Share

Chapter 4

Pandan baru saja tiba di rumah. Saat turun dari mobil, pandangannya tertuju pada mobil kakaknya yang tidak berpengemudi, tetapi mesin mobilnya dalam keadaan hidup di garasi. Berarti kakaknya akan keluar rumah sebentar lagi. Pandan melanjutkan langkah ke ruang tamu, dan nyaris ditabrak kakaknya yang terlihat sedang terburu-buru. Mau ke mana sih kakaknya ini?

"Abang mau kemana sih? Buru-buru amat?" tanya Pandan penasaran. Pandan meneliti penampilan kakaknya yang rapi jali. Kakaknya juga menyandang tas kecil yang biasa ia bawa saat akan menemui client-clientnya.

"Abang dan Denver mau ke temu beberapa teman lama di club. Mereka selama ini tinggal di luar negeri. Ada beberapa orang dari mereka yang sedang mencari developer untuk membangun apartemen dan perumahan-perumahan exclusive. Abang sekalian mau menawarkan design-design terbaru kantor kita. Siapa tahu mereka tertarik dan mau menjalin kerjasama. Abang jalan dulu ya, Dek." Sahut Lautan tergesa. Kakaknya bilang apa tadi? Sekalian menawarkan design-design terbaru? Sepertinya ia harus hadir di sana untuk sekedar berjaga-jaga dan mengamati keadaan. Siapa tahu akan ada penghianat yang kembali menggunting dalam lipatan. Tapi bagaimana caranya ia bisa ada di sana tanpa diketahui oleh kakaknya?

Ting!

Sebuah ide singgah di kepalanya. Ia segera berlari ke kamar dan mengeluarkan beauty case andalannya. Dengan cepat namun teliti ia merubah wajah cantiknya menjadi sosok seorang pemuda tampan metroseksual. Perubahan struktur garis-garis feminim divwajahnya kini berganti menjadi keras dan tegas. Ia sekarang mirip dengan wajah tampan-tampan cantik ala boyband-boyband korea. Demi semakin menyempurnakan penyamarannya, Pandan memasang wig model pixie cut yang telah diberi pomade dibagian depannya hingga jigrak-jigrak keren. Sekarang tinggal sentuhan terakhir yaitu kostumnya. 

Pandan bergegas masuk ke kamar kakaknya dan membuka laci kabinet terbawah. Di sana biasanya kakaknya menempatkan baju-baju lamanya yang sudah tidak terpakai. Setelah mengubek-ubek sebentar, ia menemukan sebuah kemeja garis-garis body fit dan skinny jeans lama kakaknya. Sepertinya pakaian ini adalah pakaian kakaknya zaman SMA. Tetapi tetap saja kebesaran di tubuhnya. Pandan berusaha mengakalinya. Untuk mengatasi pinggang yang kedodoran, ia memasang ikat pinggang buckle double ring. Selain berfungsi untuk menahan jeansnya, bucklenya membuatnya semakin terlihat kekinian. Oke. Misi kedua selesai. Sekarang tinggal misi terakhir. Pandan berlari ke ruang tamu dan meraih tas slempangnya di atas sofa. Dengan segera ia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Panggilannya langsung dijawab pada nada masuk pertama.

"Hallo Vi? Lo tau nggak sekarang kakak lo ada di mana?" Pandan menghubungi Virginia, adik perempuan Denver untuk mengorek informasi. Dengan begitu ia jadi bisa mengetahui di mana kakaknya akan melakukan pertemuan.

"Tumben lo tetiba nanyain soal kakak gue? Biasanya cuma ngedenger nama kakak gue disebut doang, asem lambung lo langsung kambuhkan? Jadi penisirin gue. Hehehehe.

Pandan memutar bola mata. Virginia Delacroix Bimantara ini memang cerdas. Susah sekali untuk mengakalinya. Baiklah, ia terpaksa harus mengeluarkan jurus bohong terselubung demi memuluskan semua rencananya.

"Ck, dompet kakak gue ketinggalan di rumah, Vi. Hapenya juga sibuk terus waktu gue teleponin. Tadi sih kakak gue pamitnya mau ke club sama kakak lo. Cuma ya itu, club di sini kan banyak. Gue kagak tau harus nganterin ini dompet ke mana." Teknik pengalihan terselubung mulai ia praktekkan. 

"Oh gitu toh. Tadi sih gue denger kakak gue mau ke Astronomix. Lo susulin aja ke sono."

Astronomix? Noted. Oke ia akan segera meluncur ke sana. Seru juga sepertinya. Ia juga sudah lama tidak refreshing. Pasti suasananya akan jauh berbeda kalau ia menikmati dunia gemerlap sebagai seorang laki-laki tampan alih-alih sebagai seorang perempuan cantik. 

========================

Setelah mengerahkan segenap kemampuan balapnya, Pandan tiba di Astronomix hanya dalam waktu dua puluh menit saja. Setelah memarkirkan mobil, ia masuk ke dalam club dengan gaya yang di maskulin-maskulinkan. Ia 'kan sedang menjadi laki-laki sekarang. Telinganya langsung disambut dengan lagu The Middlenya Zedd, Maren Morris, Grey. Irama lagu yang seru membuat tubuhnya otomatis bergoyang-goyang santai. Sembari menikmati musik, pandangan Pandan terus mencari-cari keberadaan kakaknya. Setelah sekian lama mengamati para pengunjung yang sedang have fun, akhirnya Pandan memindai kehadiran kakaknya and the gang juga. Kakaknya terlihat duduk bersebelahan dengan Denver di sudut ruangan. Ada tiga orang laki-laki lainnya juga di meja yang sama. Samar-samar Pandan seperti mengenali dua di antaranya. Yang berbaju biru tua dan berkemeja putih sepertinya teman SMA kakaknya. Hanya saja ia lupa nama-nama mereka. Sementara yang berkaos hitam ia tidak kenal. Sembari terus mengintai, Pandan segera memesan makanan. Perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Sambil menunggu makanannya datang, Pandan kembali memperhatikan kakaknya yang sedang mempromosikan design-design terbarunya.

Ada rasa sesak di dadanya kala melihat kakaknya mengeluarkan laptop dan memperlihatkan sesuatu pada teman-teman lamanya. Kakaknya begitu gigih dalam bekerja. Pandan tahu sebenarnya kakaknya itu tidak suka dengan suasana club yang bising seperti ini. Kakaknya itu sesuai dengan namanya, Lautan, memang lebih menyukai tempat refreshing yang bertema alam bebas dan bersentuhan langsung dengan matahari. Kakaknya selalu mengatakan kalau ia akan sakit kepala kalau dipaksa mendengar musik yang diputar kencang dan membuat jantungnya seolah-olah akan melompat keluar. Tetapi hari ini, kakaknya memaksakan diri ke tempat seperti ini demi untuk mempromosikan pekerjaannya. Kakaknya memang seorang pekerja keras. Pandan ikut meringis kala melihat kakaknya berkali-kali mengernyitkan kening sembari memijiat-mijat pelipisnya. Pasti saat ini kakaknya sedang sakit kepala. Kasihan. Pandan terus saja memperhatikan kakaknya sambil mengunyah kebab dan kentang goreng. Ia memang lapar sekali. Lihatlah, dalam waktu sepuluh menit saja semua makanan yang ia pesan sudah pindah ke perutnya tanpa tersisa.

"Hallo Bro, sendirian aja nih? Mau ditemani nggak?" Pandan yang sedang mengamati kakaknya, kaget saat seorang pria tampan macho menepuk ringan bahunya.

Glek. Apa-apaan ini?

"Kalo lo berharap pada sekelompok orang-orang itu," tangan si pria macho menunjuk pada kakaknya and the gang.

"Lo harus siap-siap patah hati. Mereka itu semua pria-pria stright, Bro. Jiwa G- radar gue sudah mendeteksi orientasi seksual mereka. Lo bakalan dimakan mentah dan dicampakkan ke rawa-rawa kalo lo berani mengusik mereka."

Ini orang ngemeng apa sih?

Pandan melongo memperhatikan pria tampan macho buluan ini berbicara. Radarnya kini juga sudah berbicara. Ternyata ia telah didekati oleh seorang gay yang sedang mencari mangsa. Bagaimana populasi dunia perjombloan tidak semakin memprihatinkan kalau pria-pria macho begini ternyata doyan laga batang semua. Naseb... naseb...

"Maaf ya, Bro. Gue juga kebetulan straight. Straight to the point maksudnya." Pandan nyengir. Ia sebenarnya tidak begitu mengetahui soal istilah-istilah dalam dunia pergay-an sebenarnya. Makanya ia menjawab seenak perutnya saja. 

"Oh, lo straight? Apa lo nggak mau nyoba-nyoba dunia baru? Pino* gue gede lo. Udah gitu gue ini fleksibel. Bisa jadi top, bottom atau versatile. Tergantung keadaanlah. Mau nggak? Lo cute dan imut begini bisa jadi twink yang digilai Om Bear dan daddy-daddy keren. Mau nggak, Bro?" Gay macho ini masih terus saja berusaha merayunya. 

