Share

5. Ancaman

Author: La Rêveuse
last update Last Updated: 2022-12-20 22:24:35

Aldo mengantarku ke kamarnya kemudian dia sendiri pergi entah kemana.

Terdengar bunyi gebrakan dari pintu.

Siapa lagi yang datang sekarang? Aku benar-benar lelah secara fisik dan emosi. Aku tidak sanggup menghadapi kejutan lagi.

Aku sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang menggedor pintu dengan sangat tidak sopan.

Ternyata bukan pria kekar berjas hitam lagi seperti dugaanku, melainkan orang yang beberapa hari ini membuat hari-hariku serasa ada di neraka.

Jasmine mendorong pintu hingga terbuka lebar, membuatku terhuyung ke belakang.

“Wanita murahan..” gumam Jasmine dengan gigi gemeretak. “Sudah kuduga kau ada di sini,” lanjutnya, menatapku dengan mata nyalang.

Ekspresi wajahnya, tatapan matanya, hingga nadanya dalam berbicara sungguh berbeda dengan sosok direktur Jasmine yang aku kenal selama ini. Dia bisanya bertutur kata halus dan bersorot mata lemah lembut.

Hal itu membuatku terpaku. Seperti ada orang gila yang mau menyerangku.

Tangannya tiba-tiba menjangkau tubuhku. Apakah dia mau menamparku? Tidak.

Aku merasakan tubuhku oleng dan tersentak ke belakang. Kemudian terdengar bunyi “duk” yang keras ketika kepalaku menghantam tembok belakang meja lampu.

Seperti semalam, aku merasa kepalaku sakit. Tapi aku masih bisa mendengar Jasmine berteriak-teriak seperti orang gila.

“Brengsek! Kau pikir siapa kau ini??” Teriaknya. “Akan kubunuh kau!"

Di tengah teriakannya aku mencoba untuk membalas perkataannya, "Apa lagi yang kau mau dariku?" Sakit di kepalaku membuat tubuhku ikut lemas.

Jasmine mendengus dengan keras mendengar ucapanku, “kau itu cuma budak. Budak harus diam meski dicambuk. Paham?!"

Aku ingin bangkit, tapi badanku benar-benar tidak mau mengikuti kemauanku.

"Kau memang pelacur. Menjual diri kepada putra konglomerat, dan sekarang kau mau berlagak jadi nyonya, hah?!" Teriakan Jasmine semakin terdengar kabur di telingaku.

"Berani-beraninya kau bermimpi menikah dengan keluarga Sastrajaya!" Pandanganku semakin kabur. Aku hanya melihat tangannya yang hendak dilayangkan ke wajahku. Kemudian Aldo datang, menahan tangan Jasmine. Setelah itu, aku tidak sadarkan diri.

***

Bau cairan pembersih yang asing merayap di hidungku. Butuh beberapa lama bagiku untuk membuka mata. Kepalaku terasa sangat berat.

Dinding putih dengan wallpaper keemasan. Jelas ini di rumah sakit. Tapi bukan jenis ruangan yang pernah kulihat sebelumnya.

"Argh!" Rasa sakit menusuk kepalaku ketika aku mencoba untuk menggerakkan kepala.

"Fiona? Kau sudah sadar?" Aldo berdiri dengan tergesa-gesa. Rupanya tadi dia duduk di sofa di sisi tempat tidur.

"Ada.. banyak.. yang mau aku tanyakan," kataku, sedikit kesulitan untuk bicara.

"Tenanglah.. Saat ini kau harus banyak istirahat," kata Aldo menenangkanku.

Setelah itu aku mendengar darinya bahwa Jasmine sudah mendapat ganjaran karena mencelakaiku. Bahwa kepalaku terbentur cukup keras sehingga ada luka robek di kulit kepala yang menyebabkan pendarahan ringan. Namun, untung saja tidak terjadi trauma atau pendarahan dalam. Aku tidak sadarkan diri seharian karena stres dan kelelahan.

"Jadi, pada dasarnya kau membayar ruangan VIP yang sangat mahal ini hanya untuk aku menumpang tidur??" Tanyaku setelah mendengar cerita darinya.

"Jangan pikirkan uangnya," jawab Aldo.

