Aluna ke kampus dengan perasaan bahagia, ini baru permulaan. Ia yakin suatu saat Zolan akan luluh.
“Alunaa! Kenapa dari tadi kamu membaca buku sambil tersenyum?” tanya Fatma, menatap heran.
“Haa! Tidak! Siapa bilang aku tersenyum?” Sanggah Aluna, leher bergerak ke kiri dan ke kanan, gerakkan tubuh yang membantah dugaan Fatma.
“Ihhh, Aluna tidak waras. Senyum-senyum dengan buku,” sahut Fatma menjahili Aluna.
“Tidak, Fatmaa! Siapa juga yang terseyum dengan buku? berhenti ganggu aku!” ucap Aluna, memukul pelan lengan Fatma meggunakan polpen.
“Hhhsss! Berisik!” tegur salah seorang lelaki, di belakang Fatma.
Saat ini mereka sedang berada di Perpustakaan. Semua orang terdiam fokus dengan buku yang sedang dibacanya. Sedikit terdengar suara, pasti akan mengganggu konsentrasi orang lain.
“Maaf yaa!” ucap Fatma dengan bentuk tangan depan dada, memohon maaf.
Tidak ada balasan dari lelaki itu. Ia kembali fokus dengan bacaannya. Mer
Terimakasih banyak-banyak, untuk kalian yang terus mengikuti novel ini, jangan lupa vote yaaa.
*** “Bi, Zolan sudah makan? Di meja masih ada makanan?” tanya Aluna pada Bi Sarti. Sebelum ke dapur ia melihat masih ada makanan di atas meja. “Belum, Non! Kalau Tuan Besar sudah makan. Tuan Muda masih di Kamarnya,” jawab Bi Sarti, sambil mencuci wajan. “Oh iya, Bi,” ucap Aluna lagi. Ia kembali ke meja makan. Memperlambat menyantap makanan yang ada di piring, menunggu Zolan agar bisa makan bersama. Namun yang di tunggu tak kunjung datang, hingga ia selesai makan. “Bi, tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan membawakan ke kamarnya!” tutur Aluna sambil membawa bekas piring makan, ke Bi Sarti. Kaget, “Ehhh! Non kenapa piringnya di antarkan ke sini? Biar kami saja yang mengambilnya di meja makan,” ucap Bi Sarti. “Hehe, tidak apa-apa Bi,” ucap Aluna, tersenyum. “Maaf, tadi Non katakan apa?” tanya Bi Sarti karena tidak mendengar dengan jelas ucapan Aluna. “Tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan mengantarkan ke kama
*** Kampus di penuhi mahasiswa, Aluna memegang dua buku berukuran tebal sambil berlari dari Perpustakaan menuju Ruang Kelas. "Aku tidak boleh telat!" batinnya. "Ini sudah hampir jam sembilan, kenapa yang lain belum datang? Fatma juga tidak ada. Hanya ada aku dalam kelas," tanya Aluna ke diri sendiri, "mungkin sebentar lagi teman-teman akan datang," lanjutnya. Ia meraih handphone dari dalam tas, menelepon Fatma. 'Fatma, kamu di mana? Kita kuliah jam berapa, kenapa di dalam kelas tidak ada teman-teman?' tanya Aluna, setelah Fatma mengangkat telepon. 'Aluna kenapa sihh? Hari ini kita tidak ada matakuliah, adanya besok!' jawab Fatma masih dengan suara mengantuk. 'Haa! kok bisa?' ucap Aluna sambil mengingat hari, 'hari ini rabu kan?' lanjutnya lagi. 'Ya Tuhan, Alunaa! Ini hari selasa. Siapa bilang rabu. Matakuliah hari ini di pindahkan hari kamis. Kamu sungguh mengganggu mimpiku Aluna,' kesal Fatma, 'sudah yaa! Sebentar aku akan ke kampus m
"What? Sebenarnya siapa yang butuh dan membutuhkan di sini?" Aluna masih terus membatin, ia merasa jengkel. Tidak mungkin Aluna mengatakan kalimat itu kepada Anton. Ia masih ingin selesai kuliah dengan aman. "Baik, Pak! Aku akan menjadi guru les anak anda!" ucap Aluna, terpaksa dan pasrah. "Okey, di mulai besok sore! Silahkan Keluar!" lanjut Anton setelah mendengar jawaban Aluna. "Apaa? Aku langsung di usir? Dosen ini benar-benar kelewatan. Hatinya terbuat dari apa?" batin Aluna, ia berdiri dan langsung keluar dari Ruangan Anton. "Sungguh sial aku hari ini. Harusnya aku masih bersantai ria di Rumah. Mengapa juga aku bisa lupa, jika hari ini tidak ada matakuliah? Dan sialnya lagi, aku harus bertemu dosen yang sangattt menyebalkan di dunia!" ucap Aluna dengan suara yang tak mungkin di dengar oleh orang. Aluna berjalan menuju Perpustakaan. Setibanya, Aluna mengambil buku yang ingin ia baca dari dalam tas. Ia terlihat fokus membaca buku, tepatnya
