Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 1"Akhirnya sampai juga. Welcome Indonesia."Senyumanku mengembang seketika saat keluar dari Bandara. Kembali menghirup udara segar di negeri tercinta. Setelah 5 tahun bekerja di negeri orang menjadi pahlawan devisa.Satu hal yang paling aku rindukan, bertemu dengan putriku yang kini usianya sudah 8 tahun. Kutinggalkan ia saat umurnya masih 3 tahun, semua kulakukan karena ekonomi keluarga morat-marit. Suami yang hanya buruh serabutan tak mampu mencukupi kehidupan kami termasuk orang tuanya. Kami memang masih menumpang di rumah mertua.Terpaksa aku menerima ajakan teman yang sama-sama menjadi TKW di luar negeri. Mengadu nasib di negeri orang. Dengan harapan ekonomi kami bisa terangkat. Karena itu pula, sekarang kami punya rumah mungil di samping rumah mertua. Bukankah itu sudah cukup? Aku akan kembali bersama keluarga. Dan usaha kecil-kecilan di rumah sembari mengurus anak dan juga suami.Aku pernah pulang ke kampung halaman, tapi itu 2 tahun yang lalu, saat aku mendapatkan cuti d
Part 2"Mu-mutiara? Ka-kau pu-pulang?" ucap seorang lelaki dengan nada gemetar. Beberapa orang pun menoleh ke arahku yang berdiri di dekat pintu, menatap seolah tak percaya akan kedatanganku. Lelaki yang memakai baju koko, sarung serta peci hitam itu berjalan mendekat ke arahku. "Mutiara, kau pulang kenapa tidak memberitahuku?" tanya Mas Herdy lagi. Matanya mengisyaratkan kalau dia terkejut juga takut.Kutatap kedua matanya yang tampak memerah. Lalu kembali memandang tubuh kaku tak berdaya yang berada tak jauh dariku."Maafkan mas, Sayang. Mas gak bisa jagain Adinda dengan baik. Dia, dia--"Mendengar ucapannya yang menjelaskan kalau yang meninggal benar-benar Adindaku, putri mungil yang dulu kutimang-timang, seketika tubuhku lunglai, seolah tulang persendianku tak berfungsi lagi. Tubuh merosot seketika tapi Mas Herdy langsung memelukku dengan erat. Kudengar ia pun menangis tergugu.Pupus sudah harapanku. Bayangan akan disambut keceriaan si kecil dan senyumannya hilang seketika. Bay
Part 3Rindu yang sangat menyakitkan adalah merindukan orang yang sudah tiada. Karena kita tak bisa bertemu dengannya lagi, hanya bisa mengingatnya dalam secuil kenangan.***"Mbak, sebaiknya jangan terlalu percaya dengan keluarga suamimu," lirih sebuah suara yang seketika membuatku terhenyak.Aku menoleh ke sumber suara, melihat seorang wanita muda tersenyum ke arahku. Aku bahkan tak mengenali dia siapa. Lupa, lebih tepatnya. Lima tahun berlalu, banyak sekali yang berubah.Tapi, wanita muda itu berbaur akrab dengan mertua juga adik ipar. Lalu pulang bersama mereka mendahuluiku.Ya, aku memang masih ingin di sini. Di makam putriku tercinta. Mencurahkan rasa rindu yang masih tertahan dalam dada. Aku terduduk memandangi pusara Adinda, penuh penyesalan."Mut, sudah yuk, mari kita pulang. Makam sudah sepi. Tinggal kita berdua saja," ujar Mas Herdy seraya menundaku berdiri."Kita lanjut doakan Adinda dari rumah," lanjutnya lagi. Aku menoleh ke kanan dan kiri, memang tak ada orang lain lag
Part 4"Ehem! Kalian kenapa lancang sekali membuka koperku?" tukasku. Gerakan mereka terhenti seketika dan menoleh ke arahku."Ya ampun, Mut, kami ini kan keluargamu. Bukankah ini yang kamu bawa dari luar negeri, pasti ada oleh-oleh untuk kami kan?" ujar Mbak Tantri begitu cuek. Ia masih memilih baju-bajuku yang masih baru, kemarin dapat bonus dari majikan, diberi beberapa setel baju baru dan juga tas serta beberapa lembar uang tunai sebagai tanda ucapan terima kasih sudah bekerja di sana selama ini."Tapi itu baju-bajuku, Mbak!""Ini kan masih pada baru, nih mereknya juga masih ada, pasti harganya mahal. Biar buat kami aja. Kamu kan banyak uang, bisa beli lagi yang lain. Bagi-bagilah buat kami, jangan pelit!""Iya, Mbak Mut, jangan pelit sama saudara sendiri!" timpal Devina dengan gaya centilnya. "Bukannya aku pelit, Mbak! Tapi harusnya kalian izin dulu sama aku.""Heleh, timbang baju ama tas doang perhitungan sekali kau, Mut! Mentang-mentang jadi TKW belagu, lupa apa asalmu dari ma
Part 5"Mas janji akan langsung pulang cepat, semoga gak ada tugas tambahan dari Pak Kades."Aku mengangguk. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tapi aku memilih bungkam dan akan menanyakannya lain waktu.Aku bangkit dan mengikuti langkahnya dari belakang. Tikar sudah digelar di ruang tamu. Sebentar lagi adzan isya berkumandang. Aku melihat Mas Herdy dan Irdiana menuju mobil yang terparkir di halaman samping rumah ibu mertua. Tak lama mobil itu keluar dari halaman dan melaju di jalanan.Aku kembali masuk menuju dapur, saudara ipar dan ibu mertua tengah berada di sana seraya menyiapkan teh dan juga jamuan orang-orang yang datang nanti."Kalian harus baik di depan Muti, jangan seperti tadi. Dia itu pasti bertanya-tanya tentang kematian anaknya. Janganlah membuat curiga. Kita harus menutup rapat-rapat masalah ini."Deg! Seketika langkahku terhenti mendengar suara itu. Suara dari seorang wanita yang kuhormati."Tantri, kamu juga jangan keterlaluan menghina dia. Bagaimanapun di
Part 6Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut.""Apa maksudmu?"Mendadak Santi tersenyum. "Tidak apa-apa, Mut, lain waktu kamu main ke rumah ya!" jawabnya.Aku menoleh ke belakang. Rupanya ada ibu mertuaku yang datang menghampiri."Ini Santi, kan? Santi putrinya Bu Eni? Pangling ya, jadi makin cantik!" puji ibu mertuaku.Santi tersenyum dan menyalami tangan ibu mertua. "Haha makasih ya, Bu. Menantu ibu juga makin cantik, Bu. Maaf baru datang, baru tahu kalau Adinda--""Iya, tidak apa-apa, ayo masuk, San.""Tidak usah, Bu. Sebenarnya aku buru-buru. Nanti siang mau pergi lagi.""Haha ya sudah, ibu tinggal ke warung dulu," ujar ibu mertua.Santi mengangguk. Tapi aku masih menatapnya. Keningku berkerut, apa maksud ucapan Santi tadi."Hei, jangan bengong melulu!" tepuk Santi di pundakku. "Tadi maksudmu apa ya, San?" tanyaku lagi."Tidak, bukan apa-apa kok.""San? Apa kau tahu sesuatu tentang kematian anakku?""Aku sih tidak tahu pasti, kan a