Jason dan Emily sedang dalam perjalanan. Di dalam mobil, Emily terus menangis karena tidak menyangka bahwa anaknya masih hidup. Berkali-kali ia menanyakan hal yang sama kepada Jason mengenai Liam dan dijawab dengan jawaban yang sama pula oleh laki-laki itu.
Jason mengerti bagaimana keadaan Emily. Dirinya juga rindu dengan Liam, darah dagingnya. Namun, setidaknya ia lega karena Liam sudah berada di tangan yang tepat saat ini.Mobil Jason berhenti di halaman rumah kediaman Charles dan Emma. Langsung saja mereka masuk. Di ruang tamu, semua orang berkumpul. Charles, Emma, Alex, Shila, bahkan Jared—kakaknya ada di sana.Emily lantas menghampiri Emma yang sedang menggendong bayi.Emma yang tahu perasaan Emily pun menyerahkan bayi itu. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan serta air mata yang mewakili kebahagiaannya, Emily akhirnya kembali menggendong Liam. Anaknya yang sudah menghilang beberapa waktu.Emily menangis. Shila pun mendekat ke arah sahabatnya dan memeluknya. “Sekarang, Liam sudah kembali, Emily.” Shila mengusap air matanya. Ia bahagia sekaligus terharu karena akhirnya bisa melihat Emily dan Liam kembali.Emily mencium Liam penuh kerinduan yang tidak terbendung. “Momy di sini sayang. Aku sangat merindukanmu.”Semua orang yang melihat Emily tersenyum. Mereka bahagia sampai-sampai meneteskan air mata.Akhirnya, yang hilang dipertemukan. Yang ditakdirkan bersama akan bersama. Begitulah yang dirasakan Emily. Mulai hari ini, ia akan mendapatkan kebahagiaannya yang sudah lama hilang.***Tiga bulan kemudianJason datang mengunjungi Emily dan membawakan sekotak coklat serta sebuah buket bunga kesukaan wanita itu. Lili dan Peony yang Jason masih ingat hingga sekarang.Emily tampak lebih bahagia dibanding sebelumnya dan tentu saja perasaan Jason juga mulai perlahan lebih tenang karena ia lebih bebas bertemu dengan putranya dan menghabiskan waktu bersama Liam dan Emily.Wanita itu tak lagi menolak kehadiran Jason karena ia juga membutuhkan pria itu dalam pengasuhan Liam. Ia tidak memikirkan cinta lain, hidupnya hanya untuk Liam sekarang. Apa pun akan ia lakukan demi bayinya itu.“Apakah kau sudah makan? Aku membawakan makanan kesukaanmu. Masakan cina dan spageti,” ujar Jason dengan senyum semringah.Melihat apa saja yang dibawa Jason dan diletakkan di atas meja makan, dua bola mata hazel itu membulat.“Serius, Jase? Ini banyak sekali. Siapa yang akan menghabiskannya?” tanya Emily. “Aku sedang diet.”Jason terkekeh mendengar perkataan mantan istrinya itu lantas bangkit dan menghampiri wanita itu lalu meraih kedua tangannya.“Kau masih harus menyusui Liam, nanti bentuk tubuhmu akan kembali dengan sendirinya.”“Bagaimana kalau tidak? Lihatlah ... lemak di mana-mana,” kini ia yang tergelak.“Kalau pun tidak memangnya kenapa? Kau tetap cantik seperti apa pun dirimu. Dan ... kau tahu bagaimana pun, perasaanku tak pernah berubah.”Perkataan Jason berhasil membuat pipi Emily bersemu merah. Ia lantas melepaskan genggaman tangan Jason dan memutar tubuhnya.“Jase ... aku tak tahu apakah ini saat yang tepat untuk membahasnya ...”“Ini saat yang tepat. Aku sudah terlalu lama menunggu dan membiarkanmu bersama lelaki itu hanya untuk disakiti. Aku tahu aku juga pernah menyakitimu, tetapi melihat pria lain melakukan hal yang sama bahkan jauh lebih kejam, rasanya seperti ingin mati.”Emily masih bungkam. Ia tak bisa berkata-kata karena apa pun yang ia ucapkan, takutnya akan menjadi bumerang bagi dirinya. Entah itu dalam bentuk yang baik atau sebaliknya.