"Tentu saja. Aku tidak akan mengganti biaya rumah sakitnya, karena sekarang aku harus berhemat," kataku sedikit mengancam. "Wah, jadi pengangguran menyebalkan juga, ya?"

Aldo hanya tersenyum mendengar ucapanku. Senyumnya begitu tulus dan manis. Bagaimana bisa keluarganya begitu membencinya?

Tiba-tiba sorot matanya berubah, Aldo menundukkan kepalanya.

"Maafkan aku karena sudah menyeretmu ke dalam masalah keluargaku yang kacau-balau," dia meminta maaf dengan tulus. "Seharusnya aku tidak gebabah menyebutmu sebagai pacarku. Aku sangat menyesal."

Rambutnya yang sedikit panjang menjuntai ke atas sprei tempat tidurku ketika menunduk.

Aku harus menahan sekuat tenaga hasrat untuk membelai rambutnya.

"Bagaimanapun, aku sudah setuju untuk bekerjasama denganmu, bukan?" Kataku untuk menyemangatinya.

"Aku khawatir akan memberiku kabar buruk sekali lagi," Aldo masih memperlihatkan wajahnya yang merasa sangat bersalah.

"Apa itu?" Tanyaku tanpa rasa penasaran. Karena sejujurnya sedari tadi aku sibuk mengamati wajahnya yang—walaupun terlihat sedih—namun masih sangat tampan.

"Aku sudah mencoba segala cara agar CEO mengurungkan niatnya untuk menyuruh kita menikah. Tapi, sepertinya keputusannya sudah bulat," kali ini dia tampak tidak enak hati.

Jadi itu semua bukan mimpi. CEO memang menyuruh menyuruh kami menikah untuk membungkam rumor buruk. Putra satu-satunya Pram Sastrajaya memang punya citra playboy. Tapi itu semua hanya gosip yang tidak pernah diambil pusing oleh pebisnis lain.

Lain ceritanya jika gosip itu sekarang memiliki bukti. Rekaman CCTV yang memperlihatkan wanita keluar-masuk kamar pribadinya di hotel yang dikelola grup keluarganya sendiri.

"Aku butuh waktu untuk berpikir," kataku.

"Tentu saja. Sementara itu aku akan mencoba menghalangi CEO sebisa mungkin," jawab Aldo sepakat.

***

Sehari kemudian, aku diperbolehkan pulang oleh rumah sakit. Aku sungguh merindukan apartemen studioku, yang walaupun sempit tapi sangat nyaman. Hal itu membuatku tidak sabar untuk segera masuk ke apartemenku.

Satu kali.. dua kali.. Aneh, anak kunci yang berada di genggamanku sampai kubolak-balik karena tindak kunjung bisa membuka kancing pintu.

Aku terus berkutat dengan kunci pintu apartemen sampai seseorang mendekatiku. Mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilap, orang itu menyapaku dengan santun.

"Nona Fiona, saya diutus Bapak CEO untuk mengantar Nona menemui beliau," kata orang bersepatu mengkilap itu.

Aku memejamkan mata untuk mengumpulkan kesabaran, kemudian dengan patuh mengikuti orang tersebut menuju mobil mewah yang diparkir di bawah.

Sesampainya di kantor CEO, aroma pinus langsung menyambut penciumanku. Mengingatkan pada kejadian di tempat ini tempo hari.

"Kelihatannya kepalamu sudah sembuh," kata CEO begitu melihatku memasuki ruangan.

Hanya ada kami berdua di ruangan ini, tapi hal jtu tidak membuatku gentar.

"Kelihatannya Anda membuat saya tidak bisa masuk ke tempat tinggal saya sendiri," balasku.

"Kau memang bocah kurang ajar," kata CEO. "Aku terpaksa membeli gudang yang kau sebut tempat tinggal itu."

Aku tersinggung mendengarnya menyebut apartemen studioku dengan sebutan 'gudang'.

"Bersyukurlah aku mengizinkanmu menikah dengan anakku. Karena dilihat dari manapun, kau tidak pantas bersanding dengan anakku." Lanjutnya. Sepertinya orang ini sangat ingin mencelaku.

Walaupun tentu saja, anak yatim piatu sederhana sepertiku memang tidak mungkin akan dijadikan menantu oleh seorang konglomerat.