"Lo kira orientasi seksual gue kayak baju, bisa dicoba-coba dulu cocok atau kagak sama lo? Eh lo denger baik-baik ya gay bikini bottom. Gue ini polisi yang sedang nyamar. Kalo lo terus-terusan gangguin gue, bakalan gue tembak beneran bikini bottom lo. Paham lo?" Ancam Pandan kesal. Lama-lama ia gerah juga mendengar istilah-istilah aneh pergay-an di telinganya. Merusak gendang telinga saja.

"Oke... oke, Pak Polisi. Gue akan pergi. Tapi sebelumnya gue mau ngasih tau soal kesalahan-kesalahan lo dalam istilah-istilah gay tadi. Gue ini bisa jadi bottom yang artinya bisa jadi cewek juga. Bukan bikin bottom. Bikini bottom itu adalah kota tempat tinggal sponge Bob dan teman-teman sejenisnya. Tolong lo bedain ya? Nggak masalah kalo lo nggak mau jadi gay. Tapi lo jangan ngerusak istilah-istilah kaum kami ya? Jangan gara-gara kami ini kaum minoritas maka kami jadi terus saja ditindas." Elahhh ini orang ngemeng apa sih?

Setelah si gay macho berhasil ia usir, pandangan Pandan tertumbuk pada pasangan yang baru saja masuk ke dalam club. Wow, Gerhana Putri Alam nyangkut di mari euy! Hebat bener anak seorang jendral keluar masuk club. Eh tapi seperti ada yang aneh di sini. Ngapain itu si Nana malah narik-narik tangan kekar seorang preman tattoan yang sepertinya enggan sekali disentuh oleh si Nana. 

Pandan memperhatikan si preman terus saja mengelak untuk bersentuhan dengan Nana. Wuih! Ada apa ini sebenarnya? Pandan yang kepo, segera menghampiri pasangan yang aneh itu. Bagaimana tidak aneh, Nana yang childish dan dengan rambut buntut kuda dan baju kodoknya, terus memegangi lengan pria kekar tattoan yang tampak risih sekali terus saja diikuti oleh anak kecil. Sebenarnya si Nana ini bukan anak kecil. Usia Nana itu sepantaran dengannya. Hanya saja dandanan Nana itu mirip sekali dengan anak remaja belasan tahun. Nana suka berbuntut kuda. Kadang malah ia mengepang rambut panjangnya seperti Elsa The Frozen. Nana dari kecil memang suka didandani manis dan cute oleh Tante Ochi yang dulu memang berprofesi sebagai seorang guru TK. 

Pandan terus saja berjalan melewati para eksmud dan pasangan-pasangan muda yang sedang menikmati malam panjang sembari bercengkrama ringan. Setelah mendapatkan posisi yang cukup dekat dengan Nana, ia pun duduk dengan memunggungi mereka berdua. Kedua telinganya ia pasang pada posisi HD. Siap menguping.

"Kamu ngapain terus saja mengikuti saya? Saya mau bekerja." 

Ai mak, preman bahasanya kamu saya. Alus pisan euy!

"Saya kan mau menjenguk ibunya Abang. Saya juga mau mengganti gerobak martabak yang tadi tidak sengaja saya tabrak." 

"Ibu saya tidak apa-apa. Cuma kaget saja. Lagi pula tadi ibu saya bilang kalau ia sudah memaafkan kamu bukan? Gerobak martabaknya juga sudah saya perbaiki. Saya tidak butuh uang kamu. Jadi kamu tidak usah terus mengikuti saya. Nanti orang-orang mengira kalau saya itu mau memalak kamu lagi! 

Wuih, ini preman tattoan. Udah gualak, eh sombong lagi!

"Mana bisa begitu? Kata orang tua saya kalau kata maaf itu berguna, pengadilan itu tidak ada dan penjara bakalan kosong semua. Maaf itu penting, hanya saja ada sanksi yang juga menyertainya. Saya dididik untuk selalu bersikap penuh tanggung jawab. Jadi saya tetap akan mengganti uang perbaikan gerobak dan wajib untuk menjenguk ibunya Abang." 

Wuihhh syedap... si Nana kalo ngomong emang copy paste Om Badai dalil-dalilnya. Maklum aja, anak polisi.

Si Preman tattoan yang ehm laki banget itu terlihat membuka mulutnya tetapi akhirnya ia menutupnya lagi. Sepertinya ia sudah kehabisan akal untuk membujuk Nana. 

