Share

Part 6

Waktu pun berlalu, kabar lamaran Dimas Anggara dari Star Tomo pun kian santer terdengar di dua perusahaan besar itu.

Papa Erwin terlihat sangat-sangat antusias sehingga ia dengan cepat mutuskan untuk menggelar acara pernikahan putrinya itu dalam waktu dekat.

Namun berbeda dengan mama Marwah yang masih ragu akan calon mantunya tersebut.

***

Disatu pagi yang cerah, Maya terlihat menyibukkan diri dengan alat membuat kue. Hal itu menjadikan sang mama ikut merasa aneh.

Rasanya putrinya tak pernah begitu menyukai keribetan dalam masak memasak apa lagi membuat kue kering yang memerlukan keuletan.

"Maya??"seru mama Marwah yang baru saja masuk ke showroom dapurnya yang biasa ia gunakan untuk menciptakan membuat kue baru.

Maya yang baru saja hendak menimbang tepung seketika terkaget.

"Eh, mama??"

"Kamu? ngapain??" tanya sang mama dengan wajah terheran dan perlahan mendekat pada sang putri.

Maya hanya tersenyum simpul, dengan wajah berseri-seri.

"Ikh, mama pakek di tanya segala, ini lagi hitung tepung dong" sahut sang anak senang.

Wajah mama Marwah masih tak puas, walau ia sudah melihat sendiri jika sang putri tengah menghitung berat tepung.

"I-iya mama juga lihat kamu lagi hitung tepung, ta-pi..??"

"Mama ngerasa aneh??" ujar Maya dengan menyelesaikan menghitung berat tepung.

"Ya" sahut sang mama tanpa basa basi.

Namun sang anak malah tertawa kecil.

"Bukankah ini  harapan mama yang sebenarnya kan?? Maya bisa terusin hobi mama yang sama dengan oma yang jago buat cake dan cookies"

Marwah terpaku dengan jawaban sang anak yang memang benar.

"Jadi mah, untuk kali ini percaya sama Maya dan tolong jangan bantu Maya ya.." pinta sang anak dengan wajah riang dan kemudian ia berpindah menuju mixer yang sudah siap bekerja.

Namun nyatanya Marwah masih di selimutin rasa penasaran akan perubahan sang putri yang sangat-sangat tidak menyukai perdapuran.

"Ah, ya.. mama gak akan bantu, tapi nanti mama cicip ya"

Maya yang hendak menyalakan mixer, pun seketika menoleh dengan senyum.

"Hmm, maaf mah, gak bisa" sela Maya dengan akhirnya menyalakan mixer.

Dan seketika suara mixer pun memenuhi ruangan. Maya terlihat kembali membaca buku resep milik mamanya yang sudah turun temurun di miliki dari sang nenek.

Lalu tak lama Maya pun meninggalkan sang mixer  yang bekerja untuk mengambil bahan lainnya. Terlihat ia kesusahan mencari hal yang ia butuhkan  di ruangan dapur itu.

Melihat hal tersebut sang mama mendekat.

"Cari apa??"

"Vanila dan susu bubuk" seru Maya menoleh pada sang mama.

"Oh, sebentar" ujar sang mama yang dengan sangat mudah menemukan dua bahan tersebut yang sudah ia simpan di tempat biasa.

Marwah mengambil dua tempat yang ia bawa mendekat pada sang putri dan menyerahkan pada Maya.

"Ini"

"Makasih, mah" sambut Maya yang dengan segera meraih dua kotak dari tangan sang mama.

Marwah hanya bisa melihat kesibukan  sang putri tanpa membantu. Sekilas ia mengingat dulu ketika kecil Maya sangat tidak menyukai apa pun yang berurusan dengan dapur. Memasak dan membuat kue adalah hal yang ia jauhi.

Kegiatan Maya lebih pada sifat fisik seperti latihan anggar, berkuda  dan renang. Entah mengapa sang putri sama sekali tak mengikuti hobi masak memasaknya itu. Hingga beranjak dewasa pun Maya terbilang gadis yang tak bisa memasak.

Ketika kuliah pun ia lebih memilih jurusan yang Bisnis seperti sang Papa, ilmu bisnis dan manajemen menjadi pelajaran yang Maya gemari.

Namun, walau demi kian,  Marwah tak pernah memaksa Maya untuk melakukan  apa yang tidak ia sukai. Karena ia belajar dari kenangannya yang dulu belajar ilmu kedokteran namun berakhir menjadi ilmu manajemen perhotelan.

"Mama, tolong nyalain oven ya" seru Maya pada sang mama yang akhirnya tersadar dari lamunnya.

"Ah, ya sayang" sahut Marwah dengan berjalan  mendekat pada oven listrik yang tersedia di sudut ruangan.

Maya terlihat mematikan mixer dan melakukan step by step menuangkan adonan pada layang yang telah di siapkan.

Marwah hanya memperhatikan sang putri yang ternyata bisa melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

Tak lama, Maya mendekat pada oven lalu memasukkan layang tersebut kedalam oven dan menutupnya.

"Ah, selesai" seru Maya.

"1jam, 20 menit" timpalnya kembali ketika melihat jam di pergelangan tangannya.

Marwah mendekat pada oven dan sama-sama melihat loyang kue tersebut.

"Semoga mas Dimas suka" ujar Maya dengan senyum.

Seraut wajah kaget sang mama terlihat dan menoleh pada sang putri.

"Ka-mu??"

"Bener mah, kue ini untuk mas Dimas, Maya mau kasih kejutan, kabarnya dia baru pulang hari dari perjalanan dinas luar negeri"

Marwah terteguh mendengarkan ucapan sang putri yang terlihat sangat antusias. Sesaat ia seolah melihat pantulan dirinya sendiri yang dulu pernah melakukan hal yang sama. Membuat cake spesial untuk orang yang di cintai.

"Kamu, benar-benar suka sama Dimas??" tanya mama Marwah datar.

Maya menoleh pada sang mama dengan perasaan aneh.

"Ya mah, kenapa? apa ada yang salah??"sahut Maya perlahan dengan melihat mimik wajah sang Mama yang terlihat khawatir.

Mama Marwah perlahan menghela nafas pelan.

"Enggak" jawab pelan.

"Mama, hanya masih belajar merelakan kamu yang sebentar lagi akan menikah" timpal sang mama dengan membelai wajah sang putri dengan hati gundah.

"Walau kamu sudah dewasa, namun di mata mama kamu tetap putri kecil mama"

Maya terlihat lega, hingga ia perlahan  menyentuh punggung jemari sang mama yang masih memegang wajahnya.

"Restu mama dan papa adalah segalanya, doakan agar Maya bahagia sama seperti pernikahan mama dan papa"

"Menikah adalah cerita terpanjang dalam hidup, juga ibadah terlama.. kamu tau, akan ada riak-riak atau terkadang ombak besar dalam  biduk rumah tangga, dan kamu harus bijaksana dalam menyikapi ya.. " tutur mama Marwah.

Maya mendengar dengan seksama.

"Ego akan muncul tanpa kita sadari, tapi kamu harus kembali mengingat awal mula keputusan mu untuk menikah dengan pria yang kamu pilih" timpal mama kembali dengan memberikan gambaran akan perjalanan rumah tangga.

"Apa mama dan papa pernah bertengkar??"

Mama Marwah tersenyum kecil.

"Tentu sayang, tidak ada rumah tangga tanpa pertengkaran.." jawab sang mama.

"Lalu siapa yang sering mengalah??" tanya Maya kembali.

Mama Marwah kian tertawa kecil mendengar pertanyaan sang putri.

"Hmmm, mungkin mama tapi.. Papa mu punya cara tersendiri untuk mengakui kesalahannya, karena ia takut melihat mama menangis"

Maya seketika tertawa kecil.

"Papa ternyata suami takut istri" celetuk Maya.

Mama Marwah menggelengkan kepala.

"Enggak, papa bukan suami takut istri.. tapi begitu lah seharusnya, karena suami adalah pemimpin didalam rumah tangga, tidak bisa kita menilai meminta maaf adalah yang merasa takut, tapi itu adalah bentuk rasa sayang dan cintanya pada sang istri" jawab sang mama bijak.

Mama Marwah menghela nafas pelan sembari melihat lekat pada wajah bahagia sang anak.

"Mama akan selalu berdoa untuk kebahagiaan mu, semoga Dimas pria yang akan  selalu menyayangimu"

Maya hanya bisa tersenyum tipis.

Masih ada rasa berat yang terganjal di hati mama Marwah, namun jika ia memilih untuk menyimpan rasa gelisahnya itu demi wajah bahagia sang putri yang tak lama lagi akan melangsungkan pernikahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status