"Jangan bicara omong kosong! Harusnya dia sendiri yang bilang begitu, bukan kamu," cetus Lilly.Lucas tersenyum dan berkata, "Iya, baiklah."Lilly segera melonggarkan pelukannya. "Segera mandi, makan lalu tidurlah. Jangan sampai kamu sakit."Lucas menurut. Ia segera menjalankan perintah ibunya—mandi.Sementara Lilly kembali ke dapur untuk mempersiapkan hidangan pagi yang seharusnya ia hidangkan dua jam lagi.Lucas keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah kuyup leher dan bahunya ikut basah terkena tetesan air yang terjun dari rambutnya."Lihat, lantainya jadi basah karena kamu tidak mengeringkan rambut dengan benar!"Ternyata ada yang masih tidak berubah meskipun dua puluh tahun sudah berlalu.***"Hei! Keringkan dulu badan kalian dengan handuk sebelum berjalan kemari," suruh Lilly. "lihat lantainya jadi basah karena kalian tidak mengeringkan rambut dan tubuh dengan beenar!" seru Lilly lagi. Lucas menatap ayahnya kemudian mereka sama-sama tersenyum dengan wajah bersalah.
Setelah melewati malam yang menegangkan, Lukas memutuskan untuk mulai memperbaiki kualitas hubungannya lagi. Bukan dengan Lilly, melainkan dengan Lucas putranya.Pasangan suami istri itu bersandiwara dengan begitu hebat di depan Lucas. Tersenyum dan saling bertegur sapa seperti hari-hari sebelum badai menyerang. Juga memberikan kecupan satu sama lain seperti sepasang kekasih baru yang tidak pernah mengenal pertengkaran.Beberapa hari berlalu seperti biasa. Bedanya hanya Lilly dan Lukas yang saling diam kecuali Lucas sedang berada bersama mereka."Lucas, kamu sudah memasukkan bahan kerajinan tangan yang telah disiapkan semalam?" tanya Lilly yang berteriak dari dapur. Ia tengah sibuk menyiapkan dua bekal untuk suami dan anaknya."Sudah, Ma.""Papa berangkat dulu, Sayang. Semoga sekolahmu hari ini menyenangkan," Lukas berpamitan kemudian mencium kening Lucas."Tolong berhenti mencium aku, Papa! Aku sudah besar dan tidak ada teman laki-laki sekelasku yang mendapatkan ciuman setiap pagi da
Acara kelulusan berjalan dengan meriah. Berbanding lurus dengan riuh kegembiraan dari para siswa dan orang tua mereka.Meskipun Lilly telah memberi tahu bahwa Lukas tidak akan datang, Lucas masih terus menatap bangku kosong di samping ibunya. Acara hampir berakhir namun kursi itu tetap kosong. Lucas sempat tertipu ketika tiba-tiba saja kursi itu diduduki oleh seseorang. Sayang, dia bukanlah yang Lucas nantikan. Melainkan orang tua dari siswa lain yang menyapa Lilly. Acara sudah benar-benar resmi ditutup dan para orang tua menghambur dari kursi tamu menuju anak mereka, termasuk Lilly."Selamat, Sayang. Kamu lulus dengan nilai yang sangat memuaskan!" puji Lilly yang kemudian memeluk Lucas dengan erat.Sesekali Lilly juga menyapa dan berbasa-basi dengan orang tua serta siswa lainnya. Terlebih teman-teman yang sering bermain dengan Lucas.Lucas tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak kecewa meskipun Lukas tidak datang. Ia tid
"Sekali lagi terima kasih banyak," kata Lilly yang akhirnya menerima pemberian laki-laki di depannya.Lukas terus berkata di dalam hati bahwa mereka hanyalah teman. Hanya teman. Tidak ada hal lain yang perlu dicemaskan. Hanya teman. Hanya teman. Lelaki itu pergi dengan sebuah mobil. Lukas menunggu mobil itu telah benar-benar jauh dan Lilly telah masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan keberadaan Lilly di dalam rumah, Lukas segera menyiapkan kue dan lilin di tempat ia bersembunyi sejak tadi. Karena tidak memerhatikan posisi kotak kue, Lukas membuat kue di dalam kotak menjadi sedikit penyok pada satu sisi. "Bagaimana ini," Lukas panik. Ia berusaha memperbaiki bentuk kuenya, tapi tidak berhasil. Pada akhirnya Lukas terpaksa membawa sebuah kue yang sedikit rusak ke dalam rumah. Lukas mulai melewati area pekarangan rumah, berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas, kemudian membuka pelan pintu rumahnya. Suara pintu yang terbuka membuat Lilly mendatanginya."Siapa yang...."
