Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku dengan lembut. Di kejauhan sana tampak langit bewarna semburat jingga tanda sang kala akan segera beristirhat.
Sangat menyenangkan. “Hei, masukkan kepalamu dan tutup jendelanya,” kata Aldo merusak suasana. “Kau jadi mirip Stella jika menjulurkan lidahmu sedikit saja.” “Siapa Stella?” Tanyaku curiga. Apakah di hari pernikahan kami ini dia sudah berani menyebut nama perempuan lain? Walaupun pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, tapi tetap saja. “Apa dia perempuan sintal yang tempo hari kutemukan hanya terbalut sprei di kamarmu?” Sopir kami terbatuk-batuk tidak karuan mendengar omonganku. Ah, aku sungguh belum terbiasa dengan minimnya privasi para konglomerat ini. Mereka selalu saja ditemani oleh asisten atau pelayan kemana-mana. “Jangan menguping pembicaraan kami, Galih,” kata Aldo pada orang yang bertugas mengantar kami kembali ke rumah. Dan dia menjawab dengan anggukan kepala. “Perempuan waktu itu adalah teman Jasmine yang tidak waras. Dia mengejar-ngejarku sejak dulu,” kata Aldo kepadaku. “Sama sepertimu, dia juga masuk ke kamarku tanpa izin.” Kulihat Galih melirikku melalui spion tengah. “Tapi aku tidak telanjang seperti perempuan itu,” kataku sedikit lebih keras agar didengar oleh Galih. Aku tidak mau dikira perempuan maniak yang suka menerobos masuk ke kamar laki-laki dalam keadaan telanjang. “Dia orang gila telanjang yang menyusup ke dalam selimutku ketika aku tidur. Kau tidak tahu betapa kagetnya aku,” jawab Aldo terlihat sangat meyakinkan. Oke, aku memang percaya dengan apa yang dia katakan. Tapi aku masih ingin menggodanya. “Kau pasti senang melihatnya telanjang. Aku sebagai perempuan saja iri, buah dadanya sebesar buah melon…," kataku sambil memperagakan buah melon dengan kedua tangan di depan dada, tapi Aldo sepertinya segera ingin mengakhiri pembicaraan mengenai perempuan buah melon ini. “Fiona, dia bukan siapa-siapa, oke?” Kata Aldo terlihat tidak sabar. Dia terlihat sangat menggemaskan ketika sewot begitu. “Lalu siapa Stella?” Tanyaku memutuskan berhenti menggodanya. “Dia anjingku ketika aku masih kecil.” Kata Aldo. Apa? Jadi aku dikatai mirip anjing? “Dia suka mengeluarkan kepala melalui jendela mobil kemudian menjulurkan lidahnya.” “Betul, Nona Fiona. Memang banyak orang gila berkeliaran di sekitar Tuan,” Galih tiba-tiba nimbrung pembicaraan kami. “Jangan ikut-ikut,” sembur Aldo. “Siap, Tuan,” jawab Galih langsung menciut. “Sudah kubilang jangan panggil aku ‘tuan’,” sergah Aldo. “Baik, Pak,” jawab Galih lagi. “Panggil aku ‘Aldo’ saja seperti biasa,” Aldo bicara dengan tidak sabar. “Baik, Pak Aldo,” “Terserah,” jawab Aldo lelah. Aku terkekeh melihat interaksi mereka berdua. Sudah lama aku tidak merasa rileks seperti ini. Sejak hari di mana Pram Sastrajaya menentukan pernikahan kami, aku selalu merasa tegang. Sejak rencana pernikahan kami diumumkan ke media, reaksi yang ditunjukkan terlihat sangat positif sehingga seketika mengubur rumor-rumor negatif yang tersebar waktu itu. Aku terpaksa berbohong pada rekan-rekan di Jasc EO ketika mereka bertanya mengenai kabar menggemparkan tersebut. ‘Kami pacaran diam-diam. Bahkan Bu Jasmine tidak tahu’. Kataku pada mereka yang bertanya. Bagi mereka, aku seperti memenangkan lotre dengan berhasil menikahi seorang putra konglomerat. Bahkan seseorang yang terkenal memiliki wajah tampan walaupun sifatnya buruk. Aku melirik Aldo yang sedang menyandarkan dagunya dengan tangan sambil menatap ke luar jendela. Ya, dia memang sangat tampan. Tapi sejauh yang kutahu, sifatnya tidak buruk. Bahkan bisa dibilang cukup baik, walaupun dia sering pura-pura bersikap kasar. “Kita mau kemana?” Tanyaku sambil menggosok bahan halus putih bersih dengan tanganku. Baju pengantin rancangan seorang desainer terkenal masih menempel di tubuhku. “Rumahku,” jawab Aldo. ‘Rumah’ Aldo yang kuketahui adalah kamar suite nomor 702 di hotel Grand Luxy. Tapi sepertinya kami tidak sedang menuju ke sana. *** Mobil sedan mewah yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah bertipe semi industrial dengan halaman luas yang dikelilingi banyak pepohonan. “Ini rumahmu?” Tanyaku ketika kami sudah masuk ke dalam rumah. Di depan mataku terhampar interior sederhana yang memikat mata. “Kupikir kau tinggal di hotel.” “Ini rumah yang kubangun dengan jerih payahku sendiri,” Aldo berkata sambil berusaha melepas dasi yang sedari tadi mengikat lehernya. “Aku tinggal di hotel hanya agar mereka tidak berani menjual hotel itu tanpa sepengetahuanku.” “Ah, begitu,” jawabku. “Sebelum kita mulai tinggal di sini, bagaimana kalau kita membicarakan kontrak terlebih dulu?” “Kontrak?” Tanya Aldo bingung. “Iya kontrak. Bukankah harus ada kontrak yang mengatur pernikahan kita?” Terangku. Aldo menghembuskan nafas, seperti bosan mendengar ucapanku. “Kontrak tertulis hanya akan menjadi senjata makan tuan untuk kita. Kalau-kalau ada pihak ketiga yang mengetahuinya.” Dia mulai melepas jas hitam yang dikenakannya. “Kita bicarakan saja apa keinginan kita dan masing-masing pihak bertanggungjawab untuk menghormati keinginan yang lain.” “Bukankah dengan begitu kita bisa dengan mudah melanggar perjanjian?” Tanyaku. Sebagai orang yang dulunya bekerja untuk mendapatkan kontrak, aku memang terobsesi dengan adanya kontrak sebagai jaminan. “Kau tidak percaya padaku?” Tanya Aldo tersinggung. “Bukan begitu..” “Kalau begitu, kau tidak percaya dengan dirimu sendiri?” “Bukan begitu juga..” “Maka, tulislah kontrak itu di dalam kepalamu saja. Jangan membuatku melakukan hal konyol seperti itu,” Aldo mengakhiri pembicaraan kami tanpa memberiku kesempatan untuk mendebatnya lagi. Di saat seperti ini dia terlihat mirip dengan ayahnya. Sama-sama keras kepala. Aku menyerah. “Di mana kamarku?” Tanyaku pada akhirnya. “Di sana,” Aldo menunjuk sebuah pintu di balik tangga melingkar. “Aku mau ganti baju dulu,” kataku. Aku menemukan Aldo di beranda belakang, duduk dengan menyilangkan kaki sambil melihat ke kejauhan. Aku menempatkan diri di kursi sebelah meja kopi kecil. Aldo masih mengenakan celana dan kemeja yang sama, tapi membiarkan beberapa kancing atas kemejanya terbuka. “Barang-barangmu lengkap?” Tanya Aldo merujuk pada barang-barang yang diangkut dari apartemen studioku. “Lengkap dan dikemas dengan baik. Apa kalian juga punya jasa pindahan?” Tanyaku bercanda. Aldo menyunggingkan senyumnya mendengar ucapanku. “Jadi, apa yang mau kau katakan?” Tanya Aldo. “Kalau kau tidak mau menyebutnya kontrak, maka kita sebut sebagai perjanjian,” kataku memulai. “Sebagai contoh, aku ingin kita menjaga privasi masing-masing. Seperti sekarang, kita menggunakan kamar tidur terpisah.” Aldo hanya diam sambil menyesap CocaCola dari botolnya. Melihat dia tampak tidak ingin merespon, maka aku melanjutkan, “kontak fisik juga hanya dilakukan jika diperlukan saja.” Aku bicara panjang lebar mengenai perjanjian yang aku inginkan, sedangkan Aldo hanya terus diam sampai minumannya habis tak bersisa. “Aku hanya ingin mengatakan dua hal,” kata Aldo setelah aku diam. “Pertama, kau akan mendapatkan uang bulanan sebagai ganti berpura-pura sebagai istriku.” “Kedua,” Dia terlihat berpikir, "..aku belum tau kapan sandiwara ini akan bisa berakhir. Tapi, sebelum hal itu terjadi, aku mohon agar kita dapat bekerjasama dengan baik," tutup Aldo. Sebenarnya aku agak tersinggung, mengingat selama bertahun-tahun berkarir aku selalu dapat bekerjasama dengan baik. Bukan salahku kalau pada akhirnya aku dikhianati oleh orang yang bekerjasama denganku. “Baiklah. Aku tidak punya orangtua atau saudara yang harus kukhawatirkan atau mengkhawatirkan aku, jadi kupikir tidak masalah,” kataku memutuskan untuk tidak mendebatnya. “Kalau begitu, deal?” Aku mengulurkan tangan pada Aldo. “Deal,” Aldo menyambut tanganku. Maka, dimulailah pernikahan kotrak kami.Bisa dibayangkan semarah apa Aldo mengetahui adik tirinya berusaha membunuhku. Dan maksudku bukan karena aku membanggakan diri karena begitu dicintai oleh Aldo atau bagaimana, tapi seharusnya Jasmine tahu bagaimana temperamen kakaknya itu. Dia bahkan pernah melihat sendiri dia menghajar Rody tanpa ragu hanya karena kata-katanya yang merendahkanku. Kalau dia bisa berpikir jernih seharusnya dia memikirkan apa yang akan dilakukan Aldo padanya sebelum dia berani meletakkan minuman beracun itu di kantorku.Nekat kalau boleh kubilang. Bahkan di saat tubuhku lemas sehabis dikuras isi perutnya, aku masih mengkhawatirkan Jasmine. Takut kalau-kalau dia bakal dicekik oleh Aldo. Yang mungkin akan terjadi setelah Aldo merasa cukup aman untuk meninggalkanku di rumah sakit sendirian.Walaupun saat ini dia sudah tidak begitu marah, tapi siapa yang tahu apa yang ada dalam pikirannya? “Aku baru saja menelepon Papa,” lapor Aldo setelah menghabiskan beberapa waktu di luar kamar ra
"Kau ingat, bukan, kau pernah bilang kalau Jasmine sama sekali tidak mirip denganku?" Tanya Aldo, sekarang tampak bersemangat. “Lihat itu,” Aldo mengarahkan daguku ke sosok laki-laki berwajah timur tengah.Aku mengamati orang yang kini duduk berhadapan dengan Sarina. Dia laki-laki paruh baya yang mulai beruban. Tidak ada yang spesial, selain fakta bahwa dia sedang menikmati santap siang santai bersama Sarina. “Apa yang harus kulihat?” Tanyaku pada Aldo. Dia terlihat tidak sabar, tapi aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kupikirkan. “Aku pernah beberapa kali melihat orang itu. Bersama Sarina,” lanjut Aldo memberi penjelasan. “Dan aku agak curiga kepada mereka, karena aku selalu melihat mereka ketika berada di tempat yang agak tidak biasa.” Tunggu, restoran timur tengah itu tempat yang tidak biasa? Ketika aku mengungkapkan pikiranku, Aldo menjelaskan lebih detil lagi tempat-tempat yang dimaksudnya. Warehouse atau tempat pe
"Sudah kubilang, kan, kau tunggu aku di rumah saja?" Aldo menggenggam kedua lenganku, juga menatapku dengan agak terlalu serius. Menurutku.Jujur saja, aku tidak terlalu bisa mengikuti suasana serius ini.Bagaimana tidak? Kami-aku dan Santi-membuntuti Aldo dan Galih dengan gaya detektif, mencurigai Aldo akan melakukan pertemuan rahasia (dan penuh gairah-menurut Santi) dengan mantan pacarnya, itu saja sudah membuatku geli. Belum lagi mengingat betapa cepat kami ketahuan, karena sepertinya Aldo benar-benar jengah dengan pertemuan itu dan malah mengamati semua hal yang ada di dalam restoran kecuali lawan bicaranya.Begitulah kami ketahuan. Ternyata bukan hanya bentuk matanya yang tajam, tapi juga penglihatannya. Walau bagaimanapun juga, kami bersembunyi di balik roster. Siapa coba yang bisa mengenali dua orang perempuan yang sedang mengintai pasangannya, dan sedang mengenakan masker-plus kacamata berbingkai tebal pada salah satunya-, dan bersembunyi di balik susunan balok-balok berluban
Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m
Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di
"Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari