Share

Bab 3 Siapa Yang Tak Tahu Diri?

Bab 3

Bip!

Suara mesin Tap On Bus di dekat sopir bus trans kota.

Renna memandang ke barisan penumpang bus yang tak terlalu banyak untuk jurusan ini—mungkin karena masih jam kerja. Renna berjalan memilih tempatnya duduk. Tak ada yang peduli dengan kehadirannya dan seharusnya memang begitu.

Untuk apa tahu siapa yang menumpang dalam bus lengang ini. Selama mereka menikmati perjalanan yang cukup murah untuk sekali jalan dan sampai tujuan dengan selamat—hanya itu tujuan mereka. Penumpang bus itu sama dengan bertemu orang-orang asing yang berusaha asik. Mereka berkenalan dalam bus lalu setelah keluar maka tak saling bertemu sapa lagi—mungkin memang hukum alam seperti itu.

Renna memilih duduk di kursi paling belakang pada sisi kiri. Dia menyandarkan bahunya—merasa lelah karena berjalan dari gedung tempatnya tinggal ke halte bus membutuhkan banyak tenaga apalagi saat cuaca sedang terik seperti sekarang. Tak banyak pohon di trotoar yang hanya membuat semakin terasa panas dan Renna sudah berkeringat dari balik hoodie hitam yang di pakainya.

Tak lama setelah ia duduk, seseorang mengisi kursi kosong sebelahnya. Bau parfum khas lelaki tercium. Bau tersebut sama dengan lelaki yang memberinya payung. Rennata tak ingin tahu siapa orang di sebelahnya, parfum seperti ini pasti banyak yang memiliki. Toh, bagi Renna tak mungkin lelaki yang menolong berkeliaran di area dekat rumahnya terus. Dia mengalihkan pandangan ke gedung perkotaan melalui jendela.

Perjalanan ke tempat tujuannnya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit—seperti info dari Lea. Ia tak ingin mengeluarkan banyak tenaga untuk sekarang. Dalam benaknya sudah terancang rapi semua yang ingin diucapkan pada Dion. Makian-makian sudah siap meluncur dari ujung lidahnya.

Bukan meluapkan rasa marah karena putusnya hubungan mereka. Tapi sifat seenaknya dari Dion yang tiba-tiba berhutang dan tak memberitahu pada Renna. Lalu paling parah mengatas namakan dirinya membuat para penagih mengunjunginya. Lelaki itu memang sengaja seperti itu agar hutangnya mau dibayar Renna sedang Dion bebas dari cengkeraman rentenir.

Sialan! Memang lelaki itu tak tahu diri sekali. Setidaknya bisa berbicara pada Renna lebih dulu. Renna sibuk menghitung perkiraan hari lelaki itu hutang kembali ke rentenir. Jika mereka melakukan penagihan sekarang. Maka lelaki itu berhutang sekitar seminggu lalu.

Ah! Pasti rentenir itu memberitahukan pada Dion ketika dia melunasinya minggu kemarin.

Sialan, mereka sama saja.

Renna melihat jam yang ada di atas sopir. Pukul 11 siang. Dia tak yakin Dion masih disana atau tidak. Tapi ini adalah usaha terakhirnya. Meminta penjelasan dan menagih uang. Menanyakan alamat lelaki itu sekarang lalu memindahkan alamat hutang— hal yang ia rencanakan semenjak debt collector memberinya kesempatan.

Renna menghela nafasnya merasa gugup untuk bertemu lagi. Seperti apapun merencanakan pastinya lelaki itu akan berkelit. Dan sepanjang apapun persiapannya untuk memaki, Renna tak yakin mampu mengucapkannya tanpa bergemetar.

Dia menutup matanya, mengumpulkan keberanian yang tak pernah ia miliki—melawan Dion lebih besar dari semalam.

Bus mulai masuk ke area pusat kuliner kota berhenti di salah satu halte. Renna segera keluar dari sana. Ingin mencari lelaki brengsek yang akan dimakinya. Diluar, Lea telah menunggu kedatangan temannya.

Renna menghampiri Lea yang langsung menunjukkan raut cemas.

"Dimana tempatnya?" tanya Renna langsung tanpa basa basi lebih dahulu.

