Share

7. Berpisah

"Aku bersyukur mengetahui dirimu yang asli lebih cepat. Aku sempat berpikir untuk menyerahkan hidupku hanya untukmu dan menjadikanmu kekasih terakhirku di dunia ini. Namun, ternyata Tuhan menilai aku terlalu berharga untuk disandingkan denganmu. Terima kasih untuk satu tahun ini. Aku harap hubungan kalian abadi. Meski au tidak yakin dia adalah satu-satunya bagimu." Berbanding terbalik dengan keadaan hatinya, ucapan Alice benar-benar menunjukkan bahwa ia tak tenggelam dalam alasan murahan Vio. Alice pun langsung memutar badannya dengan cepat, tak ingin memberikan Vio sedetikpun waktu untuk membalas ucapannya.

Vio terpaku merasa marah harga dirinya yang tadi sudah ia tinggikan kini diinjak-injak oleh Alice. Inginnya berlari menarik kedua tangan yang jelas-jelas masih gemetar itu dan membungkam mulutnya yang berucap kasar padanya hingga meneteskan air mata namun hal itu dicegah oleh pemilik cafe yang ternyata sejak tadi sudah memerhatikan keduanya dari jauh.

Alice melangkah dengan tergesa-gesa setelah mendengar keributan di belakangnya. Ia menduga Vio sedang mengamuk dan mungkin ingin mengejarnya. Kakinya yang lemas ia paksakan menambah kecepatan sebelum Vio bisa menjangkaunya. Setelah sampai di tepi jalan, ia segera menghentikan taksi yang lewat dan refleks masuk ke dalamnya. Barulah setelah taksi berjalan ia berani menengok ke arah dimana ia datang tadi. Alice menatap lekat jalanan yang cukup ramai itu, dilihatnya satu per satu orang yang ia lihat di belakang. Napasnya masih terasa tersengal-sengal akibat memaksa tubuhnya berlari sedangkan otaknya mengirim sinyal seakan tubuhnya tak berdaya akibat banyaknya hal mengejutkan yang terjadi beriringan di waktu yang sama. Barulah ia bernapas lega setelah meyakini tidak ada tanda-tanda kemunculan Vio di belakang sana.

Air mata kembali mengucur deras, Alice menyandarkan tubuhnya dan terduduk lemas. Suaranya tersekat di ujung tenggorokan, padahal ia ingin menjerit meluapkan emosinya. Dicengkeramnya lehernya sebagai upaya pelampiasan kekesalannya. Meski ia berusaha tegar saat menangkis ucapan Vio, namun sebenarnya saat itu ia amat sangat takut dan merasa bersalah. Dalam hatinya terdapat sedikit keraguan akan ketidakbenaran atas ucapan Vio yang pada awalnya diyakininya.

Apa benar dirinya adalah penyebab perselingkuhan Vio? Pertanyaan itu terus muncul sebanyak Alice menampiknya. Menyakitkan. Menakutkan. Tak pernah ia membayangkan diduakan orang yang dicintainya akan sesakit ini. Tangannya yang awalnya menutupi wajahnya kini ia taruh di dadanya, mencoba mencari dari mana rasa sakit itu berasal. Dia berharap dirinya hanya terluka terkena goresan atau menabrak sesuatu saat di kantor tadi. Dirabanya gusar bagian kiri dadanya yang berdenyut tak hentinya. Tak ada tanda-tanda adanya luka luar disana. Ia meringis. Lalu bagaimana dirinya menghentikan rasa sakitnya? Bahkan tak ada goresan sedikitpun.

"Ini." Tiba-tiba saja, dari samping sebuah tangan menjulurkan tissue pada Alice.

"Terima kasih." Alice mengambil tissue itu dan menghapus air matanya yang terus saja mengalir. Kini dirinya sedikit terhibur dengan perlakuan sopir taksi yang dinaikinya. Sopir taksi itu begitu baik padanya karena memberikan tissue padanya. Ia benar-benar merasa berterima kasih dengan perlakuan kecil itu. Lama Alice memegang tissue tersebut sebelum tubuhnya kembali menegang menyadari sesuatu.

Bukankah supir taksi selalu berada di depan? Tapi tadi yang memberinya tissue berasal dari sebelah kirinya. Alice mendongak melihat ke kursi depan, supir taksinya sedang menjalankan taksi, Alice mengerutkan keningnya, ia seperti mengenal punggung itu. Lalu ia dengan sigap menoleh ke sisi kirinya dan terpegan sesaat setelah matanya menangkap wujud Erickson yang sedang duduk di sana sambil menatapnya dengan datar.

"...Presdir?" Mulut Alice ternganga tak percaya dengan penglihatannya. Berkali-kali ia mengedipkan matanya cepat-cepat akibat terkejut.

"Ah, apa kau sudah lebih baik?" Supir taksi itu menoleh pada Alice dan ikut menambah keterkejutan gadis itu. Ternyata yang tadi ia sangka supir taksi adalah Arthur, sekretaris Erickson. Bagaimana bisa situasi itu terjadi? Alice sungguh bingung, ia mencoba memikirkan situasi saat itu namun ia tak bisa berpikir.

"Presdir, bagaimana bisa…?" Alice bertanya dengan ragu-ragu.

"Ah, kebetulan saja. Haha." Arthur menjawab pertanyaan Alice. Ia melirik Erickson dari kaca spion dan terlihat seperti menyuruh Erickson melalui matanya.

Tatapan Alice berpindah ke Erickson yang tengah mengabaikan Arthur dan kembali fokus pada tablet di tangannya. Alice tetap diam tanpa berucap apa pun dan menatap Erickson melalui sudut matanya karena ia merasa malu untuk berhadapan langsung dengan Erickson dan memperlihatkan wajahnya yang sudah kacau akibat menangis, meskipun sebenarnya ia pun tahu bahwa kemungkinan Erickson sudah memerhatikan dirinya yang menangis sejak masuk ke dalam mobil.

"Bisa-bisa kau melubangi wajahku," ucap Erickson tanpa diduga-duga. Ia masih tetap fokus pada tablet di tangannya.

Alice terkesiap karena tak menyangka Erickson akan tahu bahwa ia menatapnya. Alice berpikir mungkin Erickson terganggu dengan tatapannya, lalu ia beralih menatap lurus ke depan. "Saya hanya terkejut bagaimana bisa saya bertemu Pak Presdir di sini." Alice kemudian secara ragu-ragu kembali melihat Erickson.

Erickson menghentikan kegiatannya setelah mendengar ucapan Alice. Irisnya lalu bergerak melirik Alice. Ia diam sejenak, wajahnya tetap datar seperti biasanya, namun entah mengapa Erickson menatap Alice dengan amat lekat untuk sesaat dan itu membuat gadis di depannya semakin tak bisa mengetahui apa yang sedang ada di pikirannya saat itu. Dari sudut pandang Erickson, terlihat air mata Alice yang masih tersisa di wajahnya yang terlihat jelas dari jarak pandang Erickson.

Arthur yang sejak tadi diam dan membiarkan dua orang di belakang itu berbicara kini melirik Alice dan Erickson bergantian sebelum kembali fokus pada jalanan. Ia sebenarnya takut mood Alice malah semakin buruk karena salah paham dengan diamnya Erickson. Sebab ia lihat pria itu tak ada niat untuk membuka mulutnya.

Saat ini, Alice berpikir kebetulan macam apa yang terjadi saat ini sehingga ia bisa masuk ke dalam mobil yang awalnya ia berniat hanya. untuk memanggil taksi. Bahkan tak pernah terbesit bahwa ia malah akan menaiki mobil dari atasannya. Lalu bagaimana penjelasan akan kebingungan Alice saat itu?

Sebenarnya kurang lebih tiga puluh menit yang lalu, Erickson bersama Arthur yang saja mengakhiri pekerjaan mereka hari itu memutuskan akan mengisi perut di salah satu cafe rekomendasi salah satu client mereka. Arthur pun tampak bersemangat saat menghidupkan mobil untuk mengantar mereka sampai ke tempat tujuan. Bahkan selama di perjalanan, Arthur mengingat kembali menu-menu yang disebut oleh client mereka itu untuk dipesan saat mereka tiba nanti, berbanding terbalik dengan Erickson yang tengah berpangku tangan menatap jalanan yang masih ramai melalui kaca mobil.

Sesampainya di sana, mereka dibuat heran dengan para waiters yang harusnya menyambut mereka malah sibuk berbisik-bisik, ditambah para pelanggan yang juga melakukan hal yang sama, terlebih lagi mereka semua menatap ke arah yang sama.

Meski awalnya Erickson acuh dengan situasi itu, namun ekor matanya menangkap sosok wanita yang terlihat akrab yang berada persis dengan arah tatapan orang-orang itu. Erickson menyenggol lengan Arthur yang masih kebingungan dengan sikunya dan menunjuk ke arah yang dimaksudnya sambil berjalan maju dua langkah.

Erickson mengenal baju yang dipakai wanita itu serta kuncir rambut yang menempel di rambut hitam panjang tersebut. Itu penampilan yang masih cukup segar dalam ingatannya, itu adalah penampilan wanita yang terakhir dilihatnya sebelum keluar dari kantor.

Arthur yang disampingnya terlihat menyipitkan matanya sebelum kemudian ia berseru dengan sedikit terkejut. "Itu… bukankah itu Alice?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status