Share

Love between Cubicles!
Love between Cubicles!
Penulis: Linggar Rimbawati Puwrowardhoyo

1. Nasib Nahas di Hari Ulang Tahun

Alarm pukul lima pagi berbunyi nyaring. Aku terbangun dan merasa pusing. Mengumpat kecil, kucari-cari ponsel sialan itu di bawah bantal di sebelahku. Aha, dapat! Dengan segera kumatikan alarm yang memang berbunyi setiap jam lima pagi itu. Seandainya ini adalah hari Minggu, tentu aku lebih suka kembali ke alam mimpi dan bangun jam satu atau dua siang. Lalu, menyeduh kopi, memesan pizza dan bermalas-malasan sepanjang hari sambil membaca novel atau menonton drama Korea di Netflix. Sayang, sungguh sayang, ini adalah hari Senin! Permulaan minggu yang biasanya menentukan kelancaran pekerjaanku seminggu penuh. Jika aku bersemangat di hari Senin pagi dan memperoleh banyak keberuntungan selama seharian penuh itu, biasanya hari-hari selanjutnya akan terasa mudah. Tetapi, sebaliknya, jika hari Senin-ku kacau dan banyak kutemui kegagalan sepanjang hari itu, sudah bisa dipastikan hari-hari berikutnya akan terasa berat, seperti di neraka.

Sayangnya, pagi ini aku tak merasakan sedikitpun semangat untuk memulai hari. Suasana hatiku sedang tidak baik sejak kemarin. Di hari Minggu kemarin aku tidak melakukan apa-apa. Hanya makan, tidur, dan bermalas-malasan. Bahkan membaca dan menonton pun tidak kulakukan. Apalagi menulis jurnal di buku harianku. Aku hanya membuang waktu dengan menggulir media sosial sampai bosan dan tertidur sepanjang hari.

Malamnya, seharusnya aku memeriksa pekerjaan di laptopku untuk mempersiapkan hari Senin yang akan menyongsong keesokan paginya. Tetapi, aku malah melotot saja di depan layar komputer. Kursorku tidak bergerak ke mana-mana, padahal aku sudah menyemangati diri dengan secangkir kopi panas dan kental. Alih-alih serius memeriksa file pekerjaan, aku malah menonton serial drama Korea semalaman akibat tak bisa tidur malam itu. Kupikir, tak perlu memaksakan diri jika sedang tidak mood. Nikmati hidup saja lah.

Akhirnya, karena penasaran dengan lanjutan serial drama Korea yang sempat viral beberapa waktu lalu aku menghabiskan seluruh episode semalaman penuh. Aku baru jatuh tertidur setelah menamatkan episode terakhir dan itu saat pukul 3.30 dini hari. Itu artinya, aku baru tidur selama sembilan puluh menit. Pantas saja kepalaku pusing dan terasa berat.

Kupaksakan diri untuk mengangkat tubuh dan menyandarkan punggung ke sandaran ranjang. Kubuka ponsel dan kugulir media sosial. Belum ada pembaruan notifikasi apapun. Ya, siapa juga yang mengucapkan selamat ulang tahun sepagi ini.

Aku menghela nafas panjang. "Selamat ulang tahun, Ambika." bisikku pada diri sendiri.

Jangan tanya hari ini aku berulang tahun yang keberapa. Jangan tanya usiaku. Aku sendiri bahkan sudah tak peduli dan berusaha melupakan berapa tepatnya usiaku. Bukan apa-apa, kalau kuberi tahu umurku pada seseorang, dia pasti akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan lain yang membuatku merasa terintimidasi. Sudah menikah? Sudah punya anak? Sudah berapa lama bekerja? Sudah punya rumah? Mobil? Jumlah tabungan?

Yah, hal-hal seperti itu yang membuatku muak.

Jadi sebaiknya memang tak banyak orang yang tahu berapa usiaku. Paling tidak, orang-orang yang tak mengenalku atau tak cukup dekat denganku tak bisa mengusik hidupku.

Untuk alasan itulah aku memilih tinggal jauh dari orang tuaku di desa. Aku memilih meniti karir di kota provinsi yang orang-orangnya lebih modern. Aku memilih tinggal seorang diri di rumah lantai dua yang kubeli dengan cara mencicil. Di sebuah rumah dengan empat kamar tidur di perumahaan kelas menengah itu aku tak ditemani siapapun kecuali Bubu, kucing jantan abu-abu peliharaanku dan juga tanaman-tanaman di kebun kecilku.  Aku memang sudah memprediksi hidupku sejak beberapa tahun yang lalu sejak putus dari pacar terakhirku bahwa suatu saat nanti aku akan sampai di usia ini dengan keadaan masih sendiri alias single.