Lea menunjukkan salah satu kafe di seberang halte. "Disana, mereka masih disana."

Renna segera berjalan kesana. Menyeberang jalan tanpa memperhatikan sekitarnya. Membuat beberapa kendaraan saling klakson—terkejut dengan Renna yang mendadak menyeberang.

Dia sudah mengumpulkan energi, amarah serta makian ditambah sedikit keberanian. Renna masuk ke dalam kafe diikuti Lea di belakangnya. Mencari keberadaan Dion dan perempuannya.

"Lelaki sialan!" teriak Renna lebih dahulu telunjuknya menunjuk ke satu arah, setelah berhasil menemukan keberadaan target. Dion bersama perempuannya yang sedang berbincang pada meja dekat jendela.

Semua pengunjung menatap Renna. Pandangan mereka bertanya-tanya. Apakah dia perempuan gila? Mengapa perempuan dengan hoodie hitam dan celana tidur merah itu tiba-tiba berteriak? Apakah ini konten prank?

Pandangan mereka melihat arah kemana Renna berjalan. Dia menuju ke kursi Dion. Menggebrak meja dengan keras. "Hai kau! Bayar hutangmu!"

Perkataan Renna dalam intonasi bentakan keras. Membuat beberapa pengunjung bergidik. Berpikir bahwa Renna adalah debt collector. Bahkan perempuan yang bersama Dion menunjukkan raut bertanya siapa perempuan gila ini?

Dion bangkit dari kursinya. Melihat ke seluruh penjuru kafe yang kini tertarik pada mereka. Dia mendengus kesal dengan bibir yang digigit serta hidung yang kembang kempis seperti semalam—ekspresi kesalnya masih sama.

"Apa maksudmu?" tanya Dion lebih dahulu dengan nada sangat rendah—mencoba untuk menekan emosi.

"Kau! Mengalamatkan hutang pada tempat tinggalku dan menggunakan namaku!" bentak Renna lebih galak. Mukanya memerah dengan tangan yang berkepal disamping— sedikit bergemetar.

Pertarungan dimulai! Wajah keduanya memerah malu dan marah. Dion memberi aba-aba pada perempuan yang bersamanya. Para penonton sudah tahu duduk permasalahannya semakin tertarik untuk curi dengar.

"Tetap disana." ucapnya pada perempuannya lalu mencoba menarik tangan Renna dengan paksa. Namun kali ini Renna telah menyiapkan tenaga untuk melepaskan tarikan tersebut dengan sekali hempasan.

Dion memandang Renna dengan marah. Matanya sudah memerah, jika dibiarkan emosinya bisa meningkat drastis. Mungkin bila ini rumah Renna, barang-barang akan hancur.

"Perempuan gila, apa maumu!" tanyanya dengan nada rendah—seperti mendesis.

Mereka tak bisa bernegoisasi dengan damai. Pengunjung yang menonton hanya melihat, takut untuk mendekat dan melerai keduanya.

"Kau.." tunjuk Renna pada hidung Dion. "Katakan kenapa kau tak bilang jika berhutang dengan alamat dan atas namaku!" lanjut Renna lebih lantang—sengaja agar orang lain mendengarnya.

Beberapa pengunjung yang menonton saling berbisik. Dion melihat tatapan para pengunjung yang menyalahkannya.

"Mungkin kau salah orang, aku tak mengenalmu."

Telak, ucapan Dion membuat Renna semakin marah. Perempuan itu mengayunkan tangannya dan menampar mantan kekasihnya. Kesal yang ia rasakan tak padam dari semalam lalu seenaknya berkata seperti itu.

"Kau. Benar-benar tak tahu malu." Renna hampir menangis karena terlalu emosional. Lelaki yang sering bersamanya mengatakan hal yang sangat keterlaluan baginya.

Baik, jika lelaki itu tak memiliki urusan lain seperti hutang maka Renna akan menerima ucapan tersebut. Tapi sekarang? Lelaki ini berkata tak mengenalnya setelah meninggalkan tanggung jawab.

Renna akan menampar kembali Dion yang masih kaget namun tangannnya dihalangi perempuan yang bersama Dion.

