Aldo mengantarku ke kamarnya kemudian dia sendiri pergi entah kemana.
Terdengar bunyi gebrakan dari pintu. Siapa lagi yang datang sekarang? Aku benar-benar lelah secara fisik dan emosi. Aku tidak sanggup menghadapi kejutan lagi. Aku sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang menggedor pintu dengan sangat tidak sopan. Ternyata bukan pria kekar berjas hitam lagi seperti dugaanku, melainkan orang yang beberapa hari ini membuat hari-hariku serasa ada di neraka. Jasmine mendorong pintu hingga terbuka lebar, membuatku terhuyung ke belakang. “Wanita murahan..” gumam Jasmine dengan gigi gemeretak. “Sudah kuduga kau ada di sini,” lanjutnya, menatapku dengan mata nyalang. Ekspresi wajahnya, tatapan matanya, hingga nadanya dalam berbicara sungguh berbeda dengan sosok direktur Jasmine yang aku kenal selama ini. Dia bisanya bertutur kata halus dan bersorot mata lemah lembut. Hal itu membuatku terpaku. Seperti ada orang gila yang mau menyerangku. Tangannya tiba-tiba menjangkau tubuhku. Apakah dia mau menamparku? Tidak. Aku merasakan tubuhku oleng dan tersentak ke belakang. Kemudian terdengar bunyi “duk” yang keras ketika kepalaku menghantam tembok belakang meja lampu. Seperti semalam, aku merasa kepalaku sakit. Tapi aku masih bisa mendengar Jasmine berteriak-teriak seperti orang gila. “Brengsek! Kau pikir siapa kau ini??” Teriaknya. “Akan kubunuh kau!" Di tengah teriakannya aku mencoba untuk membalas perkataannya, "Apa lagi yang kau mau dariku?" Sakit di kepalaku membuat tubuhku ikut lemas. Jasmine mendengus dengan keras mendengar ucapanku, “kau itu cuma budak. Budak harus diam meski dicambuk. Paham?!" Aku ingin bangkit, tapi badanku benar-benar tidak mau mengikuti kemauanku. "Kau memang pelacur. Menjual diri kepada putra konglomerat, dan sekarang kau mau berlagak jadi nyonya, hah?!" Teriakan Jasmine semakin terdengar kabur di telingaku. "Berani-beraninya kau bermimpi menikah dengan keluarga Sastrajaya!" Pandanganku semakin kabur. Aku hanya melihat tangannya yang hendak dilayangkan ke wajahku. Kemudian Aldo datang, menahan tangan Jasmine. Setelah itu, aku tidak sadarkan diri. *** Bau cairan pembersih yang asing merayap di hidungku. Butuh beberapa lama bagiku untuk membuka mata. Kepalaku terasa sangat berat. Dinding putih dengan wallpaper keemasan. Jelas ini di rumah sakit. Tapi bukan jenis ruangan yang pernah kulihat sebelumnya. "Argh!" Rasa sakit menusuk kepalaku ketika aku mencoba untuk menggerakkan kepala. "Fiona? Kau sudah sadar?" Aldo berdiri dengan tergesa-gesa. Rupanya tadi dia duduk di sofa di sisi tempat tidur. "Ada.. banyak.. yang mau aku tanyakan," kataku, sedikit kesulitan untuk bicara. "Tenanglah.. Saat ini kau harus banyak istirahat," kata Aldo menenangkanku. Setelah itu aku mendengar darinya bahwa Jasmine sudah mendapat ganjaran karena mencelakaiku. Bahwa kepalaku terbentur cukup keras sehingga ada luka robek di kulit kepala yang menyebabkan pendarahan ringan. Namun, untung saja tidak terjadi trauma atau pendarahan dalam. Aku tidak sadarkan diri seharian karena stres dan kelelahan. "Jadi, pada dasarnya kau membayar ruangan VIP yang sangat mahal ini hanya untuk aku menumpang tidur??" Tanyaku setelah mendengar cerita darinya. "Jangan pikirkan uangnya," jawab Aldo. "Tentu saja. Aku tidak akan mengganti biaya rumah sakitnya, karena sekarang aku harus berhemat," kataku sedikit mengancam. "Wah, jadi pengangguran menyebalkan juga, ya?" Aldo hanya tersenyum mendengar ucapanku. Senyumnya begitu tulus dan manis. Bagaimana bisa keluarganya begitu membencinya? Tiba-tiba sorot matanya berubah, Aldo menundukkan kepalanya. "Maafkan aku karena sudah menyeretmu ke dalam masalah keluargaku yang kacau-balau," dia meminta maaf dengan tulus. "Seharusnya aku tidak gebabah menyebutmu sebagai pacarku. Aku sangat menyesal." Rambutnya yang sedikit panjang menjuntai ke atas sprei tempat tidurku ketika menunduk. Aku