“Emily, aku mencintaimu. Aku ingin bisa bersatu dengan kalian, menghabiskan waktu bersama tanpa harus merasa takut kau dimiliki pria lain lagi. Aku tidak akan lagi menyakiti dan mengecewakanmu seperti sebelumnya. Aku janji.”Emily tertegun dan menatap Jason dalam-dalam. Pria itu tampak sungguh-sungguh atas perkataannya. Emily kali ini yakin akan hal itu.Bagaimana pun Emily sangat mengenal Jason dan ia berani jamin Jason tak akan mengulangi apa yang pernah pria itu lakukan terhadapnya. Dan itu pula yang ia harapkan.“Aku tidak akan memaksamu untuk terburu menikah denganku. Aku ingin kita menikmati kebersamaan dan memulai semua dari awal, saling mengenal satu sama lain. Kita bertiga. Bagaimana menurutmu?”Emily merasa gamang. Janji dan permintaan Jason tentu saja sangat menggoda baginya. Ia tak pernah bisa benar-benar melupakan pria itu begitu pula sebaliknya. Dan kini, bisa jadi memang sudah saatnya mereka untuk kembali bersama.Bersama yang sesungguhnya.Jason masih menanti jawaban dari wanita tercintanya. Ia memang tak berani terlalu berharap. Karena apa yang telah ia lakukan pada Emily sesungguhnya tak mungkin termaafkan.Namun, Emily mengangguk, sebagai tanda bahwa ia menerima Jason kembali sebagai pria yang berharga dalam hidupnya selain bagi putra mereka.Mulai sekarang ia dan Jason akan bersama-sama mengasuh Liam dalam ikatan yang pasti. Meski belum berada di jenjang pernikahan, tetapi setidaknya baik Emily maupun Jason sudah berikrar untuk menjalin kembali cinta mereka dan saling setia untuk selamanya.**Holla, readers ...Makasih buat yang sudah ngikuti karya othor mulai awal sampai akhir, juga buat semua dukungan kalian dan sampai jumpa di karya berikutnya. ❤️Jason dan Emily sedang dalam perjalanan. Di dalam mobil, Emily terus menangis karena tidak menyangka bahwa anaknya masih hidup. Berkali-kali ia menanyakan hal yang sama kepada Jason mengenai Liam dan dijawab dengan jawaban yang sama pula oleh laki-laki itu. Jason mengerti bagaimana keadaan Emily. Dirinya juga rindu dengan Liam, darah dagingnya. Namun, setidaknya ia lega karena Liam sudah berada di tangan yang tepat saat ini. Mobil Jason berhenti di halaman rumah kediaman Charles dan Emma. Langsung saja mereka masuk. Di ruang tamu, semua orang berkumpul. Charles, Emma, Alex, Shila, bahkan Jared—kakaknya ada di sana. Emily lantas menghampiri Emma yang sedang menggendong bayi. Emma yang tahu perasaan Emily pun menyerahkan bayi itu. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan serta air mata yang mewakili kebahagiaannya, Emily akhirnya kembali menggendong Liam. Anaknya yang sudah menghilang beberapa waktu. Emily menangis. Shila pun mendekat ke arah sahabatnya dan memeluknya. “Sekarang, Liam
Di tempat yang berbeda, Jason berkali-kali berdecak dan mengumpat karena Alex tidak kunjung datang. Ke mana laki-laki itu, apakah menuntaskan hajat sampai harus bermenit-menit. Jason curiga kalau sebenarnya Alex bukannya ke kamar mandi untuk buang air, tetapi justru bertapa. Jason melihat jam berwarna hitam yang melingkar di tangannya. Jarum panjang jam sudah berganti ke angka empat. Itu artinya sudah lebih dari dua puluh menit laki-laki itu di apartemennya.“Ke mana dia?” gumam Jason.Jason memeriksa ponselnya. Tadi, ponselnya mati jadi tidak bisa digunakan untuk menghubungi Alex. Setelah dicharger di dalam mobil, akhirnya ponselnya menyala. Jason buru-buru mencari kontak nama Alex. Begitu ingin dihubungi, ada tiga pesan muncul dari orang yang ditunggu. Jason membukanya. Ada satu video sedikit panjang di sana. Sedikit curiga, akhirnya Jason memutarnya. Di dalam video itu, ia hanya melihat gambar berwarna putih. Jason mendengus kesal. “Apa yang dilakukan dia sebenarnya.” Baru saja
