"Bisa-bisanya sepagi ini sudah membuat pacarmu menangis sampai seperti itu!" bentak perempuan itu sambil terus menatap Mark dengan mata yang besar. "Bukan begitu, kami cuma...," Mark memotong kalimatnya setelah melihat kepala bus yang akan ia dan Thea naiki sudah terlihat. Dengan secepat kilat Mark melepaskan peluka Thea dan menyeka air mata yang melumuri wajah gadis itu dengan ujung bawah bajunya. "Ayo bersiap, bus kita sudah datang. Berhenti menangis, ya?" minta Mark sambil menatap mata merah Thea. Gadis itu mengangguk. Tangisannya berhenti bertepatan dengan bus yang juga tiba tepat di depan halte.Mark menggenggam tangan Thea dan mereka naik bersama ke atas bus. Mark merasa beruntung karena perempuan yang salah paham tadi tidak menaiki bus yang sama dengannya dan Thea. Meskipun hingga akhir mata perempuan paruh baya itu memelototi Mark yang sudah berada di atas bus. Mereka memilih dua kursi di bagian kiri belakang untuk duduk. Mark memberikan tempat duduk di sebelah kaca kepad
"Ternyata kota ini sudah banyak berubah, ya."Dua lembar keripik kentang masuk ke dalam mulut Mark dan rasa gurih langsung menyebar ke seluruh sudut mulutnya. Saliva terproduksi cukup banyak akibat rasa yang kuat dari keripik kentang tadi.Dengan mata yang menyipit akibat rasa asin yang menyerang mulut, Mark memberikan jawaban. "Benarkah? Bagiku tetap sama saja.""Bukankah itu sudah sangat jelas? Kamu tidak pernah pergi dari sini," ujar Thea."Begitukah? Hehehe...."Mark menyerahkan satu bungkus keripik kentang yang baru ia makan dua atau tiga lembar kepada Thea. Pemuda itu mengambil makanan lainnya dari dalam kantong plastik dan pilihannya jatuh pada satu kardus kecil biskuit berisi selai cokelat.Setelah keripik kentang sampai di tangannya, Thea kembali memastikan kepada Mark dengan bertanya, "Kamu sudah tidak mau ini?" Mark menggeleng. Seleranya tidak pernah berubah sejak kecil. Camilan manis akan selalu menjadi kesukaannya."KJalau kamu tahu tidak akan menghabiskannya lalu kenapa
Cemas. Hanya satu kata itu yang terus menggelayuti pikiran Antonio sejak sampai di apartemennya hingga saat ini. Pertemuan yang dijadwalkan pukul delapan pagi nyatanya belum juga dimulai hingga matahari sudah hampir sampai di puncak kepala. Sang pembuat janji tidak kunjung datang meski keterlambatannya sudah mencapai ratusan menit. Panggilan seluler yang ia lakukan kepada sang putri semata wayang juga tidak kunjung berhasil. "Ada apa dengan orang-orang hari ini?" resah Antonio. Ruangan kecil dengan pencahayaan redup dan lembab membuat laki-laki berusia kepala lima itu semakin kehilangan kenyamanan. Tidak ada satu menit pun yang dihabiskan Antonio dengan hanya berdiam diri. Mondar-mandir kesana kemari, menarik dan membuang napas secara kasar, duduk dengan kaki yang terus bergerak, tangan yang kerap berkutat dengan telepon genggam, dan otak yang dipenuhi dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Hampir seluruh bagian tubuhnya sungguh bekerja dengan sangat keras hari itu. Di tengah kegundahan
Salah seorang pramusaji menghampiri meja Thea dengan sebuah nampan yang penuh dengan makanan dan minuman. "Permisi, pesanan atas nama Theana?" "Oh? Ah... iya, betul," jawab Thea sedikit terbata-bata.Thea melihat isi nampan yang begitu banyak hingga sedikit ruangan yang tersisa. Ia berpikir, pasti itu pesanan dari beberapa meja."Satu kentang goreng ukuran besar, satu burger dengan ekstra keju dan tanpa tomat, satu pasta," ucap sang pramusaji sembari menurunkan satu demi satu piring dari nampan yang ia bawa. "dan satu lemonade. Pesanan lainnya masih kami buat, mohon ditunggu," pungkasnya setelah mengosongkan nampan.Mata Thea masih terheran-heran melihat meja yang tadinya hanya diduduki oleh dua gelas kini tiba-tiba penuh."Masih ada lagi?" tanya Thea kepada pramusaji perempuan di depannya."Iya. Yang belum datang... ada iced lemongrass tea, chocolate ice cream cake dan hot lava," papar sang pramusaji sambil mengecek daftar pesanan yang tertera pada kertas nota di tangannya.Mark mun