Sebatang rokok utuh sudah bertengger di mulut Antonio hampir lima menit. Manik mata lelaki itu menerawang ke langit-langit, sementara pikirannya melayang menuju masa lalunya. Sebuah rutinitas membosankan yang telah ia lakukan selama belasan tahun, terhitung sejak wanitanya tiada.Hawa di dalam ruangan itupun selalu sama. Lengang dan redup. Tidak banyak barang di sana. Bukan apa-apa, empunya memang tidak punya banyak barang untuk disimpan. Hal itu akan mempermudah Antonio ketika harus berpindah tempat tinggal dengan cepat dan efisien.Di sudut lain, gadis berambut hitam panjang terlihat sibuk dengan ponselnya. Sorot cahaya dari benda kotak itu mengenai wajah lesu Thea, gadis tadi."Jadi, Papa belum juga keluar dari penjerat itu?" suara parau milik Thea memecah kesunyian subuh hari itu."Kamu mendapatkan teror lagi?" Antonio terkesiap, membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak."Tidak bisakah Papa menjawab pertanyaan tanpa balik bertanya?" Thea beranjak."Gant ...,""Ganti nomor pons
Juan masuk ke dalam mobil SUV berwarna biru yang terparkir tidak jauh darinya. Setelah menyalakan penerangan di dalam mobil, kedua tangan Juan membuka lipatan kertas dari Antonio tadi.Bola matanya menyapu seluruh tulisan yang tertera di sana. Beberapa detik kemudian, ia menyalakan mesin mobilnya. Dering ponsel di saku Juan berbarengan dengan deru mesin mobil yang ia tumpangi."Ya?" Juan mendekatkan ponselnya ke telinga setelah menggeser ikon telepon berwarna hijau pada layar."Segera ambil barangnya sebelum Master kembali ke markas pusat sore ini," ujar seseorang dari seberang telepon."Tenang saja, aku sudah mendapatkan alamat dan kata sandinya dari Tuan Antonio." tukas Juan sembari melirik kertas di tangannya."Ah iya, jangan lupakan tugas tambahanmu, Tuan Muda.""Hampir saja aku lupa," Juan langsung mematikan sambungan telepon sebelum lawan bicaranya menjawab.Ia tertegun sejenak, mengamati jalanan lengang yang mulai terang karena hari hampir mencapai pagi. Juan menyimpan kertas l
"Persetan dengan benar atau salah. Yang aku inginkan hanya fakta. Sisanya, tinggal memanipulasi fakta itu menjadi hal yang kau anggap benar." —Louis Collard, ketua kelompok Collard***Asap rokok mengepul tiada henti dari sebuah cerutu berwarna senada tanah liat. Tangan penuh suntikan tinta dengan berbagai pola itu dengan lihai memainkan cerutu di genggamannya. Sesekali menyesap ujung lain dari cerutu dan menghembuskan asap putih pekat. Wajah arogan dilengkapi dengan alis tegas dan mata tajam mengentalkan suasana tegang di dalam ruangan."Sudah berapa lama kau bekerja padaku?" tanya sang tuan pemilik cerutu."Ampuni saya, Master. Ja... jangan sakiti anak saya...," kata seorang pria berwajah pucat pasi yang berdiri di atas lututnya.Louis—tuan pemilik cerutu—mengangkat sebelah alisnya sembari mematik api, memanaskan ujung cerutu yang mulai layu. Kakinya yang dibalut sepatu hitam melangkah mendekati pria pucat tadi dan berhenti tepat di depan si pria. Telunjuk kanannya mengacung ke atas
Bangku taman sepanjang satu meter menjadi tempat Antonio merebahkan tubuhnya. Setengah bagian kakinya menggantung karena tidak tertampung oleh panjangnya kursi."Besok ya? Bagaimana ini, apa aku boleh melewatkan pertemuan kita lagi tahun ini?" Antonio berbicara kepada dompet di tangannya.Lebih tepatnya kepada selembar foto perempuan berambut panjang ikal dengan warna kecokelatan yang ia simpan di dalam dompetnya. Ada beberapa bagian foto yang mulai rusak karena terlalu lama menempel pada lapisan bening pada dompet lelaki itu."Anak kita sudah sangat marah pagi ini. Kamu... jangan marah juga, ya? Aku tidak sanggup kalau harus menghadapi kemarahan kalian berdua...."Beberapa pasang mata milik pejalan kaki yang kebetulan lewat di depan Antonio memberikan tatapan yang memiliki arti negatif. Menatap dengan aneh, keheranan, dan ketakutan.Antonio tidak menggubris satupun tatapan. Kali ini ia sibuk menciumi kemudian mendekap dompetnya di dada. Air matanya meleleh kemudian mengalir semakin d