"Jangan tampar pacar saya ya, saya viralin kamu!" ancam perempuan berambut pendek dengan gaun floral.

"Hah? Viralin saya? Kamu tahu tidak lelaki ini sangat brengsek! Kau akan menyesal bersamanya." ucap Rennata menahan kesal. Ingin rasanya memberitahu semua keburukan Dion.

Perempuan tersebut berdecih. Menghempaskan tangan Renna ke udara. "Menyesal? Dia itu baik dan setia sama aku, kamu saja yang sial dapat buruknya."

Rennata benar-benar tak habis pikir. Perempuan gila yang sama naifnya dengan dia dulu. "Baiklah kalo begitu. Tolong bantu pacarmu ini lunasin hutang 20 jutanya."

"Kalian hutangnya bareng bayarnya bareng."

"Tidak, aku sudah melunasi hutang untuk gayanya yang sok mewah ini. Kau pikir darimana dia mendapat uang?" Renna bertanya retoris—menyindir perempuan dan Dion yang ternyata punya sifatnya.

Semua orang sedang menunggu babak selanjutnya. Tapi yang ada ketiga orang itu saling diam dan saling menatap marah. Tak ada yang menjawab pertanyaan Renna.

Dion sudah lama tak bekerja paruh waktu. Lelaki itu juga hanya dikirimi uang yang pas untuk saku dan biaya lainnya oleh orang tua. Makanya berhutang adalah solusinya untuk gaya hidup yang seperti orang kota.

"Sayang, ayo pergi." ajak perempuan itu. Tak ingin semakin malu. Ia menggandeng tangan Dion.

"Kau mau kemana, berikan alamatmu yang baru agar para penagih ke tempat barumu." kata Renna menghentikan Dion dan pacarnya.

Dion berbalik menuju ke arah Renna. Mendorong perempuan itu hingga terpojok ke meja. Ia mencengkeram leher perempuan yang pernah bersamanya. "Aku tak mau tahu, itu urusanmu karena menggunakan namamu."

Renna merasa tekanan di lehernya. Dion mencekik perempuan itu hingga sebuah tangan membantu Renna. Seorang lelaki yang kini mencengkeram tangan Dion hingga merintih kesakitan.

"Brengsek, siapa kau ikut berurusan?" tanya Dion dengan nada galaknya setelah berhasil melepas cengkeraman tersebut.

"Aku Dimas." Lelaki asing itu memperkenalkan diri.

Renna terbatuk setelah cengkeraman tersebut lepas. Sangat sesak tadi, jika tak dibantu mungkin dirinya berada didua pilihan mati atau pingsan.

Tangan dari Dimas—lelaki yang menolongnya itu mengulurkan air mineral yang masih segel pada Renna. Dia menerima tanpa ragu mengambil dan cepat-cepat meminumnya. Ia sangat haus dan kering tenggoroknya.

Renna mengendus bau parfum yang familiar. Dia baru sadar, lelaki ini memiliki aroma parfum yang sama dengan penumpang sebelahnya di bus tadi.

Sedang di sisi lain Dion dan Dimas saling pandang marah. Dimas yang membela Renna dan Dion yang merasa marah karena dihalangi.

"Sialan! Apa maumu?" makian Dion keluar lebih dahulu.

"Saya hanya gak suka cewek dikasarin."

Dion mendekat dan menarik kerah kemeja biru laut yang dikenakan Dimas. "Kau tahu? Perempuan ini gila, dia harus diberi pelajaran."

Dimas hanya memandang Dion yang menggeram. Ia melepaskan cengkeraman Dion dengan mundur selangkah lalu menghempas tangan di kerahnya.

"Apa kau tahu semakin bertindak kau hanya dapat masalah? Kau pikir perempuanmu yang melihat kekasaranmu akan terus menyukaimu juga?" Dimas menunjuk pacar Dion dengan dagunya.

"Kau tak tahu apapun diam saja." Dion menyela kesal.

"Kau pikir usiamu pantas seperti ini. Berhutang dengan nama perempuan dan alamatnya. Menyuruhnya membayar hutang yang jelas ia tak menggunakan uang tersebut." Dimas mengucapkannya dengan nada tenang. "Jikapun dia melaporkanmu, maka kau yang semakin malu."