Jason tidak menghiraukan ucapan Alex. Tadi, di rumah Alex, Jason sempat berdebat sengit dengan pria itu. Shila bahkan sampai harus melerai. Karena ucapan wanita itu, Jason memilih keluar dan pulang ke apartemennya untuk mengambil sesuatu. Dia akan bersiap untuk menemui Jeffry. Siapa yang menyangka kalau ternyata Alex mengikutinya. Hingga akhirnya, laki-laki itu menghadang di depan pintu apartemen miliknya. “Minggir!” ucap Jason yang ke sekian kalinya namun tidak juga mendapatkan respon dari Alex. Alex menggeleng. “Kau mau mendapatkan masalah lain? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Jeffry, maka dia bisa saja mengelak atas semua tuduhan,” jelas Alex. Wajah laki-laki itu terlihat sangat serius. “Lalu, kau mau aku hanya diam sementara dia berhasil membuat Emily menjadi korban kekerasan fisik dan seksualnya. Kau mau aku tetap diam dan membiarkan dia terbahak keras di ranjang rumah sakit?!” sorot mata Jason penuh kobaran api amarah.Alex bahkan sampai menunduk karena tidak kuat menatap
Shila menggigit bibir dan meremas jemarinya. Jantungnya berdetak kencang karena sejak tadi dua orang yang ia tunggu tidak kunjung keluar daei bangunan megah itu. “Mereka sebenarnya sedang mencari apa? Kenapa lama sekali? Apakah jangan-jangan mereka ketahuan lagi?”Pikiran buruk mengenai dua sahabatnya langsung terbayang. Namun, Shila segera menepis pikiran buruk itu agar tak menjadi sugesti baginya.Jantungnya nyaris mencelus ketika mendengar suara berisik di sampingnya. Ia mengira salah seorang pengawal berhasil mengetahui keberadaannya. Namun, jauh dari dugaan karena Jason dan Alex-lah yang datang. Shila yang semula tak berani bergerak dan hanya mematung di tenpat, menghampiri dua lelaki itu setelah memastikan bahwa mereka adalah kawan-kawannya. “Apakah kalian baik-baik saja? Kalian berhasil?”Jason mengangguk. “Sepertinya keberuntungan sedang berpihak. Kita berhasil mendapatkan rekamannya.” Jason mengambil flashdisk yang ia simpan dan menunjukkannya pada Shila. Wanita itu menghel
Tiga orang yang baru saja datang dipersilakan duduk oleh seorang pria yang mengenakan jas berwarna hitam. Pria yang berumur sekitar empat puluhan itu tampak masih bugar, walau rambutnya memutih di beberapa bagian.“Jadi, apa rencanamu?” celetuk Jason sembari melihat-lihat dokumen di hadapaannya. “Kau belum mengenalkan mereka padaku.” timpal Mark yang bergantian menatap Alex dan Shila. "Kuharap kalian tidak tersinggung. Aku tidak bisa mengatakan langkahku pada orang asing, karena ijni menyangkut nyawa seseorang. Bukan begitu?""Kau benar. Perkenalkan, aku Alexander Danison, sahabat Emily."Mark menyambut jabatan tangan itu ramah dengan senyum terkembang. "Oh, Tuan Danison. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu. Seorang pengusaha besar dan selevel dengan Jeffry Allen. Kuharap aku tidak salah.""Kau terlalu berlebihan, Tuan Jefferson." Alex membalas sambutan Mark dengan sikapnya yang rendah hati. Ia lantas menoleh pada Shila. "Ini Shila Andreas. Ia juga sahabat Emily." "Hmm ... aku j
Ide yang Jason lontarkan lantas membuat ketiga orang menaruh perhatian penuh pada Tamara. Mulai sekarang, Jason yang akan mengambil alih penyelidikan wanita itu. Sementara, Alex dan Shila akan mencari sesuatu soal Jeffry. Keduanya bertekat akan membuat laki-laki itu membayar atas apa yang dilakukan pada sahabatnya. “Aku akan pulang ke rumah,” ucap Jason setelah merancang rencana di kepalanya“Untuk apa?” kening Shila berkerut. “Bagaimana dengan Tamara? Bukankah kau mau menyelidikinya sendiri?” “Memang. Tapi, aku akan minta bantuan orang tuaku untuk menghubungi detektif Jefferson. Kemarin aku belum sempat bertemu dengan mereka.” “Baiklah. Pulang saja, kita berdua nanti akan mencari informasi soal Jeffry.”“Bagus. Kalau begitu, aku akan mengunjungi kwdua orang tuaku. Kalian urus dengan baik dan kabari aku perkembangannya.” Alex dan Shila mengangguk sebagai respon atas ucapan Jason yang layaknya seorang pimpinan. Jason pamit dan segera menuju ke kediaman orang tuanya. Ia tak sempat