Waktu pun berlalu, kabar lamaran Dimas Anggara dari Star Tomo pun kian santer terdengar di dua perusahaan besar itu.
Papa Erwin terlihat sangat-sangat antusias sehingga ia dengan cepat mutuskan untuk menggelar acara pernikahan putrinya itu dalam waktu dekat.
Namun berbeda dengan mama Marwah yang masih ragu akan calon mantunya tersebut.
***
Disatu pagi yang cerah, Maya terlihat menyibukkan diri dengan alat membuat kue. Hal itu menjadikan sang mama ikut merasa aneh.
Rasanya putrinya tak pernah begitu menyukai keribetan dalam masak memasak apa lagi membuat kue kering yang memerlukan keuletan.
"Maya??"seru mama Marwah yang baru saja masuk ke showroom dapurnya yang biasa ia gunakan untuk menciptakan membuat kue baru.
Maya yang baru saja hendak menimbang tepung seketika terkaget.
"Eh, mama??"
"Kamu? ngapain??" tanya sang mama dengan wajah terheran dan perlahan mendekat pada sang putri.
Maya hanya tersenyum simpul, dengan wajah berseri-seri.
"Ikh, mama pakek di tanya segala, ini lagi hitung tepung dong" sahut sang anak senang.
Wajah mama Marwah masih tak puas, walau ia sudah melihat sendiri jika sang putri tengah menghitung berat tepung.
"I-iya mama juga lihat kamu lagi hitung tepung, ta-pi..??"
"Mama ngerasa aneh??" ujar Maya dengan menyelesaikan menghitung berat tepung.
"Ya" sahut sang mama tanpa basa basi.
Namun sang anak malah tertawa kecil.
"Bukankah ini harapan mama yang sebenarnya kan?? Maya bisa terusin hobi mama yang sama dengan oma yang jago buat cake dan cookies"
Marwah terpaku dengan jawaban sang anak yang memang benar.
"Jadi mah, untuk kali ini percaya sama Maya dan tolong jangan bantu Maya ya.." pinta sang anak dengan wajah riang dan kemudian ia berpindah menuju mixer yang sudah siap bekerja.
Namun nyatanya Marwah masih di selimutin rasa penasaran akan perubahan sang putri yang sangat-sangat tidak menyukai perdapuran.
"Ah, ya.. mama gak akan bantu, tapi nanti mama cicip ya"
Maya yang hendak menyalakan mixer, pun seketika menoleh dengan senyum.
"Hmm, maaf mah, gak bisa" sela Maya dengan akhirnya menyalakan mixer.
Dan seketika suara mixer pun memenuhi ruangan. Maya terlihat kembali membaca buku resep milik mamanya yang sudah turun temurun di miliki dari sang nenek.
Lalu tak lama Maya pun meninggalkan sang mixer yang bekerja untuk mengambil bahan lainnya. Terlihat ia kesusahan mencari hal yang ia butuhkan di ruangan dapur itu.
Melihat hal tersebut sang mama mendekat.
"Cari apa??"
"Vanila dan susu bubuk" seru Maya menoleh pada sang mama.
"Oh, sebentar" ujar sang mama yang dengan sangat mudah menemukan dua bahan tersebut yang sudah ia simpan di tempat biasa.
Marwah mengambil dua tempat yang ia bawa mendekat pada sang putri dan menyerahkan pada Maya.
"Ini"
"Makasih, mah" sambut Maya yang dengan segera meraih dua kotak dari tangan sang mama.
Marwah hanya bisa melihat kesibukan sang putri tanpa membantu. Sekilas ia mengingat dulu ketika kecil Maya sangat tidak menyukai apa pun yang berurusan dengan dapur. Memasak dan membuat kue adalah hal yang ia jauhi.
Kegiatan Maya lebih pada sifat fisik seperti latihan anggar, berkuda dan renang. Entah mengapa sang putri sama sekali tak mengikuti hobi masak memasaknya itu. Hingga beranjak dewasa pun Maya terbilang gadis yang tak bisa memasak.
Ketika kuliah pun ia lebih memilih jurusan yang Bisnis seperti sang Papa, ilmu bisnis dan manajemen menjadi pelajaran yang Maya gemari.
Namun, walau demi kian, Marwah tak pernah memaksa Maya untuk melakukan apa yang tidak ia sukai. Karena ia belajar dari kenangannya yang dulu belajar ilmu kedokteran namun berakhir menjadi ilmu manajemen perhotelan.
