Share

2. Kejutan dari Bu Inka

Ojek online membawaku membelah jalanan kota yang mulai memadat. Aku sempat berselisih paham dengan driver karena menurutku dia bodoh, tak kunjung bisa menemukan lokasiku. Jelas-jelas aku sudah menuliskan titik jemput di halte bus Rawasari, tetapi dia masih juga meneleponku untuk bertanya. Aku memang tidak suka menerima telepon di tengah keramaian.

Akhirnya sepeda motor berbodi lebar yang membuat kedua pahaku pegal itu berhenti di depan kantorku yang berada di sebuah gedung berlantai lebih dari sepuluh. Aku membayarnya dengan selembar lima puluh ribuan dan sialnya tidak ada uang kembalian. Yah, mau tidak mau, aku harus merelakan uang sebesar lima belas ribu melayang. Padahal lumayan untuk beli gado-gado siang nanti.

"Ikhlas nih, Buk?"

"Ikhlas. Ambil aja, Pak." jawabku ketus.

Ojek online itu mengegas motornya setelah mengucapkan terima kasih. Dia bukan saja membuatku kesal karena tidak punya uang kembalian, tetapi juga karena menyapaku dengan panggilan "Ibu". Huh, memangnya penampilanku setua itu?

Sudah banyak orang berdatangan di gedung perkantoran ini. Aku menyapa beberapa orang yang kukenal. Kucuci tangan di wastafel yang disediakan dan melewati security yang menodongkan thermogun ke dahiku. Meski kurang tidur, ternyata aku tidak demam. Ternyata, fisikku kuat juga, ya.

Bersama segerombolan karyawan, aku masuk ke sebuah lift. Aku hampir saja ketinggalan. Ketika pintu lift akan menutup, tiba-tiba seorang pria dalam setelan hitam datang entah dari mana. Ekspresi wajahnya seperti berkata "Tunggu aku, kumohon!", tetapi terlambat; pintu lift tertutup dan aku tak sudi bergerak menekan tombol 'hold'.

Aku tersenyum sinis pada pria yang tak pernah kulihat sebelumnya itu dan sepertinya menangkap senyumku karena kedua matanya menyipit seperti mengirim suatu pesan padaku. Tiba-tiba aku merasa tidak asing dengan sepasang mata itu dan ini bukanlah firasat yang baik.

"Selamat pagi, Bang Jono...! Selamat pagi, Elsa..." Kusapa satpam dan anak front office dengan semangat berlebih. "Ciee..yang pacaran pagi-pagi..."

"Eh..selamat pagi Mbak Am." jawab Jono salah tingkah yang langsung disikut oleh Elsa.

"Ih, Bang Jono. Kan saya sudah bilang, saya nggak suka dipanggil Am." protesku kesal.

"Iya, nih, Bang Jono. Susah dibilangin." Elsa membelaku. "Maafin Bang Jono ya, Kak."

"Tuh, Elsa aja tahu kalau saya nggak suka dipanggil Am. Saya sukanya dipanggil..."

"Kak Mbik!" Sambar Elsa sambil mengacungkan jari telunjuknya ke udara.

"Hiiih. Elsa!" teriakku histeris. "Emangnya saya kambing yang suka mengembik apa?"

"Hihihihi." Kedua sejoli itu malah kompak tertawa.

Pusing dengan ulah keduanya, aku memilih segera masuk ruangan setelah terlebih dulu menempelkan jari telunjuk ke mesin absen. Aku tahu bahwa aku terlambat dua puluh menit dan berencana membereskannya dengan menyodorkan sekotak martabak  telur spesial ke kepala personalia, Pak Hadi Suwongso.

Bu Inka Lauren belum datang ketika aku tiba di mejaku. Kami berada di dalam satu ruangan dengan mejanya yang lebih besar. Sebagai sekertarisnya, Bu Lauren menghendaki aku selalu ada di sisinya ketika jam kerja supaya jika sewaktu-waktu membutuhkanku, dia dapat dengan mudah menemukanku. Aku suka bekerja dengan bosku itu di luar alasan jobdecs yang banyak dan detil. Perusahaan yang berani menggajiku dengan nominal delapan digit dengan kepala belasan pastilah mengharapkan hasil kerja yang sempurna dan detil. Di luar hal-hal professional, aku merasa Bu Inka Lauren tidak saja seorang mentor, tetapi sudah seperti seorang teman bagiku. Ada banyak kesamaan di antara kami, salah satunya adalah kami sama-sama masih single di usia yang tak lagi muda. Ya, kami berbagi keresahan yang sama. Kami berbagi beban sebagai perawan tua. Bedanya, Bu Lauren, demikian dia biasa disapa, terlihat lebih santai dan bersikap masa bodoh dengan gunjingan-gunjingan. Dia lebih terlatih dariku, tentu saja.

