Share

3. Pria dalam Setelan Hitam

Seluruh perwakilan sub-divisi sudah duduk manis mengelilingi meja rapat. Aku juga sudah berkoordinasi dengan kepala OB terkait hal konsumsi. Asal tahu saja, orang-orang di kantor ini bermulut lebar semua. Rapat sebentar saja, mereka menuntut adanya camilan. Tak jarang beberapa orang hanya datang untuk setor muka dan menikmati kue.

Ada tiga divisi besar di bawah managemen kantor ini, yaitu, HRD, Keuangan dan Procurement. Masing-masing divisi punya satu atau dua sub-divisi. Total ada delapan sub-divisi yang itu berarti ada sebelas kepala yang menjadi anggota rapat, di luar Bu Lauren dan aku.

Aku sudah menyiapkan slide presentasi dengan bahan yang diberikan Bu Lauren satu jam yang lalu. Tak sia-sia rupanya aku dulu pernah ikut kursus singkat membuat tampilan power point yang menarik. Bu Lauren selalu senang dengan tampilan presentasi yang kukerjakan. Setelah yakin semuanya beres (seperti memeriksa pointer dan mengecek suhu ruangan) aku baru bisa menyandarkan punggungku ke sandaran kursi dan menyesap teh selagi menunggu Bu Lauren masuk.

Tepat jam sebelas Bu Lauren masuk dan menyapa kami. “Mari kita mulai agenda kita, teman-teman. Beb, tolong slidenya.”

Bu Lauren adalah orang yang tak suka basa-basi soal protokol rapat. Jika memimpin rapat, dia selalu melewati bagian pembukaan yang terlalu seremonial. “Membosankan dan buang-buang waktu,” katanya.

“Aku sudah membaca laporan kalian bulan ini yang akan kita bawa dalam rapat besar minggu depan nanti, Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” mulainya sambil melirik ke arah papan presentasi di mana lampu proyektor menyorot. “Dan entah kenapa aku merasa pesimis sekali. Aku merasa bosan dan ingin resign saja.”

Terdengar suara tawa yang menggema. Bu Lauren memang orang yang suka ceplas-ceplos jika bicara. Juga suka bercanda. Dan kami rasa, kata-kata terakhirnya adalah candaan.

Perusahaan tempatku bekerja adalah salah satu anak perusahaan raksasa bernama Pandawa Group. Tentu nama itu berangkat dari filosofi lima putra yang dimiliki oleh founder perusahaan. Perusahaan tempatku bekerja sendiri ini sendiri bernama Nakula Company, yang sudah bisa ditebak, memiliki saudara kembar Sadewa Company. Nakula dan Sadewa Company bergerak di bidang pengolahan getah karet menjadi bahan mentah pembuatan ban kendaraan di mana pasarnya sudah sampai ke mancanegara. Sedangkan tiga perusahaan lain, Yudhistira, Bima dan Arjuna masing-masing bergerak di bidang pengolahan minyak kelapa sawit, pinang dan kelapa serta buah kakao. Perusahaan-perusahaan Pandawa Group tersebar di Sumatra dan Kalimantan dengan Head Office berpusat di Jakarta. Pendirinya sendiri konon menikmati hari tua di Swedia. Sadewa Company berlokasi di perbatasan Jambi-Sumbar, tepat di tepi Jalan Lintas Sumatra. Sedangkan Nakula Company terpisah di dua tempat, yakni, Kantor 1 berada di tengah kota sedangkan Kantor 2 dan bagian produksi berlokasi jauh di luar kota, sekitar dua jam perjalanan dari Kantor 1.

Setiap bulan aku dan Bu Lauren serta tiga kepala divisi akan menghadiri rapat besar di Kantor 2 yang dipimpin lansung oleh direktur. Ada tiga manajemen besar dalam perusahaan kami yaitu, manajemen kantor, manajemen produksi dan manajemen pembelian yang masing-masing tentunya dibagi dalam divisi dan sub-divisi. Menurut laporan terakhir ada sekitar empat ratus karyawan yang menggantungkan hidup di perusahaan ini.

Bu Lauren pernah bilang padaku bahwa di antara ketiga manajemen, manajeman kantor lah yang paling tak dilihat prestasinya.

“Setiap bulan orang produksi melaporkan target produksi yang telah mereka capai. Sekian ton, dan orang bertepuk tangan. Begitu juga orang pembelian, setiap bulan melaporkan selisih keuntungan dari harga beli getah ke petani dengan harga jual  ke customer. Lagi, orang-orang bertepuk tangan.”

Aku mengangguk-angguk mencoba memahami.

“Tetapi adakah yang bertepuk tangan ketika kita melaporkan pelatihan-pelatihan yang dilakukan untuk para karyawan? Tidak ada.” Bu Lauren menjawab sendiri pertanyaannya. “Padahal produksi yang bagus sudah tentu tak lepas dari andil karyawan yang berkompeten di bidangnya dan pelatihan-pelatihan bagi mereka sudah pasti berkontribusi dalam membentuk kompetensi para karyawan itu.”

Inti rapat dibuka dengan membahas laporan yang dibuat oleh Pak Hadi Suwongso, lelaki berumur lima puluh tahun yang setengah kepalanya sudah tak berambut, sang Kepala HRD. Laporannya tidak jauh bedanya dengan laporan bulan lalu, yaitu, seputar jumlah karyawan yang mangkir alias bolos kerja, jumlah karyawan yang sakit atau ijin, serta kegiatan-kegiatan CSR dan training karyawan. Kulihat Bu Lauren menatap bosan layar presentasi tanpa berkomentar dan meminta divisi selanjutnya melakukan presentasi. Akhirnya tepat pukul dua belas siang semua divisi sudah mempresentasikan laporannya dan Bu Lauren sudah memberikan evaluasi.

Aku memberi kode melalui pesan Whatssap kepada salah satu OB untuk segera membagikan kotak makan siang dan sesaat kemudian beberapa orang masuk untuk mengedarkan makan siang.

“Ehm..ehm..” tiba-tiba Bu Lauren berdehem di tengah-tengah fokusnya menikmati nasi Padang dari rumah makan langganan kami.

Aku menyodorkan sebotol air mineral yang botolnya kubuka terlebih dulu.

“Terima kasih, anak baik.”

Aku mengernyit dengan ucapan terima kasih berlebihan dari bosku.

“Apa maksudmu, Bos?” tembakku melalu tatapan mata. Bu Lauren membalas dengan kekehan kecil. Dia juga mengedipkan sebelah matanya.

Selesai kami makan siang, kupikir, rapat akan segera dilanjutkan. Tetapi dugaanku salah. Karena tiba-tiba saja segerombolan orang masuk sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan nada sumbang dan suara keras. Bukan itu saja, di barisan belakang, dua orang menggotong kue ulang tahun yang sangat besar dengan lilin berbentuk angka tiga puluh dua. Nyanyian Selamat Ulang Tahun semakin keras dan heboh.

Sekali lagi aku menoleh kepada Bu Lauren dengan tatapan protes. “Inikah kejutan darimu, Boss?”

Bu Lauren mengangkat kedua bahu. “Mereka yang minta.”

Selesai berpesta kecil dengan makan kue ulang tahun yang sungguh lezat itu, ternyata Bu Lauren masih melanjutkan rapat. “Well,” Bu Lauren meremas rambut cepaknya hingga membuat tatanan jabriknya makin berantakan. Siapapun yang bertemu langsung dengan bosku itu pasti akan langsung teringat Indy Barens dengan rambut pendek cepaknya di era 1990an hingga 2000an. “Seperti yang kubilang tadi, masih ada beberapa hal yang perlu kusampaikan sebelum rapat berakhir.”

Beberapa orang mulai serius kembali memperhatikan.

“Evaluasi yang kusampaikan tadi, input dan koreksi yang kuberikan pada tiap divisi tadi, tolong langsung eksekusi dan berikan laporannya lagi dalam minggu ini.”

Beberapa orang mengangguk terima, sedangkan beberapa lainnya mengeluh ringan.

“Selain itu, hari ini aku akan mengenalkan seseorang pada kalian.”

Seketika itu juga atmosfer di ruang rapat berubah bersemangat. Semua mata tertuju pada Bu Lauren, seolah-olah berharap orang yang dimaksud Bu Lauren akan muncul dari kolong mejanya. Bu Lauren menjentikkan jemarinya dan pintu terbuka. Seorang lelaki dengan postur tinggi dalam setelan serba hitam masuk dan berjalan melintasi ruangan.

Rasanya aku ingin pingsan karena terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status