Ucapan Dimas membuat Dion diam sesaat. Mantan kekasih Rennata menarik tangan pacarnya untuk keluar—dia malu karena kalah telak dengan lelaki asing yang sangat datar itu.

"Kau tahu perempuan yang kau bela tak bedanya dengan perempuan murahan! Kau Rennata perempuan murahan!" ucap Dion dengan nada lantang sebelum kepergiannya.

Renna ingin mengejar Dion tapi dihentikan Dimas yang memegang bahunya. "Jangan dikejar kau akan malu."

Renna melihat lelaki yang baru saja menolongnya.

"Kau! Aku masih ada urusan dengan dia!" teriaknya tepat di wajah orang yang baru saja menolongnya dari cekikan Dion.

Tak mengucapkan terima kasih sama sekali. Renna menyingkirkan tangan Dimas lalu berlari mengejar Dion yang telah nihil keberadaannya—mereka menaiki taksi sesaat sebelum Renna keluar.

Dimas dan Lea yang mengikuti Renna yang berada di depan kafe. Berdiri di pinggir jalan sambil memandang taksi yang melaju meninggalkannya.

"Aku kehilangan jejaknya!" ucap Renna kesal.

Melirik ke arah Dimas yang berada di belakangnya.

"Kauuu...." ucapnya dengan nada kesal. Mata Renna memerah karena kesal. Dia hampir menangis.

***

Renna berjalan menyusuri trotoar menuju tempat tinggalnya sekarang. Dirinya sudah amat lesu dan merasakan sakit kepala. Tenaganya benar-benar sudah habis usai memarahi Dion dan mempermalukan dirinya sendiri di kafe.

Dimas—lelaki yang menolongnya tadi kini terus mengikutinya. Semenjak ia marah dan memilih untuk pulang dengan bus trans kota. Tetap duduk di sebelahnya. Tanpa berkata apapun.

Renna yang mulai agak risih melihat ke belakang—posisi Dimas sekarang. Menatap dengan tatapan kesal karena lelaki di hadapannya telah membuat kesempatan hilang.

"Apaan sih ikutin terus?" tanya Renna pada Dimas.

Dimas hanya menggedikkan bahunya pelan." Agar kamu aman, gimana kalo cowok tadi bawa senjata tajam."

Renna mendengus kesal, hal yang tak mungkin daripada mereka masih terikat dengan hutang. Sebab telah ditulis pada perjanjian mereka jika pihak pertama tiada maka berpindah pada pihak penanggung kedua yang akan melunasinya. Yang secara tak langsung, jika Dion membunuhnya maka ia akan rugi dengan melunasi hutang 20 juta.

"Itu tidak akan."

"Aku mau ambil payungku yang kamu bawa."

Renna mengingat sebuah pesan tadi pagi. "Kamu?"

"Mau aku ambil sekalian." Dimas menunjukkan senyumnya.

Renna memandang lelaki yang telah menolongnya sebanyak dua kali. Dia merasa tak enak sudah marah-marah padanya. Renna menyebar pandangan ke sekitar berhenti pada sebuah warung di persimpangan gang.

"Kau haus? Aku traktir minuman."

Renna menunjuk warung disana dan berjalan lebih dahulu yang diikuti Dimas. Renna mengambil dua botol air mineral dan membayarnya. Membawa ke kursi panjang yang ada di depan warung—yang berada di pinggir jalan kampung yang lengang.

"Ini."

Dimas menerima minuman tersebut dan langsung menenggaknya. Renna melihat seksama lelaki itu. Lelaki berambut cepak dengan kemeja warna biru laut dan celana bahan hitam—seperti pekerja kantor. Kulitnya sawo matang.

Renna duduk di sebelah Dimas lalu membuka botol dan meminumnya. Dia juga sama hausnya dengan Dimas. Suasana hatinya panas serta cuaca terik berpadu menciptakan kekeringan dari dalam.

"Kamu kenapa ada disana?" tanya Renna lebih dahulu membuka percakapan.

"Ada urusan di dekat sana. Denger orang ribut, ternyata kamu."

