Emily mengerjap saat secercah cahaya mentari menyorot langsung mengenai matanya dari tirai jendela. Di sampingnya, Jason masih terlelap dan memeluknya. Ini bukan mimpi. Meski sekujur tubuhnya terasa remuk redam, tetapi ia bahagia. Jason juga tidak terlihat sibuk sendiri seperti biasanya, karena telepon dan kedatangan Tamara. Artinya dia memang sungguh-sungguh ingin membangun pernikahan yang sesungguhnya bersama Emily. Emily bangkit perlahan, menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk sarapan mereka berdua. Jason sudah menyarankan agar mereka bisa memiliki pembantu, tetapi Emily menolaknya. Ia masih bisa melakukan semua seperti saat di rumah Charles dan Emma. Meski ia juga disibukkan dengan pekerjaannya sebagai manajer, tetapi ia yakin masih bisa melakukan kewajibannya sebagai istri. “Selamat pagi,” sapa Jason sembari mengecup pipi sang istri sebelum kemudian membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol susu. Ia tuangkan ke dalam dua gelas untuknya dan Emily. “Hey, selamat p
Emily tak peduli andai Jason menganggapnya murahan dan terlalu mudah memberikan cinta. Tidak seperti itu kenyataannya. Emily hanya akan memberikannya pada orang yang memang sudah seharusnya menerima cinta dan pengabdiannya. Siapa lagi kalau bukan Jason yang merupakan suaminya? Bahkan kini keduanya masih mematung dan bungkam, tak ada suara yang terucap. Jason jelas sudah mengatakan pada Emily bahwa ia akan mengusahakannya, tetapi tidak juga dengan cara seperti ini. Ini hanya akan jadi beban baginya. Akan jadi keharusan baginya pada akhirnya. “Aku sudah katakan kalau aku akan usahakan, Em. Kau tak perlu meminta, atau bahkan jangan memaksa. Tidak mudah untuk melepaskan seseorang dari hatimu, terlwbih ini baru berapa hari.” Alasan! Bagi Emily, apa yang baru saja diucapkan oleh Jason hanyalah dalih agar ia tak perlu memenuhi apa yang dia katakan sebelumnya. Meski Emily meminta, memang apa salahnya? Bukankah Jason yang menjanjikannya lebih dulu, hingga Emily melambung tinggi ke angkasa?
Emily sudah berada di kantor dan seharusnya mengurus pekerjaan yang cukup banyak dan membuatnya pening. Namun, sejak tiba di kantor pagi tadi, ia tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Kepalanya terasa pening dan membuatnya hanya terbengong sepanjang hari. “Hey ... apa kau baik-baik saja?” tanya Shila yang sudah berada di hadapannya dan memerhatikan sejak tadi dirinya melamun. Emily terenyak dan menggeleng, dengan tujuan memberi jawaban atas pertanyaan Shila sekaligus untuk mengusir pikiran-pikiran mengenai kejadian beberapa hari belakangan. Sikap manis Jason yang berubah brutal saat mengetahui Emily bicara dengan Jared di telepon membuat Emily bingung dan tak bisa mengartikan perasaan apa yang sebenarnya dirasakan oleh lelaki itu terhadapnya. “Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya ... Shila—“ Emily tidak melanjutkan kalimatnya, melainkan menatap sahabatnya itu dalam-dalam. Shila segera duduk di hadapan Emily dan menanti wanita itu bicara apa pun yang menjadi beban pikirannya. “Ada apa
Emily hanya bungkam saat dirinya berhadapan dengan Charles dan Emma, setelah Jason melakukan apa yang diancamkannya pada Emily. Ia serius mengenai hal itu, dan meski terdengar kekanakan, Charles justru merasa bangga terhadap putranya. Apa yang dilakukan oleh Jason, seolah merupakan hal yang didambakan oleh Charles sejak awal. Ia yakin, saat ini, rasa cinta dalam hati Jason sudah tumbuh untuk Emily. Namun, Jason tak mau bicara di hadapan Emily. Ia ingin pembicaraan itu dilakukan antar lelaki saja. Pada akhirnya, Emily dan Emma menyiapkan makan malam untuk mereka berlima dan berbincang sendiri, sementara Jason tetap berada di ruang kerja bersama Charles. “Apa yang kau ingin ayah lakukan untuk menanggapi aduanmu itu, hm?” tanya Jason pada sang putra yang jelas akan menjadi penerus bisnis Kennel’z Industry. Sebuah kebanggaan bagi Charles karena salah satu putranya bersedia bahkan antusias untuk memegang tonggak kepemimpinan setelahnya. Charles sudah pernah kecewa sekali saat Jared tid
Jason memandangi Emily yang tengah membereskan ranjang mereka—setelah dirinya membersihkan diri dan siap untuk beristirahat.Hari ini cukup melelahkan bagi dirinya dan Jason, terlebih ketika ia harus menghadapi kecemburuan Jason yang entah bagaimana caranya Emily harus menjelaskan. Lelaki itu tampak manis ketika bersikap over protektif, tetapi sekaligus mengerikan.Emily berbaring membelakangi Jason, ia tidak marah, hanya takut akan reaksi Jason menanggapi keputusan dari Charles yang pada akhirnya disampaikan pada mereka di meja makan.Tepat di hadapan Emily, sekaligus Jared.Untungnya, baik Charles maupun Emma tidak mendengar berita tentang keributan antara Jason dan Jared yang terjadi di kantor. Meski wajah keduanya tampak babak belur, tetapi tak ada satu pun dari orang tua itu yang bertanya.Bisa saja mereka sudah tahu, hanya saja memilih untuk bungkam dan tidak ikut campur.Jason menghadap ke kanan dan kiri, tak bi
Jason tengah menikmati kopi di The Cafe, tempat langganan Emily dan Shila setiap kali mereka ingin menikmati secangkir americano yang lezat. Jason mengetahui tempat itu juga hasil dari menguping pembicaraan dua sahabat itu saat ia lewat di depan ruangan Emily.Ia ingin tahu, seperti apa standard nikmat menurut Emily. Dan pada akhirnya ia tahu bahwa Emily memiliki selera yang cukup tinggi.Jason hendak keluar dari kedai kopi itu ketika ia menabrak seseorang dan menumpahkan kopi panas di atas kemeja wanita itu."Ah! Apa yang kau lihat—Jason?" Tamara membulatkan maniknya kala melihat Jason dengan penampilan yang tampak berbeda di matanya. Rambutnya sudah ditata dan dipangkas rapi, kecuali bulu halus yang menghiasi rahang tegasnya, tentu saja.Bulu halusnya itu yang menjadi daya tarik Jason McKennel di mata Tamara. Ternyata Jason masih mempertahankan apa yang disukai oleh wanita itu."Kau kemari juga? Sungguh kita ini memang berjodoh," ucap w
Emily sudah berada di rumah ketika Jason pulang dalam kondisi berantakan. Emily tak berani bertanya, hanya mengawasi gerak-gerik Jason yang tampak aneh dan dingin terhadapnya.Padahal baru malam tadi Jason tertidur sembari memeluknya dari belakang, terlelap setelah menghidu aroma tubuhnya. Kini ia pulang dengan tampilan dan sikap berbeda, bahkan aroma parfum yang tidak Emily kenali.“Kau dari mana, Jase? Aku menunggumu di kantor untuk makan siang dan kau tidak muncul,” protes Emily, dengan bahasa sehalus mungkin.Ia tak ingin memancing emosi Jason yang mungkin saja lelah karena baru tiba di rumah.“Aku ada pertemuan dengan salah satu klien.”“Mendadak? Dan tidak kembali ke kantor?”Jason menoleh dan menatap nyalang ke arah Emily.“Apa kau sedang menginterogasiku? Apa yang kau inginkan sebenarnya, Em?” tanya lelaki itu, tak berani mendekat ke arah Emily.Jason memang tidak mendekat, tetapi Emily y
“Jase, kau tidak sarapan dulu?” tanya Emily yang melihat Jason telah rapi dengan setelah jasnya. Emily mendekat pada lelaki itu, kemudian membenarkan letak dasinya dan merapikan jasnya.“Kau pulang jam berapa?” tanya Emily, lagi, karena Jason tak menjawab pertanyaan pertama. Ia tak ingin menyiakan waktu dengan amarah. Sakit yang ia rasakan itu jelas. Namun, jika ia hanya diam dan membiarkan Jason terus melakukan pengkhianatan ini terhadapnya, ia merasa tak terima.“Kau tidak berangkat bekerja?” tanya Jason. Enggan menjawab pertanyaan istrinya, ia justru memberi pertanyaan balasan.Emily tersenyum sejenak, kemudian menatap lekat iris mata jernih milik lelaki di hadapannya. Ia ingin sekali saja mengagumi sang suami meski cinta Jason tidak akan pernah bisa ia miliki.“Aku ingin melakukan sedikit simulasi bagaimana jika menjadi ibu rumah tangga nantinya,” jawab Emily sembari mengulas senyum.Jason terenyak akal mendengar kalimat itu