Share

6. Finally Married

Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku dengan lembut. Di kejauhan sana tampak langit bewarna semburat jingga tanda sang kala akan segera beristirhat.

Sangat menyenangkan.

“Hei, masukkan kepalamu dan tutup jendelanya,” kata Aldo merusak suasana. “Kau jadi mirip Stella jika menjulurkan lidahmu sedikit saja.”

“Siapa Stella?” Tanyaku curiga. Apakah di hari pernikahan kami ini dia sudah berani menyebut nama perempuan lain? Walaupun pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, tapi tetap saja. “Apa dia perempuan sintal yang tempo hari kutemukan hanya terbalut sprei di kamarmu?”

Sopir kami terbatuk-batuk tidak karuan mendengar omonganku. Ah, aku sungguh belum terbiasa dengan minimnya privasi para konglomerat ini. Mereka selalu saja ditemani oleh asisten atau pelayan kemana-mana.

“Jangan menguping pembicaraan kami, Galih,” kata Aldo pada orang yang bertugas mengantar kami kembali ke rumah. Dan dia menjawab dengan anggukan kepala. “Perempuan waktu itu adalah teman Jasmine yang tidak waras. Dia mengejar-ngejarku sejak dulu,” kata Aldo kepadaku. “Sama sepertimu, dia juga masuk ke kamarku tanpa izin.”

Kulihat Galih melirikku melalui spion tengah.

“Tapi aku tidak telanjang sepertinya,” aku memang betul-betul penasaran dengan perempuan itu. Kalau ternyata Aldo punya pacar, aku harus tahu bukan?

“Dia orang gila telanjang yang menyusup ke dalam selimutku ketika aku tidur. Kau tidak tahu betapa kagetnya aku,” jawab Aldo terlihat sangat meyakinkan. Oke, aku memang percaya dengan apa yang dia katakan. Tapi aku masih ingin menggodanya.

“Kau pasti senang melihatnya telanjang. Aku sebagai perempuan saja iri, buah dadanya sebesar buah melon…” aku sedang memperagakan buah melon dengan kedua tangan di dada, tapi Aldo sepertinya segera ingin mengakhiri pembicaraan mengenai perempuan buah melon ini.

“Fiona, dia bukan siapa-siapa, oke?” Kata Aldo terlihat tidak sabar. Dia terlihat sangat menggemaskan ketika sewot begitu.

“Lalu siapa Stella?” Tanyaku memutuskan berhenti menggodanya.

“Dia anjingku waktu aku masih kecil.” Kata Aldo. Apa? Jadi aku dikatai mirip anjing? “Dia suka mengeluarkan kepala melalui jendela mobil kemudian menjulurkan lidahnya.”

“Betul, Nona Fiona. Memang banyak orang gila berkeliaran di sekitar Tuan,” Galih tiba-tiba nimbrung pembicaraan kami.

“Jangan ikut-ikut,” sembur Aldo.

“Siap, Tuan,” jawab Galih langsung menciut.

“Sudah kubilang jangan panggil aku ‘tuan’,” sergah Aldo.

“Baik, Pak,” jawab Galih lagi.

“Panggil aku ‘Aldo’ saja seperti biasa,” Aldo bicara dengan tidak sabar.

“Baik, Pak Aldo,”

“Terserah,” jawab Aldo lelah.

Aku terkekeh melihat interaksi mereka berdua. Sudah lama aku tidak merasa rileks seperti ini. Sejak hari di mana Pram Sastrajaya menentukan pernikahan kami, aku selalu merasa tegang.

Sejak rencana pernikahan kami diumumkan ke media, reaksi yang ditunjukkan sangat positif sehingga seketika mengubur rumor-rumor negatif yang tersebar waktu itu.

Aku terpaksa berbohong pada rekan-rekan di Jasc EO ketika mereka bertanya mengenai kabar menggemparkan tersebut.

‘Kami pacaran diam-diam. Bahkan Bu Jasmine tidak tahu’. Kataku pada mereka yang bertanya.

Bagi mereka, aku seperti memenangkan lotre dengan berhasil menikahi seorang putra konglomerat. Bahkan seseorang yang terkenal memiliki wajah tampan walaupun sifatnya buruk.

Aku melirik Aldo yang sedang menyandarkan dagunya dengan tangan sambil menatap ke luar jendela.

Ya, dia memang sangat tampan. Tapi sejauh yang kutahu, sifatnya tidak buruk. Bahkan bisa dibilang lembut walaupun dia sering pura-pura bersikap kasar.

“Kita mau kemana?” Tanyaku sambil menggosok bahan halus putih bersih dengan tanganku. Baju pengantin rancangan seorang desainer terkenal masih menempel di tubuhku.

“Rumahku,” jawab Aldo.