"Oleh karena itu, tolong jangan paksa kami untuk menikah," kataku berharap ini adalah peluang untuk melepaskan hubungan dengan keluarga Sastrajaya.

"Sayangnya, identitas dan bukti hubunganmu dengan anakku sudah menyebar luas," lanjut CEO.

Beliau memandangku sekilas sambil menyunggingkan senyum licik.

"Oh kau tidak usah pura-pura polos. Aku tahu isi kepala rubah haus uang sepertimu ," kata CEO.

Aku jadi sedikit takut melihat senyum liciknya. Bagaimanapun beliau adalah orang yang bisa membuatku kehilangan tempat tinggal dalam waktu satu hari.

"Ingat satu hal, Fiona. Berani berurusan dengan keluarga Sastrajaya berarti kau harus berani menghadapi konsekuensinya," CEO lanjut menekanku. "Dan untuk menghilangkan rumor yang menjatuhkan perusahaan kami, kau HARUS menikah dengan Aldo. Tidak ada pilihan lain."

Kemarin, setelah petir menyambar di siang bolong, kali ini kurasa badai sudah menghampiri kehidupanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love Breaking Contract   33. Detektif

    "Sudah kubilang, kan, kau tunggu aku di rumah saja?" Aldo menggenggam kedua lenganku, juga menatapku dengan agak terlalu serius. Menurutku.Jujur saja, aku tidak terlalu bisa mengikuti suasana serius ini.Bagaimana tidak? Kami-aku dan Santi-membuntuti Aldo dan Galih dengan gaya detektif, mencurigai Aldo akan melakukan pertemuan rahasia (dan penuh gairah-menurut Santi) dengan mantan pacarnya, itu saja sudah membuatku geli. Belum lagi mengingat betapa cepat kami ketahuan, karena sepertinya Aldo benar-benar jengah dengan pertemuan itu dan malah mengamati semua hal yang ada di dalam restoran kecuali lawan bicaranya.Begitulah kami ketahuan. Ternyata bukan hanya bentuk matanya yang tajam, tapi juga penglihatannya. Walau bagaimanapun juga, kami bersembunyi di balik roster. Siapa coba yang bisa mengenali dua orang perempuan yang sedang mengintai pasangannya, dan sedang mengenakan masker-plus kacamata berbingkai tebal pada salah satunya-, dan bersembunyi di balik susunan balok-balok berluban

  • Love Breaking Contract   32. Orca

    Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m

  • Love Breaking Contract   31. Mantan

    Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di

  • Love Breaking Contract   30. Reaksi Tubuh

    "Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari

  • Love Breaking Contract   29. Kunjungan Nyonya Besar

    Semua berjalan dengan mulus dan lancar. Seperti seorang atlet profesional menggelindingkan bola bowling dan kemudian "Strike!" sepuluh pin bowling pun jatuh bersamaan. Aldo bekerja dengan sangat baik di Grand Luxy, bahkan dapat melebihi ekspektasi Pram Satrajaya. Semua berawal dari idenya untuk meningkatkan citra "feels like home" yang mulai pudar dengan menggaet Ramoda, produsen perabot eksklusif bercita rasa seni tinggi. Yang juga terkenal tidak pernah sudi melakukan hubungan komersial dengan korporat besar mata duitan macam Luxy Group. Terimakasih kepada Genta, yang dapat mengambil hati Ramoda. Kehadirannya sebagai manajer operasional, dan bukan aku sebagai direktur (dan juga menantu Luxy Group) yang datang untuk berunding memberikan kesan bahwa kami memang berniat untuk bekerjasama, bukan untuk membajak image yang dimiliki oleh Ramoda. Begitulah, tidak lama setelah peluncuran kampanye "Gather as Family", Aldo dapat memenangkan tantangan yang diberikan ayahnya. Aku sempat