harus menahan sekuat tenaga hasrat untuk membelai rambutnya. "Bagaimanapun, aku sudah setuju untuk bekerjasama denganmu, bukan?" Kataku untuk menyemangatinya. "Aku khawatir akan memberiku kabar buruk sekali lagi," Aldo masih memperlihatkan wajahnya yang merasa sangat bersalah. "Apa itu?" Tanyaku tanpa rasa penasaran. Karena sejujurnya sedari tadi aku sibuk mengamati wajahnya yang—walaupun terlihat sedih—namun masih sangat tampan. "Aku sudah mencoba segala cara agar CEO mengurungkan niatnya untuk menyuruh kita menikah. Tapi, sepertinya keputusannya sudah bulat," kali ini dia tampak tidak enak hati. Jadi itu semua bukan mimpi. CEO memang menyuruh menyuruh kami menikah untuk membungkam rumor buruk. Putra satu-satunya Pram Sastrajaya memang punya citra playboy. Tapi itu semua hanya gosip yang tidak pernah diambil pusing oleh pebisnis lain. Lain ceritanya jika gosip itu sekarang memiliki bukti. Rekaman CCTV yang memperlihatkan wanita keluar-masuk kamar pribadinya di hotel yang dikelola grup keluarganya sendiri. "Aku butuh waktu untuk berpikir," kataku. "Tentu saja. Sementara itu aku akan mencoba menghalangi CEO sebisa mungkin," jawab Aldo sepakat. *** Sehari kemudian, aku diperbolehkan pulang oleh rumah sakit. Aku sungguh merindukan apartemen studioku, yang walaupun sempit tapi sangat nyaman. Hal itu membuatku tidak sabar untuk segera masuk ke apartemenku. Satu kali.. dua kali.. Aneh, anak kunci yang berada di genggamanku sampai kubolak-balik karena tindak kunjung bisa membuka kancing pintu. Aku terus berkutat dengan kunci pintu apartemen sampai seseorang mendekatiku. Mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilap, orang itu menyapaku dengan santun. "Nona Fiona, saya diutus Bapak CEO untuk mengantar Nona menemui beliau," kata orang bersepatu mengkilap itu. Aku memejamkan mata untuk mengumpulkan kesabaran, kemudian dengan patuh mengikuti orang tersebut menuju mobil mewah yang diparkir di bawah. Sesampainya di kantor CEO, aroma pinus langsung menyambut penciumanku. Mengingatkan pada kejadian di tempat ini tempo hari. "Kelihatannya kepalamu sudah sembuh," kata CEO begitu melihatku memasuki ruangan. Hanya ada kami berdua di ruangan ini, tapi hal jtu tidak membuatku gentar. "Kelihatannya Anda membuat saya tidak bisa masuk ke tempat tinggal saya sendiri," balasku. "Kau memang bocah kurang ajar," kata CEO. "Aku terpaksa membeli gudang yang kau sebut tempat tinggal itu." Aku tersinggung mendengarnya menyebut apartemen studioku dengan sebutan 'gudang'. "Bersyukurlah aku mengizinkanmu menikah dengan anakku. Karena dilihat dari manapun, kau tidak pantas bersanding dengan anakku." Lanjutnya. Sepertinya orang ini sangat ingin mencelaku. Walaupun tentu saja, anak yatim piatu sederhana sepertiku memang tidak mungkin akan dijadikan menantu oleh seorang konglomerat. "Oleh karena itu, tolong jangan paksa kami untuk menikah," kataku berharap ini adalah peluang untuk melepaskan hubungan dengan keluarga Sastrajaya. "Sayangnya, identitas dan bukti hubunganmu dengan anakku sudah menyebar luas," lanjut CEO. Beliau memandangku sekilas sambil menyunggingkan senyum licik. "Oh kau tidak usah pura-pura polos. Aku tahu isi kepala rubah haus uang sepertimu ," kata CEO. Aku jadi sedikit takut melihat senyum liciknya. Bagaimanapun beliau adalah orang yang bisa membuatku kehilangan tempat tinggal dalam waktu satu hari. "Ingat satu hal, Fiona. Berani berurusan dengan keluarga Sastrajaya berarti kau harus berani menghadapi konsekuensinya," CEO lanjut menekanku. "Dan untuk menghilangkan rumor yang menjatuhkan perusahaan kami, kau HARUS menikah dengan Aldo. Tidak ada pilihan lain." Kemarin, setelah petir menyambar di siang bolong, kali ini kurasa badai sudah menghampiri kehidupanku."Omong-omong..," kataku pada Santi, kami sedang makan siang bersama di kantin Grayscale. "...Kalau ayah mertuamu menyuruh kau dan suamimu berpisah apa