Aluna seorang anak yatim piatu. Ia tidak mengetahui jika sebelum ibunya meninggal, ia telah di jodohkan dengan seseorang yang ia tidak kenal. Aluna terpaksa menerima perjodohan itu. Menjadi istri Zolan merupakan awal penderitaan bagi Aluna. Tidak mengeluh, Aluna selalu berusaha mempertahankan rumah tangganya. Bagaimana Aluna menjalani hidup? Dapatkah takdir berpihak pada Aluna setelah mengizinkan Zolan untuk berpoligami dengan mantan kekasihnya? Ikuti terus ceritanya yahh Salam sahabat
View MoreAluna sedang terburu-buru ke kampus. Bernama lengkap Aluna Mentari, usia dua puluh satu tahun, seorang mahasiswa kedokteran di sebuah kampus di Kota Kendari, memiliki sahabat bernama Fatma. Saat ini ia sedang mengendarai motor kesayangannya. Kendaraan yang selalu menemani ke mana pun Aluna pergi.
"Hari ini ada ujian dari Pak Anton. Dosen yang terkenal killer. Padahal ia tidak pernah membunuh mahasiswa. Jika pernah membunuh, pasti sekarang tidak menjadi Dosen. Mengapa Dosen yang terkenal disiplin, tidak pernah tersenyum, dan pelit nilai dikatakan Killer? Padahal 'kan Killer itu pembunuh. Kasian sekali mereka! Kapan negara kita bisa maju, jika sesuatu yang baik dikatakan membunuh?" batin Aluna, selama perjalanan menuju kampus, "entahlah itu bukan urusanku," lanjutnya sambil melihat lampu yang masih berwarna merah.
Tiba di Kampus pukul tujuh lewat, lima belas menit lagi ujian akan dimulai. Masih ada waktu untuk belajar. Beberapa hari ini ia tidak belajar, di Toko Kue sedang banyak orderan. Selain kuliah Aluna juga memiliki usaha yang di rintis bersama Fatma. Usaha itu sudah berdiri selama lima bulan, sehingga harus membagi waktu antara kuliah dan kerja.
"Alunaa!" panggil Fatma membuyarkan pikiran Aluna.
"Heii!" balas Aluna dan menunggu di antara banyak mahasiswa, "kamu sudah belajar? Aku tadi ketiduran belum sempat membaca catatan yang pernah di beri oleh Pak Anton," lanjutnya lagi setelah mereka berjalan beriringan .
"Alahh! Kamu itu tidak belajar juga pasti bisa mengerjakan soal. Katanya tidak belajar, ujung-ujungnya dapat nilai tertinggi! Meskipun tidak belajar, yang mendapat nilai tertinggi sudah pasti kamu!" Fatma berkata dengan suara cempreng, terdengar oleh semua mahasiswa.
"Huss! Diam! Malu di dengar orang! Menyesal aku, ajak kamu ngomong saat banyak orang," ucap Aluna, berjalan lebih dulu meninggalkan Fatma. Mata semua mahasiswa tertuju padanya. Fatma sangat senang membuat Aluna malu.
***
Ujian baru saja selesai, Aluna melangkah menuju arah parkir. Dari kejauhan terlihat tiga orang berseragam hitam berdiri dekat sepeda motornya. Ia memperlambat langkah, sejenak berpikir, "mungkin mereka sedang menunggu orang lain," tetapi semakin mendekat, mata mereka hanya tertuju ke arah Aluna.
"Maaf, bisakah aku mengambil motor itu?" tanya Aluna sopan, setelah tiba di Parkiran, sambil menunjuk motor. Badan mereka yang besar membuatnya takut.
"Apakah anda bernama Aluna?" tanya salah satu di antara mereka, menatap Aluna.
"Iya, aku Aluna. Ada apa ya?" jawabnya hati-hati.
"Kami datang untuk menjemput anda!" ujarnya dengan tegas.
"Ikutlah dengan kami! Jangan takut kami bukan orang jahat!" lanjut salah satu pria di sebelah kiri.
"Yaiyalah! Tidak ada orang jahat yang mengaku kalau dirinya jahat. Yang ada itu, orang jahat yang berpura-pura baik!" batin Aluna, belum menunjukkan gerakan untuk mengikuti mereka.
"Kami anak buah Pak Marfel! Dia teman dekat ibu anda! Ada wasiat dari ibu anda yang ingin disampaikan oleh Pak Marfel. Sekarang ia sedang di rawat di Rumah Sakit," ucap mereka bergantian, berusaha meyakinkan.
Aluna melihat mereka satu persatu, mencari tahu apakah ada kebohongan di wajah mereka. Setelah memastikan beberapa saat, "Baik! Aku akan ikut kalian!" ucapnya, berusaha meyakinkan diri, mereka bukanlah orang jahat.
"Silahkan ikuti kami! Kita akan menggunakan mobil. Motor anda akan ada yang bawa." sambil mengarahkan pandangan ke mobil hitam yang sudah terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada.
Kurang lebih tiga puluh menit menempuh perjalanan, mereka telah tiba di Rumah Sakit. Aluna memasuki ruangan serba putih. Ada seorang pria yang di perkirakan usianya enam puluh tahun terbaring lemah dengan bantuan oksigen. Ia melihat ke arah Aluna dan berusaha tersenyum. Tiga orang yang menjemput, hanya mengantar sampai pintu ruangan. Mereka menyuruh untuk masuk sendiri. Aluna mendekat ke arah Marfel. Hampir sepuluh menit ia berdiri, Marfel hanya menatapnya. Hingga, dengan suara lemah, menyuruh Aluna mendengar rekaman yang sudah disediakan oleh ajudannya. Aluna mengambil dan memutar rekaman itu. Dan suara ini …
'Aluna sayang apa kabar, Nak? Sudah lama kamu tidak mendengar suara ibu! Ibu merekam suara ini saat ibu di rawat di Rumah Sakit. Maafkan ibu yang tidak bisa berbicara langsung ke kamu. Ibu ingin kamu menikah dengan anak Pak Marfel! Ibu yakin dia laki-laki yang bisa mendampingimu! Mungkin kamu belum pernah bertemu dengannya dan kamu juga belum mengenalnya. Tetapi, ibu harap kamu mau menerima perjodohan ini. Pak Marfel adalah teman ibu. Selama ibu sakit Pak Marfel sudah banyak membantu pengobatan ibu. Tetapi bukan karena itu, ibu ingin kamu menerima perjodohan ini! Ibu hanya yakin, dia adalah lelaki yang tepat untuk kamu! Kamu mau kan Aluna? Ibu harap kamu mau! Ibu sayang Aluna!'
"Oh Tuhan takdir seperti apa ini? Bagaimana mungkin aku mau menikah dengan orang asing," batin Aluna. Satu tetes air mata jatuh.
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments