Aku tau tak mudah bagi Pak Ryan untuk menerima kenyataan bahwa dia adalah adik dari Mas Dipta, yang juga mantan suamiku. Dia memilih mengabaikan fakta yang ada meski Ayah Herman berulang kali meminta maaf. Kenyataan ini mengorek luka banyak hati, Mama Jani, Mama Sari, Mas Dipta dan Dana, serta Pak Ryan pastinya.Sudah dua hari sejak kejadian itu, Ayah Herman meminta bantuan Papa untuk dapat bertemu dengan Pak Ryan dan Mama Jani. Kami semua sepakat, tak akan memberitahu sebelum Pak Ryan dan Mama Jani sendiri yang mengijinkan.Demikian juga malam ini, pria setengah baya itu baru saja pergi setelah mendapatkan penolakan untuk kesekian kalinya. "Siapa menduga, Ryan dan Dipta bersaudara," ucap Mama malam itu, selepas Ayah Herman pergi."Semua tersakiti dalam masalah ini." Mama melanjutkan kalimatnya."Iya, dan kita sama sekali tidak mengetahuinya. Aku tak mengira Rinjani nekat karena setahuku, keluarga mereka bermusuhan entah karena apa." Papa ikut menimpali."Kasihan Mbak Jani sama Ryan.
Suasana tegang menyelimutiku, demikian halnya semua yang ada disini. Prilly menyusul, duduk di pangkuanku.Aku memejamkan mataku, saat akad nikah itu terucap dalam satu tarikan nafas. Pria di sampingku mengucapkan dengan jelas dan lugas. Suara "Sah." Terdengar memenuhi ruangan, berlanjut doa yang terlantun dari penghulu pernikahan yang di aminkan oleh semua yang ada di ruangan ini. Bulir bening meluncur tak dapat aku tahan, bukan sebuah tangis sedih. Tapi, sebuah tangis bahagia, yang tak dapat aku urai dengan kata-kata. Sesaat setelahnya kami saling bertatap dalam bias cahaya dibalik mata basahku, dapat aku lihat wajah tampan itu tersenyum. Dua buah buku, berwarna coklat dan hijau dan juga beberapa berkas telah kami tanda tangani. Sebagai penegasan pernikahan kami sudah sah di mata Negara. Bahu yang semula tegak tegang mulai turun, pertanda memudarnya ketegangan. Cincin disematkan di jari manisku, demikian juga dengannya. Aku mencium punggung tangan pria yang kini sah menjadi pemili
Aku bergegas berjalan ke pintu, hanya mengintipnya saja. Mama muncul di baliknya, ada senyum berbeda saat melihatku. Pastilah beliau sudah paham akan apa yang terjadi."Iya, Ma, ada apa?" Tanyaku kemudian pada mama."Ada Mas Herman di depan, mau ketemu Ryan," jawa Mama kemudian.Aku sedikit menoleh ke arah ranjang, tempat Mas Ryan duduk. Sampai saat ini dia belum mau menemui ayahnya. Entahlah aku akan mencoba nya sekali lagi, mungkin hatinya akan terketuk. Tapi, bisa jadi mood nya malah akan rusak."Kay, nggak janji Mas Ryannya mau. Tapi, Kay coba, Ma," ucapku ke Mama, ia mengangguk.Aku segera kembali menutup pintu, berjalan kembali ke arah ranjang."Ada apa?" tanyanya kemudian."Ada Ayah Herman," jawabku. "Dia pengen ketemu sama kamu.""Aku tak mau, biarlah, aku lebih baik tak mengenalnya. Aku sudah cukup bahagia hanya punya Mama, dan sekarang sudah sempurna ditambah dirimu dan Prilly. Juga keluarga ini. Jadi aku tak butuh hadirnya lagi." Pria di depanku menggelengkan kepalanya."Su
Sebuah pelukan hangat Mas Ryan berikan saat aku mematut diri di depan cermin. Sebentar lagi acara pengajian di mulai,dia terlihat tampan dalam balutan baju koko ber warna krem dan juga sarung berwarna dasar hitam."Sudah cantik," ucapnya sambil mengecup pipiku. "Mas juga terlihat sangat tampan," balasku padanya."Selepas acara, langsung pulang ya.""Terserah Mas, aku ikut saja." Aku membalikkan badan hingga kami berdiri berhadapan."Selesai jam berapa?" "Mulai aja belum, tanya selesai," ucapku, Mas Ryan terkekeh."Sayang," panggilku padanya. Pria itu mengangkat alisnya. "I love you."Senyum lebar nampak di wajah tampan itu."I love you too." Kecupan hangat menyapa keningku."Keluar?""Belum apa-apa sudah keluar, mana enak," ucap Pria itu, sesaat aku mencerna maksudnya. Seketika cubitanku mengarah ke perutnya, Mas Ryan terkekeh."Ih, geli. Apaan sih," ucapku manyun. Tak mengira dia bisa bercanda seperti itu."Katanya yang geli itu yang enak sayang," tambahnya lagi, yang membuatku tam