  • Love Breaking Contract   28. Chihuahua dan Pomeranian

    "Kupikir mereka sudah tidak bertemu selama berminggu-minggu," bisik Santi pada Galih, tapi suaranya masih bisa kudengar. "Tuan Aldo tidak bisa berpisah dari Nyonya sehari saja, apalagi berminggu-minggu. Itu tidak mungkin," balas Galih. Mereka berdua mencondongkan diri satu sama lain agar bisa saling mengata-ngatai kami. Aku dan Aldo jadi tidak bisa fokus membaca buku menu yang kami baca bersama karena di depan kami ada dua orang yang tiba-tiba bisa jadi akrab karena menggosipkan kami berdua. "Aku bisa mendengarmu," kata Aldo menatap tajam ke arah Galih. Galih hanya cuek berpura-pura melihat ke langit sedangkan Santi berpura-pura menekuni buku menunya. "Sudah kubilang tidak usah membawa mereka," Aldo merengut memandang buku menunya. Aku jadi merasa bersalah. "Apa jadwal Aldo setelah dari Wale's?" Tanyaku kepada Galih. "Tidak ada jadwal lain, Nyonya," jawab Galih, jari telunjuknya berhenti menelusuri menu. "Kalau begitu, bawa dia pulang begitu rapatnya selesai," aku meniru

  • Love Breaking Contract   27. Santi

    Orang itu ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku mengingatnya sebagai orang yang memiliki wajah imut yang tidak sejalan dengan sifatnya yang meledak-ledak. "Berikan pekerjaan padaku," katanya lagi, dengan nafas memburu. "Apa-ah, tenang dulu," aku memberikan kode kepada Meylia untuk melepaskan cengkraman tangannya, lalu menyuruhnya keluar, demi keamanan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang itu memiliki sabuk hitam taekwondo. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Semburku pada Santi, orang tidak waras yang barusan menyerbu ruangan kantorku. "Aku orang yang loyal, kau tahu itu bukan?" Matanya masih menyala-nyala karena emosi. "Mm.. Oke?" Kataku lambat-lambat. "Aku sudah begitu bersabar menghadapi Jasmine, tapi kali ini aku sudah tidak bisa toleransi lagi," rambutnya yang dipotong bob pendek bergoyang-goyang ketika dia berbicara dengan penuh semangat. Agak sulit menganggap serius ledakan amarah dari seorang perempuan bertubuh mungil dan memiliki wajah imut yang ti

  • Love Breaking Contract   26. Kembali ke Realita

    Tidak kusangka hari ini kami sudah harus meninggalkan vila ini. Tempat yang awalnya terasa menyebalkan karena tidak sesuai dengan ekspektasiku-aku mengharapkan vila di pegunungan yang dingin-tapi malah terasa seperti rumah ketika kami sudah hendak pergi. Kemarin, melalui Galih, Pram Sastrajaya menyuruh kami segera kembali. Karena berita tentang kejadian waktu itu sudah mereda, dan karena Aldo harus segera kembali bekerja. Aku pun sudah merindukan Grayscale. Walaupun bukan perusahaan besar, tapi aku menyukai atmosfer di sana. Walaupun aku belum bisa membayangkan harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Rody nanti-dan aku tidak mau membayangkan barang secuil wajahnya-aku harus tetap berani melangkahkan kakiku. Setidaknya, itu yang harus kulakukan untuk mengatasi mimpi buruk yang belakangan kualami. Mimpi buruk yang, untungnya, seringkali terlupakan berkat sentuhan-sentuhan Aldo. Walau mungkin kurang tepat menyebutnya dengan 'sentuhan'. Aku mengamati baju tidur baruku

  • Love Breaking Contract   25. Aftertaste

    Benar kata Aldo, dia memang tidak segan-segan. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan-atau kulakukan-sebelumnya. Dan, melakukan 'itu' di meja dapur adalah salah satunya. Tentu bukan hanya di situ saja Aldo menunjukkan ketidak-seganannya. Setelah membuat punggungku sakit karena berbaring di atas meja kayu jati yang keras, dia membopongku masuk ke dalam kamarnya. Saat kupikir kami seharusnya tidur, dia melanjutkan aksinya.Seharusnya dia menunjukkan belas kasih mengingat semalam adalah pertama kali kami melakukannya. Benar-benar deh. Bagaimana dia bisa menahannya selama ini? Aku berguling menjauhinya. Matahari sudah mulai tinggi dan aku ingin menutup tirai untuk mengurangi cahaya yang masuk melalui kaca jendela. "Mau ke mana?" Tanya Aldo setengah terpejam. "Sudah siang, memangnya kau tidak harus kerja?" Tanyaku sambil menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Tapi dia malah semakin melingkarkan tangannya. "Tidak. Aku kan sedang bulan madu," katanya dengan wa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status