Masuk"Tunggu, biar aku bantu rapikan."Tangan Mas Zaki dengan cekatan membantu aku yang sedang mengenakan kembali gaun pengantin. Ia bahkan merapikan setiap detail hijab yang kupakai. Dalam waktu sekejap saja, penampilanku sudah hampir sama dengan setengah jam lalu, saat kami belum masuk ke kamar ini."Nah, sudah," ujarnya sambil mengulas senyum sehangat mentari senja. Aku berjalan lebih mendekat ke arah cermin. Mengamati setiap jengkal diri sendiri mulai dari wajah, hingga pakaian yang menutup seluruh tubuh. Nyaris sama, tetapi aku merasa tamu undangan sepertinya tetap akan tahu apa yang baru saja kami lakukan di lantai dua ini. Apalagi kalau ada yang melihat mas Zaki membawa aku masuk ke kamar pengantin. "Hm, kayaknya penampilanku tetap terlihat seperti ....""Apa? Seperti baru selesai bercinta?"Nah, itu dia tahu, kan? Bagaimana nanti pikiran orang lain? Tamu masih banyak, kami malah memadu kasih di sini."Kamu nggak usa
"Kau benar-benar akan menikahinya lagi, Fri?"Aku membeku sesaat, untuk kemudian menghela napas panjang. Pandanganku lurus ke arah bunga-bunga mawar yang sedang mekar di taman belakang. Ada titik-titik air di hampir setiap helai mahkotanya. Hujan memang belum terlihat hendak beranjak meninggalkan bumi petang ini. Arsi duduk di sebelahku. Di hadapan kami terhidang dua cangkir kopi robusta Temanggung yang dipadu gula aren dari Banjarnegara. Ada sepiring besar carabikang di dekat minuman favoritku itu."Sepertinya itu yang lebih baik untuk Cyra.""Pikirkan dirimu juga. Cari bahagiamu, Fri."Aku menoleh ke arah Arsi. Lelaki itu ternyata juga sedang menatapku. Pandangan kami bertaut. "Jangan menahan semua emosimu, Fri," ujar Arsi lagi. "Kamu berhak bahagia dengan tidak mengesampingkan Cyra juga."Kuulas senyum sehangat kopi milik kami yang belum habis. Arsi seolah berhenti bernapas. Ia menatapku semakin lekat."Aku
Arsi menerima beberapa lembar kertas itu, lalu menoleh hingga pandangannya menerobos mataku. Ia kemudian menarik dua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman."Setelah ini, kamu nggak usah datang ke sini hanya untuk fisioterapi. Perawatnya akan datang ke rumahmu. Juga dokternya.""Nggak bisa gitu, Ar. A-aku ....""Sudahlah, Fri. Semua untuk kebaikan kamu. Aku gak tega lihat ayahmu harus mendorong kursi rodamu seperti ini. Ayo."Tiba-tiba lelaki itu sudah memutar kursi rodaku dan mendorongnya ke pintu keluar. Ayah yang sejak tadi diam, juga mengikuti di belakang Arsi. Sampai di depan meja perawat, kami berhenti. "Ubah statusnya jadi home visit. Laporannya langsung ke saya," perintah Arsi pada seorang perawat yang duduk di balik komputer, sambil melemparkan berkas di tangannya."Ba-baik, Pa," jawab perawat muda itu setelah sebelumnya ia berdiri dan mengangguk hormat pada Arsi.Aura mengerikan lelaki itu demikian kental. Bahkan
Azan subuh sayup terdengar. Mataku membuka sedikit. Bayangan tirai di sekeliling tempat tidur seketika menerpa kornea. Sel-sel di kepalaku mencoba mencerna situasi. Untuk sesaat, aku masih belum bisa mengingat kapan terpejam dan juga kejadian sebelumnya."Kamu sudah bangun?" Aku menoleh ke sisi kanan tempat tidur dan mendapati Ayah tersenyum. Mata senjanya menyiratkan lelah dan sedih. Saat itulah aku merasakan nyeri yang hampir tak tertahan di sana. Ah, tentu saja sakit. Kakiku patah setelah kecelakaan itu. Operasinya hari ini kan?"Jangan bangun dulu." Tangan Ayah terulur seolah hendak menahanku yang bergerak hendak bangun dari tidur yang melelahkan ini. "Aku mau sholat subuh, Yah.""Iya, tapi dalam posisi tidur saja.""Aku tayamum aja, ya?" Ayah menggeleng. "Kamu bukan sakit yang kalau kena air akan jadi bertambah parah, Wid."Aku diam sejenak, lalu menggerakkan tangan yang terpasang selang infus.
Arsi tidak melawan sama sekali. Ia membiarkan Mas Zaki terus memukul. Aku ingin berteriak. Namun, suara seolah tercekat di tenggorokan. Untung saja dua polisi di dekat mereka segera menahan tangan mantan suamiku itu.Mas Zaki dan Arsi sama-sama diamankan. Mereka dibawa keluar dari IGD. Aku hanya sendiri di ruangan ini untuk beberapa saat lamanya hingga tertidur. Satu jam kemudian aku terbangun karena petugas dari kepolisian datang lagi. Mereka menanyakan kronologi dari sudut pandangku dan juga kesaksian. Hati-hati sekali aku berbicara karena tidak ingin Arsi mendapat masalah. Bagaimanapun dia tidak salah. Lampu sudah hijau saat tangan kanannya menarik gas dengan pelan. Kendaraan penabrak, pengemudinya yang harus disalahkan. Dia dengan jelas menerobos lampu merah yang sudah menyala. Saat petugas polisi pergi, ganti dokter datang dan memeriksaku. Lelaki yang usianya mungkin baru memasuki kepala lima itu tersenyum."Bu Widia siap kalau besok pagi langsung dioperasi, ya?"Aku mencoba me
Aku sudah beberapa kali mengajukan keberatan dengan panggilan itu, tetapi Mas Zaki teguh dengan pilihannya. Ia selalu menyapa dengan kata yang masih membuatku berdebar hingga sekarang setiap kali mendengar dari mulutnya. "Kamu jadi datang ke acaranya Denny sial*an itu?" tanya Mas Zaki lagi melalui WhatsApp saat pesan sebelumnya tidak kujawab. "Ya."Jawaban singkat itu membuat Mas Zaki tidak lagi mengirimi aku pesan. Ia justru menelepon saat itu juga. Layar ponsel yang bercahaya menunjukkan nama lelaki itu di sana. Aku memandanginya sejenak, lalu menekan tombol power dan memasukkan benda itu ke dalam clutch. "Kenapa nggak dijawab? Dari siapa?""Oo, i-itu. Bu-bukan siapa-siapa. Hanya salah sambung "Ada gurat tidak percaya di wajahnya. Namun, Denny segera mengubah ekspresinya. "Oh, oke. Kamu mau minum atau makan sesuatu.""Hm, sepertinya aku butuh yang manis. Orange juice, please."Dengan sigap Denny menuju meja terdekat. Ia mengambil dua orange juice dan memberikannya satu untukku.