"Ya sudah. Saya akan membawa kamu menemui ibu saya. Setelah itu kamu jangan pernah menampakkan batang hidung kamu lagi di hadapan saya dan ibu saya. Berjumpa dengan kamu membuat kami tertimpa sial saja. Ngomong-ngomong orang tua kamu itu guru agama ya?" Tanya si preman. Wah, belum tahu dia siapa orang tua si Nana.

"Ibu saya dulunya guru TK."

"Pantas saja," si Preman mengangguk maklum.

"Kalau ayah kamu? Guru agama?" tanya si preman lagi.

Satu, dua, tiga!

"Bukan. Ayah saya itu polisi. Nama ayah saya Jendral Badai Putra Alam." Wajah si Nana tampak puas banget bisa menakut-nakuti si preman. Hahahaha. Nana memang nakal.

Jreng... jreng...

"Kalau begitu ayo sekalian saya akan mengantar kamu pulang. Saya akan menemui ayahmu dan memintanya untuk mencabut SIM A kamu. Karena kamu terbukti tidak kompeten dalam menyetir hingga melukai dan merugikan orang lain!" 

Nah lo! Wajah si Nana langsung auto pucat. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah si preman yang terlihat begitu protektif melindunginya dari tangan-tangan jahil pengunjung club yang sekedar ingin menyentuhnya. Si preman juga membuka jaket kulitnya dan memakaikannya ke tubuh mungil Nana. Baik juga si preman ini ternyata. 

Setelah menyaksikan drama satu babak dengan hasil akhir si preman yang mengalah, Pandan kembali menemukan pemandangan yang tidak biasa di sini. Putri Handayani, pacar kakaknya yang alim dan lugu, bagai perawan di sarang penyamun saat memasuki hingar bingar suasana club. Si Putri ini memang bener-bener cari penyakit. Bakalan disate hidup-hidup dia oleh kakaknya, karena berani-beraninya datang ke club seorang diri seperti ini. 

Tidak perlu menunggu lama. Dari tempat persembunyiannya ia melihat kakaknya celingungkan sebentar dengan ponsel yang masih ditempelkan di telinga. Sepertinya Puput memang menelepon kakaknya. Bener-bener ular cari pemukul. Menit berikutnya kakaknya terlihat setengah menyeret tangan Puput untuk ia dudukkan tepat di sampingnya. 

Setelah menunggu kakaknya hampir setengah jam kemudian, Pandan memutuskan untuk pulang saja. Ia tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sini. Perut kenyang, hati lapang, membuat matanya mengantuk. Lebih baik ia pulang dan tidur saja. 

"Halo Bro, pengunjung baru ya? Sendirian aja. Gue kenalin sama cewek-cewek seksi mau nggak?" seseorang tiba-tiba saja merangkul bahunya akrab. Menilik suara dan aroma yang menguar di tubuh orang ini, Pandan sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Ini pasti si mesum akut Denver. Saat ia menoleh ke samping kanan. Dugaannya tepat sekali. Denver Delaroix Bimantara tengah menatapnya tajam dalam jarak hanya sejengkal. 

Pandan menahan napas. Ia masih menimbang-nimbang. Apakah Denver ini tahu penyamarannya, ataukah hanya kebetulan saja. Wajar saja sesama pria menawarkan untuk berkenalan dengan wanita bukan? Tetapi Pandan memilih untuk mengambil jalan aman saja. Lebih baik ia tidak berdekatan dengan makhluk mesum ini. 

"Maaf, Bro. Gue ini gay. Jadi gue tidak suka sama cewek-cewek seksi. Tapi terima kasih atas tawaran lo, Bro." Pandan berusaha berkelit untuk melepaskan bahunya dari tangan Denver. Tapi sepertinya si empunya tangan keukeuh menahan tangannya di sana.

"Wah sama dong kalo gitu. Gue juga bisa jadi gay kalo lakinya secantik lo. Kita mau mojok di sebelah mana, Bro?" Bisik Denver mesra di telinganya. Pandan yang risih kembali berusaha melepaskan belitan tangan Denver. Kali ini Denver dengan suka rela melepaskan lengannya dari bahunya. Tapi sebagai gantinya ia malah meremas pingangnya dengan mesra. Kedua telapak tangannya makin naik dan naik hingga menyentuh batas bulatan dadanya. Pandan sama sekali tidak menyangka kalau Denver benar-benar berani mengelus sekilas bulatan dada kanannya. Kurang ajar!

"Lain kali kalau ingin menyamar jadi laki-laki, ikat dulu dada seksi kamu dengan benar. Baru tutupi lagi dengan jaket. Kalau cuma memakai kemeja begini, mata kami masih bisa menembusnya. Mengerti kamu?"

Bajirut!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status