dia orang berada atau tidak itu urusan kesekian. Tapi ya..

Claire

Tapi? Tapi, kenapa?

Anaknya itu lhoo..

Claire

Siapa?

Edward Quin.

Claire

Kenapa? Dia seorang bedebah? Apa dia tidak suka padamu dan Ibumu?

Bukan. Hanya saja aku merasa orang itu menyebalkan.

Claire

Menyebalkan bagaimana yang kau maksud? Ah, coba ceritakan padaku.

Nanti saja, aku akan cerita jika kita bertemu sekaligus dengan Annette. Aku ingin mandi dulu.

Claire

Baiklah. Aku akan menjemputmu jam sepuluh.

Baiklah. Sampai jumpa nanti.

***

Satu minggu kemudian akhirnya malapetaka itu tiba juga. Rencananya hari ini Edward, Alice, dan Rosie akan bertemu untuk fitting baju yang akan mereka pakai diacara pernikahan Eliza dan  sepuluh hari lagi. 

Butik yang menjadi langganan keluarga Quin baru buka pukul sebelas siang, tapi Alice memaksa untuk bertemu dengan Rosie lebih pagi agar mereka bisa sarapan bersama sebelum fitting.

Mobil Edward berhenti di depan apartemen Rosie. Satu menit. Dua menit. Lima menit berlalu tapi Rosie tak kunjung muncul. Apartemen itu letaknya di kawasan padat penduduk jadi banyak mobil lain yang lalu lalang, mobil Edward berkali-kali diklakson karena berhenti di pinggir jalan sembarangan.

Padahal pemuda itu sudah bilang kalau dia tidak bisa parkir terlalu lama karena pasti akan mengganggu pengendara lain, makanya Edward meminta Rosie untuk turun sebelum pukul sepuluh, waktu janjian mereka.

Tapi, sampai setengah sebelas siang gadis itu belum muncul batang hidungnya. Edward sudah berkali-kali mengitari apartemen seraya menggerutu kesal.

"Sabar, Edward. Mungkin terjadi sesuatu yang mmebuat Rosie telat."  ucap Alice mencoba meredakan emosi sang kekasih.

"Tapi, dia seharusnya kan bisa mengirim pesan atau telpon padaky untuk memberi kabar." Gerutu Edward masih menatap pintu keluar apartemen dengan kesal.

Akhirnya sosok yang ditunggu muncul juga. Berjalan santai keluar dari apartemen dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Masuk ke kursi belakang tanpa menyapa kedua orang yang sudah menunggunya seperti orang bodoh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status