Dengan langkah sempoyongan aku menuju kamar mandi untuk mengguyur kepalaku dengan air hangat. Ketika tengah menikmati guruyan air hangat di sekujur tubuhku dari kepala hingga kaki itu, berbagai ingatan di masa lalu tiba-tiba melintas di kepalaku. Khususnya setiap hari ulang tahunku. Sepanjang ingatanku, hanya satu kali aku mengalami ulang tahun yang cukup berkesan. Yaitu, ketika aku masih berpacaran dengan 'dia'.

Sebelum bertemu 'dia', hidupku terasa biasa-biasa saja. Ketika aku menemukannya, hidupku jadi luar biasa. Ketika 'dia' meninggalkanku, hidupku jadi kelam dan aku seperti jalan di tempat.

Astaga, kenapa aku jadi menyedihkan seperti ini. Memangnya laki-laki adalah satu-satunya sumber kebahagiaan? Seharusnya aku  belajar dari Bu Lauren.

Aku mengetok kepalaku untuk mengusir pikiran-pikiran bodoh. Berbahagialah, Ambika!

Selesai mandi, kusiapkan sarapan berupa setangkup roti bakar dan telur dadar serta segelas susu hangat. Tepat pukul tujuh aku harus keluar dari rumah ini dan menuju halte di pinggir jalan raya untuk menunggu bus kota yang rutenya melewati tempat kerjaku. Aku memang belum punya cukup banyak uang untuk membeli sebuah mobil. Aku juga tidak bisa mengendarai sepeda motor karena trauma oleh kecelakaan waktu aku masih SMA dulu. Kecelakaan yang menyebabkan lututku harus dioperasi karena otot ligamennya tergeser. Dan asal tahu saja, kejadian nahas itu terjadi tepat di hari ulang tahunku yang ke-16. Sial sekali, bukan?

Ngomong-ngomong soal hari ulang tahun yang menyebalkan, aku juga pernah mengalami kesialan pada ulang tahun yang ke-17. Tepat setahun setelah aku kecelakaan. Waktu itu, aku bermaksud merayakan sweet seventeenth-ku di kafe dekat sekolah seusai pelajaran terakhir. Aku mengundang kawan-kawan sekelas untuk kutraktir makan minum di kafe. Kuminta kawan-kawanku untuk menuju ke kafe terlebih dulu sementara aku berganti baju dan berdandan di toilet sekolah.

Nasib sial tak bisa kuhindari. Aku terkunci di toilet sekolah selama berjam-jam tanpa seorangpun tahu. Waktu itu belum banyak siswa SMA mempunyai ponsel sendiri seperti di jaman sekarang. Aku tak bisa menghubungi kawan-kawanku ataupun meminta pertolongan. Aku tahu mungkin saat ini teman-temanku sedang menyumpah-nyumpahiku karena tak kunjung muncul di kafe dan mereka terpaksa membayar makanan mereka sendiri.

Di dalam toilet, aku hanya bisa pasrah dan menunggu hingga sore. Biasanya anak-anak Pramuka berlatih di sekolah ini pada sore hari. Kuharap salah seorang dari mereka menyadari bahwa ada orang terperangkap di tempat ini. Doaku terkabul. Setelah entah berapa lama terkurung di kamar mandi dan lemas karena kelaparan dan kekurangan oksigen, seseorang mendobrak pintu dan menyelematkanku. Aku tak tahu siapa dia, sebab mataku tak bisa terbuka lebar dalam keadaan setengah sadar begitu. Aku hanya mendengar samar-samar suaranya menyemangatiku, "Bertahanlah! Bertahanlah! Kau akan baik-baik saja."

Lalu, aku merasa segerombolan orang mengelilingiku. Sepertinya wajah mereka cemas. Beberapa di antara mereka ada yang mengusulkan untuk membawaku ke rumah sakit, ada yang menyuruh seseorang memanggil petugas PMI, ada yang hanya berdiri kaku tak tahu harus berbuat apa. Ketika mataku hampir tertutup sempurna karena kesadaranku menghilang, aku merasa seseorang mengangkat tubuhku sambil mengucapkan kata-kata yang sama seperti yang kudengar sebelumnya, "Bertahanlah! Bertahanlah! Kau akan baik-baik saja!" Semakin lama suaranya semakin terdengar jauh dan aku benar-benar pingsan dalam gendongannya.

"Rawasari! Rawasari!"

Teriakan kondektur bus mengagetkanku dari lamunan (atau tidur singkatku?). Dan seketika itu aku panik. Bagaimana tidak, tempat kerjaku sudah terlewat jauh di belakang. Mungkin ada sekitar empat atau lima pemberhentian. Tidak ada waktu untuk protes pada kondektur yang tidak mengingatkanku untuk turun di sekitar tempat kerjaku. Aku memutuskan turun di Rawasari dan memesan ojek online.

Huh, sekali lagi kesialan terjadi di hari ulang tahunku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status