"Terima kasih sudah bantuin aku sebanyak dua kali."

Renna mengucapkannya dengan tulus. Dia memandang lelaki sebelahnya yang terdiam dengan ekspresi datar.

"Sama-sama. Terima kasih buat traktirannya." Dimas menunjukkan botol kosong serta senyuman yang lebar.

"Aku Rennata." Renna mengulurkan tangannya.

Dimas diam sesaat memandang jemari Renna yang lentik. Ia menerima uluran tangan Rennata. "Aku Dimas, aku tahu kamu karyawan kafe."

"Hehe, iya. Kamu dapat nomorku dari siapa?" Rennata hanya penasaran bagaimana lelaki itu mendapat nomor ponselnya padahal temannya di kafe tak ada yang memilikinya.

"Dari boss kamu, dia temen aku."

"Ohhhh.."

Tak ada yang melanjutkan pembicaraan. Keduanya sama-sama diam. Dimas yang melihat ke bekas keunguan di leher Renna akibat cekikan tadi. Sedang Renna memandang langit kota yang sangat terik dengan mata yang menyipit.

"Hidup memang gak adil." Renna memulai percakapan lagi.

"Terkadang kita harus lebih banyak jatuhnya. Aku ngerasa sangat kosong. Hari ini rasanya sangat marah. Lelaki tadi, mantan kekasihku namanya Dion. Brengsek sialan yang menghancurkanku. Maaf sudah membuatmu terlibat." lanjut Renna.

Dimas memandang ke arah langit yang sama dengan Renna. Menimang jawaban yang pas untuk ucapan Renna—agar percakapan mereka mengalir.

"Hidup itu seperti roda. Ada di atas dan bawah. Jika kamu mau di atas maka perlu lebih berusaha sebaik mungkin. Aku gak malu selama itu membantu orang lain."

Renna tersenyum sesaat. Sinar matahari yang terik membuat matanya semakin menyipit. "Masalahnya aku selalu di bawah."

"Kenapa?" tanya Dimas.

"Karena tak ada usaha. Usahaku gagal terus. Aku punya banyak rencana tapi gak bisa wujudin." jawab Renna yang sekarang menunduk. Melihat ke kaki yang ia goyangkan. Kepalanya terasa sangat pening sekarang.

"Kamu, apa yang akan kamu lakuin setelah tadi? Masih ingin memaksa lelaki itu membayarnya?"

Renna melirik ke arah Dimas. "Gara-gara kamu, aku sudah kehilangan jejaknya. Setelah ini jelas dia bersembunyi jauh. Bahkan keluar dari kampus bakal dilakuin."

"Lalu?"

"Aku ingin membalas dendam." ujar Renna. "Dia, lelaki yang kurang ajar."

"Bagaimana jika kau laporkan saja dengan pasal penipuan?"

Renna tertawa dangkal. "Kau pikir ia menipuku? Itu tak akan berhasil. Rentenir memiliki kontrak dan aku ikut menandatanganinya. Dengan sidik jariku." Renna menunujukkan jari jempol kanannya.

Ia baru ingat beberapa hari lalu saat dirinya bangun tidur, jemarinya memiliki bekas ungu tinta. Ternyata Dion memang merencanakannya jauh hari—berhutang tanpa memberitahunya.

Dimas melihatnya dengan tatapan serius. "Mau aku bantu?"

Rennata segera melihat ke arah Dimas. Menerima bantuan balas dendam? Dia pikir ini film? Lelaki yang menolong wanita yang dicintai? Dimas tak ada hubungannya.

Ah, Renna sudah gila dengan pemikirannya lagi.

Renna memandang lelaki itu dengan tatapan sama serius. Wajahnya sudah sangat pucat sekarang. Renna telah menahan sakit kepala dan keburaman dari beberapa waktu lalu.

"Jika kau ingin membantuku, beri aku uang 700 ribu." ucapnya mengalihkan pandangan ke kakinya lagi. Kepalanya benar-benar sudah pening.

"Ah, siapa sekarang yang kurang ajar." lanjutnya dengan intonasi yang semakin samar diakhir kalimat.

Brukkk!!!

Tubuh Rennata ambruk.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status