Share

6. Murka

Vio beberapa kali membuka mulutnya dengan ragu, lama ia menatap wanita yang tak diketahui namanya itu lalu ia memegang bahunya dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu. "Bukan… bukan begitu. Tunggu, biarkan aku bicara dengannya dulu." Vio berbisik di telinga wanita itu dan menatapnya dengan gelagapan.

Alice tercengang di tempatnya melihat kelakuan Vio yang terlihat jelas saat itu bahwa dia lebih memihak siapa. Alice seketika langsung mengetahui bahwa prioritas pria itu bukanlah dirinya, yang dikhawatirkan akan salah paham bukan dia melainkan wanita asing itu.

Alice begitu murka, ingin rasanya ia meluapkannya disana saat itu juga namun sisi dirinya yang masih sadar tahu bahwa itu hanya akan membuat dirinya terlihat menyedihkan dan ia tak mau begitu. Dengan amarah yang berada di puncak, Alice hanya bergeming di sana, tatapannya membidik tajam pada Vio.

"Jelaskan padaku apa yang kau lakukan di sini bersama wanita ini? Kau… apa kau sudah gila? Kau… bagaimana bisa kau…." Suara Alice terdengar geram. Gadis itu mengerutkan keningnya mencoba sebisa mungkin menampakkan wajah murkanya meski sebenarnya saat itu hatinya sudah hancur menjadi debu, meski saat itu ia sungguh ingin mengeluarkan air mata dan menangis tersedu-sedu hingga kesedihan berkurang, namun ia mencoba tegar dan menahan air matanya. Baginya, baik Vio maupun wanita itu tak boleh melihat dirinya yang lemah dan tertindas, ia harus berlagak kuat demi menjaga harga dirinya. Jelas harga dirinya terasa terinjak-injak kala itu mengingat kekasihnya ternyata berkhianat di belakangnya.

Para pengunjung cafe pun secara menatap mereka bertiga sesekali. Ada yang terlihat merasa terganggu, ada yang menatap tak percaya dan ada pula yang menatap penuh iba pada Alice. Alice tak suka itu, ia tak menyukai jika ada orang yang menatapnya seolah dia orang yang menyedihkan. Hal itu hanya membuat dirinya benar-benar terlihat menyedihkan. Ia lebih suka tatapan mereka yang mengerutkan kening dan mendengkus kesal karena kebisingan yang mereka perbuat. Belum lagi Vio tak mengatakan apapun, lelaki itu hanya diam melirik Alice dan wanita itu secara bergantian.

Namun ta lama kemudian ia meraih tangan Alice yang masih mengepal keras, menariknya dan membawanya keluar dari cafe itu dengan tergesa-gesa.

Alice bahkan belum sempat bersiap akan tindakan tersebut dikarenakan seluruh inderanya kini terasa kaku, pikirannya pun berkabut, hanya sakit di dadanya yang paling jelas terasa saat itu. Dilihatnya lengannya yang ditarik oleh Vio dengan kasar sepanjang jalan. Alice sedikit meringis karena genggaman Vio sangat kuat dan itu menyakiti lengannya.

Vio menghempaskan tangan Alice dengan kasar. "Dengarkan penjelasanku." Mereka berhenti di sebuah gang kecil tak jauh dari cafe itu, gang yang terhubung dengan rumah Vio, gang yang biasanya selalu dia lewati bersama Vio sambil bercanda gurau dan tertawa, yang mana itu berbanding terbalik dengan situasi mereka saat ini dimana Vio bahkan tidak terlihat tersenyum sedikit pun dan Alice yang juga tak menunjukkan wajah cerianya.

Suara Vio berhasil mengusir benang kusut yang mengacak-acak pikiran Alice. Dilihatnya Vio yang kini sedikit terengah, ia berdiri tegak dengan waspada menatap ke kiri dan kanan yang ia lakukan berulang-ulang. Apa yang telah terjadi pada Vio? Kemana Vio yang menatapnya lembut dengan suara yang menyejukkan? Hatinya masih saja menyimpan sedikit harapan akan kesalahpahaman yang mungkin menjadi penyebab situasi itu.

"Ini bukan seperti yang kau lihat. Dia hanya junior di kantorku," ujar Vio yang sudah mengatur napasnya menjadi lebih tenang dari sebelumnya sambil terus menerus mengusap tengkuknya dengan gelisah.

Alice menatap vio dengan nanar. Ia mengatup bibirnya erat-erat. Harapan kecil yang tadi masih bersinar di hati Alice kini sudah redup dan menghilang entah kemana setelah dia melihat gelagat Vio barusan. Mereka adalah kekasih, tentu saja Alice tahu hal yang disukai Vio, pun hal yang tidak disukainya dan itu termasuk juga kebiasaan yang selalu Vio lakukan terutama saat ia berbohong. Karena saat berbohong, Vio akan mengusap tengkuknya secara serampangan tanpa sadar dan itulah yang dilakukannya belum sampai semenit yang lalu.

Alice mengepalkan tangannya mencoba mencari kekuatan. Kini ia sudah tahu bahwa Vio benar-benar membohongi dan mengkhianatinya. Ia ingin segera pergi dari sana. Ia kini sudah tahu bahwa apa yang dikatakan Vio adalah kebohongan dan hanyalah alibi yang dia buat untuk membuat Alice memercayainya. Lebih-lebih lagi, pemandangan beberapa menit yang lalu sudah menjadi bukti konkret atas arti dari semuanya.

"Tidak… jangan katakan apapun lagi. Aku bukannya tidak tahu apa yang baru saja aku temui. Jika kamu ingin berkata bahwa ini hanyalah salah paham, maka apa aku sudah buta? Jika kamu tidak ada hubungan dengannya mengapa kalian berciuman? Apa kamu akan bilang kalau itu adalah hal yang normal dilakukan antara senior dan junior? Apa kamu menganggapku bodoh?" Alice berkali-kali mengusap air mata yang terus saja mengganggu penglihatannya. Kini ia telah dipenuhi emosi. Suaranya parau, isakan berkali-kali lolos di tiap kalimatnya.

Ditatapnya Vio yang kini wajahnya berubah murka. Aura berbahaya terasa di sekitarnya dan membuat Alice merasa terancam.

Vio menghela napas. "Bukankah sudah jelas alasannya? Itu karena kamu," desisnya geram. Tatapannya begitu menusuk.

"A…apa? Apa maksudnya?" Wajah cantik Alice masih dipenuhi air mata.

"Sudah satu tahun kita berpacaran. Kamu bahkan tak mau aku sentuh. Bahkan saat aku ajak berciuman pun kamu sering kali menolak. Apa kamu pikir aku mau berpacaran dengan anak Sekolah Dasar?" Vio sengaja memandang Alice dengan angkuh. Nada suaranya penuh dengan penghinaan. Setelah semua terbongkar, lebih baik dia luapkan saja semuanya karena diyakini Vio semua ini adalah hasil dari kesalahan Alice. Dengan sengaja ia memprovokasi Alice agar merasa jatuh lebih dalam lagi dan meninggikan harga dirinya yang merasa terhina dengan tatapan tak suka dari orang-orang saat mereka melintas.

Tubuh Alice menegang bersama dengan keterkejutan yang begitu tiba-tiba menghantamnya. Matanya membulat tak percaya dengan apa yang keluar dengan begitu mudah dari bibirnya tanpa ragu sedikitpun. Anak Sekolah Dasar? Apa begitu kesan Vio padanya selama ini? Bagaimana bisa lelaki itu berucap hal seperti itu?

Alice sungguh sudah tak sanggup lagi menahan semua emosinya yang telah lama ia coba pendam dan kubur dalam hatinya. Dilemaskannya tangannya yang sejak tadi mengepal, dalam hatinya ia membulatkan tekad untuk membalas ucapan pria itu dan ia berharap dirinya diberi kekuatan untuk bersikap tegar.

Setelah dirasanya kini adalah kesempatan bagus baginya untuk membalas Vio. Sembari masih terus menguatkan hatinya, telapak tangan Alice bergerak naik perlahan lalu dengan cepat ia menampar pipi Vio hingga berwarna kemerahan. Alice sedikit terkinjat saat mendengar suara dihasilkan dari tindakannya itu terdengar keras.

"Aku sudah jelaskan sebelum kita memulai hubungan kalau aku tidak bisa jika kau meminta hal itu. Kau pun berkata itu bukan masalah dan tetap berharap aku menjadi kekasihmu. Kau sudah tahu aku tidak begitu suka dengan hal-hal yang terlalu intim tapi sekarang kau jadikan itu alasan menduakan aku dan bermain dengan wanita lain di belakangku? Sungguh, kau sangat memuakkan." Tatapan mata Alice yang penuh kesedihan dan air mata kini berganti dengan amarah yang membuncah serta kilatan kebencian yang dalam. Alice tak menyangka begitu bodohnya ia selama ini sehingga dirinya sampai-sampai tak menyadari Vio memiliki sisi yang menjijikkan seperti ini dibalik senyum manis yang selama ini Vio tunjukkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status