‘Rumah’ Aldo yang kuketahui adalah kamar suite nomor 702 di hotel Grand Luxy.

Tapi sepertinya kami tidak sedang menuju ke sana.

***

Mobil sedan mewah yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah bertipe semi industrial dengan halaman luas yang dikelilingi banyak pepohonan.

“Ini rumahmu?” Tanyaku ketika kami sudah masuk ke dalam rumah. Di depan mataku terhampar interior sederhana yang memikat mata. “Kupikir kau tinggal di hotel.”

“Ini rumah yang kubangun dengan uang yang kuperoleh sendiri,” Aldo berkata sambil berusaha melepas dasi yang sedari tadi mengikat lehernya. “Aku tinggal di hotel hanya agar mereka tidak berani menjual hotel itu tanpa sepengetahuanku.”

“Ah, begitu,” jawabku. “Sebelum kita mulai tinggal di sini, bagaimana kalau kita membicarakan kontrak terlebih dulu?”

“Kontrak?” Tanya Aldo bingung.

“Iya kontrak. Bukankah harus ada kontrak yang mengatur pernikahan kita?” Terangku.

Aldo menghembuskan nafas, seperti bosan mendengar ucapanku. “Kontrak tertulis hanya akan menjadi senjata makan tuan untuk kita. Kalau-kalau ada pihak ketiga yang mengetahuinya.” Dia mulai melepas jas hitam yang dikenakannya. “Kita bicarakan saja apa keinginan kita dan masing-masing pihak bertanggungjawab untuk menghormati keinginan yang lain.”

“Bukankah dengan begitu kita bisa dengan mudah melanggar perjanjian?” Tanyaku. Sebagai orang yang dulunya bekerja untuk mendapatkan kontrak, aku memang terobsesi dengan adanya kontrak sebagai jaminan.

“Kau tidak percaya padaku?” Tanya Aldo tersinggung.

“Bukan begitu..” 

“Kalau begitu, kau tidak percaya dengan dirimu sendiri?”

“Bukan begitu juga..”

“Maka, tidak ada kontrak. Katakan saja apa yang kau mau dan akan kulakukan semuanya,” Aldo mengakhiri pembicaraan kami tanpa ada keinginan untuk mempertimbangan soal penulisan kontrak.

Di saat seperti ini dia terlihat mirip dengan ayahnya. Sama-sama keras kepala.

Aku menyerah.

“Di mana kamarku?” Tanyaku pada akhirnya.

“Di sana,” Aldo menunjuk sebuah pintu di balik tangga melingkar.

“Aku mau ganti baju dulu,” kataku.

Aku menemukan Aldo di beranda belakang, duduk dengan menyilangkan kaki sambil melihat ke kejauhan. Aku menempatkan diri di kursi sebelah meja kopi kecil. Aldo masih mengenakan celana dan kemeja yang sama, tapi membiarkan beberapa kancing atas kemejanya terbuka.

“Barang-barangmu lengkap?” Tanya Aldo merujuk pada barang-barang yang diangkut dari apartemen studioku.

“Lengkap dan dikemas dengan baik. Apa kalian juga punya jasa pindahan?” Tanyaku bercanda.

Aldo menyunggingkan senyumnya mendengar ucapanku.

“Jadi, apa yang mau kau katakan?” Tanya Aldo.

“Kalau kau tidak mau menyebutnya kontrak, maka kita sebut sebagai perjanjian,” kataku memulai. “Sebagai contoh, aku ingin kita menjaga privasi masing-masing. Seperti sekarang, kita menggunakan kamar tidur terpisah.”

Aldo hanya diam sambil menyesap CocaCola dari botolnya.

Melihat dia tampak tidak ingin merespon, maka aku melanjutkan, “kontak fisik juga hanya dilakukan jika diperlukan saja.”

Aku bicara panjang lebar mengenai perjanjian yang aku inginkan, sedangkan Aldo hanya terus diam sampai minumannya habis tak bersisa.

“Aku hanya ingin mengatakan dua hal,” kata Aldo setelah aku diam. “Pertama, kau akan mendapatkan uang bulanan sebagai ganti berpura-pura sebagai istriku.”

“Kedua, kuharap kau setuju jika jangka waktu pernikahan kita tidak terbatas. Karena aku belum tahu kapan dapat menyelesaikan permasalahan bisnis keluargaku.” Tutup Aldo.

TIdak terbatas? Berapa lamakah tidak terbatas itu? Aku memikirkannya beberapa lama.

“Baiklah. Aku tidak punya orangtua atau saudara yang harus kukhawatirkan atau mengkhawatirkan aku, jadi kupikir tidak masalah,” kataku memutuskan. “Kalau begitu, deal?” Aku mengulurkan tangan pada Aldo.

“Deal,” Aldo menyambut tanganku. Maka, dimulailah pernikahan kotrak kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status