LOGINKabut pagi perlahan menipis ketika mobil mereka berhenti di depan gedung tua yang sudah lama tak tersentuh. Catnya mengelupas, beberapa jendela pecah, dan papan nama perusahaan lama masih tergantung miring di dinding: “Rahmadani Group Archive.”
Tempat ini dulunya adalah pusat penyimpanan dokumen lama milik perusahaan ayah Alena — dan juga tempat di mana banyak rahasia disembunyikan.Raka turun lebih dulu, menatap bangunan itu dengan tatapan dingin. “Semuanya dimulai di sini,” gumamnya pelan.Nira mengikuti di belakang, jantungnya berdetak cepat. “Kamu yakin dia di sini?”“Ya,” jawab Raka tanpa ragu. “Aku kenal caranya bersembunyi. Alena selalu kembali ke tempat yang membuatnya merasa punya kuasa.”Mereka berjalan melewati halaman yang dipenuhi daun kering. Setiap langkah menimbulkan suara berderak yang terdengar nyaring di antara keheningan pagi.Begitu sampai di depan pintu logam besar, Raka mendorongnya perlahan — dan suara engsel berdecit tajam mRaka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari
Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki
Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M
Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka
Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu
Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se







