“Aaaaahhh!” teriakan Claire sudah tidak karuan ketika mereka sudah hampir sampai ke tanah. Entah akan terasa sakit atau tidak, tapi yang jelas mereka akan kehilangan nyawa. Claire memejamkan matanya, bersiap menerima hantaman namun setelah menunggu beberapa detik, tidak terjadi apa-apa. Saat Claire membuka matanya, tepat di depan matanya adalah rumput hijau yang berjarak hanya sekitar lima centimeter saja.
Claire menghela napas saat mengetahui bahwa mereka melayang lima centimeter di atas tanah. Gadis itu menengok ke arah Leon yang masih memeluk pinggangnya kuat-kuat. Pria itu masih memejamkan mata.
“Buka matamu dan lepaskan aku,” kata Claire.
Leon membuka matanya perlahan, lalu menghela napas lega. Di saat yang sama mereka langsung jatuh ke tanah begitu saja.
“Leon!” protes Claire saat berusaha bangkit. Meskipun hanya berjarak lima centimeter saja, jatuh seperti tadi rasanya cukup sakit. Apalagi rerumputan seakan menusuk-nusuk kulitnya.
“Maaf. Lain kali sebaiknya kamu saja yang terbang,” jawab Leon.
“Payah!” seru Claire kesal. Ia merapikan gaun yang ia kenakan lalu mengambil tombak emasnya.
Leon kemudian memperhatikan sekelilingnya. Mereka ada di sebuah tempat yang lain, entah ada di tikungan yang mana dari labirin itu. Namun, warna tanaman di sekelilingnya agak berbeda, lebih kekuningan dibandingkan dengan warna tanaman di saat mereka pertama kali memasuki labirin.
“Claire, kamu menyadari sesuatu?” tanya Leon.
“Bahwa kamu bodoh?” tanya Claire.
“Iya. Eh maksudku, bukan! Lihat, di sini semuanya kekuning-kuningan,” jawab Leon.
Claire melihat ke sekeliling dan menyadari maksud Leon. Seluruh rerumputan dan juga dinding tanamannya berwarna kekuning-kuningan.
“Mungkinkah ini maksudnya kita sudah memasuki bagian labirin yang lebih dalam?” tanya Claire.
“Kupikir begitu,” jawab Leon.
Leon kemudian merasakan sesuatu yang seakan menarik dirinya.
“Claire... Kurasa sesuatu yang kita cari ada di arah sana,” kata Leon sambil menunjuk ke arah utara dari tempat mereka berdiri.
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Claire.
“Entahlah, aku dewa api, kan? Mungkin sesuatu yang terbuat dari api atau ditempa dari api ada di sana,” jawab Leon.
“Tapi di sana buntu,” jawab Claire. Di hadapan mereka memang jelas tertutupi dinding tanaman. Hanya ada tikungan ke kiri atau ke kanan, dan mereka tidak tahu yang mana yang menuju ke arah utara yang ditunjukkan Leon.
“Ikuti aku!” seru Leon.
“Kamu yakin?”
“Percayalah. Aku tahu,” jawab Leon sambil mengajak Claire memilih tikungan yang ke arah kiri. Mereka kini berjalan mengikuti kelokan labirin tanpa suara. Claire berjalan mengikuti Leon kemanapun pria itu pergi. Jalanan begitu sepi dan semakin lama, warna di sekitar mereka juga berubah menjadi kemerahan.
“Kurasa kita menuju arah yang tepat, semuanya menjadi kemerahan,” kata Claire.
“Merah, lambang api,” sahut Leon.
Mereka tersenyum sebab sedikit lagi saja, mereka akan bisa menyelesaikan level kali ini. Mereka berjalan dengan langkah-langkah pasti, lebih cepat sebab mereka sangat yakin. Hanya tinggal beberapa tikungan lagi, mereka akan menemukan benang merah itu.
Leon dengan yakin membawa Claire menuju ke sebuah tikungan ke kiri. Ia menoleh ke arah Claire sekilas, dengan senyum penuh percaya diri. Mereka menuju kelokan itu dan...
“Ha! Sudah kuduga kalian akan kesini!” seru Minotaur yang tiba-tiba ada di hadapan mereka. Leon hampir saja terjatuh ke depan dan Claire menubruk punggung Leon.
“Lari!” seru Leon. Ia kemudian menarik tangan Claire ke belakang.
“Tidak semudah itu!” seru Minotaur. Ia menangkap sebelah lengan Claire.
Dengan cepat, Claire menghunuskan tombaknya ke arah Minotaur. Tombak Claire tepat mengenai dada Minotaur, namun tanpa diduga tombaknya tidak bisa menembus kulit Minotaur yang keras. Minotaur itu tertawa sambil menangkap tombak Claire dan menariknya mendekat. Sontak, Claire terbawa mendekat ke arah Minotaur itu.
“Claire!” seru Leon berusaha menggapai dan menarik Claire ke arahnya.
Ia kemudian menarik Claire sekuat tenaga hingga wanita itu terlempar ke belakang menabrak dinding tanaman yang ternyata lebih keras dibanding kelihatannya. Leon kemudian mengeluarkan kekuatan api dari kedua telapak tangannya, membakar rumput di depan Minotaur itu. Membuat api dan asap yang memberikan kesempatan beberapa detik untuk melarikan diri.
Leon menyambar tubuh Claire yang masih terduduk di tanah kemudian membawanya berlari pergi dan bersembunyi di salah satu tikungan. Minotaur itu menggeram lalu berjalan melewati api itu dengan mudah. Namun, asapnya membuat pandangannya sedikit terganggu. Ia menggeram. Segera setelah ia berhasil melewati api itu, sang Minotaur berlari membabi buta mencari Leon dan Claire.
“Ares! Athena! Kembali kemari kalian!” serunya.
Langkah kakinya berdebam membuat tanah bergetar. Leon dan Claire bersembunyi di salah satu tikungan dengan tubuh gemetar.
“Claire!” seru Leon dengan suara berbisik saat ia melihat Claire mulai merentangkan tangannya. Lagi-lagi di saat seperti ini, Claire membuka layar digital yang membuat bunyi berkedip cukup keras. Langkah Minotaur itu terhenti, ia menoleh ke arah suara.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Leon kesal. Claire tidak menggubris Leon, ia segera berubah menjadi Aphrodite. Langkah-langkah kaki Minotaur itu terdengar mendekat.
“Sial!” seru Leon dengan suara masih berbisik.
“Percayalah padaku,” kata Claire.
Tanpa diduga, Claire keluar dari persembunyiannya menantang Minotaur yang sedang berlari mendekat.
“Claire!” seru Leon sambil berusaha menarik Claire kembali ke persembunyian, namun terlambat. Claire sudah berdiri berhadap-hadapan dengan Minotaur itu. Sang Minotaur mendengus kencang, bersiap untuk menyantap makan malamnya.
“Sial! Sial!” kutuk Leon lagi sambil berusaha memutar otak. Jika Claire kehilangan satu nyawanya sekarang itu kerugian bagi mereka berdua.
Kini, Minotaur itu berhenti tepat di hadapan Claire. Seketika mata Claire bersinar keemasan sambil menatap Minotaur itu. Sang Minotaur kini menatap Claire dengan tidak berkedip.
“Betul... aku makhluk tercantik di seluruh dunia. Kamu mencintaiku,” kata Claire pada Minotaur itu.
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere
Api yang keluar dari mulut Chimera itu kini sudah disemburkan ke arah Claire dan Leon. Air mata Claire meleleh turun ke pipinya. Dengan perlahan dan lembut, ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Leon. Mungkin ini ciuman mereka yang terakhir. Tidak ada cukup kata-kata bagi Claire untuk mengungkapkan perasaannya pada Leon, ia memilih untuk mengungkapkannya melalui ciuman terakhir ini.Namun sesaat sebelum api itu membakar tubuh mereka, tiba-tiba Claire dan Leon merasa diri mereka tersedot ke dimensi yang berbeda. Saat mereka membuka mata, mereka kembali ke tempat mereka semula. Ini di apartemen Claire, di depan laptop mereka.“Apakah kita sudah mati sekarang?” tanya Claire.“Kurasa tidak,” jawab Leon.“Apakah ini ilusi?” tanya Claire lagi.
“Kamu akan menyusul mereka secepatnya. Jangan khawatir,” kata Boston sambil melihat ke mana arah pandang Fox.Fox tetap tidak menjawab. Ia tetap menatap Boston tanpa ekspresi. Wajahnya memerah, senada dengan warna rambutnya. Setiap melihat wajah Boston, ia teringat bagaimana Mrs. Andrew meninggal. Kepalanya mengeluarkan darah, bahkan kini masih meninggalkan noda di pakaian Fox. Dalam hati, Fox bersumpah bahwa ia akan menuntut balas. Boston harus mati di tangannya.“Terserah jika kamu ingin tetap membisu seperti itu. Tapi sekarang kamu harus mengirimkan hipnotis pada semua orang di Amerika. Akses ke satelitnya sudah kuberikan padamu,” kata Boston Hopkins lagi.Fox hanya diam saja, menatap Boston tanpa berkata apapun. Boston mulai jengah dengan sikap Fox, ia memberikan kode pada orang yang meno
“Ayo kita lakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Kita tidak ingin kehilangan momen ini,” kata Leon lagi. Ia sudah duduk di depan laptopnya bersiap untuk kembali masuk ke dalam The Myth. Matanya menatap ke arah Claire menunggu gadis itu duduk di sebelahnya dan segera memulai misi kali ini.Claire menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah Leon. Jantungnya berdebar, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, ia harus melakukan ini. Seperti kata Leon, ini mungkin kesempatan mereka untuk menghancurkan Boston Hopkins untuk selamanya.“Kamu sudah siap?” tanya Leon.“Iya,” jawab Claire singkat.Ia menatap wajah Leon lalu sesaat kemudian, tanpa