Thea membungkus tubuhnya dengan selimut hingga menyisakan bagian kepala saja. Beberapa saat yang lalu ia telah memutuskan untuk mengakhiri liburan singkat di kota kelahirannya besok. Satu hari lebih cepat dari rencana awal. Oleh karena itu, ia harus segera tidur agar tidak terlambat esok hari.Ponselnya bergetar. Padahal baru beberapa detik saja ia memejamkan mata. Mark. Nama itu tertera di layar ponsel Thea. "Halo?" "Kakak sudah tidur?" tanya Mark."Aku masih mengangkat telpon dari kamu. Menurutmu aku sudah tidur atau belum?" Thea mendengus."Itu... aku ada di depan pintu. Boleh Kakak buka sebentar?"Thea melonjak dari rebahnya. "Sedang apa kamu di depan?"Thea menghentakkan kakinya cukup keras ketika berjalan menuju pintu depan untuk menyambut kedatangan Mark yang tidak diduga.Dengan saluran telepon yang masih terhubung, Thea melihat Mark berdiri di depan pintu. Ponsel mereka masih sama-sama menempel di telinga masing-masing."Aku butuh bantuan Kakak, hehehe," Mark meringis.Thea
Terhitung sudah dua batang rokok yang habis dihisap oleh Antonio. Angin meniup asap rokok yang Antonio hembuskan ke luar jendela kembali masuk dan mengisi ruangan. Bahkan Lucas yang sedari tadi hanya duduk turut terkena aroma khas dari asap itu. Mereka mudah menempel di baju.Antonio menekan ujung rokok yang masih membara hingga sinar merah dari sana hilang kemudian membalikkan badan. "Ayo pulang sekarang. Tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan lagi malam ini, kan?" ucap Antonio kepada Lucas.Lucas berdiri dan memberi jawaban, "Iya, Pak. Mari pulang."Antonio dan Lucas meninggalkan ruangan tempat mereka menikmati minuman serta rokok—hanya Antonio—untuk pulang. Ada ratusan anak tangga yang harus dilalui dari lantai lima hingga dasar. Elevator sudah tidak beroperasi di atas pukul sepuluh malam."Berapa usiamu sekarang?" tanya Antonio ketika mereka telah turun dua lantai dari tempat mereka berangkat pulang."Dua bulan lagi saya akan berumur 29 tahun.""Yang benar? Seingatku kamu mas
"Aku akan bantu selagi kau dan ibumu mau dibantu. Jadi berusahalah agar ibumu mau aku bantu. itu saja." Lucas berjalan ke dapur. Ia memasukkan dua sendok kecil bubuk kopi ke dalam cangkir dan menuangkan air panas di dalam cangkir yang sama. Setelah diaduk hingga airnya berubah menjadi hitam pekat, Lucas membawa secangkir kopi dan satu toples gula ke ruang tamu. Minuman yang ia buat untuk menjamu serang laki-laki yang bahkan belum ia kethui namanya. "Paman bisa memberikan gula sesuai selera Paman," kata Lucas. "Masukkan seujung sendok kecil saja. Aku minta tolong, Lucas." Lucas terkejut. Bagaimana bisa pria itu tahu namanya? Antonio menunjuk salah satu foto berbingkai yang mengabadikan seorang bayi laki-laki yang baru lahir. Di bagian paling bawah foto tertulis nama yang diberikan kepada bayi laki-laki itu. "Ah, iya," Lucas bernapas lega. Lucas memasukkan gula ke dalam cangkir berisi kopi dengan takaran telah diberitahu oleh Antonio sebelumnya kemudian mengaduknya dengan sendok
Terhitung hanya ada dua mobil yang melintas sepanjang Antonio menempuh perjalanan menuju apartemennya. "Terima kasih sudah menemani makan malam saya," ucap Juan yang sedari tadi berjalan di belakang Antonio.Antonio menoleh ke sumber suara. Berkat lelaki yang berusia jauh di bawahnya itu Antonio mendapatkan oleh-oleh wajah yang lebam sebelum pulang.Penutupan hari buruk yang sempurna. Saking sempurnanya keburukan yang menimpa Antonio, setidaknya tiga jam waktu tambahan harus diberikan setelah waktu pada hari itu habis. Juan memperbesar langkahnya untuk memangkas jaraknya dengan Antonio demi menyampaikan pesan terakhir sebelum mereka berpisah. "Semoga Tuan bisa beristirahat dengan lebih nyaman dan lama. Saya anggap makan malam tadi adalah pertemuan pengganti untuk agenda kita pagi ini," kata Juan tepat di telinga kiri Antonio."Iya," jawab Antonio singkat."Tersenyumlah sedikit, Tuan. Bukankah hari ini Anda akan menyambut kepulangan putri tercinta Anda?" Juan tersenyum.Sekali lagi,