"Mama, tolong nyalain oven ya" seru Maya pada sang mama yang akhirnya tersadar dari lamunnya.
"Ah, ya sayang" sahut Marwah dengan berjalan mendekat pada oven listrik yang tersedia di sudut ruangan.
Maya terlihat mematikan mixer dan melakukan step by step menuangkan adonan pada layang yang telah di siapkan.
Marwah hanya memperhatikan sang putri yang ternyata bisa melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Tak lama, Maya mendekat pada oven lalu memasukkan layang tersebut kedalam oven dan menutupnya.
"Ah, selesai" seru Maya.
"1jam, 20 menit" timpalnya kembali ketika melihat jam di pergelangan tangannya.Marwah mendekat pada oven dan sama-sama melihat loyang kue tersebut.
"Semoga mas Dimas suka" ujar Maya dengan senyum.
Seraut wajah kaget sang mama terlihat dan menoleh pada sang putri.
"Ka-mu??"
"Bener mah, kue ini untuk mas Dimas, Maya mau kasih kejutan, kabarnya dia baru pulang hari dari perjalanan dinas luar negeri"
Marwah terteguh mendengarkan ucapan sang putri yang terlihat sangat antusias. Sesaat ia seolah melihat pantulan dirinya sendiri yang dulu pernah melakukan hal yang sama. Membuat cake spesial untuk orang yang di cintai.
"Kamu, benar-benar suka sama Dimas??" tanya mama Marwah datar.
Maya menoleh pada sang mama dengan perasaan aneh.
"Ya mah, kenapa? apa ada yang salah??"sahut Maya perlahan dengan melihat mimik wajah sang Mama yang terlihat khawatir.
Mama Marwah perlahan menghela nafas pelan.
"Enggak" jawab pelan.
"Mama, hanya masih belajar merelakan kamu yang sebentar lagi akan menikah" timpal sang mama dengan membelai wajah sang putri dengan hati gundah."Walau kamu sudah dewasa, namun di mata mama kamu tetap putri kecil mama"Maya terlihat lega, hingga ia perlahan menyentuh punggung jemari sang mama yang masih memegang wajahnya.
"Restu mama dan papa adalah segalanya, doakan agar Maya bahagia sama seperti pernikahan mama dan papa"
"Menikah adalah cerita terpanjang dalam hidup, juga ibadah terlama.. kamu tau, akan ada riak-riak atau terkadang ombak besar dalam biduk rumah tangga, dan kamu harus bijaksana dalam menyikapi ya.. " tutur mama Marwah.
Maya mendengar dengan seksama.
"Ego akan muncul tanpa kita sadari, tapi kamu harus kembali mengingat awal mula keputusan mu untuk menikah dengan pria yang kamu pilih" timpal mama kembali dengan memberikan gambaran akan perjalanan rumah tangga.
"Apa mama dan papa pernah bertengkar??"
Mama Marwah tersenyum kecil.
"Tentu sayang, tidak ada rumah tangga tanpa pertengkaran.." jawab sang mama.
"Lalu siapa yang sering mengalah??" tanya Maya kembali.
Mama Marwah kian tertawa kecil mendengar pertanyaan sang putri.
"Hmmm, mungkin mama tapi.. Papa mu punya cara tersendiri untuk mengakui kesalahannya, karena ia takut melihat mama menangis"
Maya seketika tertawa kecil.
"Papa ternyata suami takut istri" celetuk Maya.
Mama Marwah menggelengkan kepala.
"Enggak, papa bukan suami takut istri.. tapi begitu lah seharusnya, karena suami adalah pemimpin didalam rumah tangga, tidak bisa kita menilai meminta maaf adalah yang merasa takut, tapi itu adalah bentuk rasa sayang dan cintanya pada sang istri" jawab sang mama bijak.
Mama Marwah menghela nafas pelan sembari melihat lekat pada wajah bahagia sang anak.
"Mama akan selalu berdoa untuk kebahagiaan mu, semoga Dimas pria yang akan selalu menyayangimu"
Maya hanya bisa tersenyum tipis.
Masih ada rasa berat yang terganjal di hati mama Marwah, namun jika ia memilih untuk menyimpan rasa gelisahnya itu demi wajah bahagia sang putri yang tak lama lagi akan melangsungkan pernikahan.
Setelah cake yang Maya buat selesai di panggang, Maya pun bersegera membawanya kekantor Star Tomo tanpa memberi kabar sang calon tunangan yang kabarnya akan ada meeting siang.Maya sengaja mengerjakan semua ini demi memberi kejutan pada Dimas yang sudah hampir 3 minggu berada di luar negeri.Maya benar-benar tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati.Langkah kaki ya terlihat santai namun sejatinya jantungnya berdebar dengan sangat senang. Ia bahkan sudah membayangkan jika nanti Dimas akan senang dan akan memberikan kecupan karena kejutan ini.Namun kian langkah Maya tiba di lantai ruang kerja Dimas. Terlihat luar ruangan itu sepi, bahkan tak terlihat dua sekertaris Dimas yang selalu setia di meja kerjanya.Wajah Maya hanya melihat kesekeliling dengan sekilas dan berpikir mungkin saja kedua sekertaris itu tengah keluar di jam istirahat siang.Tanpa curiga langkah kaki Maya kian mendekat pada pintu ruangan Direktur Utama yang
Di satu ruangan rapat, terlihat Marcel dengan menerima tamu sang penting. Ia terlihat sangat serius mendengar penjelasan demi penjelasan ketika ada satu perusahaan menengah yang ingin memasukkan inovasi terbaru untuk perusahaan.Namun di tengah ke seriusan rapat tersebut tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka dengan sangat kasar.BRAK!!Sontak para anggota rapat memalingkan muka dan menatap dengan wajah tak nyaman pada saat itu.Dan kening Marcel terlihat berkerut ketika melihat sosok saudara kembarnya, Maya datang dengan wajah sembab."Maya??"Langkah wanita muda itu terlihat marah dan menuju kursi depan. Namun Marcel dengan cepat mendekat dan menahan lengan Maya."Papa??"tanya Maya dengan wajah frustasi menatap wajah kembaran ya."Ada apa?" seru Marcel yang terkaget melihat wajah frustasi Maya."Aku tanya Papa dimana!!" pekik Maya marah pada Marcel yang masih saja lamban.Marcel terkaget lalu ia pun terlihat kesal denga
Di satu rumah sakit keluarga Sandres. Terlihat keluarga dr. Safa dan dr. Daniel memeriksa tubuh Erwin dengan sesama.Keduanya tak bisa menyimpulkan dengan pasti gejala yang terjadi pada ipar mereka. Sehingga dr. Safa dengan cepat memanggil tim dokter spesialis untuk menangani Direktur utama Aritama itu.Mama Marwah yang baru saja tiba di rumah sakti di sambut dengan sang putri yang terlihat gelisah dan wajah sembab."Mama??" seru Maya dengan cepat berlari kecil dan memeluk sang mama.Wajah gusar Marwah terlihat jelas, ia syok ketika mendengar sang suami jatuh pingsan di kantor dan kini berada di rumah sakit Petramedika."Apa yang terjadi??" tanya mama Marwah dengan perasaan gundah.Wajah penyesalan Maya terlihat di sana, hingga dengan berat hati ia menceritakan kronologis peristiwa-peristiwa yang akhirnya membuat sang Papa jatuh pingsan."APA??" seru Marwah tak percaya."Maaf mah?? semua salah Maya, mah" ucap Maya dengan penuh penyesal
Di tempat berbeda, di sebuah dermaga kapal besar. Terlihat seorang pria yang baru saja hendak menyelesaikan misinya.Namun hal itu ia urungkan ketika mendapat telfon genting yang membuatnya harus mengikuti perintah sang pemberi telfon.Kedua mata hitam nan tajam memandang sosok pria gondrong yang telah bersimbah darah di sudut gudang pabrik es dengan wajah ketakutan."Mas-master..to-long..beri saya waktu" ucap pria gondrong itu dengan menahan sakit untuk memelas.Ia mendekat dengan sebuah senyum mematikan."Kau beruntung!! aku masih beri waktu untuk berpikirlah sebelum masalah jauh lebih runyam" ujar pria dingin itu dengan sedikit berjongkok di hadapan lawannya yang baru saja ia beri pelajaran.Lalu tak berapa lama, jemari Master pun memberi kode pada anak buahnya yang berjumlah 4 orang."Awasi!! dan tahan semua asetnya jika ia masih belum menandatangani surat pengadilan 1x24 jam!!" perintah Master dengan beranjak pergi meninggal
Derap langkah kaki seorang pria terlihat mendekat dengan jelas.Johan melihat dengan wajah kesal. Dan ketika langkah kaki pria itu berhenti tepat di hadapannya pun wajah kesalnya kian terlihat jelas."Kemana saja? sudah 1 jam setengah dan kau baru muncul!!" cecar pada putranya yang terlihat diam dan berekspresi datar.Chandra melihat sosok pria muda itu dengan seksama."Putramu??"Johan mengangguk dengan memperkenalkan putranya."Ya, Ferdian Bastian.. pengacara"Ferdian dengan sopan memberi tangan untuk menjabat tangan teman orang tuanya itu.Chandra melihat dengan wajah kagum."Buah jatuh tak jauh dari pohonnya" ucap Chandra.Johan mendengus pelan."Tidak semua" selanya cepat."Paman Erwin, terserang stoker" jelas Johan pada Ferdian yang hanya mendengar tanpa menjawab."Dan ini akan jadi masalah baru" timpal Chandra menyambung ucapan Johan.Ferdian hanya mengangguk pelan.Namu
Malam harinya Maya berdiri di balkon kamarnya dengan tatapan nanar. Ucapan Paman Johan sudah membuat gelisah."Seharusnya, kamu berpikir sebelum memutuskan semua ini, karena pada akhirnya New-A akan jatuh jika kamu tidak berpikir matang.. dan Erwin, pasti akan sangat sedih jika mendengar hal buruk terjadi pada New-A" ucap Paman Johan dengan serius."Apa yang harus aku lakukan??" gumam Maya bertanya pada diri sendiri.Ia pun mulai mengingat-ingat teman-teman yang bisa ia minta tolong."Reno Barack?? atau Aldi Bakri??" gumamnya lagi dengan mengingat-ingat, namun nyatanya tak satu pun bisa ia pegang."Atau?? Sausan Holmen?" sebutnya lagi."Ck?" decak Maya yang kian pusing, ia merasa jika pikiran kini buntu."Mereka pasti tidak mau, ah.. New-A.. New-A?? apa yang harus kita lakukan??" rutu Maya dengan memijit-mijit kepalanya yang seakan ia rasa berdenyut sakit.Tak lama terdengar suara deringan telfon masuk. Maya pun bergerak untuk
Maya berdiam diri dikamar selama hampir dua hari. Ia berpikir keras cara untuk dapat membayar finalty pada Star Tomo.Ia membaca ulang berkas perjanjian kerja dengan Star Tomo. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kantor pengacara Johan B. Bastian.Ia ingin minta pendapat Paman Johan. Dan ia sangat berharap jika Paman Johan bisa memberikan sedikit solusi pada dirinya.Ia menelfon Marcel untuk menangani sementara waktu kantor dengan berbagai rapat yang sangatlah penting.Namun sebelum ia pergi kekantor pengacara tenar itu, Maya terlebih dahulu berkunjung kerumah sakit untuk menjenguk sang Papa tercinta.Dan saat ia menjenguk sang Papa, tanpa terduga ia mendengar pembicaraan sang dokter dengan sang Mama.Jika saraf pada batang otak belakang Papanya koyak sehingga suatu hal yang mustahil bagi Papa Erwin dapat kembali seperti sediakala.Berita yang cukup berat untuk di terima oleh Mama Marwah, ia benar-benar syok mendengar penjela
Keesokan paginya.Rapat pemegang saham tahunan pun di gelar. Hari ini adalah keputusan akhirnya yang harus di ambil.Marcel dan Maya sudah memikirkan hal terburuk jika para pemegang saham akan hengkak dari perusahaan New-A.Debat segit pun terjadi, Marcel angkat bicara sebagai wakil Direktur. Ia mencoba menarik simpati para tertua di New-A untuk mendukungnya.Namun pihak Zinus keberatan karena latar belakang pendidikan Marcel tidak sejalan dengan bisnis.Gebrina bersikeras memberi ide baru jika mereka memberi jalan untuk New-A marjer di bawah naungan Star Tomo.Beberapa pihak sudah mulai memilih jalan voting sebagai hasil akhir.Marjer atau hengkang??.Maya benar-benar dibuat pusing dengan semua ide ini. New-A benar-benar di ujung tanduk.Dan Gebrina dengan senyum percaya diri akan memenangkan pertarungan akhir ini.Marcel kehilangan simpatik para petinggi pemegang saham, tak terkecuali Paman Johan yang juga