“Oh, segarnya ruangan ini.”

Suara Bu Lauren menyadarkanku dari lamunan singkat.

“Pagi, Mom. Cantik deh, blusnya.” Aku memang menyapanya ‘mom’ alih-alih ‘bu’. Kecuali kalau sedang rapat besar di hadapan top management.

“Ih, kamu bisa aja deh, ngerayunya. Pagi…pagi…” Bu Lauren menanggapai candaanku dengan riang. “Breakfast yet?”

Aku mengangguk sambil menepuk-nepuk perut. “I’m full.”

“Bagus! Kita membutuhkan energi yang besar hari ini, Beb!”

Bu Lauren memang menyinggung soal perubahan besar yang akan terjadi di divisi kami dalam rapat internal terakhir sebulan yang lalu. Tetapi, waktu itu dia tidak ingin membocorkan lebih dulu. Aku sebagai sekertarisnya saja juga tidak diberi kisi-kisi soal perubahan yang dimaksud. Rumor yang beredar mengatakan jika Bu Lauren akan naik jabatan dan otomatis posisi yang didudukinya sekarang sebagai Manager Kantor akan beralih kepadaku. Meski bersemangat dan senang dengan kemungkinan itu, aku memilih pura-pura tak peduli dan tidak berusaha mengoreknya dari Bu Lauren.

“Bisa jadwalkan meeting dadakan jam sebelas nanti, Honey?” pinta Bu Lauren, “dan kopi pagiku, jangan lupa.”

Bu Lauren memang sering memanggilku ‘honey, ‘yang’ atau ‘beb.’ Jika belum lama kenal kami, orang pasti berpikir kami berdua menjalin hubungan yang tidak biasa. Hampir enam tahun mengenal bosku itu, aku yakin betul Bu Lauren masih suka lelaki. Jadi, tidak mungkin ada apa-apa di antara kami.

Aku mengetik pesan di grup whatssap khusus Kantor 1 untuk memberitahu orang-orang soal rapat dadakan jam sebelas hari ini. Orang-orang yang sudah membaca pesan tersebut langsung merespon dengan satu kata; ‘siap,’ ‘oke,’ atau ‘baik.’

Aku melirik ponsel sekali lagi dan kulihat Bu Lauren mengetikkan sesuatu yang sepertinya akan sangat panjang karena lama sekali dia menyelesaikannya.

Bu Lauren: Selamat ulang tahun, sekertaris kesayangan kita @Kinasih. Semoga Tuhan selalu memberkati dengan kesehatan dan kebahagiaan berlimpah.

Ternyata bosku itu mengetik ucapan ulang tahun untukku di grup. Kata-kata ucapannya memang sesingkat dan sepadat itu, tetapi diikuti oleh aneka macam emoticon dengan jumlah yang sangat kelewatan banyaknya sampai membuat mataku sakit. aku bingung kenapa tiba-tiba Bu lauren selebay ini. 

Tak pelak orang-orang di grup mulai merespon pesan itu dengan ucapan selamat ulang tahun yang bertubi-tubi diikuti oleh permintaan traktiran makan siang. Hellin, seorang staff keuangan mengucapkan selamat ulang tahun untukku disertai doa-doa semoga aku lekas menemukan jodoh tahun ini. 

Kulesatkan tatapan mata tajam pada Bu Lauren. Dia tahu aku tidak suka merayakan ulang tahun dan selama ini lebih suka memberi pesta kejutan secara lebih privat. Bu Lauren balas menatapku dengan sorot mata meminta maaf. Tangan kanannya terangkat ke udara dengan simbol damai yang dibuat oleh kedua jarinya.

“Akan ada sedikit kejutan untukmu. Kuharap kamu akan menyukainya”

Alisku bertaut. “Well, kuharap itu bukan kejutan yang menyebalkan.”

Bu Lauren meletakkan ponselnya di meja dan mulai menatapku serius. "Menyebalkan atau tidak, itu tergantung perspektifmu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status