"Aduh sakit, sayang." Aku mengaduh ketika Mas Ryan menarik bibirku, dengan bibirnya gemas."Salah siapa kamu cantik, ngegemesin lagi," ucapnya."Ihh, apaan sih." Aku tersipu, wajahku menghangat."Makasih ya, boleh nambah kan?" tanyanya, alis itu bergerak naik."Apanya?" Aku mengerutkan kening.Alis pria itu bergerak naik turun, dengan senyum jail. Seketika aku paham yang dimaksudnya. Kami masih di atas ranjang, dibawah selimut yang sama. Lengan pria itu aku jadikan alas kepala, dan posisi tubuhku miring menghadapnya."Sayang, aku suka anak kecil," ucap Mas Ryan tiba-tiba."Sama," jawabku kemudian."Lebih suka lagi, kalau bikin anak kecil." Mas Ryan terkekeh saat aku menyembik setelah mendengar candaanya."Heem, emang maunya Mas itu.""Kamu juga kan?"Aku menggigit bibir bawah, dan memainkannya. Wajahku kembali menghangat. Setelah satu babak terlewati sepertinya akan berlanjut ke babak selanjutnya. Mas Ryan memiringkan badan hingga kami saling berhadapan. Dengan cepat Ia memangkas ja
"Pria mana yang bisa menolak dia? pria itu ada disampingmu. Bukan aku munafik, atau apalah. Aku sungguh tak tertarik padanya. Karena itu dia seperti terobsesi padaku." Mas Meletakkan kembali gelas yang masih dipegangnya di meja."Dia kan seksi." Aku mengangkat kedua alis dan menatapnya tajam. Sepertinya sudah kodratnya seorang perempuan memiliki rasa ingin tau yang besar. Atau lebih tepatnya suka memancing persoalan."Seksi menurut siapa dulu, kalau kamu tanya padaku, seksi itu ya kamu. Mata, hidung, bibir, dan ini." Senyum lebar terlihat di bibir itu, tangannya menunjuk setiap bagian yang disebutnya."Ish, gombal. Modus aja kan?" Bibirku, mengerucut, jauhlah milikku dibanding punya wanita itu."Biasa aja liatnya," ucapku saat mata itu tak melepas pandangannya dariku."Sakit sayang, Ih." Aku memukul pelan lengan itu, saat lagi-lagi dia menarik bibir bawahku dengan bibirnya . Mas Ryan hanya tertawa, melihatku mengusap pelan bibir bawah."Biar tambah seksi," ucapnya."Mana ada, jontor iy
Masakan Mama Jani memang enak, tak salah bila suamiku itu sering memuji mamanya dalam hal mengolah makanan."Kay, Dipta mau bicara denganmu," ucap Papa yang menyusulku ke belakang"Tentang apa ya, Pa?" tanyaku sambil membereskan piring kotor bekas makan."Hanya minta disampaikan seperti itu," jawab Papa kemudian. Aku menoleh ke arah Mas Ryan. Dia hanya melihatku tak bereaksi apa-apa, padahal mengerti alasanku menoleh padanya."Boleh?" tanyaku akhirnya, baru pria itu mengangguk tanpa melihatku.Selepas mendapat izin, aku bergegas ke depan menemui Masa Dipta, yang nampak duduk sendiri. Prilly dan Papa di ruang tengah tadi."Iya mas?" tanyaku kemudian sambil duduk di sofa."Mas, ingin bicara tentang Prilly." Mas Dipta menjawab."Maksudnya?""Mama dan Ayah, semua pindah ke sini. Mas ingin Prilly juga bisa tinggal bersama mas," ucap Mas Dipta kemudian."Nggak bisa, Mas. Kita sudah pernah membicarakan hal ini." Tolakku."Kalau begitu, kita bagi waktunya," ucap Mas Dipta lagi."Mas, ayolah.
Baru aku akan menyahut dengan suara, ketika tangan Mas Ryan membekap cepat mulutku. Hanya alisku yang terangkat, sebagai isyarat bertanya kenapa dia menutup mulutku."Kamar mandi, pakai baju dulu. Biar nggak kelamaan sengangnya," bisik suamiku itu pelan, kemudian membuka bekapan tanganya. Aku mengangguk kemudian meski belum sepenuhnya paham akan maksudnya. Sesaat aku mencerna arti perkataanya. Iya, sungkan juga jawab iya tapi, kami tak keluar - keluar. Aku mengulas senyum saat kami bergerak dengan lamban turun dari peraduan agar tak menimbulkan suara. Ketukan berhenti, setelah beberapa saat. Kami bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri alakadarnya. "Kenapa diacak lagi rambutnya?" tanya Mas Ryan saat aku mengacak rambut yang baru saja disisirnya."Kan biar keliatan bangun tidur beneran," jawabku sambil mengacak pelan rambut Mas Ryan."Hmm … pinter banget sih, istrinya siapa ya?" goda Mas Ryan sambil menarik ujung hidungku."Ish … baru aja akad dah lupa," balasku dengan bibir m