yang akan kau lakukan?"Santi menyeruput mie dengan gusar. Dia sedikit jengkel karena memergoki beberapa karyawan bergosip tentangnya. Tentang bagaimana dia masuk ke perusahaan lewat jalur orang dalam."Kau masih marah, ya, karena gosip itu?" Tanyaku setelah Santi tidak menjawab pertanyaanku. "Tapi itu kan memang benar. Ingat tidak, waktu itu kau menerobos masuk ke dalam ruanganku lalu menodong posisi di kantor ini?" Kataku mengingatkan.Santi meletakkan garpu dengan lebih jengkel lalu memejamkan mata dengan gaya dramatis."Oke, gosipnya memang benar. Aku tidak berhak marah," katanya sambil bersedekap."Lagipula, aku juga kerja di sini lewat jalur nepotisme, bukan? Aldo yang memberikan jabatan ini padaku," tambahku.Santi memutar matanya. "Itu berbeda. Suamimu pemilik perusahaan ini seratus persen, terserah dia mau menempatkan istrinya
Bisa dibayangkan semarah apa Aldo mengetahui adik tirinya berusaha membunuhku. Dan maksudku bukan karena aku membanggakan diri karena begitu dicintai oleh Aldo atau bagaimana, tapi seharusnya Jasmine tahu bagaimana temperamen kakaknya itu. Dia bahkan pernah melihat sendiri dia menghajar Rody tanpa ragu hanya karena kata-katanya yang merendahkanku. Kalau dia bisa berpikir jernih seharusnya dia memikirkan apa yang akan dilakukan Aldo padanya sebelum dia berani meletakkan minuman beracun itu di kantorku.Nekat kalau boleh kubilang. Bahkan di saat tubuhku lemas sehabis dikuras isi perutnya, aku masih mengkhawatirkan Jasmine. Takut kalau-kalau dia bakal dicekik oleh Aldo. Yang mungkin akan terjadi setelah Aldo merasa cukup aman untuk meninggalkanku di rumah sakit sendirian.Walaupun saat ini dia sudah tidak begitu marah, tapi siapa yang tahu apa yang ada dalam pikirannya? “Aku baru saja menelepon Papa,” lapor Aldo setelah menghabiskan beberapa waktu di luar kamar ra
"Kau ingat, bukan, kau pernah bilang kalau Jasmine sama sekali tidak mirip denganku?" Tanya Aldo, sekarang tampak bersemangat. “Lihat itu,” Aldo mengarahkan daguku ke sosok laki-laki berwajah timur tengah.Aku mengamati orang yang kini duduk berhadapan dengan Sarina. Dia laki-laki paruh baya yang mulai beruban. Tidak ada yang spesial, selain fakta bahwa dia sedang menikmati santap siang santai bersama Sarina. “Apa yang harus kulihat?” Tanyaku pada Aldo. Dia terlihat tidak sabar, tapi aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kupikirkan. “Aku pernah beberapa kali melihat orang itu. Bersama Sarina,” lanjut Aldo memberi penjelasan. “Dan aku agak curiga kepada mereka, karena aku selalu melihat mereka ketika berada di tempat yang agak tidak biasa.” Tunggu, restoran timur tengah itu tempat yang tidak biasa? Ketika aku mengungkapkan pikiranku, Aldo menjelaskan lebih detil lagi tempat-tempat yang dimaksudnya. Warehouse atau tempat pe
"Sudah kubilang, kan, kau tunggu aku di rumah saja?" Aldo menggenggam kedua lenganku, juga menatapku dengan agak terlalu serius. Menurutku.Jujur saja, aku tidak terlalu bisa mengikuti suasana serius ini.Bagaimana tidak? Kami-aku dan Santi-membuntuti Aldo dan Galih dengan gaya detektif, mencurigai Aldo akan melakukan pertemuan rahasia (dan penuh gairah-menurut Santi) dengan mantan pacarnya, itu saja sudah membuatku geli. Belum lagi mengingat betapa cepat kami ketahuan, karena sepertinya Aldo benar-benar jengah dengan pertemuan itu dan malah mengamati semua hal yang ada di dalam restoran kecuali lawan bicaranya.Begitulah kami ketahuan. Ternyata bukan hanya bentuk matanya yang tajam, tapi juga penglihatannya. Walau bagaimanapun juga, kami bersembunyi di balik roster. Siapa coba yang bisa mengenali dua orang perempuan yang sedang mengintai pasangannya, dan sedang mengenakan masker-plus kacamata berbingkai tebal pada salah satunya-, dan bersembunyi di balik susunan balok-balok berluban
Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m
Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di