*** Aluna tidak mengerti rencana Fatma. Saat ini ia sedang berhadapan dengan perias yang sudah di bayar oleh Fatma. "Entah berapa banyak uang yang sudah Fatma keluarkan? Membeli gaun dan menyewa perias, aku rasa tidak murah. Ingin menolak, tapi tidak mau membuat Fatma kecewa. Sebenarnya aku merasa malu, sebagai wanita, di dandani oleh lelaki," batin Aluna. Mata Aluna di beri softlens. Perih, hingga air matanya jatuh. Bukan karena rabun, ia tidak rabun, hanya untuk mempercantik mata. Wajah Aluna sudah selesai di rias, kini tangan lelaki itu berpindah pada rambut. "Ini rambutku akan dibuat seperti apa?" lirih Aluna, saat tangan mengambil sedikit rambut bagian atas. "Kamu tunggu saja hasilnya," tutur lelaki itu, mengikat rambut Aluna dengan pita, sisa rambut yang lain di biarkan terurai. "Sudah selesai! Sekarang waktunya ganti baju," lanjutnya dengan gaya yang ayu. Menuruti perintah, Aluna berdiri, melihatnya dengan intens, "Ia sangat ganteng jik
"Ini Aluna, teman Fatma!" jawab Fahmi. Dengan seyum yang Aluna tidak tahu apa maksudnya. "Aku, Aluna!" memperkenalkan diri pada Zolan. Tangannya terulur ke depan. "Apakah Zolan, lelaki yang di maksud Fatma beberapa hari lalu? Haruskah sekarang aku mengikuti permainannya? Berpura-pura tidak saling kenal! Jika ini yang diinginkan Zolan, baiklah, akan aku turuti. Zolan tidak ingin, Pernikahan kami ada yang tahu!" batin Aluna. "Zolan!" jawabnya singkat dan tersenyum. Sambil membalas uluran tangan Aluna. "Ini pertama kalinya tangan kotorku menyentuh tangan Zolan. Ini juga pertama kali aku melihat senyum Zolan, sangat manis. Tetapi senyuman itu untuk Aluna, teman Fatma. Bukan Aluna, istrinya!" batin Aluna, ia pun ikut tersenyum. "Malam ini Zolan terlihat sangat berwibawa. Dengan Jas berwarna silver dan rambut disisir rapi. Siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Zolan memiliki tinggi 185 cm. Aku baru sadar, jika aku terlihat begitu kecil saat berhadapan dengan Zo
*** “Bro minggu depan kita akan ke Bali!” ucap Fahmi. Ia sedang makan di Ruangan Zolan. Zolan tidak menjawab pertanyaan Fahmi, ia justru balik bertanya, “Fahmi, siapa perempuan yang kemarin datang bersama adik kamu,” tuturnya. "Mengapa Aluna bisa mengenal adik Fahmi?" batin Zolan penasaran. “Dia sahabat Fatma, satu jurusan di kedokteran,” jawab Fahmi sambil tersenyum. Belum pernah Zolan menanyakan soal perempuan kepadanya. Sudah banyak perempuan yang Fahmi kenalkan pada Zolan, tetapi tidak satu pun yang ia gubris. “Semoga usahaku berhasil, ini bisa jadi lampu merah untuk mereka berdua. Perempuan itu memang sangat cantik, tidak heran jika Zolan menanyakannya,” batin Fahmi. Kaget Zolan. Ia yang awalnya sedang mengetik berkas di laptopnya, mengangkat kepala dan menatap Fahmi. “Perempuan itu kuliah?” tanya Zolan. keningnya berkerut, heran. “Iya!” jawab Fahmi. Ia masih sibuk menyantap makanan yang ada di hadapannya. Tidak melihat respon Zol
“Kamu perempuan hebat, Aluna. Kamu terlalu kuat, beruntung anak saya menikah dengan kamu,” batin Marfel. "Zolan masih mengharapkan perempuan itu. Semenjak kepergiannya, Zolan banyak berubah. Ayah tahu, hingga sekarang Zolan masih mencarinya. Jangan membencinya karena ia yang belum bisa mencintaimu, Aluna. Ayah yakin suatu saat Zolan akan berubah," ucap Marfel, tersenyum pada Aluna, “Maafkan Ayah, buat kamu menangis! Bagaimana kuliahmu?” lanjut Marfel, mencairkan suasana. “Ayah tahu dari mana aku kuliah?” Mata Aluna membola mendengar pertanyaan Marfel. Lagi-lagi ia terkejut dengan ucapan Marfel. "Ternyata selama ini Ayah tahu semua tentangku! Dari mana Ayah tahu?" Aluna membatin. “Hahaha! Terlalu gampang buat Ayah untuk mencari tahu semua tentang kamu, Aluna!” ucap Marfel sambil terbahak-bahak. Aluna telah berhenti menangis. Berpikir ingin beralasan apa ke Marfel. “Mendingan sekarang jika di tanya, aku diam saja. Mengapa Ayah menanyakan sesuatu yang ia
*** Ada yang aneh dengan pagi ini, Zolan berada di depan kamar Aluna, ia menunggu. Aluna tidak tahu rencana Zolan. Saat Aluna membuka pintu, ia sudah berdiri gagah. “Yukk!” ucap Zolan lalu berjalan. Aluna masih berdiri di depan pintu kamar, “Bagaimana mungkin aku ikut dengannya? Aku akan ke kampus dan Zolan ke kantor. Tidak mungkin ia akan mengantarku ke kampus, ataukah perkiraanku salah?” Aluna membatin. Zolan berbalik. Ia menatap Aluna yang masih saja berdiri. “Mengapa masih di situ, kamu tidak ingin ke Kampus?” tanya Zolan. “A-a-aku, mau ke kampus,” jawab Aluna terbata, dan Bingung. "Apakah aku harus ikut dengannya? Rasanya tidak mungkin. Aku belum menyiapkan mental untuk berhadapan dengan Zolan hari ini. Rencananya aku akan menghindarinya. Ternyata dia yang menyambutku lebih dulu. Pagi ini, Zolan tidak seperti biasanya," batin Aluna. “Ya sudah, yuk!” Zolan berjalan dua langkah. Kemudian berbalik lagi. “Mengapa masih diam, Aluna? Yu